Pranaja merupakan salah satu keluarga terpandang yang namanya dikenal hampir seluruh orang di Indonesia, lebih tepatnya keberadaan perusahaan milik keluarga itu yang sering menduduki puncak dunia bisnis di Asia, merambah hingga Amerika dan Eropa, juga beberapa kali mendapat penghargaan internasional, membuat Pranaja menjadi salah satu keluarga yang selalu menjadi topik hangat.
Presiden Direktur Pranaja Grup sudah membuat permintaan pengiriman pengasuh profesional beberapa kali, tapi semuanya dikembalikan dengan alasan yang tidak diketahui.
Claudia sering mendengar para karyawan dan guru di perusahaannya mengumpamakan jika penggantian pengasuh di keluarga Pranaja seperti seseorang yang setiap dua jam berganti baju karena telalu sering.
Dan sekarang, asisten sekaligus sahabatnya ini memberikan ide untuk menjadi pengasuh baru di kediaman itu?
"Kurasa itu bukan ide buruk, aku juga harus mencari tahu alasan sebenarnya para pengasuh itu dikembalikan.” Claudia berucap setelah memikirkan ide Aira selama beberapa saat. “Tolong kirim pemberitahuan ke Pranaja jika pengasuh baru akan datang besok.”
Aira tersenyum lebar. “Baik, Bu Direktur!”
“Lalu, selama aku menjadi babysitter, kirimkan pekerjaanku ke email saja. Kalau ada waktu libur, aku akan ke perusahaan."
Untungnya kediaman utama Pranaja tidak terlalu jauh dari perusahaan dan rumah Claudia sehingga lebih mudah untuk cepat berangkat.
"Aku sudah mencari tahu sedikit, tapi para pengasuh yang dikirim kembali tidak mengadukan sesuatu yang berarti. Kupikir akan baik-baik saja karena tidak ada aduan kekerasan."
“Baiklah, tolong urus sisanya.”
Aira pergi setelah melaporkan beberapa hal selama tiga hari Claudia absen, juga membantu wanita itu menyiapkan pakaian dan barang yang akan dibawa ke kediaman Pranaja.
Malam itu, setelah menenangkan diri dan menerima nasihat dari sang ayah tentang pernikahannya yang gagal, Claudia mengepak beberapa barang tambahan yang akan dibawa menuju kediaman Pranaja. Beruntung pria paruh baya itu mendukungnya sepenuh hati.
Bukannya memaksa Claudia untuk tetap menerima Deon yang sudah mengkhianatinya, meskipun Claudia tidak mengatakan secara lengkap tentang alasannya membatalkan pernikahan.
Paginya Aira datang dengan van yang biasa digunakan untuk mengantar para pengasuh atau pembantu rumah tangga menuju tempat mereka akan bekerja. Setelah memasukkan semua barang ke bagasi dan berpamitan pada ayahnya, Claudia segera memasuki van.
Masih terlalu pagi sebenarnya, tapi mengingat situasinya yang harus segera pergi untuk menghindari Deon dan Selena, Claudia terpaksa berangkat sebelum pukul enam. Membutuhkan waktu satu jam untuk sampai di kediaman Pranaja.
"Kamu akan ditinggal di sana sendirian, Cla, benar tidak apa-apa?"
Pertanyaan Aira membuat Claudia yang sedang menatap langit pagi segera menoleh. "Tentu saja, Ra, jangan cemas. Kan kamu lihat sendiri, tidak ada yang pulang dalam kondisi kritis atau luka-luka, jadi pasti masalahnya bukan kekerasan."
Melewati gerbang tinggi dengan ukiran unik, Claudia berdecak iri pada taman terawat yang dilewatinya sepanjang jalan. Dari kejauhan, wanita itu yakin melihat pohon-pohon hijau dan rindang, seolah ada hutan di belakang kediaman ini.
'Mungkin memang hutan buatan?'
Melihat betapa jauh jarak dari gerbang menuju tempat van berhenti membuat Claudia tidak yakin bisa keluar dari rumah ini dengan berjalan kaki.
Rumah besar berwarna putih cerah itu entah kenapa terlihat berkilau di mata Claudia. Tidak hanya kemegahannya yang menakjubkan, desain indah dengan ukiran-ukiran unik itu juga membuat Claudia tidak bisa berhenti menatap.
"Apa dia pengasuh barunya?"
Suara yang terdengar tajam namun familiar itu membuat Claudia segera mengalihkan pandangannya.
"Lho, kamu kenapa di sini?!"
Claudia segera menurunkan tangannya yang dengan lancang menunjuk pada pria berjas hitam di depannya, baru saja keluar dari kediaman Pranaja.
Pria itu adalah seseorang yang memberikan tatapan tajam dan sinis pada Claudia malam itu, seseorang yang mengaku sebagai ayah Raga.
Bagaimana pria dingin itu bisa ada di sini!?
“Jangan kurang ajar, Cla, dia calon majikanmu. Memangnya kamu tidak pernah lihat fotonya di majalah bisnis?” Aira berbisik sembari menyenggol pelan lengan Claudia.
“Apa ada masalah?”
Pertanyaan pria di depannya membuat Claudia langsung membungkukkan tubuh, meminta maaf atas ketidaksopanannya.
“Sa-saya pikir Tuan mirip dengan aktor korea kesayangan saya, ja-jadi ....” Suara Claudia bergetar, menunjukkan bahwa ia takut dan permintaan maafnya tulus.
Kalau ini situasi normal, Aira pasti akan mengejek dan menertawakan kebodohan Claudia, karena dilihat dari sisi mana pun, pria tampan di hadapan mereka tidak ada wajah-wajah korea-nya sama sekali.
Pria berjas hitam yang terlihat akan pergi ke suatu tempat itu melirik arloji. “Dera, tunjukkan dimana kamarnya dan bawa dia ke ruanganku dalam sepuluh menit.”
Pria itu–Malven, berbicara pada seorang wanita paruh baya yang sejak tadi berdiri diam. Wanita bernama Dera langsung mengangguk dengan perintah tuannya, sedangkan Malven kembali ke dalam dengan langkah cepat.
Wanita paruh baya yang tadi dipanggil Dera juga membawa mereka ke dalam rumah.
Satu hal yang Claudia perhatikan adalah ia diberikan kamar untuk dirinya sendiri, meski sederhana, tapi sangat nyaman dengan satu ranjang kecil, lemari kayu satu pintu, meja dan kursi belajar serta kipas angin dinding yang berfungsi dengan baik.
‘Padahal diberikan fasilitas yang bagus, tapi kenapa tidak ada yang bertahan lama?’ Claudia bertanya-tanya sembari memperhatikan sekitar, pada pintu-pintu kamar pelayan lain yang tertutup.
Melihat bagaimana hanya babysitter yang dikembalikan ke agensi, itu artinya tidak ada masalah dengan para pelayan yang dikirimkan. Claudia menghela napas pelan, menjernihkan kepalanya agar tidak terburu-buru mencari tahu. Toh, tujuan utamanya di sini adalah untuk berlibur dan melupakan masalahnya. Ia bisa mencari tahu masalah babysitter sambil bekerja.
“Aku harus pergi sekarang, Cla. Baik-baiklah di sini, jangan buat masalah dan tolong bersabar menghadapi anak-anak.” Aira membisikkan sebuah nasihat dengan wajah serius sebelum pergi meninggalkan Claudia di kediaman Pranaja.
Sekarang Claudia benar-benar sendiri. Setelah van yang membawa Aira sudah menghilang dari pandangan, Claudia buru-buru kembali ke dalam untuk menemui Dera.
Mengekor di belakang Dera, Claudia memperhatikan jika mereka langsung ke lantai dua, tapi anehnya tidak memasuki salah satu ruangan mana pun di lantai dua. Claudia menelan ludah gugup saat Dera membuka pintu di ujung lorong dan mereka menaiki tangga menuju lantai tiga.
"Lantai tiga berisi ruang baca dan ruang bermain untuk Tuan Muda, tapi perpustakaan dan ruang kerja milik Tuan juga di sini, jadi berhati-hatilah ke depannya agar tidak salah memasuki ruangan."
Claudia mengangguk dalam diam, selama ada tanda di depan pintu yang membedakan antara ruang bermain Raga dan ruang kerja Malven, maka ia pasti tidak akan salah masuk ruangan.
"Apa pun yang Tuan katakan nanti, kamu hanya perlu diam dan mengiyakannya." Dera memberi peringatan singkat saat mereka sampai di depan sebuah pintu sebelum mengetuknya.
"Masuk!"
Claudia menarik napas panjang, ini pertama kali ia akan bertemu dengan atasan. Selama ini Claudia hanya pernah menjadi atasan seseorang, jadi ini merupakan pengalaman baru baginya.
Hal pertama yang Claudia lihat setelah memasuki ruangan adalah seorang pria yang diberkahi dengan ketampanan bak dewa yunani sedang duduk tegak sambil memegang sebuah berkas.
Cara pria itu memegang berkas di tangan, dengan jari-jari panjang yang terlihat indah membuat Claudia sempat menahan napas, bagaimana pun pesona yang dipancarkan Malven meski ia hanya duduk diam sungguh sangat tidak bisa diabaikan.
"Selamat pagi, Pak, saya Claudia, yang dikirim ke sini untuk menjadi pengasuh tuan muda." Claudia menyapa dengan sopan, tubuhnya sedikit membungkuk saat sudah berada di hadapan Malven.
Mata sehitam arang itu menatap Claudia perlahan. "Silakan duduk," ucapnya mempersilakan.
Claudia segera mengambil tempat di sofa seberang Malven, duduk tegak sembari bersiap menjawab pertanyaan yang mungkin akan diajukan Malven--pengganti sesi interview yang belum sempat dilakukan.
"Ini adalah kontrakmu. Sekretarisku sudah mengurusnya dengan agensimu, tapi kupikir kamu memerlukan salinannya. Baca dan pahami itu, kalau ada yang tidak kamu pahami, tanyakan sekarang."
Claudia meraih berkas yang disodorkan, mengabaikan tatapan tajam yang mengikuti gerakannya. Claudia sudah mengetahui isi kontraknya, tapi melihat lagi kontrak dengan namanya tertulis sebagai pekerja membuatnya agak bersemangat, apalagi setelah melihat nominal gaji bulanannya yang tertera.
Wanita itu membaca semua yang tertulis, dan tidak ada yang merugikan menurutnya, semuanya sesuai dengan kesepakatan yang sudah Claudia ketahui. Padahal selain gaji yang lebih besar dari tempat lain, bekerja di kediaman Pranaja juga mendapat libur satu kali dalam seminggu, biaya makan ditanggung serta kamar yang nyaman.
'Tapi, kenapa semuanya dipecat hanya dalam seminggu?' Claudia mengerutkan kening tanpa sadar, mengingat lagi jika paling lama babysitter bertahan di kediaman ini hanyalah satu bulan.
"Saya sudah membaca semuanya dan tidak ada yang kurang." Claudia meletakkan kembali kontraknya ke atas meja, kali ini memberanikan diri untuk mendongak dan menatap sang tuan. Tapi, tatapan dingin dan tidak bersahabat yang Claudia terima membuatnya bertanya-tanya apakah pria di hadapannya memiliki masalah penglihatan.
Kenapa dia selalu menatap Claudia seolah wanita itu adalah penjahat yang pernah mengkhianati negara?!
“Tidak ada yang tertinggal, kan?”Claudia menoleh ke arah pintu saat Malven datang. “Sepertinya tidak ada, aku sudah memeriksa berkali-kali agar barang-barang penting Asya tidak tertinggal.”Malven yang tampak formal dengan kemeja putih yang dibalut jas hitam, mendekat ke arah istrinya. “Kalau begitu ayo pergi. Tuan Putri kecil itu sejak tadi sudah bertanya ratusan kali pada Raga kapan kita akan berangkat,” ucap Malven sembari menarik tubuh Claudia, mencium pipi wanita yang kini mengenakan gaun hitam panjang tanpa lengan.Rambut Claudia ditata rapi, hasil pekerjaan pelayan sejak subuh, jadi saat Malven mulai mengendus lehernya, Claudia segera menjauh. “Tolong jangan merusak riasan dan rambuttku,” peringat Claudia seraya berjalan menjauhi Malven.Malven mendengus, agak tidak suka membayangkan istrinya yang seksi dan cantik itu dilihat orang lain, tapi kalau Malven melarang Claudia untuk berpenampilan menawan seperti itu di hari penting ini, maka pria itu pasti sudah mendapat cubitan ‘sa
“Momma!”Claudia mendongak saat Raga membuka pintu ruang kerjanya, tersenyum lembut pada putranya yang baru saja pulang dari sekolahnya.“Halo, jagoan! Gimana sekolahnya hari ini?” Claudia bangkit dari kursi kerjanya, pindah ke sofa dan merentangkan tangan untuk memeluk Raga.“Seru banget!” ujar Raga sembari mendekat dengan cepat, memeluk leher Claudia dan menghela napas lega—seolah benar-benar sedang beristirahat di rumah. Sekarang bagi Raga, rumah adalah tempat dimana Claudia berada.“Wah, Momma jadi penasaran nih! Sini duduk, cerita sama Momma hari ini Raga melakukan apa saja di sekolah.”Raga menurut, duduk di sisi Claudia dan mulai berceloteh, menceritakan setiap detail aktivitasnya di sekolah hari ini. Sepanjang Raga bercerita, Claudia tidak pernah mengalihkan tatapannya, juga senyumnya yang selalu terukir saat melihat Raga.Sejak usia kandungannya memasuki tujuh bulan, Claudia mulai mengurangi aktivitasnya. Selain karena kakinya membengkak, Claudia juga sering mengalami keram d
Ting! Suara khas itu terdengar saat pintu kafe didorong dari luar. Beberapa remaja masuk ke dalam kafe yang sedang ramai, suara mereka terdengar ceria dan penuh tawa. Tidak hanya para remaja itu, kafe memang dipenuhi dengan berbagai obrolan santai dari para pengunjungnya yang beragam.Salah satu pengunjung di sana adalah Claudia yang sedang termenung di sudut, menatap pada jendela yang memperlihatkan padatnya lalu lintas. Cuaca di luar sangat cerah dan panas, tidak sesuai dengan raut wajah Claudia yang murung. Hari ini adalah sidang akhir untuk Deon, dan entah bagaimana Malven menemukan berbagai kecurangan dan kejahatan yang pernah Deon lakukan selama di perusahaannya, juga perlakuan semena-mena terhadap bawahan dan mendapatkan kesaksian dari banyak orang hingga Claudia maupun Raga tidak perlu menunjukkan wajah di pengadilan. Malven mengatakan jika Deon akan dihukum maksimal delapan tahun penjara dengan tuntutan utama kekerasan dan upaya penculikan terhadap Ragava Lintang Pranaja.
“Malven?” Claudia memanggil pelan saat tidak menemukan suaminya di sisi tempat tidur. Wanita itu melihat jam dan mengernyit. Ke mana Malven pergi dini hari begini? Melihat suasana yang hening, sepertinya Malven juga tidak ada di kamar mandi.Rasa kantuk yang terlanjur hilang membuat Claudia memutuskan untuk turun dari ranjang, menarik luaran baju tidurnya sebelum berjalan menuju pintu. Claudia sempat memeriksa kamar Raga, tapi tidak ada Malven di sana, hanya ada Raga yang tidur lelap.“Apa dia di bawah?” Claudia bergumam sembari menyusuri koridor dan menuruni tangga, cukup yakin suaminya ada di lantai satu ketika melihat seluruh lampu yang menyala.“Malven?” Claudia memanggil saat mendengar sebuah suara.Wanita itu semakin mengernyit saat menyadari arah suara yang cukup berisik itu berasal dari dapur. Ada dua dapur di kediaman Pranaja. Satu berada di luar rumah utama yang biasa digunakan oleh para pelayan untuk memasak, satu lagi berada tidak jauh dari ruang makan, dibuat khusus untuk
"MOMMA!" Claudia yang mendengar teriakan itu langsung berlari, menghampiri Raga yang melambai sambil melompat di dekat gerbang arrival hall, bersama Sean dan Vall di sisinya. "Sayangnya Momma!" Raga langsung melompat ke pelukan Claudia saat wanita itu akhirnya tiba di depannya. "Aku kangen Momma! Kenapa lama banget perginya?" "Momma juga kangen Raga, kangeen banget! Maaf ya sudah meninggalkan kamu sendirian, nanti kita main ke banyak tempat berdua sebagai gantinya." "Digandeng saja," Malven segera menyela saat melihat Claudia hampir menggendong Raga. Pria yang ditinggalkan sejak Raga berteriak itu, ikut berjongkok di samping Claudia. "Momma sedang tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat, jadi kalau kamu mau digendong, dengan Papa saja."Raga mengerjap, baru ingat jika saat ini ada bayi yang harus dijaga dalam perut Claudia. "Mau dituntun Momma aja, nggak mau sama Papa."Mendengar jawaban putranya, Malven tanpa sadar mengernyit. Sejak kehadiran Claudia, rasanya ia tidak lagi menj
Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.