Share

05. Tanpa Nego

Aresha merasa tegang dan menahan cemasnya. Sikap Herdion membuat perasaan jadi was-was . Sangat khawatir andai jari panjang itu kembali bertingkah tidak sopan di dadanya. Apapun alasan, itu sudah dianggap pelecehan jika tanpa ucapan minta maaf.

Sangat lega, tangan itu telah menjauh. Diikuti badan Herdion yang juga mundur selangkah. Kembali memandang Hisam sekian detik di wajah putihnya.

"Hisam, untuk apa terlalu menawar? Apa kamu tidak risih mendengar tangis ponakanmu? Kenapa kamu tidak mengantar gadis itu menemuiku saja? Atau kamu sendiri yang menyampaikan keinginannya padaku?" Syahfiq Herdion bertanya dengan pandangan kaku pada Hisam.

"Kupikir sudah tidur. Ini sudah sangat larut malam, Bang," sahut Hisam dengan nada yang canggung.

"Justru sudah larut malam, Hisam. Tidak baik menahan wanita yang belum jelas siapa lebih lama di sini." Syahfiq mengalihkan pandangan dari Hisam pada Aresha.

"Ikutlah denganku, Nona. Siapa namamu?" tanya Syahfiq. Memandang Aresha dengan picingan matanya.

"Aresha," sahut Aresha pendek. Lelaki itu mudah lupa pada sebuah nama yang dianggapnya tidak penting. Padahal Hisam sudah mengenalkannya sore tadi.

"Ikutlah ke ruang kerjaku, Nona Aresha."

Lelaki gagah itu telah berbalik badan dan berjalan lambat keluar kamar. Seolah sedang menunggu Aresha mengikuti agar tidak ketinggalan jejaknya.

"Pak Hisam, saya permisi." Aresha berpamitan pada lelaki yang berdiri mematung memandangnya. Hisam pun mengangguk.

"Maaf, Aresha," ucap Hisam saat Aresha berlalu dengan bayi Venus yang masih terus didekap gadis itu. Kakinya berjalan pelan mengikuti keluar kamar. Hisam menutup pintu pelan dan meninggalkannya.

Ucapan minta maaf lirih itu Aresha mendengarnya. Berpikir bahwa Hisam memang ingin membayarnya sendiri untuk merawat bayi Venus. Padahal Syahfiq Herdion telah terus terang ingin mengulurkan dana sendiri untuk keponakan mereka. Apa tujuan Hisam....

"Silahkan masuk, Nona Aresha."

Aresha melewati lelaki yang sedang menahan daun pintu dengan punggungnya. Membiarkannya masuk dan menggeser diri hingga pintu menutup sendirinya.

"Duduklah jika ingin," ucap Syahfiq Herdion dengan datar. Lelaki itu duduk di depan meja di depannya.

"Terima kasih," sahut Aresha.

Aresha pun menghempas diri di kursi empuk dengan meja sebagai penyeberang mereka. Memundurkan lagi kursi sebab Venus sedang di pangkunya, menghindarkannya dari posisi terhimpit. Lelaki di kursi seberang terus memandang dengan tatapan yang datar.

"Aku tidak ingin bertele-tele, Nona Aresha. Katakan lagi padaku, berapa yang kamu inginkan?" Syahfiq menatap Aresha dengan tegas. Mata di wajah cantik itu seketika menyipit.

"Asal Anda paham, Pak Herdion, ini sebenarnya tidak pernah kuinginkan. Tolong berbicaralah lebih sopan," sahut Aresha dengan cepat.

Syahfiq seketika mengatup rapat bibirnya. Menaikkan kedua alis dan tersenyum masam kemudian.

"Tidak munafiq, sangat kubutuhkan relamu untuk mengurus keponakanku, Nona Aresha. Aku menghargai jerih payahmu dan akan memberimu gaji sebagaimana kamu bekerja pada Jack. Sekarang, katakan lagi padaku, berapa harus kubayar tenagamu untuk Venus?" Herdion berbicara yang menurut dia lebih baik dan detail.

"Sebenarnya aku jauh lebih menyukai bekerja pada pak Jack," sambut Aresha sengaja mengulur. Syahfiq membanting punggung di sandaran kursi besarnya.

"Segera katakan berapa kompensasi yang kamu ingin? Lupakan sementara atasan dan tempat kerjamu itu," ucap Syahfiq tegas dengan mengangkat alis tebalnya. Aresha paham memang begitu sifatnya. Tidak mungkin berbicara lebih lembut sedikit. Hanya nada tegas sajalah favorit dari gaya ucapannya.

"Permisi Pak Herdion, jika Anda setuju, aku hanya ingin satu juta per malam Anda berikan. Bagaimanapun, pekerjaan merawat bayi adalah hal baru sekaligus perlu mental yang bagus. Aku pun belum pernah melakukannya sebelum ini. Sebetulnya aku belum punya pengalaman," sahut Aresha menguatkan dirinya. Hati berdebar menunggu sahut bicara lelaki di depannya.

"Saat ini bukan pengalaman yang kucari. Namun, orang yang bisa menenangkan keponakanku. Jika ada yang lain yang sepertimu dan berpengalaman, aku sudah pasti mengambilnya. Sayangnya belum ada," tutur Syahfiq. Kali ini dengan nada yang datar. Permintaan Aresha akan jumlah upah, seperti bukan masalah baginya.

"Kenapa kamu ingin penghitungan tiap malam? Kenapa tidak penghitungan satu minggu, atau satu bulan?" Lelaki itu kembali bicara sambil mengetik sesuatu di ponselnya.

"Sebab ... sebab aku tidak ingin terikat. Bagaimanapun, aku masih memiliki banyak rencana dan urusan. Bisa jadi tiba-tiba aku memerlukan waktu untuk urusan pribadiku. Bukankah ini akan lebih mudah?" Aresha sambil membenarkan posisi duduk Venus.

"Apa kamu sudah memikirkan jika pekerjaan ini adalah dua puluh empat jam?" Syahfiq sedikit merendahkan nada bicara, sepertinya juga baru sadar akan fakta ini.

"Tentu, bahkan adikku yang saat itu berusia satu tahun pun, disewakan jasa baby sitter dua puluh empat jam oleh mamaku," sahut Aresha dengan yakin.

Syahfiq terdiam, memandang Aresha cukup lama. Coba menilai dari penampilan, menduga jika gadis itu bukan dari kalangan miskin. Namun, lelaki itu enggan mengoreknya.

"Baiklah, bertanda tanganlah. Baca dulu jika ingin. Yang kutuliskan adalah garis isi percakapan kita. Ini hanya kontrak dua minggu. Setelahnya akan kuperbarui kembali," jelas Syahfiq sambil mengulur ponsel pintarnya.

Aresha mengambil dan membaca. Alis cantik sedikit lengkung dan alaminya sedang menaut perlahan. Sangat fokus pada isi bacaan di ponsel.

"Tidak ada kalimat yang menjamin hari cutiku," protes Aresha dengan landai.

"Itu bisa dibincangkan." Syahfiq tegas menyahut.

"Selama dua minggu aku harus mendekam di sini?" Protes Aresha dengan pertanyaan cepatnya.

"Bahkan bukan di sini. Kamu dan Venus akan ikut denganku," ralat Syahfiq tak kalah cepat.

"Ke mana?!" Aresha menegakkan punggung sambil berseru. Kepala bayi Venus bahkan hampir membentur kisi meja. Segera disandarkan lagi dirinya ke kursi.

"Jaga gerakanmu, Nona Aresha. Jika kamu gegabah, keselamatan Venus terancam," ucap Syahfiq menegur dengan raut yang kecut.

"Ke Pulau Marina. Aku sedang ada pekerjaan di sana, rumah keluargaku juga di sana," jelas Syahfiq mendetail.

"Maksudmu, anak-anakmu dan istrimu?" Aresha merasa berharap hal itu. Membayangkan di tempat jauh dengan lelaki seperti Herdion, rasanya tidak bersemangat dan malas. Bahkan dengan uangnya yang banyak sekali pun. Atau dengan paras rupawannya yang di atas rata-rata.

"Tidak, hanya dengan orang tua dan adikku," sahut Syahfiq meralat dugaan Aresha.

"Segeralah bertanda tangan. Kurasa kamu pasti lelah, istirahatlah dengan Venus di kamarnya," ucap Syahfiq kembali. Mungkin sudah sangat ingin mengakhiri perbincangan.

"Apa aku tidak memiliki kamar sendiri?" sela Aresha cepat.

"Maaf, untuk sementara tidak. Bukankah sudah kaulihat kamar Venus? Kurasa tidak kurang luas lagi di sana."

"Tolong tanda tangan saja segera. Upah jasamu akan segera kukirim malam ini juga," pinta Syahfiq sekali lagi.

Aresha tidak segera bertanda tangan, sebab sedang merasa terkejut. Teringat lagi pesan dan ucapan Jack. Andai benar apa yang dikatakan Herdion jika dirinya akan dibayar juga start malam ini, bermakna prediksi Jack tidak meleset. Keroyalan Herdion terbukti bukan isapan jempol belaka.

"Bayarkan upah jasaku malam ini, Pak Syahfiq. Anda jangan lupa ...," ucap Aresha jual mahal. Sembari mencoretkan jari telunjuk cantiknya di layar ponsel mewah itu dengan ekspres.

"Pergilah dan temani Venus di kamarnya. Segera kirimkan data akun uangmu di sini."

Syahfiq menyodor di meja sebuah kartu nama. Ada nomor email, nomor telepon serta sebuah nomor aplikasi. Lelaki itu berdiri dan keluar dari kursi. Berjalan meninggalkan Aresha yang masih duduk di dalam ruang kerja. Termangu memandang kartu sederhana yang tertera nama Syahfiq Herdion di sana.

🕸🍓🕸

Harap follow akunku dan subscribe bukuku, yaa

Terima kasih beloved readers...🙏

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status