Share

06. Merasa Seram

Aresha kebingungan saat sudah keluar dari ruang kerja Herdion. Lupa benar-benar ke arah mana harus kembali ke kamar Venus. Berharap bayi dalam gendongan terus saja terlelap. Hingga kakinya berjalan dan melewati banyak pintu.

Sebuah ruangan tanpa daun pintu yang kemungkinan adalah dapur dengan lampu terang benderang menyala. Seorang wanita setengah baya sedang di sana dan membelakangi Aresha. Kemudian berbalik cepat sebab mendengar langkah mendekat. Ekspresi wajahnya terkejut.

"Haaah...! Kamu sudah datang?! Venus sudah tidur? Pantas sudah tidak menangis." Wanita itu berjalan menghampiri Aresha dengan senyum yang cerah. Seolah malam tidaklah larut.

"Selamat malam ...," sapa Aresha dengan membalas tersenyum. Mereka pun saling menghampiri.

"Hisam bilang namamu Aresha? Aku adalah ibu Syahfiq, Siti Yasmin." Wanita dengan nama Siti Yasmin, ibunda Syahfiq, mengulur tangan untuk bersalaman dengan Aresha.

"Benar, Bu Yasmin. Saya Aresha," ucap Aresha menyambut. Mereka berdua sangat erat saling berjabat tangan.

"Terima kasih ya, Aresha. Kamu sudah mau datang untuk menemani cucuku," ujar Siti Yasmin lembut dan terdengar tulus.

"Sama-sama, Bu. Namun, sebenarnya saya tidak punya pengalaman sama sekali, mohon di makhlumi ya ...," sahut Aresha dengan segan. Di hadapan ibunya Herdion, totalitas sikapnya sungguh sopan. Siti Yasmin pun sangat menghargainya dan hangat.

"Tidak masalah, Aresha. Asal anak ini tidak menangis lagi, itu sudah cukup. Saat dia menangis, menelan ludah pun susah. Selalu saja ingat papanya, anak lelakiku, juga menantu perempuanku ...," ucap Siti Yasmin dengan suara berubah bergetar.

Wanita senja itu telah menangis. Menunduk dengan suara isaknya yang ditahan. Namun, malam sunyi begini, suara sedunya sangat jelas terdengar.

"Bersabar ya, Bu. Ini memang cobaan yang sangat berat. Semangat ya, Bu ...," ucap Aresha dengan bingung. Wanita itu mengangkat wajah dan mengangguk.

" Terima kasih, Aresha. Namun, ini sudah sangat larut. Venus juga sudah lelap. Bagaimana jika kalian pergi ke kamar?" Tangan Siti Yasmin terulur, mengelus kepala bayi dalam gendongan Aresha sejenak.

"Maaf, Bu. Sebenarnya saya baru dibawa Pak Syahfiq ke ruang kerja untuk berbincang masalah kerja sama. Namun, saya jadi lupa arah mana yang menuju kamar Venus...."

Aresha tersenyum merasa malu. Mungkin akan terkesan jika tidak biasa tinggal di rumah luas dan besar.

"Hheehe ... itu sudah biasa, Aresha. Mari, kuantar ke kamar kalian. Maaf, kamu sementara harus sama kamar dengan Venus. Kamu tidak masalah, kan?" Siti Yasmin terlihat iba pada Aresha. Namun, gadis cantik itu tersenyum sambil menggeleng.

"Syukurlah, ayolah ikut denganku." Siti Yasmin memimpin berjalan di depan.

Ternyata bukanlah jauh. Keluar dapur, berjalan menyeberang ruangan dengan lurus, kemudian berjalan ke arah kiri dan terdapat sebuah pintu. Di sanalah Siti Yasmin berhenti, bahkan bisa melihat dalam dapur jika berdiri di depan kamar itu.

"Masuklah kalian. Maaf, tidak bisa menemanimu malam ini. Kepalaku sangat sakit, Aresha. Mungkin kelelahan dan sangat panik pada Venus yang terus menangis. Inipun akan meminum obatku. Namun, bertemu kamu dan Venus yang tidur lelap olehmu, kepalaku banyak berkurang nyerinya." Siti Yasmin kemudian tersenyum. Membukakan pintu kamar untuk Aresha.

"Terima kasih, Bu. Selamat malam." Aresha memberi sapa terakhirnya.

"Selamat malam, Aresha. Assalamu'alaikum," sambut Siti Yasmin dan kembali menarikkan pintu agar rapat menutup.

Aresha tidak sempat menjawab langsung salam yang dilempar Siti Yasmin. Pintu sudah menutup rapat bersama hilang bayang wanita itu.

Segera berbalik dan berjalan menuju jantung kamar. Melihat sekilas keadaan kamar. Sebuah foto di dinding membuat jantungnya laju berpacu. Foto sepasang pria dan wanita dengan Venus bersama mereka, membuat debar yang resah tersendiri bagi Aresha. Yakin jika foto itu adalah orang tua Venus yang tiada sore tadi karena kecelakaan yang tragis.

Merasa dirinya bukan muslimah yang baik dan sangat jauh dari kata Sempurna. Sebab, rasa hatinya sungguh gentar untuk kembali melangkah menuju pembaringan. Rasanya ingin terus mendekap Venus yang dianggap jadi teman. Aresha jadi seperti tersiksa dan sangat sendirian.

Berusaha menepis kekerdilan jiwa dengan merapal bermacam doa dan ayat. Jujur saja, hal ini sangat lupa untuk dia pikirkan saat datang. Terlalu silau dengan bujukan Jack soal limpahan uang. Andai ingat akan ini, bisa jadi Aresha memilih mundur. Namun, ini semua sudah terlanjur. Tidak mungkin Herdion menghapus tanda tangannya di ponsel begitu saja.

Venus telah diletak, anak bayi itu terlihat tenang dan damai. Selimut telah menutup tubuh mungilnya sebatas leher. Mesin AC tetap menyala, Hisam tidak mematikannya. Ruang kamar kian mencekam sebab dingin. Mata Aresha sama sekali tidak merasa kantuk yang menggayut sedikit pun. Sedang waktu di dinding telah menunjuk pukul satu dini hari.

Mengingat sesuatu membuat hatinya sedikit cerah dan teralih dari suasana sekitar sejenak. Aresha telah duduk sambil memegang sebuah kartu yang baru diambil dari saku bajunya. Bibir manisnya terlihat terbit senyum yang tipis.

Telah disimpannya nomor Syahfiq Herdion. File akun keuangan miliknya sudah meluncur sekian detik lalu ke nomor yang tertera di kartu milik lelaki itu. Mata Aresha memperhatikan dengan lebar.

Ternyata, lelaki itu pun tidak tidur. Masih terjaga dengan bukti tanda terbaca dari pesan yang baru saja Aresha kirimkan. Namun, tidak ada balasan atau pun respon dari Herdion.

Aresha kembali merebah di samping Venus dengan was-was. Bayang cerita-cerita horor yang pernah ditonton kembali mengganggunya. Rasanya seperti menjadi manusia lemah tak berguna.

Ting

Ketegangan Aresha seketika luruh saat ponselnya berbunyi. Segera disambar dengan rasa penasaran. Dari sebuah nomor yang berisi laporan sukses transfer ke akun keuangannya.

Aresha tercengang, bahkan ketegangan sebab bayang cerita horor di kepala telah melayang tak berbekas. Bukan hanya semalam, tetapi upah tujuh malam sekaligus telah terkirim di akun miliknya!

"Terima kasih, Pak Herdion," ketik Aresha kemudian. Segera dikirimkan isi pesan singkatnya ke nomor aplikasi chat lelaki itu. Merasa lebih baik pasrah dan tidak perlu meralat. Toh hanya satu minggu, apalagi dengan jumlah yang hampir sama dengan upah yang didapatnya dari kantor Jack selama satu bulan. Tidak munafik jika ini ibarat rezeki nomplok alias durian lebat yang roboh dan tua.

Ting!

Sangat terkejut, tiba-tiba ada pesan masuk balasan dari Syahfiq Herdion. Aresha tidak menyangka jika lelaki itu akan sudi membalas pesannya.

"Apa Venus menangis?" Ternyata seperti ini bunyi pesan balasannya. Sejenak Aresha memutar otak lebih kencang.

"Venus tidur pulas. Namun, jujur saya merasa seram di kamar ini. Maaf," balas Aresha dan segera terkirim. Sudah dibaca, yakin jika lelaki itu sedang merutukinya dan mungkin menertawakan paranoidnya yang sia-sia. Tetapi tidak peduli anggapan si Herdion, Aresha justru merasa lega telah mengungkap deritanya dengan jujur. Rasa gusar dan gentar terasa jauh berkurang.

Seperti yang disangka, tidak ada balasan pesan. Paman sombong itu tidak mungkin akan merasa peduli. Bisa jadi Herdion sedang menyesal telah membayarnya tujuh malam sekaligus.

Tok Tok Tok

Terkejut sekali, siapa orang di balik pintu larut malam begini? Hanya bayang nama Hisam, Herdion dan Siti Yasmin sebagai orang yang kemungkinan mengetuk pintu di luar. Sebab ini adalah kamar Venus sebagai tokoh utamanya, Aresha memaklumi kedatangan siapapun orang yang mengetuk pintu itu sekarang.

🍓🍓🕸🍓🍓

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status