“Apa kau bilang? Kau hampir saja ditabrak taksi? Bagaimana bisa?” seru seorang pria paruh baya bernama Harris, suaranya bergetar antara marah dan cemas, mendapatkan kabar yang mengunjang dirinya. “Sekarang katakan pada Daddy, apa kau benar-benar baik-baik saja? Kau tidak terluka, kan, Sasha?” tanyanya dengan nada menuntut agar putrinya menjawab.
Sasha mengangguk lembut. “Dad, aku baik-baik saja. Aku memang terjatuh, tapi tidak terluka. Ada pria yang menolongku dan mengantarku pulang.” Ruang tamu mansion keluarga Vanderbilt dipenuhi ketegangan yang menyesakkan. Tampak Harris Vanderbilt berdiri tegak di hadapan Sasha, putrinya yang duduk tenang di sofa. Meski terlihat wajah Sasha sedikit panik, tapi rupanya wanita cantik itu mampu menenangkan kemarahan dan rasa khawatir Harris. “Pria yang menolongmu?” Harris terdiam sejenak, lalu pria paruh baya itu menoleh tajam ke arah pria berperawakan tampan dan gagah yang berdiri di dekat pintu. Pun tampak pria tampan itu membalas tatapan Harris dengan tenang, meskipun jelas tak mengira akan diselidiki seperti ini. “Siapa kau?” tanya Harris dengan nada tegas. “Dan bagaimana kau bisa bersama putriku? Apa yang sebenarnya terjadi pada Sasha?” Pria tampan itu menarik napas dalam sebelum menjawab. Dia tampak seperti pria berusia tiga puluhan yang tangguh, wajahnya keras tetapi penuh ketenangan, membawa aura misteri yang sulit dibaca. “Saya Simon Neels, kebetulan tadi saya sedang berada di dekat pusat kota ketika melihat kejadian itu. Seseorang … mencoba mendekati putri Anda. Awalnya dia hanya berpura-pura baik, lalu berbalik menjadi ancaman.” Harris mengerutkan kening. “Ancaman?” Simon mengangguk, nadanya mulai serius. “Pria itu mencoba menggoda Sasha, tapi saat dia menyadari bahwa Sasha tidak bisa melihat, dia memanfaatkan situasi untuk merampas tasnya.” Sasha menghela napas, meremas jemarinya. “Aku berusaha mempertahankan tasku, Dad, tapi pria itu menariknya dengan kuat. Aku terseret … sampai aku hampir jatuh ke tengah jalan.” “Apa pentingnya tasmu, Sasha! Nyawamu lebih penting, Sayang.” Mata Harris membesar, sorot ketakutan jelas tampak di wajahnya. “Tapi, tunggu, kenapa bisa ada taksi yang menabrakmu?” tanyanya lagi, merasa jawaban yang tepat belum terjawab sepenuhnya. Simon menunduk sejenak, lalu menatap Harris dengan tenang. “Ya, sebuah taksi melintas tepat saat Sasha hampir terseret ke jalan. Saya berlari dan menariknya ke tepi sebelum hal buruk terjadi. Dan maaf saya jika saya lancang, saya mengantar putri Anda pulang hanya ingin memastikan dia sampai di rumah dengan selamat.” Sasha tersenyum kecil, berusaha meredakan ketegangan yang terasa di ruangan itu. “Dia sudah menyelamatkan aku, Dad. Kalau bukan karena dia, mungkin aku tidak akan berada di sini sekarang.” Harris menarik napas panjang, membiarkan ketegangan yang masih mengganjal di dadanya perlahan mereda. Rasa syukur dan lega kini memenuhi wajahnya, menggantikan amarah dan kecemasan yang semula terpancar di matanya. “Terima kasih, Simon. Kau telah menyelamatkan putriku dan membawanya pulang dengan selamat. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kau tidak datang tepat waktu,” ucap Harris dengan ketulusan yang jarang terlihat. Pria paruh baya itu menatap Simon sejenak, lalu melanjutkan, “Katakan padaku, apa ada sesuatu yang kau inginkan sebagai imbalan? Aku bisa membelikannya untukmu, apa pun itu.” Simon tersenyum samar, lalu menggelengkan kepalanya ringan, menunjukkan sesuatu niat tersembunyi di sana. “Sebenarnya, ada sesuatu yang lebih saya butuhkan, Tuan.” “Oh?” Harris menaikkan alisnya, tertarik dengan jawaban Simon yang tidak biasa. “Saya baru saja kehilangan pekerjaan sebagai pengawal pribadi keluarga Walikota,” jelas Simon sambil menunduk sedikit. “Putri Walikota akan melanjutkan sekolah ke luar negeri, jadi mereka tidak membutuhkan perlindungan lagi. Saya ingin mencari pekerjaan baru yang tetap, dan ... sepertinya ini kesempatan yang pas untuk bertanya.” Harris terdiam sejenak, memikirkan ucapan Simon. Sementara tampak Sasha terkejut dengan arah pembicaraan Simon yang sama sekali tak disangkanya. “Kalau begitu, kebetulan sekali.” Harris akhirnya tersenyum, tampak puas dengan arah pembicaraan ini. “Aku akan pergi selama beberapa bulan ke Texas. Akan sangat baik jika ada seseorang sepertimu untuk menjaga Sasha selama aku tidak di sini.” Simon mengangguk, matanya beralih ke arah Sasha, yang kini terlihat syok dan penuh rasa tidak percaya. “Saya akan sangat senang bisa menjaga Sasha, Tuan. Saya pastikan dia akan aman.” Harris menepuk pundak Simon dengan percaya diri. “Baiklah, Simon, karena kau sudah menjadi penyelamat putriku, maka mulai hari ini, kau resmi bekerja untukku.” Sasha merasakan wajahnya memanas saat mendengar keputusan ayahnya. “Dad, aku tidak membutuhkan pengawal,” katanya, mencoba untuk tetap tenang meski suaranya terdengar sedikit tajam. “Aku bisa menjaga diriku sendiri.” Harris mendengkus pelan. “Benarkah, Sasha? Apa kejadian tadi belum cukup untuk membuktikan bahwa kau tidak bisa menjaga diri?” Sasha menggigit bibir, merasa sedikit terpojok. “Dad, kejadian tadi hanya kebetulan saja. Kau kan tahu, aku selalu ditemani Anna, tapi tadi kebetulan Anna sedang berada di toilet,” kilahnya berusaha membujuk sang ayah “Aku janji, aku tidak akan pernah sendirian lagi di tempat umum. Aku akan ikut ke mana pun Anna pergi.” Harris memandang Sasha cukup lama, jelas tidak terpengaruh oleh argumen Sasha. “Dan berapa sering Anna bisa menemanimu, Sasha? Kau tahu dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai fashion desainer. Sekalipun dia setia dan selalu meluangkan waktu untukmu sebulan sekali, itu tidak cukup.” Sasha menghela napas dalam-dalam. Dia tahu ayahnya benar; Anna, sahabat yang dikenalnya sejak kuliah, memang sering kali terlalu sibuk untuk selalu bersamanya. Pun kejadian tadi sebenarnya terjadi, karena Anna sedang tidak di sampingnya. Sahabatnya itu pergi ke toilet. Bisa dikatakan Simon menolongnya tadi tanpa diketahui oleh Anna. Sebab, setelah kejadian itu terjadi, Simon langsung mengajaknya pergi, dan Anna tak tahu apa pun. “Dad, aku tidak suka diawasi sepanjang waktu. Aku tidak nyaman punya orang asing yang terus-menerus membuntutiku,” ucap Sasha pelan sambil menggigit bibir bawahnya. Harris tersenyum tipis, tetapi sorot matanya tegas. “Simon bukan orang asing lagi. Dia menyelamatkanmu hari ini, Sasha. Menurut Daddy, ini bukan tentang apa yang kau suka atau tidak suka. Daddy mempekerjakannya demi kebaikanmu.” Nada suara Harris yang tegas membuat Sasha terdiam. Wanita cantuik itu tahu ayahnya jarang membuat keputusan sepihak, tetapi sekali ayahnya mengambil keputusan, biasanya tidak ada ruang untuk penolakan. “Jadi, Daddy minta kau menerima keputusan ini,” lanjut Harris, tatapannya melunak sedikit. “Daddy hanya ingin memastikan bahwa kau aman, terutama saat aku pergi nanti. Demi kebaikanmu, Sasha.” Sasha sangat mengenal sang ayah dan tahu bahwa tidak ada yang bisa dia katakan untuk mengubah pendapat sang ayah. Dalam perasaan yang campur aduk, dia mengangguk kecil, meskipun jauh di dalam hatinya ada perasaan tidak puas. Tampak Simon yang kini berdiri tak jauh dari mereka, hanya menunduk sopan, tampak tenang seolah sudah siap menjalankan tugas barunya sebagai seorang pengawal pribadi. Namun balik rasa kesalnya, Sasha tak bisa menampik bahwa kehadiran Simon membuat perasaannya sedikit berubah, meskipun dia masih belum siap menerima kenyataan bahwa pria itu kini adalah pengawalnya. *** #Flashback ON Beberapa hari sebelumnya, Simon duduk di kantornya bersama Josie, sang asisten pribadi. Di meja, terhampar berkas-berkas tebal berisi profil para calon istri yang direkomendasikan ayahnya. Salah satu berkas menarik perhatian Simon adalah Sasha Vanderbilt. “Sasha Vanderbilt,” gumam Simon sambil membaca profilnya. “Buta, tidak banyak bicara, dan putri tunggal dari konglomerat Vanderbilt. Sempurna.” Josie mengangguk setuju. “Dia memang calon yang ideal, Tuan. Dia cantik, kaya, tidak banyak tuntutan, dan tidak akan mengganggu bisnis keluarga.” Simon tersenyum sinis. “Tapi bagaimana caranya agar dia mau menikah denganku? Dia pasti sudah banyak menolak lamaran.” “Kita bisa menggunakan pendekatan yang berbeda,” jawab Josie. “Misalnya, Tuan bisa berpura-pura menjadi pengawalnya. Kita bisa memanfaatkan rasa kesepian dan ketergantungan Nona Vanderbilt.” Simon menyeringai penuh arti. “Ide bagus, Josie. Kita mulai lusa.” #Flashback OFF“Nancy,” suara Sasha lembut, tapi tersirat terdengar tegas, “Bisa tolong bantu bereskan meja?” pintanya hangat pada pelayan yang bekerja di mansion keluarganya itu. Sore itu, udara taman terasa sejuk, dengan embus angin yang perlahan mulai menyejukkan kulit. Tampak Sasha duduk di bangku taman, baru saja selesai menikmati secangkir teh. Salah satu pelayan bernama Nancy, sedang sibuk menyiram tanaman di dekatnya. Sasha, dengan ketenangannya, mengulurkan tangan untuk meraih cangkir teh kosong, berniat membereskannya. Namun, Nancy tampaknya tidak mengindahkan permintaan itu. “Nanti saja, Nona, saya sedang sibuk dengan tanaman ini. Tinggalkan di sana, nanti saya yang bereskan,” jawab Nancy kembali sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Sasha menunduk, terdiam sejenak. Sebuah senyum tipis terbentuk di bibirnya, meski tidak ada kebahagiaan di baliknya. “Tapi ini harus segera dibereskan,” katanya pelan, berusaha tidak menuntut lebih. “Kalau begitu bereskan saja sendiri. Bukankah kau punya ta
“Apa kau sangat membutuhkan pekerjaan ini?” tanya Sasha dengan suara lembut. Wanita itu merasa gelisah dengan perkataan Simon. Dia tidak mau ada yang kehilangan pekerjaan hanya karena dirinya.Simon berdiri di belakangnya, mengamati reaksi Sasha atas keputusannya dengan hati-hati. Sejak pertama kali diangkat menjadi pengawal wanita itu, dia mulai terbiasa dengan kehadiran Sasha yang tak tergoyahkan. Sasha dengan segala keterbatasannya, tampak lebih mandiri dari banyak orang yang dia kenal. Namun semakin lama, Simon merasa ada sesuatu yang aneh, seperti magnet yang menariknya untuk tetap berada di dekat wanita itu. Ada rasa khawatir yang tak bisa dia lepaskan setiap kali melihat Sasha melangkah, berusaha berdiri di atas kakinya sendiri meskipun dunia di sekeliling wanita itu gelap gulita. “Ya. Kebanyakan orang harus bekerja untuk bertahan hidup. Sayangnya mencari pekerjaan bukan hal yang mudah. Tapi, kalau kau merasa tidak nyaman dengan kehadiranku, aku akan mengundurkan diri,” jawab
“Kurasa Sasha tidak akan menerimamu dengan mudah, tapi dia wanita yang baik. Aku yakin dia tidak akan terlalu merepotkanmu. Cukup jaga dia dengan baik selama aku pergi, dan aku akan memberimu imbalan yang besar ketika kembali nanti,” kata Harris mengingatkan Simon tentang sifat putrinya yang cukup keras kepala. Simon mengangguk sopan. “Baik, Tuan. Anda tidak perlu khawatir, saya akan mengatasi penolakan Nona Sasha.” Harris tersenyum samar, lalu kemudian memperkenalkan Simon pada dua pelayan yang berdiri di hadapannya. “Mereka adalah Nancy dan Maretha,” ujarnya, menunjuk dua wanita setengah baya dengan seragam rapi. “Mereka bertanggung jawab untuk memastikan mansion dan kebun tetap bersih dan terawat. Jika kau butuh apa-apa terkait kebersihan ruangan atau halaman, mereka yang akan membantumu.” Simon kembali mengangguk, dan kedua wanita setengah baya itu menatap sopan Simon seraya menundukkan kepala. Harris kemudian menunjuk seorang wanita bertubuh kecil yang berdiri di dekat pintu
“Apa kau bilang? Kau hampir saja ditabrak taksi? Bagaimana bisa?” seru seorang pria paruh baya bernama Harris, suaranya bergetar antara marah dan cemas, mendapatkan kabar yang mengunjang dirinya. “Sekarang katakan pada Daddy, apa kau benar-benar baik-baik saja? Kau tidak terluka, kan, Sasha?” tanyanya dengan nada menuntut agar putrinya menjawab. Sasha mengangguk lembut. “Dad, aku baik-baik saja. Aku memang terjatuh, tapi tidak terluka. Ada pria yang menolongku dan mengantarku pulang.” Ruang tamu mansion keluarga Vanderbilt dipenuhi ketegangan yang menyesakkan. Tampak Harris Vanderbilt berdiri tegak di hadapan Sasha, putrinya yang duduk tenang di sofa. Meski terlihat wajah Sasha sedikit panik, tapi rupanya wanita cantik itu mampu menenangkan kemarahan dan rasa khawatir Harris. “Pria yang menolongmu?” Harris terdiam sejenak, lalu pria paruh baya itu menoleh tajam ke arah pria berperawakan tampan dan gagah yang berdiri di dekat pintu. Pun tampak pria tampan itu membalas tatapan Harri