“Apa kau sangat membutuhkan pekerjaan ini?” tanya Sasha dengan suara lembut. Wanita itu merasa gelisah dengan perkataan Simon. Dia tidak mau ada yang kehilangan pekerjaan hanya karena dirinya.
Simon berdiri di belakangnya, mengamati reaksi Sasha atas keputusannya dengan hati-hati. Sejak pertama kali diangkat menjadi pengawal wanita itu, dia mulai terbiasa dengan kehadiran Sasha yang tak tergoyahkan. Sasha dengan segala keterbatasannya, tampak lebih mandiri dari banyak orang yang dia kenal.
Namun semakin lama, Simon merasa ada sesuatu yang aneh, seperti magnet yang menariknya untuk tetap berada di dekat wanita itu. Ada rasa khawatir yang tak bisa dia lepaskan setiap kali melihat Sasha melangkah, berusaha berdiri di atas kakinya sendiri meskipun dunia di sekeliling wanita itu gelap gulita.
“Ya. Kebanyakan orang harus bekerja untuk bertahan hidup. Sayangnya mencari pekerjaan bukan hal yang mudah. Tapi, kalau kau merasa tidak nyaman dengan kehadiranku, aku akan mengundurkan diri,” jawab Simon pada akhirnya.
Seketika Sasha tampak khawatir. “Lalu, apa rencanamu?”
Simon menyunggingkan senyum tipis. “Mencari kerja sampai dapat.”
“Dan bagaimana kalau kau tidak mendapatkannya?”
“Mungkin aku akan berjudi dengan sisa uangku. Siapa tahu aku menang besar.”
Sasha berdiri seraya meraba dinding. “Kalau kau tidak punya pekerjaan lalu berjudi, bukankah itu akan berbahaya? Bagaimana kalau kau kalah?” tanyanya tersirat khawatir.
“Kenapa kau begitu khawatir, Sasha? Semua manusia yang hidup sesungguhnya berjudi. Setiap keputusan yang kita buat adalah perjudian sebab bisa benar atau salah. Berhasil atau gagal. Menang atau kalah,” jawab Simon dengan nada tenang.
Sasha merenungi ucapan Simon. Pria itu sudah bersiap pergi ketika Sasha berkata, “Kau tidak perlu mengundurkan diri, Simon. Aku tidak minta macam-macam. Aku hanya ingin mengurus hidupku sendiri. Kau boleh menjadi pengawal pribadiku, tapi biarkan aku mengerjakan apa yang kubisa sendiri.”
Simon mengangguk. “Baiklah, keinginanmu akan aku turuti.”
“Kau bisa pergi sekarang, Simon. Aku akan kembali ke kamarku sendiri.” Sasha melangkah perlahan seraya meraba dinding.
“Izinkan aku mengawasimu dari kejauhan. Bukan untuk memata-mataimu tapi untuk menjagamu,” balas Simon tenang.
Tampaknya Sasha mengerti bahwa jika tidak ingin Simon dipecat, dia harus pura-pura membutuhkan bantuan. Ya, dengan hati-hati, dia meraba-raba dinding, lalu kursi, dan otomatis Simon mengulurkan bantuan. Beruntung, kali ini Sasha menerima bantuan dari Simon.
“Simon, sekarang jam berapa?” tanya Sasha lembut.
Simon melirik sekilas arloji yang ada di pergelangan tangannya. “Pukul dua siang. Kenapa?” balasnya bertanya.
“Sepertinya kau belum makan siang. Makanlah. Jaga kesehatan. Jangan sampai jatuh sakit,” jawab Sasha pelan.
Simon menatap Sasha dengan tatapan yang tidak bisa diungkapkan. Bagaimana wanita ini bisa begitu perhatian pada orang lain di saat dirinya sendiri butuh perhatian? Sungguh, perkataan Sasha membuat Simon terdiam sejenak.
“Simon, apa kau mendengarku?” panggil Sasha memastikan.“Aku mendengarmu. Nanti aku akan makan. Kau tidak perlu khawatir. Aku masih belum lapar,” jawab Simon tenang.
Sasha mengerjapkan mata beberapa kali. “Kau masih belum lapar? Benarkah? Ini sudah jam dua siang, Simon.”
Simon berdeham sebentar. “Aku akan makan jika aku sudah lapar. Kau jangan khawatir. Sekarang aku antar kau ke kamar. Kau mau kembali ke kamar, kan?”
Sasha mengangguk samar. “Ya, Simon. Aku ingin ke kamar.”
Simon langsung menuntun Sasha meninggalkan tempat mereka berada dengan hati-hati. Tampak kali ini Sasha sangat patuh di kala Simon menuntun. Wanita itu mengikuti setiap arahan Simon dalam melangkah.
***
Hari-hari berlalu dengan keheningan yang biasa, tapi bagi Simon, hari-hari itu terasa semakin panjang. Pria tampan itu mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar tugas seorang pengawal. Sasha yang selalu tampak tenang dan tidak pernah mengeluh, semakin membuatnya terperangah. Meskipun terlihat tidak banyak menuntut, tetapi dia menyadari ada sesuatu di balik sikap tenang Sasha yang mulai menarik perhatiannya dengan cara yang tak terduga.
Pada malam itu, mereka duduk bersama di meja makan besar di ruang makan mansion megah milik keluarga Vanderbilt. Udara di sekitar mereka terasa sedikit berat, meskipun perapian di sudut ruangan menyala dengan hangat. Tangan Sasha terulur untuk meraba piring di depannya, dan Simon mengamati setiap gerakan tubuh wanita itu dengan saksama. Dia memperhatikan dengan hati-hati bagaimana Sasha meraba, lalu berhenti sejenak untuk mencium aroma makanan.
Dorothy datang dengan sebuah piring berisi hidangan steak, tetapi Sasha langsung terbatuk keras begitu bumbu lada hitam yang terlalu pedas menggelitik tenggorokannya. Simon mendekatkan kursi sedikit, memperhatikan perubahan ekspresi wajah Sasha yang memerah. Wanita itu tampak tersiksa. Namun, meski tersengal, Sasha tidak mengomel. Wanita itu hanya menunduk sedikit, mengusap mulut dengan ujung jari.
“Dorothy,” kata Sasha, suaranya tetap tenang meskipun ada sedikit kesan canggung. “Bisa tolong ganti dengan hidangan yang tidak pedas? Ini terlalu banyak lada.”
“Kau tidak bisa makan pedas, Sasha?” Simon menyipitkan matanya saat melihat pelayan yang seharusnya sudah tahu preferensi makanan Sasha.
Sasha tersenyim tipis dan mengangguk sebagai jawaban.
Simon tampak kesal pada sang pelayan, yang malah menyajikan makanan pedas. Hal yang paling membuatnya semakin kesal yaitu Sasha tidak marah sama sekali pada sang pelayan. Malah Sasha berbicara dengan suara yang lembut dan pengertian seakan tidak mau merepotkan siapa pun.
“Baik, Nona,” jawab Dorothy sopan, lalu melangkah pergi meninggalkan ruang makan guna menyajikan menu makanan baru.
Setelah pelayan pergi, Simon menatap Sasha lebih lama dari biasanya. Tiba-tiba saja pria tampan itu merasa khawatir. Tidak, lebih tepatnya, dia merasa prihatin. Sasha adalah wanita yang tidak banyak menuntut, terlalu penurut, dan terlalu berusaha untuk membuat orang lain nyaman, bahkan jika itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.
Simon tahu bahwa sikap seperti itu hanya akan membuat wanita itu bisa disepelekan oleh orang-orang di sekitarnya, terutama para pelayan yang seharusnya lebih memperhatikan kebutuhannya.
“Sasha,” kata Simon setelah beberapa saat, suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya. “Kenapa kau tidak memarahi Dorothy? Bukankah seharusnya dia tahu kau tidak bisa makan makanan sepedas itu?”
Sasha lagi-lagi tersenyum tipis, meskipun Simon tahu senyuman itu tidak sepenuhnya tulus. “Tidak ada gunanya marah. Semua orang di sekitarku sudah cukup sibuk dengan kehidupan mereka. Aku tidak ingin menjadi beban.”
Simon diam sejenak, merasa ada sesuatu yang terpendam dalam kalimat itu. Selama beberapa hari terakhir, dia sudah mulai menyadari bahwa Sasha berusaha keras untuk tidak merepotkan orang lain. Bahkan ketika Sasha seharusnya menerima bantuan, wanita itu lebih memilih untuk melakukan semua sendiri. Itu membuat Simon semakin khawatir, karena wanita itu, dengan segala kelembutan, terlalu sering menahan perasaan demi orang lain.
“Aku tidak peduli kalau kau merasa tidak ingin merepotkan orang lain,” kata Simon dengan nada lebih tegas. “Tapi kau bukanlah beban, Sasha. Tidak seorang pun di sini menganggapmu beban.”
Sasha menundukkan kepalanya, seolah mencerna kata-kata Simon. Beberapa detik berlalu sebelum dia mengangkat wajahnya dan menghadap Simon. “Aku tidak tahu harus bagaimana, Simon,” katanya, dengan suara lembut. “Aku sudah terbiasa dengan caraku seperti ini.”
Simon merasa hatinya berdebar lebih cepat, meskipun dia berusaha menyembunyikannya. “Kau seharusnya tidak terbiasa dengan cara itu.” Pria tampan itu melangkah sedikit lebih dekat, mendekatkan tubuhnya ke tubuh Sasha yang duduk tegak. “Kau berhak untuk merasa dihargai. Kau berhak untuk meminta apa pun yang kau inginkan. Tidak ada salahnya meminta perhatian.”
Sasha menghentikan makannya. Dalam beberapa detik, dia dan Simon saling terdiam dalam keheningan yang penuh dengan ketegangan. Keheningan itu memikat, bahkan terasa hampir sensual. Meskipun Sasha tidak bisa melihat, tetapi Simon tahu bahwa Sasha bisa merasakan kehadiran pria itu. Sasha kini bisa merasakan ketegangan yang perlahan meningkat di udara antara mereka.
Tangan Simon yang dingin bergerak sedikit mendekat, dengan hati-hati menyentuh punggung tangan Sasha yang sepertinya masih merasa tidak nyaman. “Kau tidak perlu merasa takut, Sasha,” kata Simon pelan, suaranya rendah dan penuh perhatian yang tak biasa.
Sasha terdiam, tubuhnya seolah merespon sentuhan Simon, meskipun dia tidak bergerak. Ada sesuatu dalam dirinya yang terguncang. Wanita itu tidak mengerti sepenuhnya. Ada sesuatu dalam diri Simon yang membuatnya merasa lebih hidup, lebih bersemangat, bahkan di tengah keterbatasannya.
“Kenapa kau begitu baik padaku, Simon?” suara Sasha akhirnya terdengar lagi, lembut tetapi penuh rasa penasaran. “Kurasa kau bukan orang yang sering menunjukkan perhatian. Jadi, kenapa kau begitu peduli padaku?” tanyanya pelan.
Simon menatap Sasha dengan tatapan lekat, tetapi ada kelembutan yang tak terucapkan dalam sorot mata pria tampan itu. “Mungkin karena kau berbeda dari yang lain,” jawabnya dengan jujur, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Kau tidak menuntut apa-apa, tapi menurutku kau pantas mendapatkan lebih dari itu, Sasha.”
“Nancy,” suara Sasha lembut, tapi tersirat terdengar tegas, “Bisa tolong bantu bereskan meja?” pintanya hangat pada pelayan yang bekerja di mansion keluarganya itu. Sore itu, udara taman terasa sejuk, dengan embus angin yang perlahan mulai menyejukkan kulit. Tampak Sasha duduk di bangku taman, baru saja selesai menikmati secangkir teh. Salah satu pelayan bernama Nancy, sedang sibuk menyiram tanaman di dekatnya. Sasha, dengan ketenangannya, mengulurkan tangan untuk meraih cangkir teh kosong, berniat membereskannya. Namun, Nancy tampaknya tidak mengindahkan permintaan itu. “Nanti saja, Nona, saya sedang sibuk dengan tanaman ini. Tinggalkan di sana, nanti saya yang bereskan,” jawab Nancy kembali sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Sasha menunduk, terdiam sejenak. Sebuah senyum tipis terbentuk di bibirnya, meski tidak ada kebahagiaan di baliknya. “Tapi ini harus segera dibereskan,” katanya pelan, berusaha tidak menuntut lebih. “Kalau begitu bereskan saja sendiri. Bukankah kau punya ta
“Apa kau sangat membutuhkan pekerjaan ini?” tanya Sasha dengan suara lembut. Wanita itu merasa gelisah dengan perkataan Simon. Dia tidak mau ada yang kehilangan pekerjaan hanya karena dirinya.Simon berdiri di belakangnya, mengamati reaksi Sasha atas keputusannya dengan hati-hati. Sejak pertama kali diangkat menjadi pengawal wanita itu, dia mulai terbiasa dengan kehadiran Sasha yang tak tergoyahkan. Sasha dengan segala keterbatasannya, tampak lebih mandiri dari banyak orang yang dia kenal. Namun semakin lama, Simon merasa ada sesuatu yang aneh, seperti magnet yang menariknya untuk tetap berada di dekat wanita itu. Ada rasa khawatir yang tak bisa dia lepaskan setiap kali melihat Sasha melangkah, berusaha berdiri di atas kakinya sendiri meskipun dunia di sekeliling wanita itu gelap gulita. “Ya. Kebanyakan orang harus bekerja untuk bertahan hidup. Sayangnya mencari pekerjaan bukan hal yang mudah. Tapi, kalau kau merasa tidak nyaman dengan kehadiranku, aku akan mengundurkan diri,” jawab
“Kurasa Sasha tidak akan menerimamu dengan mudah, tapi dia wanita yang baik. Aku yakin dia tidak akan terlalu merepotkanmu. Cukup jaga dia dengan baik selama aku pergi, dan aku akan memberimu imbalan yang besar ketika kembali nanti,” kata Harris mengingatkan Simon tentang sifat putrinya yang cukup keras kepala. Simon mengangguk sopan. “Baik, Tuan. Anda tidak perlu khawatir, saya akan mengatasi penolakan Nona Sasha.” Harris tersenyum samar, lalu kemudian memperkenalkan Simon pada dua pelayan yang berdiri di hadapannya. “Mereka adalah Nancy dan Maretha,” ujarnya, menunjuk dua wanita setengah baya dengan seragam rapi. “Mereka bertanggung jawab untuk memastikan mansion dan kebun tetap bersih dan terawat. Jika kau butuh apa-apa terkait kebersihan ruangan atau halaman, mereka yang akan membantumu.” Simon kembali mengangguk, dan kedua wanita setengah baya itu menatap sopan Simon seraya menundukkan kepala. Harris kemudian menunjuk seorang wanita bertubuh kecil yang berdiri di dekat pintu
“Apa kau bilang? Kau hampir saja ditabrak taksi? Bagaimana bisa?” seru seorang pria paruh baya bernama Harris, suaranya bergetar antara marah dan cemas, mendapatkan kabar yang mengunjang dirinya. “Sekarang katakan pada Daddy, apa kau benar-benar baik-baik saja? Kau tidak terluka, kan, Sasha?” tanyanya dengan nada menuntut agar putrinya menjawab. Sasha mengangguk lembut. “Dad, aku baik-baik saja. Aku memang terjatuh, tapi tidak terluka. Ada pria yang menolongku dan mengantarku pulang.” Ruang tamu mansion keluarga Vanderbilt dipenuhi ketegangan yang menyesakkan. Tampak Harris Vanderbilt berdiri tegak di hadapan Sasha, putrinya yang duduk tenang di sofa. Meski terlihat wajah Sasha sedikit panik, tapi rupanya wanita cantik itu mampu menenangkan kemarahan dan rasa khawatir Harris. “Pria yang menolongmu?” Harris terdiam sejenak, lalu pria paruh baya itu menoleh tajam ke arah pria berperawakan tampan dan gagah yang berdiri di dekat pintu. Pun tampak pria tampan itu membalas tatapan Harri