Home / Romansa / Pengawal Setia Gadis Buta / Bab 4. Seseorang yang Peduli

Share

Bab 4. Seseorang yang Peduli

Author: SecretAK
last update Last Updated: 2025-04-12 09:59:06

“Nancy,” suara Sasha lembut, tapi tersirat terdengar tegas, “Bisa tolong bantu bereskan meja?” pintanya hangat pada pelayan yang bekerja di mansion keluarganya itu. 

Sore itu, udara taman terasa sejuk, dengan embus angin yang perlahan mulai menyejukkan kulit. Tampak Sasha duduk di bangku taman, baru saja selesai menikmati secangkir teh. Salah satu pelayan bernama Nancy, sedang sibuk menyiram tanaman di dekatnya. 

Sasha, dengan ketenangannya, mengulurkan tangan untuk meraih cangkir teh kosong, berniat membereskannya. Namun, Nancy tampaknya tidak mengindahkan permintaan itu. 

“Nanti saja, Nona, saya sedang sibuk dengan tanaman ini. Tinggalkan di sana, nanti saya yang bereskan,” jawab Nancy kembali sibuk dengan aktivitasnya sendiri. 

Sasha menunduk, terdiam sejenak. Sebuah senyum tipis terbentuk di bibirnya, meski tidak ada kebahagiaan di baliknya. “Tapi ini harus segera dibereskan,” katanya pelan, berusaha tidak menuntut lebih. 

“Kalau begitu bereskan saja sendiri. Bukankah kau punya tangan?” balas Nancy yang ketus pada Sasha. Rasa kesal muncul, karena Sasha memaksanya mengerjakan sesuatu, padahal pekerjaannya belum selesai. 

Sasha yang mendapatkan respons seperti itu dari Nancy, langsung mulai mengumpulkan cangkir dan teko teh, meski jelas bahwa ini adalah pekerjaan yang seharusnya tidak perlu dia lakukan. Akan tetapi, dia malas untuk berargumen. 

Simon, yang sedari tadi berdiri beberapa langkah di belakang, memperhatikan gerak-gerik Sasha dengan cermat. Tidak ada kata yang terucap dari Simon yang sebenarnya kesal melihat perlakukan Nancy pada majikannya. Mata pria tampan itu yang tajam mengikuti setiap gerakan Sasha. Dia tahu Sasha berusaha melakukan semuanya sendiri, meskipun itu membuatnya kesulitan. Dia menghela napas pelan berusaha meredam amarah.

Pada saat mereka sedang berjalan, tiba-tiba Sasha tersandung akar pohon yang tersembunyi di bawah rumput, dan dalam sekejap, seluruh barang pecah belah yang dipegangnya jatuh ke tanah. Saat hendak bangun, Sasha itu mencari pijakan dengan tangannya dan tak sengaja menekan pecahan cangkir. Sasha merasakan tusukan rasa sakit di telapak tangannya yang terkena pecahan itu dan darah mengalir dari lukanya. Hal yang wanita itu lakukan sekarang hanya terdiam sesaat, mencoba menahan rasa sakit. 

Simon segera berlari menghampiri Sasha. “Apa yang kau lakukan, Sasha?” tanyanya, suaranya lebih keras dari biasanya, penuh kecemasan yang sulit pria tampan itu sembunyikan.

“Aku baik-baik saja, Simon. Kau tidak usah khawatir,” jawab Sasha pelan, berusaha menyembunyikan apa yang dirasakannya. Dia seolah-olah tidak ingin membuat orang kasihan padanya. 

“Apa kau bilang? Tidak usah khawatir?! Telapak tanganmu hampir terbelah, bagaimana kau bisa baik-baik saja?” bentakan Simon lantang mengudara dan cukup kuat. 

Simon menatap pecahan cangkir yang berhamburan di sekitar mereka, wajahnya mengeras. “Nancy!” Pria tampan itu memanggil pelayan itu dengan suara yang membentak, membuat semua yang ada di taman itu terdiam. “Kau tahu tugasmu! Bagaimana bisa kau membiarkan dia melakukan ini sendirian?”

Nancy, yang berdiri beberapa meter di sana, tampak terkejut mendengar kemarahan Simon. “Tapi saya ... saya tidak tahu—”

“Cukup!” Simon memotong dengan suara dingin yang menusuk. “Kau mengabaikan perintah Sasha, dan sekarang lihat apa yang terjadi. Jika kau tidak bisa menjalankan tugasmu dengan benar, aku akan memberitahukan ayah Sasha tentang insinden ini.”

Sasha yang sudah mulai mencoba berdiri dengan bantuan Simon, menarik napas panjang. “Simon …” Suaranya rendah, berusaha menenangkan situasi yang semakin memanas. “Itu tidak perlu.”

Simon menatap Sasha dengan mata yang tajam, tidak memedulikan kata-kata Sasha. “Tidak. Kau tidak harus menanggung semua ini sendirian.” Tangannya bergerak ke arah luka di tangan Sasha, dengan lembut menyentuh kulitnya yang terluka. “Kau pantas diperlakukan lebih baik dari ini, Sasha.”

Sasha tidak bisa menjawab. Ada sesuatu dalam diri Simon yang begitu melindungi, meskipun pria itu sendiri terlihat selalu dingin dan terjaga. Sentuhan tangan Simon pada tangannya begitu lembut, sekalipun amarahnya terlihat jelas. Dalam keheningan itu, Sasha merasa hati mereka bergetar dalam ritme yang sama, meskipun dia tak bisa melihatnya.

Nancy kini terdiam, akhirnya berjalan mendekat, wajahnya tampak khawatir dan terselimuti rasa takut yang membentang di dalam diri. “Saya akan segera membereskannya, Tuan Simon. Saya minta maaf.”

Simon menatap Sasha dengan tajam. “Kau lebih baik ingat, semua orang di sini harus memperlakukan Sasha dengan hormat. Jika tidak, aku tidak segan-segan untuk melaporkan ini kepada Tuan Vanderbilt.” Suaranya kembali tenang, tapi penuh tekanan serta tersirat ancaman yang tak main-main. 

Ya, perkataan lantang Simon berhasil membungkam pelayan di sana. Bahkan pelayan yang ada di sana hanya bisa menunduk tak bisa berkata apa pun di kala mendengar ancaman Simon. Sementara Sasha tak bersuara apa pun di kala mendengar Simon dengan ekspresi yang sulit terbaca.

Ada ketegangan yang membungkus diri Sasha, tetapi pada saat yang sama, dia merasa sesuatu yang tak terungkapkan. Sebuah rasa aman yang asing, dan tak pernah dia rasakan sebelumnya. Mungkin karena Simon, meskipun tetap menjaga jarak, ternyata Simon adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli.

Simon menghampiri Sasha lalu berkata dengan nada tenang, “Aku akan membawamu ke rumah sakit untuk merawat luka ini.”

Sasha hanya bisa mengangguk menanggapi ucapan Simon. 

***

Luka di telapak tangan Sasha yang cukup dalam telah dijahit dengan rapi, tetapi sakitnya masih membekas. Wanita cantik itu berusaha tersenyum saat perawat meninggalkannya, meskipun matanya yang tak melihat dunia sekitar tak bisa mengungkapkan kebahagiaan seperti yang dirasakannya.

Pintu ruang rawat terbuka dengan suara pelan, dan Simon masuk. Sosok tinggi dan misterius itu berjalan dengan langkah mantap.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Simon dengan nada datar, meskipun ada kekhawatiran yang samar terdengar dalam suara rendahnya.

Sasha mengangguk, mencoba memberi kesan bahwa semuanya baik-baik saja. “Aku merasa lebih baik.”

Simon menatap Sasha dengan tatapan yang sulit diartikan, tetapi amarahnya tak terbendung. “Kau ini terbuat dari apa sebenarnya? Telapak tanganmu mengeluarkan darah cukup banyak. Apa kau pikir itu baik-baik saja? Kenapa kau tidak marah? Tidak menjerit? Tidak menangis? Kenapa, Sasha?” serunya menuntut jawaban. 

Sasha terdiam sejenak. Wanita cantik itu malah melukiskan senyuman tipis di wajahnya. “Kau mirip seperti ayahku yang sering memarahiku.” 

Simon menatap dalam Sasha yang tampak tenang. “Maaf jika aku berlebihan dan emosional. Tapi, kau juga harus bisa tegas pada mereka yang tidak menghargaimu, Sasha.”

Sasha memilih untuk tetap diam, dan udara di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih berat. Sementara Simon melanjutkan dengan nada lebih serius, “Kau bukan anak tiri mereka. Itu rumahmu, bukan rumah mereka. Jangan biarkan para pelayan itu memperlakukanmu seolah-olah kau hanyalah beban. Kau tidak perlu berbakti atau menjadi sosok penurut yang bisa mereka tindas sesuka hati.”

Sasha menundukkan kepala, merasakan setiap kata yang keluar dari bibir Simon menusuk jauh ke dalam hatinya. Dia tak pernah benar-benar mendengarkan nasihat itu, tapi sekarang, entah mengapa, semuanya terasa berbeda.

“Apa kau mengerti maksudku?” tanya Simon dengan lembut, meski tetap tegas.

Sasha mengangguk pelan. “Aku paham, Simon.” 

Di ruang yang sunyi itu, Simon menyandarkan tubuhnya di samping ranjang, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit kelembutan di wajahnya yang biasanya dingin dan tak terbaca. “Jadi, apa alasanmu membiarkan mereka memperlakukanmu begitu?” tanyanya, suaranya lebih pelan sekarang.

Sasha menarik napas panjang, seolah mencoba mengumpulkan kata-kata. “Ayahku jarang di rumah. Jika aku melapor padanya, itu tidak akan mengubah apa pun. Dia sibuk dengan pekerjaannya, dan aku … aku hanya ingin semuanya tetap damai. Setiap saat aku merasa … aku hanya sebuah beban bagi banyak orang.” 

Simon menatap Sasha lebih dalam dari sebelumnya. Hatinya tergerus oleh kesedihan yang terpendam dalam setiap kata yang diucapkan Sasha. Tanpa sadar, tangannya menggenggam tangan kiri Sasha yang terbalut perban.

“Mulai sekarang aku akan menjagamu,” kata Simon, dengan suaranya penuh tekad dan janji. “Tidak ada yang boleh kurang ajar padamu lagi, Sasha. Aku akan memastikan itu. Kau tidak sendiri.”

Sasha terdiam sejenak, perasaan hangat mengalir di dalam dirinya, mengusir rasa sepi yang selama ini menemani. Pertama kalinya, dia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli, seseorang yang akan melindunginya, tanpa ada syarat apa pun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengawal Setia Gadis Buta   Bab 12. Penyamaran yang Terbongkar

    “Jadi, apa rencana Anda setelah ini, Tuan?” tanya Josie sambil menatap sopan pada Simon yang duduk di sofa dengan ekspresi lelah. Asisten pribadi Simon itu selalu sigap, agar selalu bisa membantu tuannya dalam hal apa pun.Simon mendesah panjang, melipat tangannya di dada. “Sebenarnya aku ingin tidur sepanjang hari. Tapi, entah kenapa pikiranku tidak tenang karena harus meninggalkan Sasha bersama Anna di kediaman Vanderbilt.”Josie mengerutkan kening, lalu tersenyum tipis. “Tuan, Anda tahu Nona Sasha aman. Di sana ada dua pelayan kepercayaan baru keluarga Anda yang sudah Anda seleksi sendiri. Ditambah lagi, ada para penjaga yang Anda minta melapor setiap kali Anna membawa Nona Sasha keluar rumah. Saya rasa sekarang Anda harus mencoba santai sejenak. Anda terlalu banyak mencemaskan Nona Sasha.”Simon menghela napas panjang. Pria tampan itu tahu bahwa Josie benar, tetapi firasat itu tetap menghantui pikirannya. Dia memalingkan pandangannya ke jendela, menatap kosong ke luar.“Aku tahu.

  • Pengawal Setia Gadis Buta   Bab 11. Hampir Ketahuan

    “Simon? Simon Kingsley? Itu kau, kan?”Langkah Simon terhenti mendadak. Jantungnya berdegup kencang, tetapi wajahnya tetap tenang. Suara itu berasal dari seorang pria paruh baya yang berdiri tidak jauh dari mereka—kolega ayahnya. Ini adalah salah satu pertemuan yang paling dia hindari.Simon segera mengeluarkan ponselnya, mengetik beberapa kata dengan cepat, lalu melangkah mendekati pria paruh baya itu tersebut sambil memasang senyum tipis. Dia menunjukkan layar ponselnya kepada pria paruh baya itu tanpa berkata apa-apa.Pria paruh baya itu membaca pesan yang tertulis: Aku sedang menyamar. Jangan sampai dia tahu. Kumohon, bantu aku.Pria paruh baya itu tampak bingung sesaat, tetapi tatapan Simon memancarkan desakan yang sulit diabaikan. Pria paruh baya itu akhirnya tersenyum kikuk, lalu berkata, “Ah, maaf. Sepertinya aku salah orang.”Sasha yang berdiri tidak jauh dari Simon, memiringkan kepala, merasa ada sesuatu yang aneh. “Simon? Ada apa?” tanyanya pelan, suaranya terdengar waspada

  • Pengawal Setia Gadis Buta   Bab 10. Hari Menyenangkan

    Malam itu udara cukup dingin, tetapi suasana di rumah Sasha jauh lebih dingin daripada cuaca di luar. Terlihat di ruang tamu, Dorothy dan Maretha berdiri dengan wajah tertekan, koper kecil di sisi mereka. Sementara Sasha duduk di kursinya dengan tangan terlipat di pangkuan, ekspresinya sedih.“Nona, tolong jangan usir kami!” Maretha memohon lebih dulu.Dorothy menyusul, dia berlutut di kaki Sasha. “Nona, maafkan kami! Kami tidak akan melakukannya lagi, sungguh!”“Dorothy, Maretha,” kata Sasha akhirnya, suaranya lembut tetapi terdengar tegas. “Aku tidak pernah menyangka kalian tega melakukan itu. Aku percaya pada kalian … tapi ini sudah terlalu jauh.”Dorothy mencoba berbicara, suaranya penuh penyesalan palsu. “Nona Sasha, tolong beri kami kesempatan lagi. Kami bersumpah tidak akan mengulangi hal ini. Berikan kami satu saja kesempatan untuk memperbaiki kesalahan kami, Nona.”Sasha menggelengkan kepala, wajahnya menunduk mencoba meneguhkan dirinya bahwa keputusannya tidak salah sama sek

  • Pengawal Setia Gadis Buta   Bab 9. Memotong Akar Busuk

    “Dorothy,” panggil Sasha dengan nada lembut. “Bisakah kau buatkan aku dua panna cotta? Aku ingin menikmatinya bersama teh,” lanjutnya meminta tolong pada Dorothy.Siang itu, matahari bersinar terik, membuat hawa di dalam mansion terasa lebih hangat dari biasanya. Sasha duduk di ruang makan dengan tenang, dan ingin sesuatu makanan yang segar.Dorothy muncul dari dapur dengan ekspresi malas seperti biasa. “Bahan-bahannya hanya cukup untuk satu,” jawabnya ketus.Sasha tampak kecewa sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, buatkan satu saja untukku. Dan ... aku juga ingin pai apel. Aku ingin memberikannya pada Simon sebagai ucapan terima kasih.”Dorothy mendadak menyeringai, ide licik terlintas di benaknya. “Baik, Nona Sasha,” jawabnya dengan nada manis yang dibuat-buat. Dia berbalik menuju dapur sambil mendekat pada Maretha yang kebetulan ada di sana.“Maretha,” panggil Dorthy sambil menepuk lengan Maretha.Maretha menatap Dorothy. “Iya, ada apa, Dorothy?”Dorothy tersenyum licik.

  • Pengawal Setia Gadis Buta   Bab 8. Kebohongan?

    Sudah tiga hari, hubungan antara Sasha dan Simon terasa canggung. Sasha terus berusaha menjaga jarak, sementara Simon hanya bisa menatap wanita itu dari jauh. Ya, Simon bertindak menatap Sasha dari jauh tentunya agar Sasha jauh lebih nyaman, karena kondisi sekarang berbeda—di mana Sasha sedang dalam hasutan.Siang itu, Anna datang berkunjung ke mansion Sasha. Anna adalah wanita ceria dengan mata tajam yang selalu mampu membaca suasana. Begitu memasuki ruang tamu, dia langsung menyadari ada sesuatu yang salah.“Sasha, apa yang terjadi?” tanya Anna sambil duduk di sofa, menatap sahabatnya yang tampak gelisah.“Tidak ada apa-apa,” jawab Sasha, berusaha tersenyum tapi gagal.Anna menyipitkan matanya. “Jangan bohong. Aku tahu ada sesuatu. Kau dan Simon kelihatan aneh. Biasanya kalian selalu dekat, tapi sekarang malah seperti dua orang asing.”Sasha menghela napas panjang, akhirnya menyerah. “Aku ... aku dengar sesuatu tentang Simon.”“Apa yang kau dengar?” Anna bertanya, penasaran.“Katany

  • Pengawal Setia Gadis Buta   Bab 7. Hasutan Keji

    Pagi menyapa, Sasha duduk di ruang tengah dengan secangkir teh hangat di tangannya. Meski tidak bisa melihat, dia tahu suasana di rumah sedikit lebih tenang pagi itu. Langkah ringan terdengar mendekat, dan tak lama kemudian suara Dorothy yang pelan tapi canggung menyapanya.“Nona Sasha,” kata Dorothy, suaranya terdengar sedikit berbeda dari biasanya.Sasha mengangkat wajahnya. “Dorothy? Ada apa?”Dorothy menarik napas dalam, lalu berkata dengan nada penuh penyesalan, “Saya ingin meminta maaf untuk kejadian kemarin. Saya benar-benar tidak bermaksud seperti itu. Itu ... kesalahan saya. Saya sadar saya sudah terlalu kasar. Sekali lagi maafkan saya, Nona.”Sasha terdiam sejenak mndengar apa yang dikatakan oleh Dorothy, dan mencoba merasakan ketulusan dari kata-kata Dorothy. Dia bisa membaca ekspresi wajah, tetapi nada Dorothy terdengar cukup meyakinkan dirinya.“Tidak apa-apa, Dorothy,” jawab Sasha akhirnya, suaranya lembut seperti biasa. “Semua orang pernah melakukan kesalahan. Aku sudah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status