“Nancy,” suara Sasha lembut, tapi tersirat terdengar tegas, “Bisa tolong bantu bereskan meja?” pintanya hangat pada pelayan yang bekerja di mansion keluarganya itu.
Sore itu, udara taman terasa sejuk, dengan embus angin yang perlahan mulai menyejukkan kulit. Tampak Sasha duduk di bangku taman, baru saja selesai menikmati secangkir teh. Salah satu pelayan bernama Nancy, sedang sibuk menyiram tanaman di dekatnya. Sasha, dengan ketenangannya, mengulurkan tangan untuk meraih cangkir teh kosong, berniat membereskannya. Namun, Nancy tampaknya tidak mengindahkan permintaan itu. “Nanti saja, Nona, saya sedang sibuk dengan tanaman ini. Tinggalkan di sana, nanti saya yang bereskan,” jawab Nancy kembali sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Sasha menunduk, terdiam sejenak. Sebuah senyum tipis terbentuk di bibirnya, meski tidak ada kebahagiaan di baliknya. “Tapi ini harus segera dibereskan,” katanya pelan, berusaha tidak menuntut lebih. “Kalau begitu bereskan saja sendiri. Bukankah kau punya tangan?” balas Nancy yang ketus pada Sasha. Rasa kesal muncul, karena Sasha memaksanya mengerjakan sesuatu, padahal pekerjaannya belum selesai. Sasha yang mendapatkan respons seperti itu dari Nancy, langsung mulai mengumpulkan cangkir dan teko teh, meski jelas bahwa ini adalah pekerjaan yang seharusnya tidak perlu dia lakukan. Akan tetapi, dia malas untuk berargumen. Simon, yang sedari tadi berdiri beberapa langkah di belakang, memperhatikan gerak-gerik Sasha dengan cermat. Tidak ada kata yang terucap dari Simon yang sebenarnya kesal melihat perlakukan Nancy pada majikannya. Mata pria tampan itu yang tajam mengikuti setiap gerakan Sasha. Dia tahu Sasha berusaha melakukan semuanya sendiri, meskipun itu membuatnya kesulitan. Dia menghela napas pelan berusaha meredam amarah. Pada saat mereka sedang berjalan, tiba-tiba Sasha tersandung akar pohon yang tersembunyi di bawah rumput, dan dalam sekejap, seluruh barang pecah belah yang dipegangnya jatuh ke tanah. Saat hendak bangun, Sasha itu mencari pijakan dengan tangannya dan tak sengaja menekan pecahan cangkir. Sasha merasakan tusukan rasa sakit di telapak tangannya yang terkena pecahan itu dan darah mengalir dari lukanya. Hal yang wanita itu lakukan sekarang hanya terdiam sesaat, mencoba menahan rasa sakit. Simon segera berlari menghampiri Sasha. “Apa yang kau lakukan, Sasha?” tanyanya, suaranya lebih keras dari biasanya, penuh kecemasan yang sulit pria tampan itu sembunyikan. “Aku baik-baik saja, Simon. Kau tidak usah khawatir,” jawab Sasha pelan, berusaha menyembunyikan apa yang dirasakannya. Dia seolah-olah tidak ingin membuat orang kasihan padanya. “Apa kau bilang? Tidak usah khawatir?! Telapak tanganmu hampir terbelah, bagaimana kau bisa baik-baik saja?” bentakan Simon lantang mengudara dan cukup kuat. Simon menatap pecahan cangkir yang berhamburan di sekitar mereka, wajahnya mengeras. “Nancy!” Pria tampan itu memanggil pelayan itu dengan suara yang membentak, membuat semua yang ada di taman itu terdiam. “Kau tahu tugasmu! Bagaimana bisa kau membiarkan dia melakukan ini sendirian?” Nancy, yang berdiri beberapa meter di sana, tampak terkejut mendengar kemarahan Simon. “Tapi saya ... saya tidak tahu—” “Cukup!” Simon memotong dengan suara dingin yang menusuk. “Kau mengabaikan perintah Sasha, dan sekarang lihat apa yang terjadi. Jika kau tidak bisa menjalankan tugasmu dengan benar, aku akan memberitahukan ayah Sasha tentang insinden ini.” Sasha yang sudah mulai mencoba berdiri dengan bantuan Simon, menarik napas panjang. “Simon …” Suaranya rendah, berusaha menenangkan situasi yang semakin memanas. “Itu tidak perlu.” Simon menatap Sasha dengan mata yang tajam, tidak memedulikan kata-kata Sasha. “Tidak. Kau tidak harus menanggung semua ini sendirian.” Tangannya bergerak ke arah luka di tangan Sasha, dengan lembut menyentuh kulitnya yang terluka. “Kau pantas diperlakukan lebih baik dari ini, Sasha.” Sasha tidak bisa menjawab. Ada sesuatu dalam diri Simon yang begitu melindungi, meskipun pria itu sendiri terlihat selalu dingin dan terjaga. Sentuhan tangan Simon pada tangannya begitu lembut, sekalipun amarahnya terlihat jelas. Dalam keheningan itu, Sasha merasa hati mereka bergetar dalam ritme yang sama, meskipun dia tak bisa melihatnya. Nancy kini terdiam, akhirnya berjalan mendekat, wajahnya tampak khawatir dan terselimuti rasa takut yang membentang di dalam diri. “Saya akan segera membereskannya, Tuan Simon. Saya minta maaf.”Simon menatap Sasha dengan tajam. “Kau lebih baik ingat, semua orang di sini harus memperlakukan Sasha dengan hormat. Jika tidak, aku tidak segan-segan untuk melaporkan ini kepada Tuan Vanderbilt.” Suaranya kembali tenang, tapi penuh tekanan serta tersirat ancaman yang tak main-main.
Ya, perkataan lantang Simon berhasil membungkam pelayan di sana. Bahkan pelayan yang ada di sana hanya bisa menunduk tak bisa berkata apa pun di kala mendengar ancaman Simon. Sementara Sasha tak bersuara apa pun di kala mendengar Simon dengan ekspresi yang sulit terbaca. Ada ketegangan yang membungkus diri Sasha, tetapi pada saat yang sama, dia merasa sesuatu yang tak terungkapkan. Sebuah rasa aman yang asing, dan tak pernah dia rasakan sebelumnya. Mungkin karena Simon, meskipun tetap menjaga jarak, ternyata Simon adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli. Simon menghampiri Sasha lalu berkata dengan nada tenang, “Aku akan membawamu ke rumah sakit untuk merawat luka ini.” Sasha hanya bisa mengangguk menanggapi ucapan Simon. *** Luka di telapak tangan Sasha yang cukup dalam telah dijahit dengan rapi, tetapi sakitnya masih membekas. Wanita cantik itu berusaha tersenyum saat perawat meninggalkannya, meskipun matanya yang tak melihat dunia sekitar tak bisa mengungkapkan kebahagiaan seperti yang dirasakannya. Pintu ruang rawat terbuka dengan suara pelan, dan Simon masuk. Sosok tinggi dan misterius itu berjalan dengan langkah mantap.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Simon dengan nada datar, meskipun ada kekhawatiran yang samar terdengar dalam suara rendahnya.
Sasha mengangguk, mencoba memberi kesan bahwa semuanya baik-baik saja. “Aku merasa lebih baik.” Simon menatap Sasha dengan tatapan yang sulit diartikan, tetapi amarahnya tak terbendung. “Kau ini terbuat dari apa sebenarnya? Telapak tanganmu mengeluarkan darah cukup banyak. Apa kau pikir itu baik-baik saja? Kenapa kau tidak marah? Tidak menjerit? Tidak menangis? Kenapa, Sasha?” serunya menuntut jawaban. Sasha terdiam sejenak. Wanita cantik itu malah melukiskan senyuman tipis di wajahnya. “Kau mirip seperti ayahku yang sering memarahiku.” Simon menatap dalam Sasha yang tampak tenang. “Maaf jika aku berlebihan dan emosional. Tapi, kau juga harus bisa tegas pada mereka yang tidak menghargaimu, Sasha.” Sasha memilih untuk tetap diam, dan udara di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih berat. Sementara Simon melanjutkan dengan nada lebih serius, “Kau bukan anak tiri mereka. Itu rumahmu, bukan rumah mereka. Jangan biarkan para pelayan itu memperlakukanmu seolah-olah kau hanyalah beban. Kau tidak perlu berbakti atau menjadi sosok penurut yang bisa mereka tindas sesuka hati.” Sasha menundukkan kepala, merasakan setiap kata yang keluar dari bibir Simon menusuk jauh ke dalam hatinya. Dia tak pernah benar-benar mendengarkan nasihat itu, tapi sekarang, entah mengapa, semuanya terasa berbeda.“Apa kau mengerti maksudku?” tanya Simon dengan lembut, meski tetap tegas.
Sasha mengangguk pelan. “Aku paham, Simon.” Di ruang yang sunyi itu, Simon menyandarkan tubuhnya di samping ranjang, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit kelembutan di wajahnya yang biasanya dingin dan tak terbaca. “Jadi, apa alasanmu membiarkan mereka memperlakukanmu begitu?” tanyanya, suaranya lebih pelan sekarang. Sasha menarik napas panjang, seolah mencoba mengumpulkan kata-kata. “Ayahku jarang di rumah. Jika aku melapor padanya, itu tidak akan mengubah apa pun. Dia sibuk dengan pekerjaannya, dan aku … aku hanya ingin semuanya tetap damai. Setiap saat aku merasa … aku hanya sebuah beban bagi banyak orang.” Simon menatap Sasha lebih dalam dari sebelumnya. Hatinya tergerus oleh kesedihan yang terpendam dalam setiap kata yang diucapkan Sasha. Tanpa sadar, tangannya menggenggam tangan kiri Sasha yang terbalut perban. “Mulai sekarang aku akan menjagamu,” kata Simon, dengan suaranya penuh tekad dan janji. “Tidak ada yang boleh kurang ajar padamu lagi, Sasha. Aku akan memastikan itu. Kau tidak sendiri.” Sasha terdiam sejenak, perasaan hangat mengalir di dalam dirinya, mengusir rasa sepi yang selama ini menemani. Pertama kalinya, dia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli, seseorang yang akan melindunginya, tanpa ada syarat apa pun.“Nancy,” suara Sasha lembut, tapi tersirat terdengar tegas, “Bisa tolong bantu bereskan meja?” pintanya hangat pada pelayan yang bekerja di mansion keluarganya itu. Sore itu, udara taman terasa sejuk, dengan embus angin yang perlahan mulai menyejukkan kulit. Tampak Sasha duduk di bangku taman, baru saja selesai menikmati secangkir teh. Salah satu pelayan bernama Nancy, sedang sibuk menyiram tanaman di dekatnya. Sasha, dengan ketenangannya, mengulurkan tangan untuk meraih cangkir teh kosong, berniat membereskannya. Namun, Nancy tampaknya tidak mengindahkan permintaan itu. “Nanti saja, Nona, saya sedang sibuk dengan tanaman ini. Tinggalkan di sana, nanti saya yang bereskan,” jawab Nancy kembali sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Sasha menunduk, terdiam sejenak. Sebuah senyum tipis terbentuk di bibirnya, meski tidak ada kebahagiaan di baliknya. “Tapi ini harus segera dibereskan,” katanya pelan, berusaha tidak menuntut lebih. “Kalau begitu bereskan saja sendiri. Bukankah kau punya ta
“Apa kau sangat membutuhkan pekerjaan ini?” tanya Sasha dengan suara lembut. Wanita itu merasa gelisah dengan perkataan Simon. Dia tidak mau ada yang kehilangan pekerjaan hanya karena dirinya.Simon berdiri di belakangnya, mengamati reaksi Sasha atas keputusannya dengan hati-hati. Sejak pertama kali diangkat menjadi pengawal wanita itu, dia mulai terbiasa dengan kehadiran Sasha yang tak tergoyahkan. Sasha dengan segala keterbatasannya, tampak lebih mandiri dari banyak orang yang dia kenal. Namun semakin lama, Simon merasa ada sesuatu yang aneh, seperti magnet yang menariknya untuk tetap berada di dekat wanita itu. Ada rasa khawatir yang tak bisa dia lepaskan setiap kali melihat Sasha melangkah, berusaha berdiri di atas kakinya sendiri meskipun dunia di sekeliling wanita itu gelap gulita. “Ya. Kebanyakan orang harus bekerja untuk bertahan hidup. Sayangnya mencari pekerjaan bukan hal yang mudah. Tapi, kalau kau merasa tidak nyaman dengan kehadiranku, aku akan mengundurkan diri,” jawab
“Kurasa Sasha tidak akan menerimamu dengan mudah, tapi dia wanita yang baik. Aku yakin dia tidak akan terlalu merepotkanmu. Cukup jaga dia dengan baik selama aku pergi, dan aku akan memberimu imbalan yang besar ketika kembali nanti,” kata Harris mengingatkan Simon tentang sifat putrinya yang cukup keras kepala. Simon mengangguk sopan. “Baik, Tuan. Anda tidak perlu khawatir, saya akan mengatasi penolakan Nona Sasha.” Harris tersenyum samar, lalu kemudian memperkenalkan Simon pada dua pelayan yang berdiri di hadapannya. “Mereka adalah Nancy dan Maretha,” ujarnya, menunjuk dua wanita setengah baya dengan seragam rapi. “Mereka bertanggung jawab untuk memastikan mansion dan kebun tetap bersih dan terawat. Jika kau butuh apa-apa terkait kebersihan ruangan atau halaman, mereka yang akan membantumu.” Simon kembali mengangguk, dan kedua wanita setengah baya itu menatap sopan Simon seraya menundukkan kepala. Harris kemudian menunjuk seorang wanita bertubuh kecil yang berdiri di dekat pintu
“Apa kau bilang? Kau hampir saja ditabrak taksi? Bagaimana bisa?” seru seorang pria paruh baya bernama Harris, suaranya bergetar antara marah dan cemas, mendapatkan kabar yang mengunjang dirinya. “Sekarang katakan pada Daddy, apa kau benar-benar baik-baik saja? Kau tidak terluka, kan, Sasha?” tanyanya dengan nada menuntut agar putrinya menjawab. Sasha mengangguk lembut. “Dad, aku baik-baik saja. Aku memang terjatuh, tapi tidak terluka. Ada pria yang menolongku dan mengantarku pulang.” Ruang tamu mansion keluarga Vanderbilt dipenuhi ketegangan yang menyesakkan. Tampak Harris Vanderbilt berdiri tegak di hadapan Sasha, putrinya yang duduk tenang di sofa. Meski terlihat wajah Sasha sedikit panik, tapi rupanya wanita cantik itu mampu menenangkan kemarahan dan rasa khawatir Harris. “Pria yang menolongmu?” Harris terdiam sejenak, lalu pria paruh baya itu menoleh tajam ke arah pria berperawakan tampan dan gagah yang berdiri di dekat pintu. Pun tampak pria tampan itu membalas tatapan Harri