Sebelum kesadaran Adinda pulih sepenuhnya, dia sudah diserang oleh rasa perih dan ngilu pada bagian bawah inti Tubuhnya. Dia kebingungan, mencoba mencari kebenaran antara mimpi atau kenyataan.
Sampai saat sebuah ingatan tentang semalam muncul, Adinda segera membuka matanya. Akan tetapi kondisi masih seperti semalam, remang-remang. Dia bahkan tidak bisa melihat wajah seseorang yang kini mendekapnya. Adinda bisa merasakan, jika tubuh mereka saling menyatu tanpa adanya kain penghalang. Tidak salah lagi, ibu dan kakaknya benar-benar telah mengorbankan dirinya. Jantung Adinda berasa remuk, hancur lebur oleh rasa kecewa dan amarah. "Aku tidak pernah menyangka, jika kebaikan ibu yang tiba-tiba itu hanya sebuah sandiwara untuk membuat aku lengah. Ibu—kenapa kau tega padaku?" tangis Adinda sembari menutup mulutnya sendiri agar tidak menimbulkan suara. Adinda pun berusaha untuk menyingkirkan tangan kekar kakak iparnya dari perutnya secara perlahan. "Amanda sayang, mau kemana?" Suara lelaki dewasa khas bangun tidur itu pun membuat Adinda merinding. Demi apapun ini adalah kali pertama dia berhubungan intim dengan lawan jenis. Adinda—sangat takut. Adinda sungguh panik, jantungnya berdetak lebih kencang saking takutnya. Diapun memilih untuk diam sejenak, begitu Satya pulas kembali dia berusaha untuk melepaskan diri secara perlahan. Adinda menggigit bibirnya sendiri saat turun dari ranjang, sungguh dia kesakitan setelah semalam kesuciannya terkoyak. Adinda segera meraba-raba pakaian yang berserakan di lantai lalu memakainya. Meski ruangan remang-remang tapi masih bisa melihat meskipun tidak jelas seperti sebuah bayangan. Sakit, demi apa rasanya sakit sekali saat dia berjalan. Tetapi Adinda tidak ingin sampai ketahuan oleh Satya yang akan semakin memperumit keadaan. Dia muak dengan semua ini, dan ingin pergi meninggalkan mereka yang sudah menyakitinya begitu parah. Saat dia keluar dari kamar, sudah ada ibu dan kakaknya yang juga hendak masuk. Mereka nampak terkejut dengan kemunculan Adinda. "Dek ... Kamu tidak apa-apa?" tanya Amanda dengan wajah paniknya. Adinda meringis, bisa-bisanya bertanya setottinitu disaat sudah tahu apa yang telah terjadi? PLAK! Satu tamparan Adinda layangkan ke wajah kakaknya, tetapi Amanda tidak membalas hanya menyentuh pipinya yang terasa panas. PLAK! Adinda kembali melayangkan tangannya ke wajah yang sebelahnya. "Adinda, sudah. Kasihan kakak kamu," sela Diajeng. "Kasihan kata Ibu? Lalu apakah Ibu tidak kasihan padaku?" lirih Adinda menahan lara yang tiada terkira. "Maaf, maafin atas keegoisan aku," cicit Amanda. "Nggak usah berpura-pura peduli, nyatanya yang sudah menghancurkan aku adalah kamu! Mulai saat ini jangan panggil aku adik lagi, memuakkan!" kecam Adinda menatap tajam. Diajeng berusaha merangkul Adinda, tapi langsung ditepisnya. "Aku tidak menyangka, ada seorang ibu yang sekejam ini pada putrinya sendiri," umpat Adinda. "Maaf, Nak. Maafkan ibu. Tapi ini satu-satunya cara agar kakak kamu bisa hidup stabil kedepannya," bujuk Diajeng. "Aku juga anak ibu, sekarang bagaimana dengan masa depanku? Aku rusak dan kotor, aku tidak punya harga diri dan kehormatan lagi di depan suamiku kelak, itupun kalau masih ada yang mau dengan garang bekas sepertiku!" sergah Adinda menaikkan suaranya. "Tapi kamu masih memiliki warisan dari ayahmu, kamu tidak perlu khawatir lagi tentang biaya hidup," sela Diajeng. "Apa menurut Ibu kebahagiaan itu hanya tentang uang? Harga diri dan kehormatan di atas segala-galanya, Ibu!" gertak Adinda. " Selama ini tak peduli dengan orang lain yang mengatai Ibu sebagai pelakor, aku tetap menyayangi dan menghormati Ibu. Tetapi aku benar-benar tak bisa berkata-kata karena Ibu toxic separah ini. "Jangan marahi ibu, Dek. Semua salah aku. Karena akulah ibu—" "Cukup! Aku benar-benar sudah muak dengan kalian berdua. Mengharamkan segala cara demi uang dan status, benar-benar miris dan memalukan. Seharusnya dari dulu aku lebih memilih ikut ayah dari pada kalian!" sergah Adinda sampai tak bisa mengeluarkan air matanya. Adinda berjalan terseok-seok, dan dari belakang Diajeng mencoba untuk membantunya. Tapi demi apapun Adinda tidak mau disentuh lagi. "Lepas! Sebelum aku teriak dan membuat Kak Satya keluar lalu menyadari perbuatan bejat kalian!" ancam Adinda. Diajeng langsung melepaskan tangan putri bungsunya. "Maaf, maafkan ibu, Adinda." "Buat apa meminta maaf? Andaikan waktu bisa diputar tetap saja Ibu akan mendorong aku ke ranjang Kak Satya bukan?" cibir Adinda. Diajeng terbungkam, karena memang pada kenyataanya Diajeng jauh lebih menyayangi Amanda yang sifat dan pemikirannya sejalan dengannya. Sementara wajah Adinda begitu mirip dengan Mahardika yang membuatnya patah hati. "Satu lagi, aku tidak hanya menyesal kenapa lebih memilih Ibu dibanding ayah. Aku juga menyesal telah dilahirkan dari rahim seseorang yang sepertimu. Aku harap ini yang terakhir kali kalian berbuat keji. Dan untuk Kak Amanda, aku rasa setelah ini kamu tidak akan benar-benar hidup bahagia!" gumam Adinda penuh amarah. Diapun segera pergi, menuju ke kamarnya untuk mengambil tas. Setelah itupun dia bergegas meninggalkan hotel dan pulang ke rumah. Sampai rumah Adinda langsung mandi, sekalipun dia sudah menggosok tubuhnya berkali-kali sampai menimbulkan bekas warna merah tetap saja rasa kotor dalam dirinya tidak kunjung hilang. Dalam keadaan begini pun Adinda tidak bisa menyalahkan Satya, sebab lelaki itu juga merupakan korban kebiadaban istrinya sendiri. Memang Amanda sudah gila, hanya untuk menutupi aib dirinya sampai melakukan hal sejauh ini. Usai mandi Adinda bergegas mengemasi barang-barangnya, detik itu juga dia memutuskan untuk pergi dari kehidupan ibu serta kakaknya. Bahkan untuk menyebut nama mereka saja sepertinya Adinda tidak sudi lagi. Untung saja sedikit keberuntungan berpihak padanya, pukul setengah dua belas masih ada kursi penerbangan Jakarta-Jogja. Sekarang baru jam tujuh, Adinda lebih memilih menunggu di bandara dari pada berlama-lama di rumah. "Selamat tinggal, Jakarta. Selamat tinggal luka dan kecewa." Sekilas Adinda teringat bagaimana panasnya cinta semalam dia dengan Satya, lalu muncul senyuman manis dari wajah kakak iparnya saat mereka pertama kali bertemu di acara lamaran Satya pada Amanda. "Tidak boleh! Aku tidak boleh mengingatnya lagi. Ini hanya sebuah kecelakaan," batin Adinda menepuk-nepuk dadanya sendiri yang terasa sesak.Sebelum kesadaran Adinda pulih sepenuhnya, dia sudah diserang oleh rasa perih dan ngilu pada bagian bawah inti Tubuhnya. Dia kebingungan, mencoba mencari kebenaran antara mimpi atau kenyataan.Sampai saat sebuah ingatan tentang semalam muncul, Adinda segera membuka matanya. Akan tetapi kondisi masih seperti semalam, remang-remang. Dia bahkan tidak bisa melihat wajah seseorang yang kini mendekapnya. Adinda bisa merasakan, jika tubuh mereka saling menyatu tanpa adanya kain penghalang.Tidak salah lagi, ibu dan kakaknya benar-benar telah mengorbankan dirinya. Jantung Adinda berasa remuk, hancur lebur oleh rasa kecewa dan amarah."Aku tidak pernah menyangka, jika kebaikan ibu yang tiba-tiba itu hanya sebuah sandiwara untuk membuat aku lengah. Ibu—kenapa kau tega padaku?" tangis Adinda sembari menutup mulutnya sendiri agar tidak menimbulkan suara.Adinda pun berusaha untuk menyingkirkan tangan kekar kakak iparnya dari perutnya secara perlahan."Amanda sayang, mau kemana?" Suara lelaki de
Apakah Amanda baik-baik saja saat menjebak adik serta suaminya sendiri untuk menghabiskan malam bersama? Tentu saja tidak. Hatinya begitu hancur telah mengkhianati mereka berdua. Dia juga cemburu.Tetapi Amanda tidak punya pilihan lain. Dia terlalu mencintai Satya. Apapun yang terjadi dia akan mempertahankan lelaki tersebut. Dan demi menjamin keharmonisan keluarga dia harus melakukan ini, membuktikan jika dirinya ada gadis polos yang suci seperti yang selama ini dia tunjukkan pada Satya.Bukannya Amanda tidak mempercayai cinta tulus dari Satya, melainkan dunia mereka sangat berbeda. Satya terlahir dari keluarga terhormat, meskipun kaya raya dan memiliki paras yang tampan tetapi Satya lelaki yang menjunjung tinggi kehormatan dirinya. Satya bukan lelaki sembarangan yang mau menyentuh perempuan lain. Bahkan selama Amanda dan Satya berpacaran, mereka belum pernah sama sekali berciuman. Bahkan saling bersentuhan tangan saja teramat jarang. Lalu bagaimana jadinya jika nanti saat malam pe
Adinda memang sangat lapar, sebab siang tadi saat di pesta dia sama sekali tidak nafsu makan karena perkataan ibunya. Malam ini ibunya bersikap baik, bahkan sampai mengambilkan nasi goreng dan kue sehingga tekanan yang mengendap di benaknya menghilang."Sudah selesai mandi?" tanya Diajeng."Sudah, Bu.""Ayo makan!" "Terima kasih, Ibu. Emh, ibu nggak mau makan sekalian?" tanya Adinda."Sudah kenyang," balas Diajeng.Adinda tersenyum, diapun segera menyantap apa yang ibunya siapkan. "Ayo diminum teh hangatnya," sela Diajeng membantu mengambilkan gelasnya.Adinda sangat senang, pasalnya sudah lama ibunya tidak seperhatian ini."Ibu kenapa malam ini berbeda sekali?" tanya Adinda heran."Ibu hanya merasa lega, akhirnya kakak kamu sudah berhasil menikah dengan Satya. Dengan begitu kakak kamu tak perlu khawatir akan masa depannya lagi sebab semua terjamin. Sekarang Ibu tinggal memikirkan kamu.""Ibu tidak usah khawatir. Selain menjadi guru nanti aku akan membuka usahan sampingan," bujuk Ad
Pernikahan seorang CEO agensi besar dan artis ternama tentu saja sangat meriah. Banyak wartawan yang datang untuk mengabadikan momen mereka menjadi berita di media.Adinda mendampingi Amanda, menuntun sang kakak berjalan bersama ibunya untuk diserahkan ke Satya Pranama."Nak Satya, tolong sayangi dan lindungi Amanda ya? Selama ini dia sudah hidup menderita," pinta Diajeng berurai air mata."Tentu Ibu, aku sangat mencintai Amanda," jawab Satya.Pernikahan yang sakral dan mengharukan, Adinda tak berhenti berdoa demi kebahagiaan sang kakak.Para tamu pun mengagumi kecantikan Amanda, sebagai artis semakin bertambahnya usia memang Amanda semakin cantik karena merawat tubuhnya dengan baik sampai menghabiskan biaya yang banyak.Adinda dan Amanda, meskipun terlahir dari rahim yang sama tetapi kepribadian mereka sangat bertolak belakang. Jika Amanda begitu mekar seperti bunga teratai yang penuh percaya diri, maka Adinda seperti putri malu yang jika disentuh sedikit langsung menutup diri."Adin
Pukul empat pagi MUA yang akan merias Amanda sudah datang. Adinda sebagai adik juga ikut membantu mempersiapkan kebutuhan kakaknya sebaik mungkin."Adinda, kamu cek lagi tas kakak kamu. Jangan sampai ada barang penting yang ketinggalan!" titah Diajeng."Iya, Ibu.""Setelah itu kamu masak makanan kesukaan kakak kamu, sebelum berangkat ke gedung pesta kakak kamu sudah harus sarapan!" timpal Diajeng lagi."Iya, Ibu."Pukul enam pekerjaan Adinda sudah selesai. Diapun segera mengambilkan kakaknya sarapan karena nanti setelah di gedung pesta pasti kakaknya tidak mau makan demi menjaga riasan. "Kak ayo makan dulu," ucap Adinda."Iya, Dek. Terima kasih banyak ya.""Kakak cantik sekali hari ini," timpal Amanda kagum."Karena make up nya bagus, nanti kamu kalau pakai make up juga cantik," balas Amanda.Saat Adinda mau keluar dari kamar kakaknya, tiba-tiba muncul Diajeng dari belakang."Adinda, kamu suapin kakak kamu dong. Jangan sampai gaunnya kotor!" sela Diajeng."Aku bisa makan sendiri, Bu
Adinda dan Amanda—Sebenarnya hubungan mereka selama ini baik. Meskipun mereka bukan dari ayah yang sama. Amanda menjadi sosok yang mengayomi, sementara Adinda adik yang patuh.Awalnya Adinda mengira jika ibunya lebih sayang terhadap kakaknya karena ayah kandung kakaknya bukan sosok ayah yang baik. Sementara ayah Adinda baik, masih memberikan perhatian sekalipun sekedar lewat telepon. Tetapi perbedaan itu semakin jelas ketika karir Amanda naik dan mendapatkan calon suami seorang CEO di agensi hiburan yang besar. Dan puncaknya malam ini, ketika ibunya memaksa dia untuk memenuhi permintaan Amanda yang dirasa keluar dari batas norma agama. Setelah bertengkar hebat Adinda menangis sambil memeluk bantal gulingnya, dalam hati bertanya-tanya apakah memang benar baktinya selama ini tidak pernah terlihat?Adinda dengan senang hati mencuci pakaian untuk ibunya, memasak, membersikan rumah dengan rapi, bahkan ketika ibunya sakit Adinda merawat sebaik mungkin, membersihkan bekas muntahan, memandi