"Ti-tidak, Pak. Saya akan membawakannya ke kamar Bapak," ucap Ana dengan gugup.
Kevin tak lagi menanggapi ucapan Ana dan langsung melangkahkan kakinya memasuki kamarnya.
Sementara Ana bergegas pergi ke dapur dan membuatkan kopi untuk tuannya itu. Lima menit kemudian, Ana menaiki anak tangga, nampan di tangannya berisi secangkir kopi hangat. Ia menatap lurus ke depan, menjaga keseimbangan dan kehati-hatian. Meski terlihat tenang di luar, dadanya berdebar kencang.
Sampai di depan kamar Kevin, ia mengetuk dua kali pelan.
"Masuk," terdengar suara Kevin dari dalam.
Ana membuka pintu dengan sopan, menundukkan kepala singkat, lalu masuk perlahan.
Kevin duduk di kursi malas dekat jendela, wajahnya setengah tenggelam dalam cahaya lampu tidur. Ia menatap Ana sesaat, lalu melirik ke kopi yang dibawa pelayan barunya itu.
Ana menghampiri dengan langkah ringan. Dengan sopan, ia menaruh cangkir kopi itu di atas nakas kecil di samping kursi Kevin. "Silakan diminum, Pak. Sudah saya buatkan seperti yang Bapak minta."
Tanpa merespon apa-apa lagi, ia mengangkat cangkir itu dan menyeruputnya perlahan. Hangatnya kopi langsung menyusup ke tenggorokan, dan rasa pekatnya terasa pas. Tidak terlalu pahit, tidak terlalu manis.
"Hmm... enak juga," gumamnya sambil menatap Ana sekilas.
Ana menghela napas lega, ekspresi tegang di wajahnya mereda. "Kalau tidak ada yang perlu lagi, saya permisi dulu, Pak," ucapnya.
Kevin melambai pelan, isyarat agar Ana keluar. Tanpa banyak kata, Ana melangkah mundur dan menutup pintu kamar perlahan.
**
Ana bangun lebih awal dari siapa pun di rumah itu. Ia mulai menyapu halaman, mengepel lantai, mencuci piring-piring bekas makan malam.
Semua dikerjakannya dengan cekatan dan tanpa banyak bicara. Sesekali ia mencatat hal-hal kecil: letak kunci pagar, jadwal belanja mingguan, bahkan kebiasaan Clara yang selalu menyimpan sesuatu di laci kedua lemari es.
Hari demi hari, Ana menunjukkan dirinya sebagai pekerja yang teliti dan rajin. Ia tidak hanya membersihkan rumah, tapi juga merapikan hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian.
Tanpa diminta, ia juga mulai menyiram tanaman, mengganti air dispenser, bahkan menyortir cucian sesuai warna.
Namun dari sudut lain rumah itu, Kevin perlahan mulai memperhatikannya.
Pria itu sering duduk diam di ruang tengah, pura-pura membaca majalah atau menonton televisi. Tapi matanya lebih sering mencuri pandang ke arah Ana yang tengah menyapu, mengepel, atau membawa keranjang cucian ke belakang rumah.
Pakaian kerja Ana selalu sederhana—kaus longgar dan celana training. Tapi entah bagaimana, tubuh mungilnya tetap tampak membentuk siluet yang membuat mata sulit berpaling.
Gerakannya yang lincah, sikapnya yang tenang, dan wajah bersihnya yang jarang tersentuh riasan, perlahan mulai menyusupi pikiran Kevin.
Ia tahu itu salah. Ia suami orang. Tapi hatinya—yang lama dibiarkan kering dan kesepian—mulai goyah. Sore itu, rasa itu semakin menyeruak.
Clara menelepon.
“Halo, Sayang... aku baru dapat kabar dari kantor pusat. Kayaknya harus ke Surabaya dua hari,” suara Clara terdengar letih namun tetap tegas.
Kevin menghela napas. Ia mencoba menyembunyikan kekecewaan yang sudah seperti tamu lama di dalam rumah.
“Lagi-lagi lembur, sekarang ditambah dinas luar kota,” gumamnya.
“Aku tahu kamu capek juga, Vin. Tapi ini penting banget. Proyek besar, dan aku gak bisa biarin gitu aja. Please, aku harap kamu paham,” Clara mencoba menjelaskan.
Kevin diam sejenak sebelum menjawab datar, “Ya udah, hati-hati di jalan.”
Begitu sambungan terputus, Kevin meletakkan ponsel dan menatap langit-langit rumah. Sunyi kembali menyelimuti ruang tamu. Hanya suara kipas angin dan langkah ringan dari arah dapur yang terdengar samar.
Beberapa menit kemudian, Ana muncul di ambang pintu ruang tengah, membawa lap tangan dan sebotol semprotan pembersih. Ia tidak menyadari bahwa sejak tadi Kevin memperhatikannya.
"Permisi, Pak. Mau bersihin meja," ucap Ana pelan.
Kevin mengangguk. Ia menatap Ana yang tengah menunduk membersihkan permukaan meja. Gerakannya cepat dan efisien.
"Sudah berapa lama kamu kerja di rumah orang?" tanya Kevin tiba-tiba.
Ana menoleh sebentar, lalu menjawab sambil terus bekerja, "Hampir dua tahun, Pak. Tapi jarang tetap lama. Biasanya pindah-pindah."
"Kenapa?" Kevin menyipitkan mata.
Ana diam sebentar sebelum menjawab, "Kadang... bukan saya yang minta pindah. Tapi rumahnya yang tidak cocok."
Kevin tidak mengerti maksudnya, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Setelah selesai membersihkan, Ana mengangguk sopan dan kembali ke dapur. Kevin menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu dapur.
Malam itu, Kevin kembali duduk sendirian di sofa, menatap layar televisi yang menayangkan film dokumenter yang tidak ia pahami.
Pikirannya melayang.
Ana. Clara. Rumah ini. Dingin yang tidak pernah hilang. Sunyi yang seperti merayap ke dinding, ke lantai, bahkan ke tempat tidur mereka.
Ia memejamkan mata sejenak. Lalu terdengar suara ketukan pelan dari arah dapur. Kevin menoleh. Ana muncul dengan segelas air putih.
“Pak Kevin belum tidur? Mau minum?” tanyanya dengan nada sopan seperti biasa.
Kevin menatapnya, kali ini lebih lama. Ada sesuatu di balik pandangan itu. Bukan sekadar rasa penasaran, tapi semacam keretakan kecil di dinding pertahanannya sendiri.
Ana berjalan pelan, meletakkan air putih di atas meja.
Kevin mengangguk, tapi tidak berkata apa-apa.
Ana hendak berbalik, namun Kevin memanggilnya pelan.
“Ana...”
Ana menoleh. “Iya, Pak?”
Kevin hendak mengatakan sesuatu. Tapi lidahnya kelu. Pikirannya kacau. Ia hanya menatap wajah Ana yang tenang, seakan tidak menyadari bahwa keberadaannya... perlahan mengguncang rumah ini.
“Makasih. Udah bikin rumah ini jadi lebih... hidup,” ucap Kevin akhirnya, lirih.
Ana menunduk pelan. “Saya hanya melakukan tugas, Pak.”
“Ma-maaf, Pak. Saya hanya mau ambil camilan sama kopi aja. Kebetulan tadi lihat Ana lagi melamun. Makanya saya tegur, Pa,” ujar Rafi terbata-bata, suaranya diselimuti ketegangan.Ia tahu betul aura dingin dari Kevin bukanlah hal sepele—sekali salah langkah, bisa berujung pemecatan.Kevin menatap Rafi datar tanpa berkata apa pun. Matanya kemudian beralih menelusuri ke arah dapur, tepat pada Ana yang kini berdiri kaku di depan kompor.Jemari Ana bergerak gelisah, seperti mencari pelarian dari rasa tidak nyaman yang perlahan menyesakkan dadanya.Ia bisa merasakan tatapan pria itu, seperti pisau tajam yang mengupas lapisan demi lapisan ketenangan palsunya.“Kalau begitu, saya permisi.” Rafi buru-buru mengambil gelas kopi dari meja dan melangkah keluar, tak berani menoleh ke belakang.Begitu pintu tertutup, suasana di dapur mendadak sunyi. Hening. Hanya suara kipas dapur dan detak jantung Ana yang semakin menggila di telinganya sendiri.Ia merasa seperti seekor rusa yang terperangkap di ha
Keesokan paginya, udara masih terasa lembap oleh embun yang belum sepenuhnya menguap dari dedaunan.Sinar matahari mengintip malu-malu dari celah tirai dapur tempat Ana sedang berdiri. Matanya sembab, namun ada secercah harapan di dalamnya.Ia menekan tombol panggilan di layar ponselnya, menghubungi satu-satunya keluarga yang selama ini bisa ia andalkan—bibinya.Tak lama, suara di seberang terdengar. “Halo, Ana?”Ana menegakkan tubuhnya. Suaranya sedikit bergetar saat berkata, “Bi, aku udah dapat uang buat pengobatan Ibu.”Sejenak sunyi, lalu terdengar suara bibinya yang terdengar terkejut dan heran. “Cepat sekali kamu dapat uangnya. Dapat dari mana, Ana?”Ana sontak menelan ludah. Pertanyaan itu seperti menyentil hatinya. Ia tahu cepat atau lambat seseorang pasti akan bertanya. Dan ia sudah siapkan jawabannya.“Da-dari pinjam, Bi. Aku cari pinjaman dari teman-temanku sampai terkumpul sepuluh juta,” ucap Ana dengan nada setenang mungkin, berusaha terdengar meyakinkan meskipun suaranya
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Sore tadi, Kevin membawakan sebuah lingerie tipis yang harus dia gunakan untuk melayani Kevin malam ini.Ana berdiri di depan cermin kamarnya. Rambutnya ia sisir pelan, meski dengan tangan gemetar. Seragam kerja sudah dia tanggalkan, diganti dengan lingerie berwarna putih tulang—bersih, polos, dan justru membuat tubuhnya terlihat lebih rapuh.Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat dari Kevin:"Kamar tamu lantai dua. Sekarang."Ana menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan hanya soal sepuluh juta saja. Ini tentang harga dirinya. Tentang seluruh garis batas yang selama ini ia jaga.“Maafkan aku, Ibu. Aku harus melakukan ini demi kesembuhanmu,” ucapnya dengan suara lirihnya.Dia kemudian menarik napasnya dalam-dalam dan menatap dirinya sekali lagi di cermin di hadapannya.“Pada akhirnya, ucapan Pak Kevin benar. Aku menyerah dan menyerahkan diriku padanya. Aku benar-benar
Napas Ana berat ketika berdiri di depan pintu ruang kerja majikannya itu.Jujur saja, dia tidak ingin ke ruangan itu. Tidak ingin menatap wajah pria itu lagi setelah malam-malam penuh tekanan dan sindiran.Tapi, sudah tidak ada pilihan lain. Ia sudah mencoba segalanya. Semua kontak telah dia hubungi, tapi tidak ada yang mau meminjamkan padanya karena terlalu besar.Ana berhenti di depan pintu ruang kerja Kevin. Tangannya yang dingin terangkat dan mengetuk pelan dua kali.“Masuk,” terdengar suara pria dari dalam.Ana membuka pintu perlahan dan masuk. Kevin duduk di kursi kerja dengan kemeja santai dan celana panjang kain.Di meja kerjanya, sebuah laptop terbuka, namun perhatiannya langsung terarah pada Ana yang masuk dengan wajah pucat dan mata sembab.Ana berdiri beberapa langkah dari mejanya, menunduk. Tangannya meremas sisi rok seragamnya.Kevin memiringkan kepala sedikit. “Ada apa pagi-pagi begini kamu data
Setelah menenangkan diri sebisanya, Ana kembali ke kamarnya. Ia duduk di sisi ranjang sempit itu dan menggenggam ponsel dengan tangan gemetar.Napasnya masih berat. Matanya sembab, tapi belum ada waktu untuk menangis lebih lama. Ia harus segera bertindak. Harus mencari bantuan. Ibunya butuh pertolongan—dan waktu berjalan dengan cepat.Dengan jari yang masih sedikit bergetar, Ana membuka kontak di ponselnya.Pertama, Dinda. Teman satu kos saat masih bekerja paruh waktu di kafe dulu. Mereka cukup dekat dan Ana berharap wanita itu mau meminjamkan uang padanya.Telepon tersambung, nada sambung terdengar... satu kali, dua kali, tiga kali...Lalu klik.“Halo, Din, ini Ana.”“Hah? Ana? Ana yang mana ya?”Ana menelan ludah. “Ana... teman sekosmu dulu. Yang bareng-bareng kerja di kafe.”“Oh! Iya iya, Ana. Ya ampun, udah lama banget ya... ada apa, Na?”Ana menar
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Matahari masih malu-malu menyelinap di antara tirai rumah mewah itu.Suasana rumah terasa lengang, hanya terdengar suara gemerisik halus dari dapur yang mulai hidup oleh aktivitas Ana.Ana sudah bangun sejak sebelum fajar, berusaha mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Meski hatinya masih terasa berat sejak percakapan panas malam sebelumnya, ia memilih untuk tetap melakukan tanggung jawabnya seperti biasa.Ia mencuci sayuran, menyiapkan bahan sarapan, dan menyalakan kompor gas dengan tangan yang sedikit gemetar—tapi tetap terkontrol.Langkah kaki berat terdengar dari arah tangga. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh tegap muncul di ambang pintu dapur. Kevin.Ia masih mengenakan baju tidur satin berwarna gelap, rambutnya sedikit acak-acakan tapi tetap terlihat rapi dalam kekacauan yang tampak dibuat-buat. Pandangannya langsung tertuju pada Ana—dan tidak berpaling.“Aku pikir kamu akan pergi dari rumah ini karena sudah tidak membutuhkan peke