Home / Romansa / Penghangat Ranjang Majikanku / 3. Hati Kevin yang Bimbang

Share

3. Hati Kevin yang Bimbang

Author: Nhaya_Khania
last update Last Updated: 2025-06-16 17:53:29

Di dapur, Ana mengatur nampan dengan hati-hati. Di atasnya ada secangkir kopi yang baru diseduh, sebuah piring kecil berisi roti panggang, dan secangkir teh hangat untuk dirinya sendiri. Setelah selesai menyiapkan, Ana melangkah ke ruang kerja Kevin.

Saat ia membuka pintu, Kevin sedang duduk di kursinya, tampak tenggelam dalam layar laptop. Di bawah cahaya meja yang redup, wajahnya tampak serius. Ketika Ana mendekat dan menyajikan kopi di atas meja, suasana yang tadinya biasa saja tiba-tiba berubah.

Tangan mereka bersentuhan sebentar—perasaan hangat itu seperti menyebar ke seluruh tubuh Ana. Seketika itu, ada sesuatu yang menggetarkan dalam dirinya. Kevin juga merasakannya, terlihat sedikit terkejut meskipun ia segera mencoba untuk tetap tenang.

"Maaf," ujar Ana cepat lalu menarik tangan dengan sedikit terburu-buru. "Kopi sudah siap, Pak."

Kevin mengangguk pelan, namun matanya tetap tertuju pada Ana, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya kelu. Ada ketegangan dalam suasana, dan keduanya diam beberapa saat.

Ana merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia tahu, secara profesional, ia harus menjaga jarak. Ia butuh pekerjaan ini lebih dari apa pun. Tapi, ada sesuatu yang mulai mengganggunya—sesuatu yang ia rasakan di tatapan Kevin.

Kevin hanya duduk, menatap kopi yang baru diletakkan di hadapannya. Ia merasa sedikit canggung, tak tahu harus berkata apa. Beberapa detik berlalu, hingga akhirnya ia tersenyum tipis, berusaha meredakan ketegangan.

"Terima kasih, Ana," katanya pelan, mencoba terdengar santai.

"Ya, Pak," jawab Ana dengan suara yang sedikit gemetar, lalu perlahan mundur, menutup pintu ruang kerja dengan hati-hati.

Namun, Ana tahu, bahwa perasaan itu tidak akan mudah hilang. Ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Kevin terjaga di tengah malam. Suasana rumah yang sunyi dan gelap terasa mencekam. Ia menggeliat di tempat tidur, mencoba mencari posisi yang nyaman, tapi pikirannya tak bisa lepas dari Ana.

Kevin memejamkan mata, namun bayangan Ana yang tengah membersihkan ruang tamu, atau wajahnya yang polos saat menghidangkan kopi, terus menghantui. Dalam mimpi-mimpinya, ia mulai membayangkan hal-hal yang seharusnya tak ia pikirkan—hal-hal yang berbahaya, yang bisa merusak hidupnya.

Dalam tiduran yang gelisah, Kevin membayangkan Ana duduk di sampingnya, tersenyum padanya. Ada percakapan yang tak pernah terjadi dalam kenyataan, ada sentuhan lembut yang tak pernah terucap. Mimpi itu terasa begitu nyata—terlalu nyata.

Bangun di tengah malam, Kevin merasa berdosa. Ia mencoba melemparkan bayangan itu, tetapi semakin ia berusaha, semakin kuat perasaan itu mendorongnya.

Hatinya terombang-ambing antara rasa kesetiaan pada Clara—istrinya yang sudah menemaninya bertahun-tahun—dan godaan terhadap Ana yang selalu hadir di setiap sudut rumah.

Apakah ini hanya rasa sepi? Atau apakah ada sesuatu dalam dirinya yang mulai berkembang? Kevin tidak tahu jawabannya, dan itu justru membuatnya semakin bingung.

**

Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Setelah sarapan, Kevin memutuskan untuk bekerja dari ruang kerjanya. Ada beberapa hal yang harus ia kerjakan, tapi hatinya terasa berat. Begitu banyak pikiran yang bercampur, dan setiap kali ia menatap layar laptop, pikirannya melayang kepada Ana.

Ana masuk, membawa nampan kecil berisi teh dan sebuah roti. Ia meletakkan nampan di atas meja Kevin dengan hati-hati, dan tangan mereka hampir bersentuhan lagi. Kevin menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk fokus.

"Apakah ada hal lain yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Ana dengan suara tenang.

Kevin menatapnya sejenak, dan untuk beberapa detik, tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa, seolah Ana bisa membaca pikirannya, meski ia mencoba untuk menjaga jarak dan tidak menunjukkan ketertarikannya.

"Sepertinya tidak ada. Terima kasih," jawab Kevin, berusaha terdengar biasa saja.

Ana mengangguk, dan tanpa mengatakan lebih banyak, ia berbalik dan berjalan keluar dari ruang kerja. Kevin memandangi punggungnya yang pergi, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan kekosongan yang luar biasa. Keheningan itu kembali menghantui.

Di ruang kerja, suasana terasa hampa. Kevin merasa sangat jauh dari Clara, dari hidup yang dulu ia rasakan penuh dengan kebahagiaan. Dan di sisi lain, ia merasa sangat dekat dengan Ana, meskipun ia tahu bahwa kehadirannya hanya sebagai pembantu.

**

Hari-hari berikutnya, Kevin semakin merasa terombang-ambing. Ia mulai menghindari tatapan Ana, dan setiap kali Ana ada di dekatnya, ia merasa sangat canggung.

Namun, semakin ia berusaha menjaga jarak, semakin besar perasaan yang tumbuh di dalam dirinya. Ada sesuatu yang sulit ia hindari—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.

Ketika Clara kembali dari dinas luar kota, Kevin merasa cemas. Ia merasa seolah-olah ada dua dunia yang bertarung di dalam dirinya.

Ada dunia rumah tangga yang telah ia bangun selama bertahun-tahun dengan Clara, dan ada dunia baru yang muncul dalam dirinya—dunia yang berpusat pada Ana.

Ia tahu, ia tidak bisa terus seperti ini. Namun, ia juga tidak tahu bagaimana cara keluar dari dilema ini. Bagaimana bisa ia setia kepada Clara, jika hatinya mulai terpecah oleh perasaan yang tidak diinginkan?

Clara memandang Kevin, yang tampak lebih pendiam dari biasanya. "Ada apa, Vin? Kamu terlihat agak jauh."

Kevin tersenyum tipis. "Aku cuma capek, Clara."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penghangat Ranjang Majikanku   13. Harga yang Harus Dibayar

    Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Sore tadi, Kevin membawakan sebuah lingerie tipis yang harus dia gunakan untuk melayani Kevin malam ini.Ana berdiri di depan cermin kamarnya. Rambutnya ia sisir pelan, meski dengan tangan gemetar. Seragam kerja sudah dia tanggalkan, diganti dengan lingerie berwarna putih tulang—bersih, polos, dan justru membuat tubuhnya terlihat lebih rapuh.Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat dari Kevin:"Kamar tamu lantai dua. Sekarang."Ana menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan hanya soal sepuluh juta saja. Ini tentang harga dirinya. Tentang seluruh garis batas yang selama ini ia jaga.“Maafkan aku, Ibu. Aku harus melakukan ini demi kesembuhanmu,” ucapnya dengan suara lirihnya.Dia kemudian menarik napasnya dalam-dalam dan menatap dirinya sekali lagi di cermin di hadapannya.“Pada akhirnya, ucapan Pak Kevin benar. Aku menyerah dan menyerahkan diriku padanya. Aku benar-benar

  • Penghangat Ranjang Majikanku   12. Tidak ada Pilihan Lain

    Napas Ana berat ketika berdiri di depan pintu ruang kerja majikannya itu.Jujur saja, dia tidak ingin ke ruangan itu. Tidak ingin menatap wajah pria itu lagi setelah malam-malam penuh tekanan dan sindiran.Tapi, sudah tidak ada pilihan lain. Ia sudah mencoba segalanya. Semua kontak telah dia hubungi, tapi tidak ada yang mau meminjamkan padanya karena terlalu besar.Ana berhenti di depan pintu ruang kerja Kevin. Tangannya yang dingin terangkat dan mengetuk pelan dua kali.“Masuk,” terdengar suara pria dari dalam.Ana membuka pintu perlahan dan masuk. Kevin duduk di kursi kerja dengan kemeja santai dan celana panjang kain.Di meja kerjanya, sebuah laptop terbuka, namun perhatiannya langsung terarah pada Ana yang masuk dengan wajah pucat dan mata sembab.Ana berdiri beberapa langkah dari mejanya, menunduk. Tangannya meremas sisi rok seragamnya.Kevin memiringkan kepala sedikit. “Ada apa pagi-pagi begini kamu data

  • Penghangat Ranjang Majikanku   11. Sudah Mulai Buntu

    Setelah menenangkan diri sebisanya, Ana kembali ke kamarnya. Ia duduk di sisi ranjang sempit itu dan menggenggam ponsel dengan tangan gemetar.Napasnya masih berat. Matanya sembab, tapi belum ada waktu untuk menangis lebih lama. Ia harus segera bertindak. Harus mencari bantuan. Ibunya butuh pertolongan—dan waktu berjalan dengan cepat.Dengan jari yang masih sedikit bergetar, Ana membuka kontak di ponselnya.Pertama, Dinda. Teman satu kos saat masih bekerja paruh waktu di kafe dulu. Mereka cukup dekat dan Ana berharap wanita itu mau meminjamkan uang padanya.Telepon tersambung, nada sambung terdengar... satu kali, dua kali, tiga kali...Lalu klik.“Halo, Din, ini Ana.”“Hah? Ana? Ana yang mana ya?”Ana menelan ludah. “Ana... teman sekosmu dulu. Yang bareng-bareng kerja di kafe.”“Oh! Iya iya, Ana. Ya ampun, udah lama banget ya... ada apa, Na?”Ana menar

  • Penghangat Ranjang Majikanku   10. Kabar yang Mengejutkan

    Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Matahari masih malu-malu menyelinap di antara tirai rumah mewah itu.Suasana rumah terasa lengang, hanya terdengar suara gemerisik halus dari dapur yang mulai hidup oleh aktivitas Ana.Ana sudah bangun sejak sebelum fajar, berusaha mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Meski hatinya masih terasa berat sejak percakapan panas malam sebelumnya, ia memilih untuk tetap melakukan tanggung jawabnya seperti biasa.Ia mencuci sayuran, menyiapkan bahan sarapan, dan menyalakan kompor gas dengan tangan yang sedikit gemetar—tapi tetap terkontrol.Langkah kaki berat terdengar dari arah tangga. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh tegap muncul di ambang pintu dapur. Kevin.Ia masih mengenakan baju tidur satin berwarna gelap, rambutnya sedikit acak-acakan tapi tetap terlihat rapi dalam kekacauan yang tampak dibuat-buat. Pandangannya langsung tertuju pada Ana—dan tidak berpaling.“Aku pikir kamu akan pergi dari rumah ini karena sudah tidak membutuhkan peke

  • Penghangat Ranjang Majikanku   9. Kemarahan Kevin

    “Maaf, Pak Kevin. Saya tidak bisa,” ucap Ana sembari menggelengkan kepalanya dengan pelan.Kevin sempat tak bereaksi. Tatapannya kosong selama beberapa detik seakan belum sepenuhnya memahami kata-kata itu.“Kamu ... tidak bisa?” ulangnya, nada suaranya berubah tajam. “Alasannya apa sampai kamu menolaknya, Ana?” tanyanya dengan suara dinginnya.“Saya tidak sedang menjual diri saya dengan menjadi pelayan nafsu Bapak.”Kevin menatap dingin wajah Ana. Rahangnya mengeras, kedua bola matanya menyala dengan emosi yang samar-samar tertahan.Ia cukup kecewa dengan jawaban Ana. Tapi, dia juga tidak mau memaksa Ana jika wanita itu tidak menyerahkan dirinya terlebih dahulu.Ana menelan ludah bahkan tak sanggup menatap wajah Kevin yang memperlihatkan wajah kesalnya.Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan getar ketakutan yang merayap perlahan di bawah kulitnya.“Saya bukan perempuan seperti itu, Pak Kevin. Kalau Bapak butuh wanita untuk melayani, silakan cari saja yang lain. Saya han

  • Penghangat Ranjang Majikanku   8. Bertanggungjawablah

    Ana sedang menyapu beranda depan ketika seorang kurir berseragam datang membawa paket kecil. Lelaki itu berhenti di depan pagar rumah dengan senyum sopan, lalu menyebutkan namanya.“Untuk Ibu Ana. Dari Bapak Kevin,” katanya singkat dan menyerahkan kotak kecil bersegel rapi.Ana sempat membeku. Nama itu—Kevin. Masih asing di mulutnya, tapi akhir-akhir ini begitu sering mengusik pikirannya. Ia menerima bingkisan itu dengan ragu, dan menatap kotaknya lama sebelum membukanya perlahan.Di dalamnya—obat-obatan yang telah ia cari berminggu-minggu untuk ibunya. Merek-merek asing, kualitas terbaik, lengkap, mahal—terlalu mahal.Tak mungkin ia beli sendiri dengan gajinya sekarang. Tangannya gemetar saat memegang nota pengiriman yang menyertai paket itu. Tertulis harga yang membuat napasnya tercekat. Bahkan untuk satu jenis saja, ia harus bekerja berbulan-bulan.Air matanya menumpuk di pelupuk mata, tapi tak ia biarkan jatuh.Saat ia kembali masuk ke dalam, langkahnya terasa berat. Baru saja men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status