Meski melihat ketulusan yang tersirat di wajah Dean, namun Athalia tak langsung terdiam. Ia menunduk, menatap pada cincin yang Dean persembahkan untuknya.
Athalia meremas tangannya di sisi tubuh, meneguk ludah saat tiba-tiba tenggorokannya terasa kering.Bingung harus menjawab apa, sebab Athalia merasa tak pantas untuk Dean. Apalagi sosok Mahesa sampai detik ini masih merajai hatinya.Berusaha memilih, akhirnya Athalia pun menggelengkan kepala.“Maaf, Pak Dean. Aku tidak bisa menikah denganmu. Aku minta maaf.” Athalia mendorong pelan kotak cincin itu ke dada Dean, lalu ia membalikan badan dan hendak pergi meninggalkan lelaki itu.Akan tetapi, langkahnya seketika terhenti saat di depan pintu lift, Dirly berdiri dan menatapnya dengan sorot terluka.Ketika menatap bagaimana berkaca-kacanya mata bocah itu, Athalia merasa jantungnya ditikam oleh sembilu. Terasa menyakitkan.“Dirly,” bisik Athalia, dengan mata yang memanas.PTak ingin terus-menerus membiarkan gelisah merongrong dalam dada, juga rasa penasaran yang makin menggeliat di dalam benaknya.Mahesa memutuskan untuk mencaritahu tentang sedalam apa kedekatan Athalia dengannya? Juga tentang latar belakang wanita itu.Apa yang membuat Athalia tampak begitu nyata setiap kali melintas dalam pikirannya.“Dia selalu mendominasi otakku. Aku tidak bisa membiarkan pertanyaan ini berakhir tanpa ada jawaban. Aku yakin, seseorang terdekatku pasti bisa menjelaskan tentang Athalia,” gumam Mahesa sambil berdiri di depan cermin dan memasang dasi berwarna maroon di lehernya.Setelah rapi dengan stelan kemeja dan celana berwarna senada dengan jas yang akan ia kenakan, Mahesa menyambar tas kerjanya dan berlalu keluar kamar.Pagi ini akan ada meeting mingguan, Mahesa tahu itu. Tapi ia sudah menghubungi sekretarisnya untuk mengundurkan jadwal meeting, karena ia bangun sedikit kesiangan. Akibat dari ia kesulitan tidur semalaman.
Ternyata ada beberapa lembar foto di dalamnya. Mahesa mengamati foto itu dengan seksama. Detik kemudian ia terhenyak dengan mata yang menyipit tajam. Sementara Leuwis menautkan jemari di bawah dagu, menyeringai melihat reaksi terkejut Mahesa.“Lihat seberapa buruk wanita murahan itu? Bukankah dia terlihat menjijikan? Tidur dengan banyak lelaki kaya hanya untuk mendapatkan banyak uang. Bisa-bisanya kau pernah terjerat dengan godaannya. Kau menyentuh wanita bekas para lelaki hidung belang, lalu mengabaikan Kiran yang jelas-jelas tulus mencintaimu.” Leuwis sengaja memperburuk citra Athalia di depan Mahesa.Leuwis ingin menumbuhkan lebih banyak kebencian di dalam hati Mahesa terhadap wanita itu, agar Mahesa fokus pada hubungannya dengan Kiran dan berhenti penasaran dengan sosok Athalia. Tangan Mahesa sedikit gemetar, bersamaan dengan emosi yang meluap dalam dirinya.“Aku tak percaya kalau pernah sebodoh ini tergoda oleh wani
“Baiklah, kita berangkat ke sekolah sekarang!” seru Dean setelah mereka baru saja menyelesaikan sarapan.Athalia dan Dirly sama-sama bangkit dari kursi. Athalia mengambil tas Dirly yang tadi diletakan di atas kursi kosong, lalu membantu memakaikannya di punggung bocah itu.Mereka pun berjalan melewati pintu keluar.Dean membukakan pintu untuk Dirly dan Athalia. Setelahnya mereka masuk ke mobil, baru Dean mendudukan dirinya di balik kursi kemudi.“Dirly, kau yakin tidak ada yang tertinggal? Buku PR-mu?” tanya Dean, menatap Dirly melalui kaca spion yang menggantung di bagian atas mobil.Dirly yang duduk di belakang, menggeleng. “Tidak ada, Pa. Semuanya sudah kumasukkan ke dalam tas.”“Kau yakin?”“Ya.” Dirly menjawab, membuat Dean tersenyum puas.“Kerja yang bagus!” Dirly nyengir lebar saat mendengar pujian dari Dean. Sementara Athalia mengulum senyum tipis.Saat
Mendengar pertanyaan Mahesa, Dean melirik ke arah pintu yang menghubung ke bagian dalam restoran. Ia yakin kalau Athalia masih sibuk melepas rindu dengan teman-teman kerjanya.Dean pun kembali memutar kepala, menatap Mahesa.“Sebentar lagi dia akan ke sini. Nanti aku akan mengenalkannya,” ucap Dean. Mahesa mengangguk.“Oh ya, kenapa tiba-tiba kau ingin bertemu denganku? Hmm? Bukankah sebagai seorang CEO, harusnya kau sibuk berjibaku dengan pekerjaanmu di kantor?” Dean bertanya pada Mahesa setelah ia selesai meneguk air putih yang tersedia di dalam botol kaca, kemudian menepikan punggungnya dan menaikan kaki kanannya ke atas kaki kiri.Mahesa mendesah pelan, gurat lelah di wajahnya menunjukan bahwa ia sedang tak bersemangat hari ini.“Hari ini aku merasa penat dengan pekerjaan di kantor. Jadi kuputuskan untuk keluar sebentar,” jawab Mahesa, yang kemudian menumbuhkan kernyitan heran di kening Dean.Detik selanjutnya, De
“Athalia, makan yang banyak,” kata Dean, melirik pada piring Athalia yang masih penuh.Athalia meneguk ludahnya susah payah, mengangguk kecil.“Tidak, Dean. Aku sudah kenyang.”Dean mengernyitkan alis mendengar itu. “Kenyang apanya? Tadi kau hanya sarapan sedikit di rumah.”Dean tidak mengerti bahwa Athalia bukannya tidak lapar. Tapi bagaimana ia bisa makan, sementara di depannya, mata tajam Mahesa menatap penuh intimidasi.“Apa kau mau aku suapi?” tanya Dean, yang pertanyaannya berhasil membuat Athalia terkejut dan segera menoleh.Sedangkan Mahesa langsung menyipitkan mata. Sambil berpura-pura menikmati makanan di piringnya. Ia pun perlu kekuatan untuk menelannya susah payah. Demi tak muntah ketika melihat pemandangan menjijikan di depannya.Pasti Athalia sengaja bersikap manja agar Dean memperhatikannya, lalu menunjukan sikap mesra. Picik sekali wanita itu. Begitu pikir Mahes
“Athalia, Mahesa?” Dean melangkah mendekat, berdiri di antara Mahesa dan Athalia.Athalia tampak gelisah, sedangkan Mahesa menunjukan sikap biasa. Hanya berdiri kokoh sambil membenamkan kedua tangannya di saku celana.“Kupikir kau sudah pulang.” Dean menatap Mahesa.Mahesa tersenyum hambar. “Tadinya begitu, tapi aku melihat calon istrimu berdiri sendirian. Jadi aku mengajaknya ngobrol sejenak sampai kau datang.”Mendengar penjelasan Mahesa, Dean menyunggingkan senyum lebar. Kemudian menepuk pelan pundak Mahesa dengan bangga.“Kau ini tidak pernah berubah. Meskipun cuek tapi sangat perhatian pada orang lain.”Athalia mengangkat kepalanya, menatap Mahesa dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Namun tatapan itu dibalas oleh Mahesa dengan memberikan senyum sinis padanya. Segera Athalia mengalihkan pandangan ke arah Dean.“Terima kasih sudah menemani calon istriku. Kalau begitu kami pergi duluan. S
“Hallo, Dean. Kau ada di mana? Nanti malam sibuk tidak, kita pergi ke club bareng.” Mahesa berkata pada Dean yang ada di seberang telpon, sambil menempelkan ponselnya di telinga kanan.“Maaf, Mahesa. Aku tidak bisa.”Kening Mahesa berkerut dalam mendengar jawaban Dean.Tidak bisa, katanya?“Kau sibuk?”“Aku akan vitting baju pengantin bersama Athalia. Setelah itu, kami juga akan mencari cincin pernikahan. Jadi jadwalku padat hari ini,” jelas Dean di seberang sana, yang kemudian membuat Mahesa menghela napas panjang dan tersenyum kecut.“Benarkah? Jika sudah melakukan persiapan sematang itu, sepertinya kalian akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat,” ucap Mahesa, yang entah mengapa merasa ada yang remuk di dalam sana, di rongga dadanya.“Itu benar. Dan orang pertama yang akan kuundang pasti adalah kau.” Dean menjawab sambil terkekeh.Mahesa hanya menarik sebel
“Jeruknya yang mana, Nona?” Bik Inah bertanya pada Athalia yang berdiri di sampingnya.Hari ini, mereka berdua sedang belanja di salah satu toko buah ternama di Jakarta.Athalia menoleh pada Bik Inah, lantas melempar senyum.“Yang mana saja, Bik. Yang terlihat paling segar.”Bik Inah mengangguk, dengan cekatakan memasukkan beberapa buah jeruk ke dalam plastik bening yang tadi diambilnya dari gulungan yang tersedia di masing-masing tempat buah.“Tuan kecil paling suka dengan buah jeruk, kita ambil banyak saja, Nona.” Bik Inah terlihat sumringah. Athalia mengangguk dan tersenyum mendengar ucapannya.Sebenarnya belanja buah-buahan ini bisa dilakukan oleh pembantu. Tetapi Athalia merasa bosan diam di rumah, sedangkan Dean sedang di restorannya. Jadi Athalia pikir tidak masalah jika ia menghilangkan penat dengan membantu tugas Bik Inah.Setelah selesai membayar, mereka pun berbalik