Bukannya menjawab, Mahesa langsung merenggut kedua pergelangan tangan Athalia yang berada di dasinya.
“Aaakhh … “ Athalia meringis saat tangan Mahesa terlalu keras mencekal pergelangan tangannya.
“Bukankah sudah kukatakan padamu. Jangan bertanya tentang hal-hal yang pribadi tentangku! Karena aku tidak suka urusanku dicampuri oleh orang lain. Kau tidak berhak mengetahui semua urusanku. Urus saja urusanmu sendiri! Ingatlah kalau tugasmu hanya melayaniku di atas tempat tidur!”
Athalia terkejut menatap Mahesa yang saat ini sedang menyilatkan kemarahan di wajahnya. Athalia hanya ingin bertanya, ia tidak menyangka jika Mahesa akan menjadi semarah ini.
“Ma-maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” cicit Athalia yang merasa takut melihat wajah geram Mahesa.
Mahesa tidak menjawab, lelaki itu hanya mendengus kesal lalu melepaskan cekalannya dari tangan Athalia dengan menyentaknya. Kemudian Mahesa berlalu masuk ke dalam walk-in closet yang terdapat di dalam kamar itu.
Athalia tergugu memegangi dadanya sendiri, matanya menatap nanar ke arah pintu walk-in closet yang tertutup rapat di depan sana.
“Apa ada yang salah dengan pertanyaanku? Mengapa Mahesa sampai semarah itu?” gumam Athalia bingung.
Sementara itu, di dalam walk-in closet. Mahesa menyandarkan punggungnya di pintu. Napasnya bergerak naik-turun dengan cukup cepat. Tiba-tiba ia merasakan gemuruh di dadanya.
Bayangan-bayangan masa lalu mengguncang pikirannya, membuat Mahesa memejamkan mata seraya meremas kepalanya dengan kuat.
“Tidak! Pergi! Tidak! Aku tidak ingin ingat lagi. Aku tidak ingin mengingat masa kelam itu. Aku tidak mau!” Mahesa menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengusir bayangan masa lalu yang berkelebat dalam benaknya.
Tubuh Mahesa yang tegap itu kini merosot ke bawah. Lelaki itu duduk dengan masih memegangi kepalanya.
‘Kau pembawa sial! Kau tidak pantas hidup! Seharusnya aku tak melahirkanmu saat itu!’ bahkan ucapan itu masih terngiang jelas di telinga Mahesa.
Mahesa merasakan tangannya bergetar pelan, keringat sudah membasahi pelipis dan keningnya. Setiap kali ada yang membuatnya teringat dengan masa lalunya, hal-hal seperti ini pasti akan terjadi.
Ya! Mahesa memiliki trauma terhadap masa lalunya. Mahesa sendiri tahu, sebenarnya ia sering bermimpi dan mengigau seperti yang diceritakan oleh Athalia.
Kadang Mahesa tak bisa tidur nyenyak, ia kerap ketakutan dalam tidurnya. Bayangan kelam masa kecilnya lah yang membuatnya takut.
“Kapan aku bisa melupakan semua ini? Demi Tuhan, aku tidak ingin mengingatnya lagi,” desahnya lelah.
Tepatnya saat itu Mahesa masih berusia sepuluh tahun. Saat dimana ia hidup di lingkup keluarga yang sangat tidak harmonis. Mahesa kecil memiliki segalanya. Ia bisa membeli apapun yang ia tunjuk. Namun satu hal yang tidak bisa Mahesa dapatkan. Yaitu cinta dan dekapan orang tuanya.
Sandra Ardelia—Ibu kandung Mahesa kerap bertengkar nyaris setiap hari dengan Leuwis saat malam. Membuat tidur Mahesa terganggu dan bocah kecil yang malang itu justru ketakutan. Karena pertangkaran kedua orang tuanya pasti akan membuat kegaduhan yang sangat heboh.
Telinga Mahesa sering menangkap suara mengumpat kedua orang tuanya yang saling memaki, juga tak jarang ia akan mendengar suara lemparan barang setiap malam.
Benar! Pertengkaran Sandra dan Leuwis memang terjadi setiap malam. Karena siang harinya mereka akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mereka berdua tak memperdulikan Mahesa yang meminta ditemani sarapan bersama sebelum berangkat sekolah. Sandra dan Leuwis malah sibuk mencari uang.
Bahkan Mahesa kadang bersembunyi di dalam lemari dan menutup kedua telinganya untuk menghindari suara keras pertengkaran kedua orang tuanya.
Puncak pertengkaran kedua orang tuanya adalah di saat Mahesa ingin memberi kejutan untuk ulang tahun ibunya yang ke tiga puluh tiga. Dengan dibantu seorang pelayan, Mahesa membuat sebuah kue cokelat yang bertuliskan happy birthday. Dengan harapan siapa tahu ibunya akan memeluknya kali ini.
Namun sayang, Mahesa harus menelan kecewa malam itu. Karena Sandra dan Leuwis bertengkar sangat hebat, bahkan lebih hebat dari sebelum-sebelumnya.
Mahesa yang mendengarkan mencoba mendekat, berdiri tak jauh dari tempat kedua orang tuanya yang sedang berperang mulut.
“Kau berselingkuh! Kau ingin pergi dengan bossmu itu? Iya ‘kan?” suara Leuwis terdengar marah saat itu. Tatapannya tajam pada Sandra.
“Kalau iya, lalu kau mau apa? Lagipula kau juga berselingkuh. Kau pikir aku tidak tahu. Kau bermain gila dengan sekretarismu di kantor!” balas Sandra. Dan Mahesa masih setia mendengarkan, tangannya meremas lengan kursi.
Meski masih kecil, namun Mahesa sudah mengerti apa maksud dari ucapan kedua orang tuanya. Intinya, mereka berdua ingin bercerai.
Dan hal yang paling membuat Mahesa sakit adalah malam itu juga Sandra segera membereskan pakaiannya ke dalam koper, ia akan pergi. Saat matanya melihat Mahesa, Mahesa pikir Sandra akan memeluknya untuk yang terakhir kali.
Namun yang terlontar dari mulut Sandra sungguh di luar dugaan.
“Kau pembawa sial! Kau tak pantas hidup! Seharusnya aku tak melahirkanmu saat itu!”
Hancur sudah hati Mahesa. Ia menerima kecaman yang begitu kejam dari Sandra. Sepertinya selama hidupnya, Mahesa tidak akan pernah mendapatkan pelukan dari ibu kandungnya.
“Mama!” Mahesa berteriak, memanggil Sandra yang tetap berjalan cepat menggeret kopernya.
“Mamamu tidak akan kembali lagi, Mahesa. Dia langsung pergi meninggalkan kita setelah mendapatkan lelaki yang jauh lebih kaya dari Papa. Bossnya pengusaha asal jepang. Dan mamamu berselingkuh dengannya karena dia kaya raya. Dasar wanita!”
Tanpa sadar, Mahesa kecil yang hatinya rapuh dan terluka, merekam kalimat Leuwis dalam otaknya.
Hingga saat ini, di tiga puluh tahun hidupnya. Mahesa masih menganggap bahwa semua wanita sama saja. Yang mereka cari adalah uang.
***
“Athalia! Kau tahu ‘kan, malam ini adalah pesta ulang tahun ibu tiriku. Meskipun aku tidak ingin datang, tapi mau tidak mau aku harus tetap datang ke sana. Dan aku ingin kau menemaniku,” jelas Mahesa menatap Athalia yang saat ini berdiri di depan meja kerjanya.
Athalia mengangguk. “Baik, Tuan.”
Seketika Mahesa memijat keningnya dan berdecak pelan. “Ah, iya. Aku lupa kalau kau belum memiliki gaun!” serunya membuang napas pelan.
“Bukan masalah, Tuan. Aku memiliki beberapa gaun yang kubawa dari rumah.”
“Benarkah? Gaun seperti apa yang akan kau pakai?” Mahesa menyipitkan matanya. Membuat bibir Athalia mengerut lucu.
“Dengar, Athalia. Pesta ini tidak terlalu penting untukku. Tapi di sana banyak sekali kolega bisnis yang akan mengenalku. Aku ingin kau pergi ke butik bersama Sofia. Dia akan memilihkan gaun yang cocok untukmu. Pergilah sore ini juga. Karena waktu kita tidak banyak. Sementara aku akan menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai ini.” Mahesa memerintah.
Ia menyuruh Athalia pergi dengan Sofia—asisten pribadi Mahesa.
Dan Athalia kembali mengangguk, ia pamit kembali ke meja kerjanya. Diam-diam bola mata Mahesa mengintai tungkai jenjang wanita itu yang bergerak melangkah menuju pintu.
“Bagaimana bisa wanita sederhana seperti Athalia mempunyai tungkai yang jenjang dan indah seperti itu?” tanpa sadar, bibir Mahesa bergumam, jakunnya bergerak naik-turun menelan ludah.
Dan gumaman itu terdengar samar di telinga Athalia, hingga membuat Athalia menghentikan langkahnya sejenak untuk berbalik menatap Mahesa dengan kening yang berkerut.
“Apa Anda mengatakan sesuatu, Tuan?” tanyanya. Mahesa segera kembali pada kesadarannya, ia mengerjap dan menggeleng.
“Enghh … tidak ada. Aku tidak mengatakan apapun,” dustanya. Padahal sesuatu di balik celananya sudah mendesak bangkit begitu tungkai Athalia melambai-lambai di depan matanya.
‘Ck! Sial! Athalia membuatku berhasrat di waktu yang tidak tepat!’ Mahesa berdecak kesal dalam hati.
Setelah berhasil menguasai diri, malam ini Mahesa telah gagah dengan setelan jass yang ia kenakan. Tubuhnya yang tegap dan jangkung, tampak sangat proporsional dengan jass berwarna hitam itu. Lelaki itu baru saja selesai menelpon bawahannya, lalu ia meneguk air minum sambil berdiri di samping meja ruang tengah. “Athalia! Apa yang sedang kau lakukan di atas? Ayo kita berangkat sekarang!” serunya memanggil Athalia yang belum juga menuruni tangga. Tak lama, suara ketukan heels terdengar, membuat Mahesa menoleh ke sumber suara. Akan tetapi, hasratnya seketika kembali melambung tinggi. Gaun merah itu tak berlengan, hanya bertali spageti dan tentu saja membuat pundak Athalia yang putih bersih itu terbuka. Namun tetap elegan dan cantik.Merasa canggung ditatap sangat dalam oleh Mahesa, Athalia pun bertanya, “Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Apa gaun ini terlalu terbuka?” Ia memang tidak pernah memanggil Mahesa dengan embel-embel ‘Tuan’ jika
“Tidak perlu malu mengatakannya padaku, Athalia. It’s oke. Aku mengerti kalau Mahesa mungkin saja sedang membutuhkan hiburan. Maka dari itu dia memintamu untuk menemani tidurnya. Tapi bolehkan aku tahu, berapa Mahesa membayar tubuhmu?” Ayaz sengaja berbisik di akhir kalimatnya. Kedua tangan Athalia mengepal di atas paha, ia merasa sangat terhina mendengar pertanyaan Ayaz. “Kenapa diam, Athalia? Katakan saja. Kau tahu kalau aku tidak ingin berniat jahat padamu. Aku hanya ingin tahu ada apa di antara kau dengan Mahesa. Itu saja.” Athalia menarik napasnya dalam, menahan kekesalan yang mengumpul dalam hatinya. “Maaf, Tuan Ayaz. Aku ingin pergi ke toilet. Permisi!” baru saja Athalia bangkit dan akan menghindar. Namun Ayaz lebih cepat menahan pergelangan tangannya. “Eitss. Tunggu dulu! Aku belum selesai bicara, Athalia.” Ayaz pun berdiri, tangannya masih memegangi pergelangan tangan Athalia agar wanita itu tidak lari. “Apapun yang Anda katakan dan tanyakan, aku tidak ingin menjawa
Di sisi lain, Mahesa langsung menggendong Athalia. Otomatis, wanita itu melingkarkan kedua lengannya di leher Mahesa. Hal ini jelas membuat semua orang terkejut melihat tubuh basah kuyup Mahesa dan Athalia. Mereka bertanya-tanya, apa yang membuat tubuh mereka basah seperti itu? Jessica dan Leuwis pun sama terkejutnya. “Mahesa. Kau mau ke mana? Mengapa tubuhmu basah kuyup? Lalu kenapa kau menggendong wanita itu?” menghampiri Mahesa, Leuwis segera memberondongnya dengan pertanyaan. Mahesa menghentikan langkah, ia memutar kepalanya dan menoleh pada Leuwis. “Athalia tenggelam di kolam renang. Dan aku yakin kalau kejadian ini bukan kebetulan. Ada seseorang yang sengaja mendorongnya. Begitu pesta selesai, aku ingin bicara dengan Papa dan semua anak-anak tiri Papa,” ucap Mahesa lantas berlalu meninggalkan Leuwis begitu saja. Leuwis menatap bingung pada punggung tegap Mahesa yang perlahan menjauh. “Jadi sekretarisnya Mahesa tenggelam? Bagaimana bisa? Apa iya ada orang yang sengaja me
"Detik ini aku memberimu peringatan untuk tidak mencoba menyakiti Athalia lagi. Jika kau berani melakukannya, maka aku tidak akan segan membalasnya dengan menggunakan tanganku sendiri! Camkan itu baik-baik!" desis Mahesa sambil menghujamkan tatapan penuh kemarahan pada Bianca."Sayang! Lihat kelakuan putramu! Apa yang dia lakukan pada Bianca.” Jessica mengadu pada Leuwis.Dengan emosi, Leuwis menggertakkan gigi dan menatap Mahesa dengan tajam. “Pulanglah sekarang, Mahesa! Jangan membuat keributan lagi di rumahku. Aku mengundangmu kemari untuk ikut merayakan pesta ulang tahun ibu tirimu. Bukan untuk membuat kegaduhan seperti ini!”Dengan entengnya Mahesa menjawab. “Bahkan tanpa diminta pun, aku memang akan pulang sekarang. Lagipula aku muak lebih lama berada di sekitar orang-orang licik seperti kalian! Selamat malam!” Mahesa membalikan badannya, berjalan tegas keluar meninggalkan semua orang yang saat ini sedang menatap tajam punggung lebarnya.Tapi Mahesa tak peduli. Yang jelas sekara
"Sudah selesai. Apa yang kau rasakan sekarang? Apakah lukamu masih sakit?" Mahesa bertanya sambil menyetuh pelan luka Athalia. "Tidak. Sekarang sudah jauh lebih baik. Terimakasih banyak.""Hmmm ... " Athalia memanyunkan bibirnya, saat lelaki itu hanya menjawabnya dengan dehaman. Selesai mengobati luka di sikut Athalia, Mahesa kembali memasukan salep ke dalam kotak obat, menutup kotak obat itu dengan rapat. Sampai suara bell yang terdengar, membuat kepala mereka sama-sama menoleh ke arah pintu. "Siapa yang datang?" gumam Athalia bertanya-tanya. Suaranya yang pelan masih mampu terdengar oleh telinga Mahesa. "Paling juga yang datang Jossy dan Ambar," tebak Mahesa asal. Jossy dan Ambar adalah dua orang pelayan yang selalu datang di pagi hari dan pulang sore hari di apartmen milik Mahesa. "Tapi apa iya mereka akan datang sepagi ini?" Athalia sedikit ragu. "Biar aku yang membukanya," kata Mahesa lalu berjalan menuju pintu. Tangannya membuka daun pintu itu, akan tetapi setelahnya, Mah
“Lepaskan aku! Kau tidak perlu mendorong-dorong tubuhku seperti ini! Tanpa kau minta pun, aku memang akan pergi.” Leuwis menyentak tangan Mahesa, kemudian ia membenarkan kelepak jassnya. Leuwis menatap Mahesa dengan sedikit perasaan takut yang ia sembunyikan. Pasalnya, Mahesa menatapnya dengan mata yang dingin dan begitu tajam. Leuwis pun keluar dan Mahesa segera menutup pintu apartmennya rapat-rapat. Mahesa tidak ingin Leuwis datang lagi dan kembali menyakitinya dengan cara membuka semua luka di masa lalunya.“Dia tidak boleh kembali! Dia tidak boleh kembali!” gumam Mahesa mengunci pintu apartmennya dengan bibir yang sedikit gemetar.Setelahnya, Mahesa mendudukan dirinya di sofa dengan tangan yang sedikit gemetar pula. Ini adalah hal yang kerap terjadi padanya ketika ia teringat dengan masa lalunya yang kelam.Mahesa menangkup wajahnya dengan kedua tangan, meremas rambutnya dengan mata yang memanas menahan tangis.Tangannya bergetar setiap kali habis berdebat dengan Leuwis soal San
Athalia kembali menatap Mahesa. Tapi seperti yang Mahesa bilang, Athalia sama sekali tidak jera. ‘Mahesa tidak mau mengunjungi psikolog. Mungkin dia tidak sadar kalau ada masalah dengan dirinya. Aku sama sekali tidak takut dengan ancamannya. Justru aku merasa kasihan. Dia tampan, kaya, memiliki kehidupan mewah yang diimpikan banyak orang. Tetapi hatinya kosong. Aku sama sekali tidak melihat ada kebahagiaan dalam dirinya,’ gumam Athalia dalam hati.Merasa puas telah memberikan pelajaran dan hukuman pada Athalia, Mahesa pun kembali melajukan mobil menuju kantor.*** Sementara itu, di kantor, kabar tentang kedekatan Athalia dan Mahesa tampaknya mulai merebak dan tercium oleh sebagian besar karyawan. Banyak yang merasa cemburu tapi mencoba mengabaikan masalah itu. Para model cantik kelas atas yang biasa dipanggil Mahesa pun ketar-ketir. Mereka bingung, entah mengapa Mahesa tidak pernah meminta mereka datang ke perusahaannya untuk sekadar bermain dan memanjakannya di sana.Siang ini At
Athalia mencoba menahan tubuh Ayaz agar tidak maju lagi ke dalam apartmen itu. “Tolong pergi dari sini! Aku bisa berteriak untuk mengusirmu!” Athalia mendorong dada Ayaz yang bidang, namun sayangnya tubuh tegap dan jangkung lelaki itu tak bergerak sedikitpun. Ternyata tenaga Athalia terlalu lemah untuk Ayaz yang seorang lelaki berperawakan atletis.“Silakan saja jika kau ingin berteriak. Tapi biar kuberitahu, teriakanmu itu hanya akan menjadi sia-sia saja. Kau tidak akan bisa mencegahku untuk mengganggumu, Athalia!” kata Ayaz yang tanpa diduga malah mendorong tubuh Athalia hingga mundur beberapa langkah ke belakang.“Aakhh … “ beruntung Athalia tidak sampai terjatuh karena dorongan Ayaz tidak terlalu keras.“Apa yang kau lakukan?! Jangan kunci pintunya!” Athalia berteriak histeris saat Ayaz memanfaatkan kesempatan itu untuk mengunci pintu apartmennya.Begitu kuncinya sudah aman, Ayaz menoleh ke arah Athalia dengan seringaian yang membuat tubuh Athalia serasa merinding.“Tenang, Atha