Share

Kedua

Author: Marcell
last update Last Updated: 2022-11-05 21:43:14

Dua minggu telah berlalu tapi Ariana hanya mendapatkan surat penolakan dari beberapa perusahaan dengan alasan pendidikannya cukup tinggi untuk melamar menjadi karyawan. Seakan Ariana tak pantas untuk bekerja di bidang tersebut. Selama dua minggu itu pula Ariana bekerja keras dengan membersihkan rumah, memasak layaknya ibu rumah tangga.

Setiap hari dia sangat lelah tapi untuk apa mengeluh. Ini bukan rumah yang menjadi tempatnya berleha-leha. Ariana tahu diri dan mengerti betapa sulitnya Elisia bekerja keras. Dia sangat berharap ada orang yang mau memberinya pekerjaan, meski nanti dibayar kecil setidaknya akan mengurangi beban Elisia.

"Gimana? Udah dapat email mereka?" Ariana membuang napas kasar.

"Mereka menolakku lagi dan alasannya sama. Aduh aku nggak ngerti deh jalan pikiran mereka, harusnya mereka senang dong punya karyawan yang berpendidikan tinggi, ini kok malah ditolak," omel Ariana kesal.

"Yah mungkin bukan rejeki kamu sabar aja nanti juga dapat kok. Tinggal berapa email lagi yang kamu tunggu?" tanya Elisia lagi.

"Satu lagi dan emailnya malam ini jam delapan." Elisia melihat jam di dinding.

"Tinggal beberapa menit lagi, cepat buka email siapa tahu mereka sudah mengirimnya." Ariana patuh dan segera membuka emailnya. Tangannya gemetaran saat melihat sebuah email yang dikirim beberapa menit lalu.

Ariana melihat pada Elisia tidak yakin. Bagaimana nantinya dia akan ditolak seperti sebelumnya. "Jangan cemas Ana, kalau kamu nggak keterima kita cari pekerjaan lain ok?" Ariana mengangguk. Meski tak sepenuhnya menghilangkan rasa gugup tapi Ariana sedikit tenang.

Ariana mengarahkan mouse laptop kearah emai. Sebelum sempat mengklik Ariana langsung menutup mata, tak sanggup melihat hasil. Elisia malah membaca email. Tak satu pun kata yang terlewatkan.

"Ariana kau akan interview," ucap Elisia. Mata Ariana terbuka lebar ketika menatap Elisia yang tersenyum. Dia kemudian berpaling menatap layar laptop dan kemudian senyum menghias bibir. Elisia tak berbohong.

Ariana memeluk Elisia erat-erat. Dia berterima kasih banyak kepada Elisia yang selalu menyamangati dan membantu Ariana meski belum sepenuhnya bisa kerja tapi sahabatnya sangatlah bisa diandalkan.

"Sekarang ayo kita siapkan bajumu. Kau punya kemeja, jas dan rok selutut?" Ariana membeku. Dengan pelan ia menggeleng.

"Aku nggak suka baju yang kaya gitu kalau pun pergi ke acara bajunya aku sewa." Elisia mengangguk paham.

"Baiklah tak apa-apa kau bisa pinjam punyaku dan ayo kita siapkan alat-alatnya dulu." Ariana patuh dengan ucapan Elisia. Bagaimanapun Elisia memiliki lebih banyak pengalaman di dunia kerja. Tak ada salahnya, kan mengikuti aturan Elisia.

***

Hari interview sudah di depan mata. Ariana pun sudah siap dengan segala keperluan untuk wawancara termasuk CV. Dalam diam Ariana terus menatap bayangannya. Jujur ini sama sekali bukan selera Ariana untuk berpakaian seperti itu.

Dia tampak bukan Ariana yang dikenal. Rambut yang selalu digerai kini di ikat rapi menjadi satu dengan menyisakan poni menutup dahi. "Udah siap?" tanya Elisia. Dia baru saja masuk dan datang ke kamar.

"Iya sudah." Ariana menjawab singkat.

"Kalau begitu sebaiknya kita pergi jangan telat dengan wawancaranya." Ariana patuh dan membawa tas yang berisi CV dan dokumen lain.

Sepanjang perjalanan Elisia terus mengingatkan beberapa hal penting seperti menjawab beberapa pertanyaan dengan lugas. Ariana diam saja sambil terus melihat ke arah dokumen sebentar. Meski demikian, dada wanita itu terus bergemuruh sepanjang perjalanan menuju kantor.

Akhirnya mereka sampai di perusahaan busana terkenal di kota tersebut yaitu S Fashion. Telah berdiri sejak 1996 tetapi masih tetap mempertahankan eksistensinya sampai sekarang.

Mereka membutuhkan karyawan administrasi yang lihai cocok dengan pendidikan Ariana. "Semangat Ariana, maaf aku tak bisa menunggu."

"Iya tak apa-apa. Aku akan pulang sendiri begitu wawancara selesai." Elisia mengangguk paham. Dia kemudian melajukan mobilnya ke jalan raya kembali sementara Ariana siap masuk ke dalam sebuah bangunan besar. Setelah mengecek kartu, dia masuk ke dalam lift bersama beberapa karyawan.

Di dalam ruangan sempit, Ariana terpaksa berdempet-dempetan membuat dada makin sesak tapi tak sampai menghilangkan gugup yang dia rasakan sekarang. Tibalah di lantai satu. Beberapa karyawan keluar begitu pun Ariana.

Tidak lama menemukan ruangan wawancara karena di sana terdapat puluhan orang yang mengantri. Kisaran satu jam nama Ariana akhirnya dipanggil. "Kau lulusan luar negeri?" Pertanyaan tersebut keluar bahkan sebelum Ariana duduk.

"Iya pak," jawab Ariana singkat.

"Nama margamu juga tak asing, apa kau punya hubungan dengan Tuan Risman?" Ariana mengeratkan cengkramannya.

"Dia ayah saya." Ariana bersuara lemah dan seketika kepercayaan diri Ariana langsung jatuh. Dia sama sekali tak menyangka bahwa akan ada orang yang mengenal Ayahnya. Entah apa yang dipikiran oleh si penanya. Ariana anak dari Risman, pemilik Bank yang terkenal satu negara melakukan wawancara untuk posisi rendah.

"Hm, pendidikanmu terlalu tinggi apa tak sayang bekerja untuk posisi karyawan administrasi?"

"Ayahmu tahu kau wawancara di sini?" Berbagai pertanyaan yang dilontarkan tidak sama sekali tepat. Wajah Ariana menjadi pucat namun dia berusaha untuk menjelaskan segala sesuatu. Tak sampai mengatakan yang sebenarnya, Ariana tak mau orang-orang mengetahui permasalahannya dengan Risman.

Pada akhirnya 30 menit selesai. Wawancara pun berhenti tanpa ada yang bertanya soal kinerja atau pun permasalahan pekerjaan. Dengan buru-buru Ariana bergegas ke toilet wanita memuntahkan semua yang ada dalam perutnya karena mengalami serangan panik.

Tubuhnya bergetar hebat dan yang bisa dilakukan adalah duduk sambil berhitung sampai tenang. Ariana berusaha menahan tangis akan tetapi air matanya terus jatuh. Selama satu jam tak ada hasil. Ariana menyerah dan menelepon Ibunya, Rika.

Tidak lama Rika mengangkat telepon. "Halo nak, kamu ada di mana? Mama khawatir karena pak Surip bilang kamu di usir sama Ayah biar Ibu bicara sama Ayah ya nanti Ibu jemput kamu."

"Ibu ..." suara Ariana jelas bergetar membuat Rika terdiam sebentar.

"Ariana, kamu kenapa? Apa kau panik?" Kali ini Ariana tak bisa menahan isaknya. Dia benar-benar tertekan. Ariana menceritakan segalanya ďan bagaimana ketakutan yang dia hadapi.

"Tenang Ana sayang, atur napasnya ok?" Ariana ikut intruksi Ibunya yang menyuruhnya menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan sampai dia tenang. "Dengarkan Ibu sayang. Ibu bangga sama Ana, Ana sudah hebat karena menjawab seperlunya dan Ibu mengerti kamu bertanggung jawab karena nggak mau nyusahin Elisia. Apapun yang Ana lakukan hari ini adalah keberanian. Nggak apa-apa kalau nantinya Ana nggak akan keterima, mungkin ada yang lebih baik di luar sana. Tetap semangat ya sayang, pokoknya Ibu akan selalu ngedukung Ana."

Ariana mendengarkan sambil mengatur napas. Suara Ibunya selalu bisa menenangkan wanita itu namun dia masih belum siap untuk keluar. Mereka bercakap-cakap cukup panjang sampai lupa waktu. Semua itu dilakukan supaya Ariana bisa menyembuhkan kepanikannya.

Setelah bergelut batin, Ariana memutuskan keluar. Dengan pelan dia keluar berjalan menuju ruang wawancara. "Permisi," ucap Ariana kepada salah seorang wanita yang dekat dari tempatnya berdiri.

"Apa wawancara sudah selesai?"

"Sudah. Katanya email nanti dikirim setelah lima hari."

"Jadi apa kita bisa pulang?"

"Ya." Ariana bernapas lega. Setidaknya dia tak harus bertatapan lagi dengan orang-orang yang mewawancarainya. Tidak menunggu waktu lama Ariana segera angkat kaki. Dia tak betah di tempat itu sekarang.

Sedang di sisi lain, pihak HRD menyeleksi karyawan yang interview. "Baiklah Ariana Baseera dia sangat tidak cocok untuk jadi karyawan, harusnya dia bisa jadi lebih dari seorang karyawan ."

"Sayangnya dia melamar untuk menjadi salah satu karyawan. Kalau kita tolak, kita sendiri yang rugi." Semua orang mengangguk setuju.

"Bagaimana kalau dia jadi sekretaris Direktur? Kebetulan Direktur mencari seorang sekretaris. Bagaimana chief?" Pimpinan HRD, Chief Firman melihat sebentar pada foto Ariana. Tampak keraguan di wajahnya.

"Biar aku tanyakan dulu pada Direktur. Kalian tahu sendiri bagaimana Direktur Utama kita. Dia yang akan putuskan kalau mau Ariana menjadi sekretarisnya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengkhianat Cinta   Pura-pura Pingsan

    Akhirnya larut malam, Ana serta beberapa temannya keluar dari tempat karaoke. Mereka asyik berbincang, merencanakan untuk kembali jalan-jalan bersama. "Elisia, yuk pulang udah larut malam." Ana bergerak mendekati Elisia, merangkul lengan sahabatnya itu untuk ke terminal bus mengikuti Sabrina dan Kara. "Ana maaf, aku dan Bima mau pulang ke rumah Bima, aku ingin menginap di sana." Ana yang sedikit mabuk sontak menatap Lisa lalu ke arah Bima. Dia menarik Lisa agar bergerak menjauh dari pacar sang sahabat. "Jangan bilang kau dan dia ingin..." Lisa tersenyum penuh makna dan Ana mengerti hal itu. "Lisa, aku mengerti tapi jangan bertindak gegabah. Aku tak mau terjadi sesuatu yang buruk sama kamu." "Jangan khawatir, aku sudah menyiapkan hal yang aku butuhkan. Aku tidak apa-apa, maaf kalau kamu harus pulang sendiri. Sebenarnya aku tak tega meninggalkanmu sendirian di rumah." Lisa membalas begitu perhatian. "Aku jauh lebih mencemaskanmu," sahut Ana. Mereka berdua kemudian mendekati lagi

  • Pengkhianat Cinta   Penggoda

    Ana merenggangkan tangan. Mencoba bergerak agar tubuhnya tak kaku sebab terlalu lama duduk. Tak lama lagi Ana akan mendapat gaji dari hasil keringatnya sendiri, dia akan pamer pada pria yang sudah mengusirnya dari rumqh. Ayah Ana selalu menganggap putri semata wayangnya ini tak bisa bekerja. Lihat sekarang, dia bisa bertahan di sebuah perusahaan tanpa pertolongan orang tuanya. "Ana," panggil Karin yang mendekat. "Sudah selesai nggak kerjanya? Yuk pulang bareng, katanya mau makan malam bareng sekalian kita jumpa temanmu siapa namanya Elisia?" Pertanyaan Kara disambut anggukan oleh Ana. "Tapi bentar ya, aku mau minta izin pulang sama Pak Direktur. Kalau tiba-tiba dia ngambek gimana? Bisa-bisa aku yang lembur." Ana membalas dengan nada santai. "Ana memang nggak takut ya sama Pak Direktur?" tanya Kara penasaran. Karyawan perusahaan selalu segan kepada Adit sebagai pimpinan. Kharisma dan caranya memimpin membuat Adit bisa dihormati dan dihargai oleh banyak orang. Beda hal dengan

  • Pengkhianat Cinta   Perhatian Juga

    Ana termangu. Tak tahu harus mengatakan apa selain memandang Adit sibuk mengendarai mobil. "Apa maksudmu? Kenapa tiba-tiba Pak Direktur datang dan membawaku masuk ke dalam mobil? Apa yang harus aku katakan pada teman-temanku, mereka pasti berpikiran negatif tentang Pak Direktur." Adit mengkerutkan dahi. "Bagaimana bisa kau bilang mereka berpikiran negatif? Aku kan membantumu, lebih baik perhatikan saja rambutmu berminyak, bau,, ada nasi lagi, aduh penampilanmu ini aku malu kalau harus punya sekretaris berpenampilan sepertimu sekarang." Ana menatap tak percaya pada Adit. Lekas Ana memukul lengan Adit, bibirnya mengerucut kesal. "Eh aku sedang mengemudi! Jangan memukulku!" protes Adit. Mobil kemudian berhenti dan tepat saat itu juga Ana memukul lengan Adit kali ini agak lebih keras. Dari tatapan pria itu dia ingin protes tapi Adit mengurungkan niat dan keluar dari mobil. Dia juga membuka pintu mobil untuk Ana. "Ayo keluar, kita harus mengubah penampilanmu kalau bisa sebelum klien d

  • Pengkhianat Cinta   Insiden Memalukan

    Ariana mendengus sebal. Semenjak rapat Ana tak pernah bertatap muka dengan Adit bahkan saat Ana ingin memberikan laporan rapat, Adit mengabaikannya dengan alasan punya pekerjaan penting. Baiklah kalau Adit tidak mau bertemu toh itu tak akan merusak mood Ana. Jam istirahat tiba, Ana bingkas berdiri ingin ke kantin kantor. Sedari tadi ia mencoba untuk meminta izin tapi sesaat Ana menghentikan niat berpikir jika saja Adit akan menolak bertemu. Di sinilah Ana. Berada di kantin bersama dengan beberapa karyawan wanita. "Jadi bagaimana Ana?" tanya Kara, salah satu rekan kerja. "Bagaimana apanya?" "Bagaimana kerja dengan Pak Adit? Kata mereka dia itu dingin sama perempuan." Sabrina menyahut mendengar percakapan mereka. "Benarkah? Aku rasa tidak seperti itu." Di dalam pandangan Ana, Adit hanya seorang pria yang selalu emosi dan tukang suruh-suruh tapi Adit tak dingin pada wanita buktinya Ana saja dibela ketika Diaz mencari masalah. "Wajar sih kamu nggak tahu gimana kelakuan Pak Dir

  • Pengkhianat Cinta   Tak Berhenti Mengganggu

    Ariana menceritakan kejadian di perusahaan termasuk tak berhenti merutuk kesal dengan sikap Adit. Elisa mengkerutkan kening mendengar sahabatnya itu bercerita dan dia tak menyela sama sekali. "Pokoknya aku kesal banget sama bosku itu, suka semau dia saja!" kata Ariana mengakhiri ocehannya yang panjang. Ana lalu melihat ke arah Eli, masih diam menatap heran padanya. "Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Ana heran. "Aku bingung saja sama kamu. Sebenarnya kamu kenapa sih? Beberapa hari lalu kamu mengasihi Adit sekarang malah marah-marah, apa kamu suka ya sama bosmu itu?" Pertanyaan Eli membuat Ana terkejut. "Kok bisa sih kamu bilang kayak gitu? Aku nggak suka ya sama Adit. Dia angkuh, suka sekali memerintah asal-asalan hanya orang bodoh yang suka sama dia." Eli tertawa. "Jangan gitu, gimana kalau suatu hari kamu suka sama dia? Jadinya kamu orang bodoh itu." "Nggak ah, aku nggak percaya. Dia sama sekali bukan tipeku!" sahut Ana makin kesal. "Lah kan emang tiap rasa suka dimula

  • Pengkhianat Cinta   Suka Memaksa

    Ariana sama sekali tak merasa bersalah malah ia mendengus kesal setelah melihat atasannya masuk ke dalam ruangan. "Dasar bos galak, sukanya mengancam terus karyawan. Aku merasa kasihan pada Nina, dia pasti kesusahan harus menjadi sekretaris Adit."Mungkin hal ini pula mengapa Adit begitu jatuh hati pada Nina. Akhirnya Ariana menepis semua pemikiran tersebut dan kembali fokus pada laporan yang ia kerjakan.Jam istirahat akhirnya tiba. Ariana menghentikan kegiatan mengetiknya dan berdiri dari kursi menuju kantin kantor yang letaknya berada di bawah. "Ana, mau kemana kamu?" pertanyaan Adit sontak menghentikan Ariana.Memutar matanya bosan, ia melihat Adit dengan senyum yang dibuat seramah mungkin. "Mau ke kantin Pak, saatnya makan siang." Ariana menjawab jujur."Masuk dulu, ayo kita bahas tentang laporan yang kamu buat." Adit kemudian menutup pintu sementara Ariana merasa muak. Ariana tetap mengikuti perintah Adit dan membawa laptop yang digunakan olehnya.Beberapa menit berlalu dihabisk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status