Ariana menceritakan kejadian di perusahaan termasuk tak berhenti merutuk kesal dengan sikap Adit. Elisa mengkerutkan kening mendengar sahabatnya itu bercerita dan dia tak menyela sama sekali. "Pokoknya aku kesal banget sama bosku itu, suka semau dia saja!" kata Ariana mengakhiri ocehannya yang panjang. Ana lalu melihat ke arah Eli, masih diam menatap heran padanya. "Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Ana heran. "Aku bingung saja sama kamu. Sebenarnya kamu kenapa sih? Beberapa hari lalu kamu mengasihi Adit sekarang malah marah-marah, apa kamu suka ya sama bosmu itu?" Pertanyaan Eli membuat Ana terkejut. "Kok bisa sih kamu bilang kayak gitu? Aku nggak suka ya sama Adit. Dia angkuh, suka sekali memerintah asal-asalan hanya orang bodoh yang suka sama dia." Eli tertawa. "Jangan gitu, gimana kalau suatu hari kamu suka sama dia? Jadinya kamu orang bodoh itu." "Nggak ah, aku nggak percaya. Dia sama sekali bukan tipeku!" sahut Ana makin kesal. "Lah kan emang tiap rasa suka dimula
Ariana mendengus sebal. Semenjak rapat Ana tak pernah bertatap muka dengan Adit bahkan saat Ana ingin memberikan laporan rapat, Adit mengabaikannya dengan alasan punya pekerjaan penting. Baiklah kalau Adit tidak mau bertemu toh itu tak akan merusak mood Ana. Jam istirahat tiba, Ana bingkas berdiri ingin ke kantin kantor. Sedari tadi ia mencoba untuk meminta izin tapi sesaat Ana menghentikan niat berpikir jika saja Adit akan menolak bertemu. Di sinilah Ana. Berada di kantin bersama dengan beberapa karyawan wanita. "Jadi bagaimana Ana?" tanya Kara, salah satu rekan kerja. "Bagaimana apanya?" "Bagaimana kerja dengan Pak Adit? Kata mereka dia itu dingin sama perempuan." Sabrina menyahut mendengar percakapan mereka. "Benarkah? Aku rasa tidak seperti itu." Di dalam pandangan Ana, Adit hanya seorang pria yang selalu emosi dan tukang suruh-suruh tapi Adit tak dingin pada wanita buktinya Ana saja dibela ketika Diaz mencari masalah. "Wajar sih kamu nggak tahu gimana kelakuan Pak Dir
"Diaz sayangku. Maaf aku baru bisa menghubungimu sekarang. Ayah tak mau aku meneleponmu jadi menyita ponselku selama beberapa hari. Hari ini aku akan menikah dengan pria asing tapi jangan khawatir, kau tetap kekasih yang paling aku cintai. Maaf kalau aku sering berbuat salah padamu dan terima kasih atas segala cinta yang kau berikan. Dari kekasihmu, Ariana." Begitulah pesan dari Ariana kepada pacarnya Diaz. Dalam balutan gaun Ariana, wanita berusia 24 tahun menghela napas berkali-kali. Ini adalah hari yang terpenting baginya tapi dia sama sekali tak merasa bahagia. Bukan tanpa sebab, wanita itu dipaksa menikah dengan seorang lelaki asing. Kata Ayahnya ini adalah pernikahan bisnis dan Ariana tidak bisa menolak.Ariana yang tak setuju segera menolak dengan alasan bahwa dia memiliki kekasih tapi tak didengar oleh Ayah, pria itu tetap kekeh akan keputusannya. Meski Ariana menangis darah sekalipun Ayah tidak mau mendengarkan.Pada akhirnya disinilah Ariana berada di sebuah ruangan dengan se
Sekitar jam delapan Ariana akhirnya sampai di rumah. Langkahnya gontai serta mata bengkak telah mengartikan banyak hal kepada setiap orang yang berpapasan dengan dia termasuk Ayahnya sendiri, Risman.Lelaki paruh baya itu sendiri telah menunggu di teras rumah dengan tenang. Ariana kembali tak bisa menyembunyikan tangis saat menemukan sosok pria paruh baya tersebut. Segera ia hampiri dan memeluknya."Ayah benar, Diaz itu berengsek. Dia hanya ingin memanfaatku saja," katanya sambil terisak. "Sekarang apapun yang dikatakan Ayah, Ana akan menurut."Risman melepas pelukan Ariana menatap putrinya serius. "Benar mau ikut apa perkataan Ayah?" Ariana mengangguk cepat.Lantas senyuman manis terlukis di bibir pria berusia 50 tahun tersebut. Dia lalu masuk ke dalam rumah, sambil mengiring koper besar yang Ariana kenal. Diberikannya koper tersebut pada putrinya. "Pergi dari rumahku sekarang!" hardik Risman tiba-tiba.Ariana kehilangan kata-kata. Sungguh tak menyangka dia akan diusir secepat ini, b
Dua minggu telah berlalu tapi Ariana hanya mendapatkan surat penolakan dari beberapa perusahaan dengan alasan pendidikannya cukup tinggi untuk melamar menjadi karyawan. Seakan Ariana tak pantas untuk bekerja di bidang tersebut. Selama dua minggu itu pula Ariana bekerja keras dengan membersihkan rumah, memasak layaknya ibu rumah tangga.Setiap hari dia sangat lelah tapi untuk apa mengeluh. Ini bukan rumah yang menjadi tempatnya berleha-leha. Ariana tahu diri dan mengerti betapa sulitnya Elisia bekerja keras. Dia sangat berharap ada orang yang mau memberinya pekerjaan, meski nanti dibayar kecil setidaknya akan mengurangi beban Elisia."Gimana? Udah dapat email mereka?" Ariana membuang napas kasar."Mereka menolakku lagi dan alasannya sama. Aduh aku nggak ngerti deh jalan pikiran mereka, harusnya mereka senang dong punya karyawan yang berpendidikan tinggi, ini kok malah ditolak," omel Ariana kesal."Yah mungkin bukan rejeki kamu sabar aja nanti juga dapat kok. Tinggal berapa email lagi y
Firman menarik napas panjang. Dia berjalan Setelah selesai dari rapat Firman segera menuju tempat Direktur. Diketuknya sebentar lalu masuk ke dalam. Seorang pria kisaran usia 27 tengah sibuk dengan file. Begitu sibuk sampai tak menyadari datangnya Firman itu pun hanya dilirik sekilas. "Ada apa Chief? Sudah dapat seseorang yang menggantikan Nina.""Sudah Direktur, ini kandidat yang kita punya untuk jadi sekretaris Direktur." Firman membalas sambil meletakkan di meja."Iya, iya terima kasih nanti kalau kerjaku sudah selesai aku pasti akan baca. Boleh pergi tidak? Aku ingin fokus bekerja." Firman menarik napas panjang. Dia kemudian balik kanan hendak menuju pintu keluar. Langkah mendadak berhenti.Firman menatap lagi sosok Direktur yang sedang sibuk mengetik. "Aditya," panggil Firman. Pria bernama Aditya itu langsung menoleh lurus ke arah Chief."Aku tahu kau sedang memiliki masalah tapi jangan terlalu memaksakan diri. Kau juga harus beristirahat." Aditya termenung sebentar. Dia mengangg
Sepeninggal Firman, Nina dan Ariana dilanda rasa canggung. Suasana langsung berubah saat Nina tersenyum dan dengan ramah dia meminta Ariana untuk duduk di samping. "Kita belum berkenalan secara langsung ya, perkenalkan aku Nina," ucap Nina sambil mengulurkan tangan."Aku Ariana." Ariana membalas dengan menjabat tangan Nina."Karena kau akan menjadi sekretaris Pak Aditya, kau harus tahu keseharian Pak Aditya." kening Ariana mengkerut."Keseharian Pak Direktur?" Nina mengangguk."Keseharian Pak Direktur sangatlah penting melebihi pekerjaan apapun. Kau perlu pastikan semua terpenuhi itu pun tidak termasuk permintaannya tiba-tiba.""Aku pikir pekerjaan sekretaris sebagaimana pekerjaan yang semestinya.""Itu untuk Direktur yang lain beda dengan Direktur Utama kita. Dia perfeksionis, kalau ada satu hal yang beda sedikit saja dia Pak Aditya langsung marah besar." Nina diam sebentar ketika melihat perubahan ekspresi Ariana. "Tapi jangan khawatir kok, biar sikap Pak Aditya angkuh, dia baik sek
Pintu ruang kerja diketuk. Aditya menyuruh orang itu masuk tanpa menoleh sekalipun. Langkah kaki terdengar mendekat dan mata Aditya lalu menangkap sebuah kopi yang baru diseduh tergeletak di samping. Aditya tersenyum kemudian memalingkan wajah ke arah Ariana. "Berubah pikiran?"Ariana menggigit bibir. "Iya pak,""Kok cepat sekali berubah pikiran, padahal tadi kau berkoar-koar mengatakan lelah karena sikapku." Aditya tersenyum miring saat melihat tangan Ariana mengepal erat. Tampaknya dia berusaha untuk tetap tenang."Saya minta maaf kalau sudah berucap kurang sopan dan saya harap Pak Direktur tidak memasukkan kata-kata saya di dalam hati. Ucapan saya murni semata karena kelelahan saja." Ariana berupaya sebaik mungkin agar Aditya tak marah."Baiklah, aku akan memaafkanmu tapi jika kau melakukan sesuatu yang tidak sopan kepadaku lagi. Sebagai gantinya kau harus datang ke sini setiap hari, membantu Nina dengan pekerjaannya. Ayo kita lihat seberapa baik kau bisa menjadi sekretarisku." Adi