Share

Pertama

Author: Marcell
last update Last Updated: 2022-11-02 23:48:20

Sekitar jam delapan Ariana akhirnya sampai di rumah. Langkahnya gontai serta mata bengkak telah mengartikan banyak hal kepada setiap orang yang berpapasan dengan dia termasuk Ayahnya sendiri, Risman.

Lelaki paruh baya itu sendiri telah menunggu di teras rumah dengan tenang. Ariana kembali tak bisa menyembunyikan tangis saat menemukan sosok pria paruh baya tersebut. Segera ia hampiri dan memeluknya.

"Ayah benar, Diaz itu berengsek. Dia hanya ingin memanfaatku saja," katanya sambil terisak. "Sekarang apapun yang dikatakan Ayah, Ana akan menurut."

Risman melepas pelukan Ariana menatap putrinya serius. "Benar mau ikut apa perkataan Ayah?" Ariana mengangguk cepat.

Lantas senyuman manis terlukis di bibir pria berusia 50 tahun tersebut. Dia lalu masuk ke dalam rumah, sambil mengiring koper besar yang Ariana kenal. Diberikannya koper tersebut pada putrinya. "Pergi dari rumahku sekarang!" hardik Risman tiba-tiba.

Ariana kehilangan kata-kata. Sungguh tak menyangka dia akan diusir secepat ini, berkat itu pula kesedihan yang dirasakan seketika lenyap. "Ayah kita bisa bicarakan baik-baik di dalam, ayo kita masuk dulu." Ariana mencoba melangkah tapi Risman menghadang.

"Kalau kau masuk Ayah akan suruh satpam menyeretmu." Sekali lagi Ariana terkejut karena sikap Risman.

"Ayah, kau keterlaluan sekali. Aku sedang bersedih sekarang dan Ayah malah mengusirku!"

"Kau yang keterlaluan!" balas Risman sengit. "Berapa kali Ayah katakan, jangan percaya sama pacarmu yang pengecut itu kau tak mau dengar, kau selalu membela dia sampai-sampai kau membuat orang tuamu dan pengantin pria malu karena acara pernikahan batal."

"Pernah tidak kau memikirkan orang lain karena sikapmu yang egois itu? Pernah tidak! Tidak, kan?!" Emosi Risman yang meledak-ledak membuat Ariana hanya bisa menunduk sedih. Kali ini dia tak membela diri, membenarkan segala sesuatu terjadi adalah kesalahannya. Sebelum sempat mengucapkan kata maaf Risman langsung menyela dengan mendorong kasar koper Ariana hingga terjatuh.

"Jangan pernah injakkan kakimu di rumah ini lagi sebelum kau bisa mengubah dirimu. Mulai sekarang hiduplah sendiri, cari pekerjaan, rumah dan lain-lain. Ayah tidak akan mengirimkan uang bulanan lagi sampai kau bisa membuktikan dirimu kepada Ayah kalau kamu bisa lepas dari pikiranmu yang kekanak-kanakan." Ariana menggigit bibir, mencoba menahan tangis. Diaz memang menyakitinya tapi Ayahnya jauh lebih membuatnya sakit.

Ariana terus menunduk sampai mendengar suara pintu ditutup dengan keras. Air mata yang ditahan jatuh luruh ke pipi. Tak ada pilihan selain pergi dari rumah. Sambil terus menangis sesegugukan, dia berjalan menyusuri sepi jalan raya.

Dia harus ke mana sekarang? Ariana sendiri tak bisa berpikir sekarang saking stres dengan apa yang ia alami. Dalam kekalutan batin, ponselnya berbunyi. Di layar benda pipih itu tertulis "Bestie".

****

Ariana tak berhenti menangis. Ini hari keempat tapi dia tak bisa melupakan bagaimana malang nasibnya. Layaknya peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga pula, punya mantan berengsek dan bukannya dihibur keluarga, Ayahnya malah mengusir dia dari rumah.

Walau sekarang dia tinggal di rumah Elisia, sahabatnya dari kecil dan meski sudah dihibur tetap saja Ariana tak bisa berpikir jernih. Tampaknya akan menjadi trauma seumur hidup. "Aduh bestie, dari aku pergi kerja sampai pulang kerja, masih begini aja. Aku makin capek tahu ngeliat kamu sedih mulu," tegur Elisia.

"Yah mau gimana lagi, aku masih kesel tahu sama Diaz dan Ayahku. Hidupku itu kayanya malang karena punya pacar macam Diaz bahkan biar dia udah jadi mantan tetap saja bikin aku susah!"

"Lah bukannya kamu yang salah? Siapa suruh kamu ngejar-ngejar orang yang nggak jelas macam Diaz. Ayahmu udah kasih tahu, aku juga udah kasih kamu peringatan tetap aja kekeh sama dia. Padahal calon suamimu itu tampan loh, tajir melintir pula." Elisia membalas.

"Ish bisa sih jangan bawa orang itu dulu. Aku, kan nggak punya masalah sama dia." Elisia mendecak, dia memutar matanya bosan. Sungguh sahabatnya tidak mengerti.

"Terserah deh, terus gimana?" tanya Elisia.

"Gimana apanya?"

"Gimana soal pekerjaan sama uang Ana, lupa ya kamu itu kan dituntut sama Ayah kamu untuk kerja buat punya uang sendiri. Untuk beberapa hari aku bisa nampung kamu tapi aku juga nggak bisa ngasih kamu numpang gratis selamanya."

Kening Ariana mengkerut. "Jadi kamu ngusir aku?"

"Bukan gitu maksudnya, untuk pajak rumah bisalah aku bayar sendiri tapi air, gas, listrik dan keperluan sehari-hari jelas akan dua kali bertambah banyak. Aku inginnya kita tuh bisa saling membantu segala keperluan rumah tangga, nggak cukup kalau cuma mengandalkan uang gajiku sebulan."

"Justru itu, di tempatmu kerja ada lowongan pekerjaan?" Elisia menggeleng.

"Kamu bisa kok cari lowongan pekerjaan di internet biasanya banyak tuh lowongan pekerjaan. cari saja sesuai dengan bagian apa yang paling kau kuasai, aku yakin kamu bisa dapat pekerjaan bagus secara kan kau ini punya izajah dengan nilai bagus waktu kuliah dulu."

"Tapi bagaimana jika aku nggak dapat bos yang baik? Aku takut nanti terjadi sesuatu yang buruk," pesimis Ariana.

"Ah jangan mikirin itu dulu yang penting kamu dapat kerja. Ayo jangan sedih, nggak perlu nunggu sampe besok. Lihat saja dulu persyaratan nanti aku bisa bantuin kamu bikin CV ok?" Ariana memandang Elisia dengan tersenyum tipis. Elisia memang sahabat terbaik yang pernah ada.

Beberapa hari setelah berkutat dengan laptop dan kesana kemari membuat persyaratan akhirnya semua siap. Tinggal mengirim beberapa file untuk perusahaan melalui email. "Menurutmu mereka akan baca?"

"Tentu saja, mereka kan sedang mencari karyawan," balas Elisia.

"Aku sangat gugup sekarang. Mungkin saja saat ini mereka membaca fileku, aduh Elisia bagaimana ini?" Menurut Ariana pengalaman ini paling membuatnya takut setelah menunggu hasil ujian skripsi. Dia tak pernah sekalipun berpikir mencari pekerjaan segugup ini mengingat keluarganya berkecukupan dalam aspek uang.

"Santai Ariana ini bahkan belum interview. Kita tunggu selama seminggu maksimal sebulan. Nah gimana selama nunggu kita bagi tugas ya mengingat kalau kamu belum punya pekerjaan." Ariana mengkerutkan dahi, tak mengerti.

"Jadi selama kita menunggu kamu bisa bantu aku membersihkan seisi rumah? Nah aku kan sering ya datang larut malam nggak masak, nggak cuci baju karena kesibukanku jadi reporter yang sering cari berita. Kalau sabtu minggu pun aku cuma pengen rebahan terus saking lelahnya. Aku nggak akan maksa kok kalau kamu-"

"Boleh kok," potong Ariana. Elisia menghentikan ucapannya. Menatap serius pada sang sahabat.

"Serius? Kamu mau?" tanya Elisia meyakinkan.

"Iya, aku serius. Kamu udah bantuin aku baik numpang di rumah atau bantu aku nyelesain persyaratan, anggap saja ini sebagai balas budi. " Awalnya Elisia diam namun akhirnya tersenyum manis.

"Baiklah kalau itu mau kamu, terima kasih ya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengkhianat Cinta   Pura-pura Pingsan

    Akhirnya larut malam, Ana serta beberapa temannya keluar dari tempat karaoke. Mereka asyik berbincang, merencanakan untuk kembali jalan-jalan bersama. "Elisia, yuk pulang udah larut malam." Ana bergerak mendekati Elisia, merangkul lengan sahabatnya itu untuk ke terminal bus mengikuti Sabrina dan Kara. "Ana maaf, aku dan Bima mau pulang ke rumah Bima, aku ingin menginap di sana." Ana yang sedikit mabuk sontak menatap Lisa lalu ke arah Bima. Dia menarik Lisa agar bergerak menjauh dari pacar sang sahabat. "Jangan bilang kau dan dia ingin..." Lisa tersenyum penuh makna dan Ana mengerti hal itu. "Lisa, aku mengerti tapi jangan bertindak gegabah. Aku tak mau terjadi sesuatu yang buruk sama kamu." "Jangan khawatir, aku sudah menyiapkan hal yang aku butuhkan. Aku tidak apa-apa, maaf kalau kamu harus pulang sendiri. Sebenarnya aku tak tega meninggalkanmu sendirian di rumah." Lisa membalas begitu perhatian. "Aku jauh lebih mencemaskanmu," sahut Ana. Mereka berdua kemudian mendekati lagi

  • Pengkhianat Cinta   Penggoda

    Ana merenggangkan tangan. Mencoba bergerak agar tubuhnya tak kaku sebab terlalu lama duduk. Tak lama lagi Ana akan mendapat gaji dari hasil keringatnya sendiri, dia akan pamer pada pria yang sudah mengusirnya dari rumqh. Ayah Ana selalu menganggap putri semata wayangnya ini tak bisa bekerja. Lihat sekarang, dia bisa bertahan di sebuah perusahaan tanpa pertolongan orang tuanya. "Ana," panggil Karin yang mendekat. "Sudah selesai nggak kerjanya? Yuk pulang bareng, katanya mau makan malam bareng sekalian kita jumpa temanmu siapa namanya Elisia?" Pertanyaan Kara disambut anggukan oleh Ana. "Tapi bentar ya, aku mau minta izin pulang sama Pak Direktur. Kalau tiba-tiba dia ngambek gimana? Bisa-bisa aku yang lembur." Ana membalas dengan nada santai. "Ana memang nggak takut ya sama Pak Direktur?" tanya Kara penasaran. Karyawan perusahaan selalu segan kepada Adit sebagai pimpinan. Kharisma dan caranya memimpin membuat Adit bisa dihormati dan dihargai oleh banyak orang. Beda hal dengan

  • Pengkhianat Cinta   Perhatian Juga

    Ana termangu. Tak tahu harus mengatakan apa selain memandang Adit sibuk mengendarai mobil. "Apa maksudmu? Kenapa tiba-tiba Pak Direktur datang dan membawaku masuk ke dalam mobil? Apa yang harus aku katakan pada teman-temanku, mereka pasti berpikiran negatif tentang Pak Direktur." Adit mengkerutkan dahi. "Bagaimana bisa kau bilang mereka berpikiran negatif? Aku kan membantumu, lebih baik perhatikan saja rambutmu berminyak, bau,, ada nasi lagi, aduh penampilanmu ini aku malu kalau harus punya sekretaris berpenampilan sepertimu sekarang." Ana menatap tak percaya pada Adit. Lekas Ana memukul lengan Adit, bibirnya mengerucut kesal. "Eh aku sedang mengemudi! Jangan memukulku!" protes Adit. Mobil kemudian berhenti dan tepat saat itu juga Ana memukul lengan Adit kali ini agak lebih keras. Dari tatapan pria itu dia ingin protes tapi Adit mengurungkan niat dan keluar dari mobil. Dia juga membuka pintu mobil untuk Ana. "Ayo keluar, kita harus mengubah penampilanmu kalau bisa sebelum klien d

  • Pengkhianat Cinta   Insiden Memalukan

    Ariana mendengus sebal. Semenjak rapat Ana tak pernah bertatap muka dengan Adit bahkan saat Ana ingin memberikan laporan rapat, Adit mengabaikannya dengan alasan punya pekerjaan penting. Baiklah kalau Adit tidak mau bertemu toh itu tak akan merusak mood Ana. Jam istirahat tiba, Ana bingkas berdiri ingin ke kantin kantor. Sedari tadi ia mencoba untuk meminta izin tapi sesaat Ana menghentikan niat berpikir jika saja Adit akan menolak bertemu. Di sinilah Ana. Berada di kantin bersama dengan beberapa karyawan wanita. "Jadi bagaimana Ana?" tanya Kara, salah satu rekan kerja. "Bagaimana apanya?" "Bagaimana kerja dengan Pak Adit? Kata mereka dia itu dingin sama perempuan." Sabrina menyahut mendengar percakapan mereka. "Benarkah? Aku rasa tidak seperti itu." Di dalam pandangan Ana, Adit hanya seorang pria yang selalu emosi dan tukang suruh-suruh tapi Adit tak dingin pada wanita buktinya Ana saja dibela ketika Diaz mencari masalah. "Wajar sih kamu nggak tahu gimana kelakuan Pak Dir

  • Pengkhianat Cinta   Tak Berhenti Mengganggu

    Ariana menceritakan kejadian di perusahaan termasuk tak berhenti merutuk kesal dengan sikap Adit. Elisa mengkerutkan kening mendengar sahabatnya itu bercerita dan dia tak menyela sama sekali. "Pokoknya aku kesal banget sama bosku itu, suka semau dia saja!" kata Ariana mengakhiri ocehannya yang panjang. Ana lalu melihat ke arah Eli, masih diam menatap heran padanya. "Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Ana heran. "Aku bingung saja sama kamu. Sebenarnya kamu kenapa sih? Beberapa hari lalu kamu mengasihi Adit sekarang malah marah-marah, apa kamu suka ya sama bosmu itu?" Pertanyaan Eli membuat Ana terkejut. "Kok bisa sih kamu bilang kayak gitu? Aku nggak suka ya sama Adit. Dia angkuh, suka sekali memerintah asal-asalan hanya orang bodoh yang suka sama dia." Eli tertawa. "Jangan gitu, gimana kalau suatu hari kamu suka sama dia? Jadinya kamu orang bodoh itu." "Nggak ah, aku nggak percaya. Dia sama sekali bukan tipeku!" sahut Ana makin kesal. "Lah kan emang tiap rasa suka dimula

  • Pengkhianat Cinta   Suka Memaksa

    Ariana sama sekali tak merasa bersalah malah ia mendengus kesal setelah melihat atasannya masuk ke dalam ruangan. "Dasar bos galak, sukanya mengancam terus karyawan. Aku merasa kasihan pada Nina, dia pasti kesusahan harus menjadi sekretaris Adit."Mungkin hal ini pula mengapa Adit begitu jatuh hati pada Nina. Akhirnya Ariana menepis semua pemikiran tersebut dan kembali fokus pada laporan yang ia kerjakan.Jam istirahat akhirnya tiba. Ariana menghentikan kegiatan mengetiknya dan berdiri dari kursi menuju kantin kantor yang letaknya berada di bawah. "Ana, mau kemana kamu?" pertanyaan Adit sontak menghentikan Ariana.Memutar matanya bosan, ia melihat Adit dengan senyum yang dibuat seramah mungkin. "Mau ke kantin Pak, saatnya makan siang." Ariana menjawab jujur."Masuk dulu, ayo kita bahas tentang laporan yang kamu buat." Adit kemudian menutup pintu sementara Ariana merasa muak. Ariana tetap mengikuti perintah Adit dan membawa laptop yang digunakan olehnya.Beberapa menit berlalu dihabisk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status