Share

Pertama

Sekitar jam delapan Ariana akhirnya sampai di rumah. Langkahnya gontai serta mata bengkak telah mengartikan banyak hal kepada setiap orang yang berpapasan dengan dia termasuk Ayahnya sendiri, Risman.

Lelaki paruh baya itu sendiri telah menunggu di teras rumah dengan tenang. Ariana kembali tak bisa menyembunyikan tangis saat menemukan sosok pria paruh baya tersebut. Segera ia hampiri dan memeluknya.

"Ayah benar, Diaz itu berengsek. Dia hanya ingin memanfaatku saja," katanya sambil terisak. "Sekarang apapun yang dikatakan Ayah, Ana akan menurut."

Risman melepas pelukan Ariana menatap putrinya serius. "Benar mau ikut apa perkataan Ayah?" Ariana mengangguk cepat.

Lantas senyuman manis terlukis di bibir pria berusia 50 tahun tersebut. Dia lalu masuk ke dalam rumah, sambil mengiring koper besar yang Ariana kenal. Diberikannya koper tersebut pada putrinya. "Pergi dari rumahku sekarang!" hardik Risman tiba-tiba.

Ariana kehilangan kata-kata. Sungguh tak menyangka dia akan diusir secepat ini, berkat itu pula kesedihan yang dirasakan seketika lenyap. "Ayah kita bisa bicarakan baik-baik di dalam, ayo kita masuk dulu." Ariana mencoba melangkah tapi Risman menghadang.

"Kalau kau masuk Ayah akan suruh satpam menyeretmu." Sekali lagi Ariana terkejut karena sikap Risman.

"Ayah, kau keterlaluan sekali. Aku sedang bersedih sekarang dan Ayah malah mengusirku!"

"Kau yang keterlaluan!" balas Risman sengit. "Berapa kali Ayah katakan, jangan percaya sama pacarmu yang pengecut itu kau tak mau dengar, kau selalu membela dia sampai-sampai kau membuat orang tuamu dan pengantin pria malu karena acara pernikahan batal."

"Pernah tidak kau memikirkan orang lain karena sikapmu yang egois itu? Pernah tidak! Tidak, kan?!" Emosi Risman yang meledak-ledak membuat Ariana hanya bisa menunduk sedih. Kali ini dia tak membela diri, membenarkan segala sesuatu terjadi adalah kesalahannya. Sebelum sempat mengucapkan kata maaf Risman langsung menyela dengan mendorong kasar koper Ariana hingga terjatuh.

"Jangan pernah injakkan kakimu di rumah ini lagi sebelum kau bisa mengubah dirimu. Mulai sekarang hiduplah sendiri, cari pekerjaan, rumah dan lain-lain. Ayah tidak akan mengirimkan uang bulanan lagi sampai kau bisa membuktikan dirimu kepada Ayah kalau kamu bisa lepas dari pikiranmu yang kekanak-kanakan." Ariana menggigit bibir, mencoba menahan tangis. Diaz memang menyakitinya tapi Ayahnya jauh lebih membuatnya sakit.

Ariana terus menunduk sampai mendengar suara pintu ditutup dengan keras. Air mata yang ditahan jatuh luruh ke pipi. Tak ada pilihan selain pergi dari rumah. Sambil terus menangis sesegugukan, dia berjalan menyusuri sepi jalan raya.

Dia harus ke mana sekarang? Ariana sendiri tak bisa berpikir sekarang saking stres dengan apa yang ia alami. Dalam kekalutan batin, ponselnya berbunyi. Di layar benda pipih itu tertulis "Bestie".

****

Ariana tak berhenti menangis. Ini hari keempat tapi dia tak bisa melupakan bagaimana malang nasibnya. Layaknya peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga pula, punya mantan berengsek dan bukannya dihibur keluarga, Ayahnya malah mengusir dia dari rumah.

Walau sekarang dia tinggal di rumah Elisia, sahabatnya dari kecil dan meski sudah dihibur tetap saja Ariana tak bisa berpikir jernih. Tampaknya akan menjadi trauma seumur hidup. "Aduh bestie, dari aku pergi kerja sampai pulang kerja, masih begini aja. Aku makin capek tahu ngeliat kamu sedih mulu," tegur Elisia.

"Yah mau gimana lagi, aku masih kesel tahu sama Diaz dan Ayahku. Hidupku itu kayanya malang karena punya pacar macam Diaz bahkan biar dia udah jadi mantan tetap saja bikin aku susah!"

"Lah bukannya kamu yang salah? Siapa suruh kamu ngejar-ngejar orang yang nggak jelas macam Diaz. Ayahmu udah kasih tahu, aku juga udah kasih kamu peringatan tetap aja kekeh sama dia. Padahal calon suamimu itu tampan loh, tajir melintir pula." Elisia membalas.

"Ish bisa sih jangan bawa orang itu dulu. Aku, kan nggak punya masalah sama dia." Elisia mendecak, dia memutar matanya bosan. Sungguh sahabatnya tidak mengerti.

"Terserah deh, terus gimana?" tanya Elisia.

"Gimana apanya?"

"Gimana soal pekerjaan sama uang Ana, lupa ya kamu itu kan dituntut sama Ayah kamu untuk kerja buat punya uang sendiri. Untuk beberapa hari aku bisa nampung kamu tapi aku juga nggak bisa ngasih kamu numpang gratis selamanya."

Kening Ariana mengkerut. "Jadi kamu ngusir aku?"

"Bukan gitu maksudnya, untuk pajak rumah bisalah aku bayar sendiri tapi air, gas, listrik dan keperluan sehari-hari jelas akan dua kali bertambah banyak. Aku inginnya kita tuh bisa saling membantu segala keperluan rumah tangga, nggak cukup kalau cuma mengandalkan uang gajiku sebulan."

"Justru itu, di tempatmu kerja ada lowongan pekerjaan?" Elisia menggeleng.

"Kamu bisa kok cari lowongan pekerjaan di internet biasanya banyak tuh lowongan pekerjaan. cari saja sesuai dengan bagian apa yang paling kau kuasai, aku yakin kamu bisa dapat pekerjaan bagus secara kan kau ini punya izajah dengan nilai bagus waktu kuliah dulu."

"Tapi bagaimana jika aku nggak dapat bos yang baik? Aku takut nanti terjadi sesuatu yang buruk," pesimis Ariana.

"Ah jangan mikirin itu dulu yang penting kamu dapat kerja. Ayo jangan sedih, nggak perlu nunggu sampe besok. Lihat saja dulu persyaratan nanti aku bisa bantuin kamu bikin CV ok?" Ariana memandang Elisia dengan tersenyum tipis. Elisia memang sahabat terbaik yang pernah ada.

Beberapa hari setelah berkutat dengan laptop dan kesana kemari membuat persyaratan akhirnya semua siap. Tinggal mengirim beberapa file untuk perusahaan melalui email. "Menurutmu mereka akan baca?"

"Tentu saja, mereka kan sedang mencari karyawan," balas Elisia.

"Aku sangat gugup sekarang. Mungkin saja saat ini mereka membaca fileku, aduh Elisia bagaimana ini?" Menurut Ariana pengalaman ini paling membuatnya takut setelah menunggu hasil ujian skripsi. Dia tak pernah sekalipun berpikir mencari pekerjaan segugup ini mengingat keluarganya berkecukupan dalam aspek uang.

"Santai Ariana ini bahkan belum interview. Kita tunggu selama seminggu maksimal sebulan. Nah gimana selama nunggu kita bagi tugas ya mengingat kalau kamu belum punya pekerjaan." Ariana mengkerutkan dahi, tak mengerti.

"Jadi selama kita menunggu kamu bisa bantu aku membersihkan seisi rumah? Nah aku kan sering ya datang larut malam nggak masak, nggak cuci baju karena kesibukanku jadi reporter yang sering cari berita. Kalau sabtu minggu pun aku cuma pengen rebahan terus saking lelahnya. Aku nggak akan maksa kok kalau kamu-"

"Boleh kok," potong Ariana. Elisia menghentikan ucapannya. Menatap serius pada sang sahabat.

"Serius? Kamu mau?" tanya Elisia meyakinkan.

"Iya, aku serius. Kamu udah bantuin aku baik numpang di rumah atau bantu aku nyelesain persyaratan, anggap saja ini sebagai balas budi. " Awalnya Elisia diam namun akhirnya tersenyum manis.

"Baiklah kalau itu mau kamu, terima kasih ya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status