Aku seketika menoleh ke belakang, saat mendengar suara yang tidak asing lagi memanggil. Melihat melihat Naina berdiri di samping mobil.
Naina adalah anak—Pak Haji Agus. Pemilik tempat penampungan barang bekas. Pak Haji Agus adalah orang terkaya di kampung ini. Usahanya telah dikenal oleh masyarakat desa sekitar. Dahulu, dia juga merintis usaha rongsokan dari nol. Lama kelamaan menjadi maju, hingga bisa mengantarkan semua anak-anaknya sampai sekolah sarjana.
"Naina?!"
"Kamu mau apa malam-malam begini ke sini, Danu? Dan anakmu kelihatannya sudah kedinginan." Naina menatap heran. Mungkin sedang berpikir kenapa ada laki-laki gembel sepertiku masih berkeliaran malam-malam. Sedangkan takbiran sudah tiba. Semua orang merayakan dengan keluarga, tetapi aku malah di jalanan seperti gembel.
"Aku ingin menjual botol bekas hasil pencarian hari ini. Tapi kata Mang Damin sudah tutup. Jadi, botol bekasnya mau dibawa pulang lagi, Neng."
"Memang Mang Damin ke mana? Kok gudangnya ditutup?"
"Aku gak tahu, Neng. Dia cuma bilang mau merayakan takbiran keliling. Aku cuma disuruh balik saja. Kalau mau jual barang rongsokan datang satu Minggu lagi setelah selesai lebaran idul fitri. Kata Mang Damin tadi begitu.
"Astagfirullah, Mang Damin. Kunaon atuh. Abah meminta untuk membagi-bagikan sembako kepada para pengepul. Kenapa malah pergi, ya?"
Naina terlihat kesal. Jujur, aku tidak mengerti apa yang dia maksud. Naina hanya menggelengkan kepala saja. Kemudian, dia masuk membuka pintu gudang itu dengan menggunakan kunci cadangan.
"Danu, kalau kamu mau jual barang bekas ayo masuk. Aku akan menimbangnya dan membayar upahmu."
"Beneran masih bisa di buka, Neng Naina?"
"Benar, Danu. Sok atuh masuk! Anak kamu juga sudah kedinginan itu. Kasihan kalau dibiarkan di luar saja."
"Iya, Neng. Makasih sudah mau bantu aku."
"Sama-sama."
Naina menimbang karung yang kubawa berisi botol bekas dan juga kardus. Gadis di depanku sungguh rupawan. Selain cantik, dia juga baik hati. Lembut dan berbicara sopan. Beruntung pria yang mendapatkan dirinya. Wanita kaya dan juga soleha. AH, aku mulai berkhayal. Jangan sampai berandai-andai. Bisa kecewa bila tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Benar bukan?
"Ini uangnya, Kang Danu," ucap Naina menyodorkan uang lembaran merah.
Aku masih memperhatikan wajahnya nan ayu. Senyumnya membuat hati berdetak dengan kencang. Andai ….
Tuh, kan aku mulai lagi berkhayal.
"Kang Danu, kenapa melamun atuh? Ini saya sudah kasih uang dari tadi kenapa tidak terima?"
"Eh, maaf atuh, Neng. Ini kebanyakan dari harga barang rongsokan yang saya jual. Biasanya, gak segitu."
"Ndak apa-apa, Kang Danu. Anggap saja ini bonus untuk Rafa."
"Tak usah, Neng. Merepotkan saja. Harga barang rongsokan itu hanya lima puluh ribu. Tapi Neng Naina memberikan dua ratus ribu. Itu kebanyakan Neng."
"Kan tadi saya sudah bilang kalau ini bonus untuk Rafa. Terima, ya, Kang?"
Naina memaksa untuk menerima uang pemberiannya. Jujur, aku malu bila harus menerima uang dari seorang wanita. Selama ini, Naina sudah banyak membantu. Dari mulai membelikan obat untuk ibu ataupun membelikan barang kebutuhan untuk Rafa. Entah bagaimana aku akan membalasnya.
Naina gadis manis yang baik hati. Siapa pun pria yang melihat kepribadiannya pasti akan jatuh cinta. Selain cantik dia juga anak orang terkaya di kampung ini. Siapa yang tidak kenal dengan Juragan Agus. Pria yang sukses menjadi pengusaha. Walau usaha yang dijalankan hanya menampung barang-barang bekas.
"Terima kasih, Neng Naina. Semoga Allah membalas kebaikanmu."
"Aamiin. Sama-sama Kang Danu."
"Maaf, Neng. Saya mau pamit pulang. Rafa ingin istirahat."
"Eh, tunggu Kang Danu!" Sergah Naina.
"Ada apa, Neng?"
"Ini ada oleh-oleh untuk Emak. Mudah-mudahan Emak suka, ya?"
Naina menyodorkan parcel berisi kue lebaran dan juga makanan lainnya. Ada juga minuman dalam botol yang biasa disuguhkan di hari lebaran.
"Apa ini, Neng?"
"Ini hadiah dari saya buat Emak, Kang. Ada beras, gula, minyak dan juga kue lebaran. Semua pemulung juga mendapatkannya tadi. Sudah dibagi sama Mang Damin."
"Subhanallah. Makasih, Neng. Semoga keluarga selalu diberi kesehatan dan rezeki yang berlimpah."
"Aamiin. Makasih atas doanya, Kang."
"Aku pamit, Neng."
"Gimana Akang pulang sambil menggendong Rafa dan bawa sembako ini?"
"Aku bisa gendong Rafa dan bawa sembako ini pulang, Neng. Gak usah khawatir. Aku orang kuat."
"Mari aku antar pulang aja, Kang. Kasihan rumah Akang jauh dari sini. Bawa Rafa dalam gendongan dan sembako pasti itu sangat melelahkan."
"Ndak usah, Neng. Aku malu kalau ngerepotin terus."
"Ndak apa-apa atuh, Kang. Manusia tolong menolong itu sudah kewajiban."
Aku bergeming. Masih terus menolak kebaikan Naina, untuk mengantarkan pulang. Tidak mungkin terus merepotkan dengan meminta bantuan. Dia sudah baik memberi uang dan sembako. Mana mungkin aku terus menerima bantuannya lagi.
Namun, dia terus memaksa hingga aku tidak bisa menolak dengan berbagai alasan. Kemudian, aku dan Rafa yang sudah basah kuyup langsung naik ke dalam mobil mewahnya.
"Duduk di samping sini atuh, Kang. Kenapa di belakang. Nanti saya dikira sopir lagi."
"Eh, iya, Neng. Tapi maaf bajuku basah. Nanti takut Neng Naina gak merasa nyaman karena duduk berdekatan denganku."
"Gak apa-apa, Kang."
Dengan malu-malu aku langsung duduk di depan. Naina menyetir dengan pelan meninggalkan gudang penampungan barang bekas. Mobil sedan berwarna merah langsung melesat menyusuri jalan. Jarak dari rumahku ke tempat penampungan sekitar lima kilometer. Bila ditempuh berjalan kaki tentu akan sangat melelahkan. Ditambah menggendong Rafa sepanjang jalan. Rasanya punggung ini hampir patah menanggung beban.
Setiap hari, aku bekerja dengan membawa Rafa. Bukan hal yang baik membawa anak balita semiran dia untuk diajak bekerja. Namun, dengan siapa dia harus kutinggalkan bila tidak ikut. Ibu tak mungkin bisa menjaganya.
Sejak Rafa ditinggal Sakira pergi, aku selalu membawanya. Ke mana pun Rafa pasti ikut walau sedang bekerja. Meski mandor tempatku melarang untuk membawa anak kecil, tetapi tidak peduli.
Bagiku, Rafa adalah segala-galanya. Dia tumbuh di lingkungan yang kurang sehat. Menjadikan pertumbuhannya kurang kuat. Tubuh kurus seperti kurang gizi. Jangankan untuk membelikan susu, untuk memberikan makanan bergizi pun aku tak sanggup.
"Danu! Anak kamu nangis tuh di ayunan!" Teriak bang mandor.
Segera aku berlari menghampiri Rafa yang masih berumur empat bulan. Kuberikan air gula yang sudah dipersiapkan dari rumah. Rafa tidak lagi menyusu pada ibunya. Sakira tanpa perasaan telah meninggalkan Rafa yang malang. Seharusnya, dia masih mendapatkan ASi dari ibunya. Namun Sakira tak mau menyusui. Dia malah memilih pergi dengan mantan kekasihnya orang kaya.
"Cup! Anak—Ayah, kamu jangan nangis, ya?" kutimang Rafa dengan lembut sembari menyanyikan lagu Nina bobo. Tak lama kemudian, dia tertidur kembali.
Seolah mengerti keadaan ayahnya yang susah. Bayiku kembali tertidur dengan nyenyak setelah puas minum air gula. Tidak memungkinkan aku untuk menggendongnya. Bila Rafa bangun dan tak ingin tidur lagi, terpaksa dia kuletakkan di atas punggung. Kubawa sambil bekerja di bawah teriknya matahari. Kadang, kala hujan turun pun dia tetap harus menamani ayahnya bekerja.
Jujur, aku tidak sanggup bila harus membayar sewa pengasuh. Gajiku sebagai buruh hanya pas untuk makan. Itu pun masih kurang bila harus membeli obat untuk ibu. Jika sudah begini, terpaksa kami harus menahan lapar. Pun dengan Rafa hanya puas minum air gula. Uang yang digunakan untuk membeli beras harus rela dipergunakan untuk membeli obat ibu.
"Ayah, kita jadi gak beli baju?" tanya Rafa tiba-tiba mengagetkan lamunanku.
"Em … ini sudah malam, Nak. Tokonya mungkin sudah tutup. Besok saja gimana?"
"Tapi besok lebaran, Yah. Rafa gak punya baju baru kayak teman-teman yang lain."
Aku terdiam. Ya Tuhan! Ayah seperti apa aku ini yang tidak bisa mengabulkan permintaan anaknya. Rafa tak pernah meminta baju yang mewah. Asal ada untuk dipakai di hari lebaran itu pun jadi. Namun, untuk mengabulkannya aku belum bisa. Sakitnya tuh di sini.
"Sabar ya, Nak. Nanti kalau ada toko yang buka kita pasti beli," ujarku menghiburnya. Barangkali Rafa mau mengerti. Jika tidak ada baju lebaran esok hari.
"Iya, Yah."
Mobil kembali meluncur. Semakin jauh meninggalkan tempat penampungan barang bekas. Naina terlihat tersenyum memperhatikan Rafa. Entah apa yang ada di dalam benak perempuan cantik itu. Sejak dari tadi mencuri pandang memperhatikan Rafa.
***
Bersambung.
Mobil berhenti tepat di sebuah toko pakaian. Naina memintaku untuk turun. Masih ada toko penjual baju yang masih buka pada malam takbiran. Padahal, waktu saat itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, keramain seakan tidak membuat para pengeruk rezeki ingin tidur.Mereka tetap menjajakan baju hingga malam. Beruntung masih ada toko baju yang buka, hingga aku bisa membelikan ibu baju baru. Ya, impian yang selama ini telah tertunda. Melihat ibu memakai gamis baru terlihat cantik.Bertahun-tahun memimpikan ibu memakai baju baru di hari raya idul fitri. Kemudian, kami akan datang bersilaturahmi ke rumah tetangga. Seperti tradisi yang sudah dijalankan selama ini. Saling maaf, memaafkan di hari idul fitri. Di mana manusia akan kembali suci. Bagai bayi yang baru lahir, lalu dihapuskan dosa-dosanya."Kang Danu, ayo turun! Kita belikan baju buat Emak," ucap Naina tersenyum lebar."Naina, ini toko baju yang sangat besar. Pasti harganya sangat mahal. Maaf, aku takut duitnya gak cukup buat
Tubuhku gemetar menahan tulang yang seakan tiba-tiba rapuh. Dada bergemuruh hebat ketika melihat jasad ibu terbujur kaku menjadi mayat. Malam takbiran berubah menjadi lautan tangisan duka. Oh, ibu. Mengapa pergi begitu cepat. Padahal, ingin memberikan hadiah baju gamis untukmu. Baju gamis yang sempat tadi dibeli jatuh begitu saja. Tepat di samping jenazah ibu. Tangisan langsung pecah melihat orang yang paling aku sayangi. Menyaksikan ibu yang kucintai harus menghembuskan napas terakhir di malam takbiran. Di saat semua orang merayakan hari bahagia, aku malah berduka. Tak kuasa menahan rasa sesak yang menyeruak. "Mas Danu, ibu menghembuskan napas terakhir kali ketika lepas azan magrib berkumandang. Aku tadi sempat memberikan air hangat untuk Ibu berbuka puasa," ucap Wiji. Menundukkan wajah seolah menyesal telat memberi kabar. Bukan salahnya juga bila ibu pergi. Semua yang terjadi sudah takdir.Selama ini, aku menitipkan ibu pada Wiji. Kebetulan jarak antara rumah dengan kontrakkan tid
Rintik hujan turun membasahi bumi. Mengiringi pemakaman ibu. Selesai salat idul fitri beberapa warga menunaikan kewajiban fardhu kifayah. Mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.Air mataku kembali turun membasahi pipi. Kala melihat tubuh wanita yang sudah lebih dari dua puluh tahun mengasuh, dan menemani. Kini, dia terbaring kaku di dalam tanah. Oh, ibu maafkan anakmu yang belum bisa membuatmu bahagia."Danu, azankan ibumu untuk yang terakhir kali," ucap Pakde Jarwo."Inggih, Paman."Suara azan menggema di tengah kuburan. Disertai cairan bening yang terus menetes membasahi pipi. Tak kuasa melihat jasad wanita yang begitu kucintai telah kembali pada yang Maha Kuasa.Selesai azan, jasad ibu ditutup dengan tanah. Perlahan gundukan membentuk seperti gunung. Kutaburi bunga dan daun pandan di atas pusara makam ibu. Aroma wanginya tercium cuping hidung. Di dalam sana ibu tidur untuk selama lamanya."Mas Danu, ayo pulang! Pemakaman sudah selesai.""Sebentar, Wiji. Aku masih in
Dari kemarin harinya, hujan lebat mengguyur desaku. Mulai dari pagi sampai pagi lagi, air terus turun membasahi bumi. Aku pun tidak bisa mencari botol bekas seperti biasa. Kulirik Rafa yang tertidur dengan pulas, saat meringkuk memeluk bantal guling butut. Wajahnya terlihat tampan meski memakai baju kumal.Aku tahu, anakku itu tidur sambil menahan lapar. Dari sore kami belum makan apa pun. Bukannya tidak ingin memasak, tetapi aku tidak punya uang untuk membeli bahan pokok. Bahkan, sebutir beras pun tidak ada di rumah. Jadi, bagaimana aku bisa membuatkan makanan? Rafa masih terlalu kecil untuk mengetahui beban berat apa yang menimpa ayahnya. Andai, dia sudah dewasa. Mungkin akan tahu sulitnya hidup jika tidak punya penghasilan tetap. Hanya mengandalkan hasil mulung. Biasanya, ibu akan meminjam beras dari tetangga, atau paling tidak bisa mencabut singkong yang ada di belakang rumah. Namun, beberapa hari sesudah dia pergi sangat terasa. Jika kehadiran beliau sangat berpengaruh. Kini, ak
Di luar hujan masih saja turun dengan deras. Seolah langit sedang menangis menumpahkan segala kesedihannya. Sejak ibu meninggal aku tak punya hasrat untuk hidup. Ditambah harus membesarkan Rafa seorang diri. Bekerja keras membanting tulang pun uang tak cukup. Hanya bisa untuk makan sehari. Esok atau lusa harus mencari lagi. Bulan depan Rafa sudah mulai sekolah TK. Aku tak punya biaya untuk membuat pendidikannya lebih layak. Uang sekolah masuk TK membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sementara, pekerjaanku sebagai buruh bangunan, dan pengumpul botol bekas tidak cukup untuk makan. Bagaimana bisa menyekolahkan Rafa ke nol besar. "Eh, Pak. Duduk sini! Kenapa berdiri saja di sana?" tanya wanita yang sedari tadi membicarakan Pak Anton."Makasih, Bu. Saya di sini saja. Baju saya basah," jawabku agak sungkan. Perhatian para ibu-ibu langsung tertuju padaku."Tak apa-apa, Pak. Mari makan gorengan saat cuaca hujan begini. Cocok untuk situasi yang dingin. Perut terisi dan badan menjadi hangat."
"Ayah, Rafa lapar," ucap Rafa memegangi perutnya yang kempes.Aku menatap wajah putra semata wayangku iba. Merasa bersalah pada anak sendiri yang baru berumur empat tahun. Seharusnya, masa kecil Rafa dihabiskan dengan penuh kebahagian. Bermain dan tertawa bersama teman-temannya. Namun, harus menderita bersamaku di sini. Hidup miskin dalam tekanan ekonomi.Pekerjaanku masih menumpuk. Belum selesai mengaduk bahan bangunan. Masih ada sisa sepuluh menit lagi untuk waktu istirahat. Namun, Rafa tak mungkin menahan lapar sampai waktu itu tiba. Jatah makanan untuk para pekerja sebentar lagi akan datang. Akan tetapi, Rafa sudah merengek minta makan."Bang, bisakah aku minta jatah makan duluan untuk anakku?" tanyaku pada Bang Furqon. Dia kepala mandor yang baru tempatku bekerja di sini."Nih makan nasi sisa kemarin!" Bang Furqon meletakan nasi berwarna kuning di atas meja dengan kasar."Bang, nasinya sudah basi dan berbau. Tidak layak lagi untuk dimakan.""Emang kalau makan nasi yang sudah kuni
Aku terkejut ketika melihat wajah Sakira berada di berita televisi. Saat sedang menikmati makan siang dengan para pekerja lainnya. Tanpa sengaja aku menjatuhkan gelas. Menimbulkan bunyi yang sangat keras. Membuat mata Bang Mandor mertua membulat sempurna menatapku."Danu!" Seru Bang Mandor. Matanya langsung melotot ke arahku.Pandanganku masih menatap layar televisi berukuran 14 inch. Sakira Farida Safira sedang diwawancarai sebagai bintang tamu. Kini, dia bekerja sebagai model tabloid wanita, dan juga model butik terkenal. Wanita yang namanya masih terukir indah dalam hati. Walau dia sudah bersuami.Meskipun sempat kecewa pada Sakira, tetapi sampai detik ini, aku masih menyimpan rasa pada dia. Terlebih Sakira Safira adalah ibu dari anakku. Wanita yang sudah membawa Rafa ke dunia. Salahkan aku bila masih mencintainya?"Dasar anak buah bodoh! Apa kau tidak punya mata ha!" Hardik Bang Mandor.Bang Mandor seketika menampar pipiku. Hingga menimbulkan bercak merah. Hampir saja aku terjatuh
Tanganku membelai rambut Rafa dengan lembut. Dia sedang memeluk foto ibunya yang kurobek dari sebuah majalah wanita. Wajah Sakira Safira saat diwawancarai oleh wartawan. Salah satu dari berita gosip di stasiun televisi. Memakai gaun sebatas lutut tanpa lengan terlihat cantik. Maklumlah Sakira adalah artis papan atas. Semua penampilannya menjadi sorotan media sosial. Bahkan, menjadi perbincangan hangat sekitar kariernya yang sedang naik daun. Ketika melihat wajah ibunya untuk pertama kali, Rafa tersenyum lebar dengan mata yang berbinar. Kata Rafa, 'atah, aku tidak sabar ingin segera bertemu dengan ibu.'' Sobekan majalah dipeluk dengan erat. Seperti menumpahkan kerinduan yang memuncak. Melebihi rasa rinduku pada wanita yang telah lama tidak ditemui. Entah seperti apa dia kini, bila saling bertatapan muka. Mungkin Sakura masih ada rasa cinta padaku?Dalam hatiku berpikir. Apakah reaksi Sakira nanti saat bertemu denganku. Apakah dia akan menerima Rafa? Kuharap begitu. Sebagai anak yang t