Share

Bab 6. Tuan Dermawan

Dari kemarin harinya, hujan lebat mengguyur desaku. Mulai dari pagi sampai pagi lagi, air terus turun membasahi bumi. Aku pun tidak bisa mencari botol bekas seperti biasa. Kulirik Rafa yang tertidur dengan pulas, saat meringkuk memeluk bantal guling butut. Wajahnya terlihat tampan meski memakai baju kumal.

Aku tahu, anakku itu tidur sambil menahan lapar. Dari sore kami belum makan apa pun. Bukannya tidak ingin memasak, tetapi aku tidak punya uang untuk membeli bahan pokok. Bahkan, sebutir beras pun tidak ada di rumah. Jadi, bagaimana aku bisa membuatkan makanan? Rafa masih terlalu kecil untuk mengetahui beban berat apa yang menimpa ayahnya. Andai, dia sudah dewasa. Mungkin akan tahu sulitnya hidup jika tidak punya penghasilan tetap. Hanya mengandalkan hasil mulung. 

Biasanya, ibu akan meminjam beras dari tetangga, atau paling tidak bisa mencabut singkong yang ada di belakang rumah. Namun, beberapa hari sesudah dia pergi sangat terasa. Jika kehadiran beliau sangat berpengaruh. Kini, akulah yang harus menggantikan perannya untuk memasak. Walau hasilnya tidak seenak buatan ibu, tetapi cukup mengisi perut yang kelaparan. 

Saat itu, aku tidak punya perasaan apa pun ketika meninggalkan ibu bekerja. Bahkan, Rafa juga tidak menunjukan tanda-tanda aneh ketika pamit dengan ibu. Biasanya, Rafa akan menangis bila berpisah dengan ibu. Namun kali ini, dia hanya menunjukkan wajah sedih.

Sungguh, aku tidak menyangka. Jika hari itu, adalah pertemuan yang terakhir dengan ibu. Tanpa terasa jatuh air mata mengalir. Mengenang wajah wanita yang sudah lebih dari dua puluh tahunan menemani perjalanan hidupku. Bahkan, suka dan duka pun dia tahu.

Pekerjaan sebagai kuli bangunan membuat profesiku rawan kecelakaan; dikabarkan bahwa nyawanya tidak bisa tertolong. Wiji sudah berusaha untuk menghubungi, tetapi aku tidak punya ponsel. Hingga sampai larut malam baru tahu kalau ibu telah tiada.

"Ayah, Rafa lapar," rengek Rafa semalam. Menekan perutnya yang kempes. Mungkin rasa perih sedang dia rasakan. 

"Sabar ya, Nak? Ayah belum punya uang untuk membeli makanan," ucapku mengelus pucuk kepalanya. Memberi pengertian jika ayahnya ini belum punya uang. 

Rasanya aku tidak kuasa menatap bola mata Rafa yang bening berkaca-kaca. Ucapan lirihnya terasa menyayat-nyayat hati. Anak semata wayangku merasa kelaparan, namun ayahnya tidak bisa melakukan apa-apa. Dasar aku tidak berguna. 

"Ayah, kenapa Nenek meninggal? Katanya Nenek mau lihat Rafa sekolah sampai besar. Tapi kenapa sekarang Nenek pergi meninggalkan kita?"

Ya Tuhan!

Jantungku terasa berhenti berdetak karena ucapan Rafa. Memang, selama berita kematian itu didengar Rafa, aku tak pernah bersedih ataupun menangis di hadapannya.

Rafa masih terlalu kecil untuk mengerti kenapa neneknya pergi. Juga mengapa ibunya meninggalkan tanpa kembali lagi. Sungguh, mengingat Sakira membuatku sedih ingin menguraikan air mata.

"Mungkin Allah lebih sayang pada Nenek," jawabku mengecup keningnya.

"Ayah, Rafa laper," keluh Rafa lagi dengan suara lirihnya. Tubuhnya yang kurus seperti kekurangan gizi. Berkali-kali dia menekan perut yang selalu berbunyi. Mungkin cacing di dalam perutnya sudah tidak tahan ingin minta diisi.

"Besok pagi ya, Nak. Sekarang sudah malam. Warungnya juga sudah tutup," kataku berbohong. Aku beralasan agar hati anak yang polos itu, tidak mengutukku. Ataupun menjerit karena ayahnya pembohong.

Mau gimana lagi? Aku tak mungkin jujur dengan mengatakan tidak ada sebutir beras pun untuk kami makan. Semua bahan di rumah telah habis dimakan. Itu pun hanya sisa singkong yang dicabut kemarin, untuk mengganjal perut. Tidak ada lagi yang tersisa di rumah ini. Hanya ada sisa nasi basi dua hari yang lalu. Diantar Wiji untuk Rafa sarapan. 

"Sekarang Rafa tidur, ya? Hari sudah larut malam. Besok Ayah janji akan buatkan makanan yang enak untukmu," ucapku menghiburnya.

Rafa pun mengangguk, lalu tertidur kembali sembari menekan lambung. Akhirnya, dia tertidur dengan perut yang keroncongan. Sepanjang malam aku menangis di samping Rafa sambil menahan rasa yang sesak. Betapa tidak berdayanya aku, hanya untuk membeli satu potong roti seharga dua ribuan saja tidak mampu. Adakah ayah sepertiku yang sama sekali tidak punya uang? 

Semalaman tangisku tak kunjung reda sambil berdoa kepada yang Maha Kuasa. Semoga ada keajaiban yang terjadi esok hari. Di mana orang dermawan akan memberi kami makan. Namun harapan dan kenyataan tak semulus yang kuinginkan. Ketika fajar terbit kembali, keranjangku masih tetap kosong. Tidak ada yang berubah di sana. Lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan.

"Maafkan Ayah yang tidak bisa membuatmu bahagia, Nak," gumamku dalam hati. Untuk kesekian kalinya aku dan Rafa harus tidur dalam keadaan kedinginan dan kelaparan.

Keesokan harinya, hujan masih terus turun membasahi bumi. Niat hati ingin mencari botol bekas atau menjadi kuli. Barangkali, ada tetangga yang ingin memakai jasaku. Mungkin dengan begitu kami bisa makan.

Namun, sepertinya keberuntungan belum ada di pihakku. Hujan masih terus saja mengguyur sampai pagi hari. Terpaksa aku hanya diam diri saja di dalam rumah. Berkali-kali aku melirik Rafa. Takut dia keburu bangun dan makanan belum ada. Sementara, hujan masih betah membasahi bumi dengan derasnya. Seakan langit memuntahkan segala isi dan ingin menenggelamkan bumi berserta makhluk di dalamnya.

Kemudian, aku bangkit dan tidak bisa menunggu waktu lama lagi. Kuhampiri anak semata wayangku, lalu berbisik di telinganya dan berkata, "Nak, Ayah akan keluar sebentar, ya? Nanti kalau pulang akan Ayah bawakan makanan yang banyak," ucapku mengecup pipinya. 

Air mata lolos begitu saja membasahi pipi Rafa tanpa dikomando. Memandang anak semata wayangku yang masih terlelap dalam mimpinya. Tidurnya begitu lelap seperti sedang bermimpi indah. 

Kulangkahkan kaki menuju keluar rumah. Tak kuhiraukan dinginnya udara pagi, dan derasnya air hujan yang menghantam tubuh ringkih ini. Masih tetap saja menyusuri jalan setapak yang becek dan berlumpur. Mengetuk pintu rumah tetangga dari satu pintu ke pintu yang lain. Berharap mereka akan memberiku pekerjaan entah mencangkul, atau membersihkan halaman rumah. Barangkali ada yang sudi berbelas kasihan menyewa jasaku. Mengorek air parit juga tak mengapa. Asal uangnya halal bisa untuk makan. 

Semua usaha telah kucoba. Termasuk mendatangi beberapa orang yang biasa memakai jasaku untuk membersihkan rumput di halaman. Namun, nihil hasilnya. Tak ada satu pun dari mereka yang mau memberiku pekerjaan. Semua memakai jasa tukang potong mesin. 

"Assalamualaikum," ucapku sebelum mengetuk pintu. Ini adalah rumah yang kesebelas aku datangi. Mudah-mudahan pemiliknya bermurah hati memberikan pekerjaan.

"Waalaikumsalam."

Suara jawaban tuan rumah membuat mataku berbinar. Seolah menghapus rasa lelah ku berjalan keliling kampung. Entah sudah berapa jauh kaki ini berjalan. Hingga lutut terasa pegal, dan seluruh tubuhku juga menggigil gemetar. Ditambah perut yang kosong belum diisi sebutir nasi pun dari semalam.

"Siapa, ya? Ada perlu apa Bapak datang ke sini?" seorang wanita berdiri di depan pintu sambil bertanya. 

 Perempuan muda keluar dengan elegan dari dalam rumah. Dia masih memakai piyama tidur. Wajahnya juga cantik, kulitnya nan halus seperti bintang iklan handbody. Tatapannya yang tak bersahabat membuatku urung, untuk mengutarakan niat. Namun, ingatanku kepada Rafa yang kelaparan memberanikan diri untuk berbicara.

"Maaf, Nyonya. Saya ingin mencari pekerjaan. Barangkali Anda membutuhkan tukang bersih-bersih rumah atau tukang potong rumput. Saya bisa melakukannya."

"Maaf ya, Pak. Saya sudah punya pembantu di rumah untuk mengerjakan itu semua. Jadi, saya gak butuh jasa Bapak," ucapnya dengan nada angkuh.

"Baiklah, kalau begitu. Saya permisi. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Kulangkahkan kaki dengan gontai meninggalkan rumah mewah itu. Namun, langkahku terhenti ketika mendengar suara yang sangat familiar memanggil.

"Mas Danu!"

"Wiji?"

"Mas Danu mau ke mana hujan-hujan begini?"

"Aku mau cari pekerjaan, Ji."

"Sekarang lagi musim hujan, Mas. Tidak mudah mendapatkan pekerjaan."

"Iya, aku tahu. Tapi aku tetap harus mencari pekerjaan. Rafa tak mungkin berpuasa terus. Sekarang sudah lebaran. Tak mungkin menahan lapar bukan?"

"Gimana kalau Rafa dan Mas Danu makan di rumahku aja. Kebetulan tadi aku masak banyak karena ada tamu Bapak yang akan datang. Kata Bapak saudara jauh."

"Tak usah, Ji. Makasih. Biar aku cari pekerjaan saja. Mudah-mudahan nanti bisa dapat sambil mencari botol bekas."

"Tapi, Mas."

"Titip Rafa ya, Ji? Mungkin siang nanti aku baru akan pulang."

"Mas!" Panggil Wiji.

Namun, tak ku hiraukan suara panggilannya. Kulangkahkan kaki dengan gontai menyusuri jalanan kampung. Selama ini, Wiji sudah banyak membantu. Tak mungkin ku beratkan dengan masalah ekonomi. Walau bisa saja menerima pemberiannya, tetapi rasa malu ini telah mengalahkan keegoisan.

Sampai di sebuah warung, aku numpang berteduh. Agaknya, hujan tak jua ingin berhenti. Hingga kuputuskan untuk mampir yang di dalamnya dipenuhi ibu-ibu.

Ketika berteduh, hidungku mencium aroma wangi gorengan yang sangat lezat. Perut yang belum diisi dari kemarin terasa semakin perih, pun dengan hati. Lagi-lagi air mata jatuh ke pipi.

"Eh, ibu-ibu. Tahu gak sama Pak Anton?" tanya salah seorang wanita.

"Yang rumahnya di kampung sebelah itu kan? Pengusaha keripik pedas?" timpal ibu yang berada di sebelahnya.

"Iya, dia kemarin buat status di f******k dan juga story' loh. Beliau sedang bersedekah di desa sebelah yang sedang terkena musibah banjir."

"Beliau juga mengingatkan katanya 'sedekah tidak akan membuat kita miskin.' Ya, kalau dia sedekah bagi-bagi duit habis jutaan, ya wajar aja, wong dia orang kaya. Lah kita apa? Cuman petani. Laki juga kerjanya serabutan. Apa yang mau disedekahkan," ujar wanita yang pertama. Seraya berkata dengan menggebu-gebu. Seperti seorang pejuang empat lima yang sedang mengadakan gencatan senjata. 

Dari jarak dua meter aku hanya mendengarkan saja. Tidak berani ikut bicara menyela para ibu-ibu yang sedang bergosip ria. Sambil menunggu hujan reda. Padahal, aku tahu siapa Pak Anton itu. Beliau adalah tetangga yang rumahnya hanya berjarak lima rumah saja, dari gubuk tempatku mengontrak.

Ya, aku pun sering mendengar para tetangga menggosipkan Pak Anton, yang mengatakan dia orang kaya yang dermawan.

Hatiku terasa sakit saat teringat dengan Rafa yang di rumah. Apa dia sudah bangun? Ah, rasanya aku ingin segera pulang ke rumah. Memeluk dan mencium wajah putra semata wayangku dengan sedih. Namun, botol bekas yang kudapat baru sedikit. Bahkan, hanya beberapa buah saja. Itu pun kudapat dari depan warung tadi. Sebelum ikut bergabung dengan ibu-ibu yang lainnya. Bagaimana mungkin aku pulang tanpa membawa hasil. Kasihan Rafa bila terus kelaparan. Bisa-bisa sakit ataupun masuk angin. 

***

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status