Share

Bab 5. Talak

Rintik hujan turun membasahi bumi. Mengiringi pemakaman ibu. Selesai salat idul fitri beberapa warga menunaikan kewajiban fardhu kifayah. Mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.

Air mataku kembali turun membasahi pipi. Kala melihat tubuh wanita yang sudah lebih dari dua puluh tahun mengasuh, dan menemani. Kini, dia terbaring kaku di dalam tanah. Oh, ibu maafkan anakmu yang belum bisa membuatmu bahagia.

"Danu, azankan ibumu untuk yang terakhir kali," ucap Pakde Jarwo.

"Inggih, Paman."

Suara azan menggema di tengah kuburan. Disertai cairan bening yang terus menetes membasahi pipi. Tak kuasa melihat jasad wanita yang begitu kucintai telah kembali pada yang Maha Kuasa.

Selesai azan, jasad ibu ditutup dengan tanah. Perlahan gundukan membentuk seperti gunung. Kutaburi bunga dan daun pandan di atas pusara makam ibu. Aroma wanginya tercium cuping hidung. Di dalam sana ibu tidur untuk selama lamanya.

"Mas Danu, ayo pulang! Pemakaman sudah selesai."

"Sebentar, Wiji. Aku masih ingin di sini menemani Ibu. Tolong kamu bawa Rafa pulang saja. Berikan dia makan dan kue lebaran. Sebentar lagi aku akan menyusul."

"Ayah, Rafa mau di sini menemani Ayah."

"Rafa gak boleh di sini, Nak. Hujannya sangat lebat. Nanti Rafa sakit. Lebih baik ikut Bibi pulang dan tunggu di rumah saja."

"Tapi, Yah."

"Ingat, ya. Rafa harus nurut sama Bibi dan gak boleh nakal. Tidak boleh membuat Bibi Wiji susah."

Rafa hanya mengangguk. Bocah itu menurut saja ketika Wiji membawanya pulang. Beruntung gadis itu sayang dengan Rafa. Menganggap Rafa seperti anak sendiri. Kalau tidak … entah apa jadinya.

Aku masih menatap makam ibu dengan wajah sedih. Di atas kayu terukir namanya dengan indah. Wanita yang sudah berjasa telah melahirkan dan membesarkanku seorang diri. Parwati binti Vans Wistara adalah nama ibu.

Namun, dalam hati bertanya-tanya siapakah orang tua ibu yang bernama Vans Wistara. Selama ini, ibu tak pernah menceritakan siapa keluarganya. Siapa suaminya, dan siapa kakek serta nenekku. Pertanyaan ini menjadi sebuah misteri. Sering aku bertanya kepada ibu. Di mana kakek dan nenek? Jawaban ibu selalu sama. Mereka berada di tempat yang jauh. Suatu hari nanti pasti akan tahu.

Kala itu, ayah meninggalkan ibu ketika aku baru berusia tujuh tahun. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangga kedua orang tua. Hingga ayah memilih untuk pergi dan meninggalkan kita. Sampai kini, tak pernah sekali pun terdengar kabar ayah. Hingga usiaku telah dewasa. Bahkan, ibu selalu menutupinya. Seolah itu menjadi rahasia yang dibawa sampai mati.

Tar!

Suara petir yang menggelegar memecahkan lamunanku. Sementara, hujan masih terus turun dengan deras. Selesai berdoa kutinggalkan pemakaman menuju jalan pulang. Kukayuh sepeda butut meninggalkan tempat itu. Segera menuju pulang ke rumah.

"Astagfirullah!" ucapku seketika.

Hampir saja sebuah mobil sport menyerempet saat sepedaku melaju di jalan raya. Dalam keadaan cuaca seperti ini, orang kaya selalu saja tak memperhatikan jalan. Mobil itu tiba-tiba berhenti dan membuka kaca jendela sembari memaki. Bukan menolong malah marah-marah tak jelas.

"Woi! Kalau jalan pakai mata. Ini jalan raya bukan jalan Nenek moyangmu yang seenak jidatmu naik sepeda di tengah jalan!" Umpatnya kasar. Pria berkaca mata hitam itu memaki dengan sumpah serapah yang tidak enak didengar.

"Sakira?!"

Mataku seketika melotot melihat wanita yang duduk di samping pria sombong itu. Dia tak lain adalah Sakira. Wanita yang sudah meninggalkanku dan juga Rafa demi pria kaya.

"Heh! Apa lihat-lihat! Naksir sama istriku?"

"Ti … tidak," jawabku gugup.

Sakira yang ada di sampingnya menoleh ke arahku, namun dia langsung membuang wajahnya. Mungkin Sakira menganggap diri ini hina dan merasa tak pantas menjadi suaminya. Aku sadar dia terlalu cantik untuk pria miskin sepertiku. Pantas saja dia lari dan memilih lelaki yang lebih baik, dan menjamin hidupnya.

"Dasar orang miskin!"

"Sayang, udah deh. Buat apa kamu ladeni orang miskin seperti dia. Mending kita segera pergi dari sini," ujar Sakira.

"Orang miskin kayak dia harus diberi pelajaran, Sayang. Biar gak memeras orang kaya."

"Kalau kita terus meladeni dia bisa-bisa telat sampai ke bandara. Mama dan Papa bisa menunggu lama."

"Baiklah kalau begitu. Kali ini, pria miskin itu aku maafkan. Lain hari kalau ketemu lagi tidak akan kuberi ampun dia."

Dasar orang kaya!

Mobil yang dikemudikan pria itu langsung pergi. Dengan susah payah aku bangun untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Dalam pikiran masih terbayang wajah Sakira yang cantik. Setelah kian lama kami tak bertemu aku sangat merindukannya. Dulu, kehidupan kita bahagia menjalani hari-hari. Sampai aku di PHK karena krisis covid 19.

Otomatis aku tak punya penghasilan. Untuk bertahan hidup aku bekerja sebagai buruh bangunan dan juga mencari barang bekas. Itu pun tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Harga bahan pokok yang semakin melambung tinggi membuat Sakira tiap hari mengeluh. Sampai pada puncaknya dia tidak tahan dan menginginkan untuk berpisah.

"Aku minta cerai, Mas. Hari ini juga kamu talak aku. Biarkan aku bebas menjalankan hidupku sendiri."

"Sakira, bagaimana nasib anak kita bila kau pergi meninggalkannya?"

"Itu urusan kamu, Mas. Aku tidak peduli. Aku sudah melahirkan dan mengurus Rafa sampai usia tiga bulan. Setelah itu, tugasmu untuk membesarkannya."

"Sakira, tolong pikirkan kembali niatmu untuk berpisah. Rafa masih membutuhkan ASI. Kasihan dia bila tumbuh kurang gizi."

"Pokoknya aku gak mau. Sekarang juga kamu harus menjatuhkan talak. Aku tidak mau sampai tua hidup susah denganmu dan menjadi miskin."

Sakira menarik kopernya, dia berjalan ke arah ruang tamu dan meninggalkan Rafa yang masih bayi merah. Jujur, aku tidak ingin Rafa kehilangan kasih sayang ibunya. Namun tak ada yang bisa kulakukan karena Sakira sudah memutuskan.

"Cepat, Mas. Tunggu apalagi? Kau pikir aku akan berubah walau kau menangis? Sorry, ya. Hatiku tidak luluh walau kau bersujud untuk meminta tidak pergi."

"Sakira, sadarlah. Istighfar, jangan hanya dibutakan oleh harta lantas kau menjual imanmu. Ingat kamu adalah seorang istri dan juga Ibu."

"Halah! Gak usah ceramah, Mas. Tidak ada orang yang jadi ustaz bisa kaya. Lebih baik putuskan saja. Aku sudah tidak tahan hidup miskin denganmu."

Aku bergeming. Rasanya berat untuk menjatuhkan talak kepada wanita yang sangat kucintai. Apalagi, Rafa masih membutuhkan kasih sayang orang tua yang lengkap.

"Mas Danu, jangan membuatku marah. Ada dan tanpa talak itu juga aku akan pergi dari gubuk tua ini."

"Baiklah kalau itu yang kau mau, Sakira. Aku akan menjatuhkan talak untukmu sekarang juga."

"Bagus kalau gitu. Aku tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk menggugat ke pengadilan."

"Sakira Farida, aku talak kamu hari ini juga. Mulai sekarang kau, aku bebaskan dari kewajiban sebagai istri."

"Tandatangani surat cerai ini!" Sakira menyodorkan kertas yang sudah dibubuhi matrai.

Dengan berat hati ku tandatangani surat cerai di atas materai sepuluh ribu. Kemudian, Sakira pergi melenggang begitu saja menyeret kopernya. Seolah merasa tidak bersalah telah meninggalkan Rafa. Bayi merah yang masih membutuhkan perhatiannya. 

Di luar sudah menunggu mobil beserta pria yang sedang menunggu. Aku melihat Sakira naik mobil sport warna biru, lalu tersenyum bahagia. Senyumnya membuat hatiku hancur berkeping-keping. Terasa ada yang terkoyak dalam segumpal daging. Teganya dia mengkhianati demi lelaki kaya, yang punya segala-galanya daripada aku. Suami miskin yang hanya mengandalkan hidup dari mencari botol bekas. Sakitnya tuh di sini. 

***

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status