Rintik hujan turun membasahi bumi. Mengiringi pemakaman ibu. Selesai salat idul fitri beberapa warga menunaikan kewajiban fardhu kifayah. Mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.
Air mataku kembali turun membasahi pipi. Kala melihat tubuh wanita yang sudah lebih dari dua puluh tahun mengasuh, dan menemani. Kini, dia terbaring kaku di dalam tanah. Oh, ibu maafkan anakmu yang belum bisa membuatmu bahagia.
"Danu, azankan ibumu untuk yang terakhir kali," ucap Pakde Jarwo.
"Inggih, Paman."
Suara azan menggema di tengah kuburan. Disertai cairan bening yang terus menetes membasahi pipi. Tak kuasa melihat jasad wanita yang begitu kucintai telah kembali pada yang Maha Kuasa.
Selesai azan, jasad ibu ditutup dengan tanah. Perlahan gundukan membentuk seperti gunung. Kutaburi bunga dan daun pandan di atas pusara makam ibu. Aroma wanginya tercium cuping hidung. Di dalam sana ibu tidur untuk selama lamanya.
"Mas Danu, ayo pulang! Pemakaman sudah selesai."
"Sebentar, Wiji. Aku masih ingin di sini menemani Ibu. Tolong kamu bawa Rafa pulang saja. Berikan dia makan dan kue lebaran. Sebentar lagi aku akan menyusul."
"Ayah, Rafa mau di sini menemani Ayah."
"Rafa gak boleh di sini, Nak. Hujannya sangat lebat. Nanti Rafa sakit. Lebih baik ikut Bibi pulang dan tunggu di rumah saja."
"Tapi, Yah."
"Ingat, ya. Rafa harus nurut sama Bibi dan gak boleh nakal. Tidak boleh membuat Bibi Wiji susah."
Rafa hanya mengangguk. Bocah itu menurut saja ketika Wiji membawanya pulang. Beruntung gadis itu sayang dengan Rafa. Menganggap Rafa seperti anak sendiri. Kalau tidak … entah apa jadinya.
Aku masih menatap makam ibu dengan wajah sedih. Di atas kayu terukir namanya dengan indah. Wanita yang sudah berjasa telah melahirkan dan membesarkanku seorang diri. Parwati binti Vans Wistara adalah nama ibu.
Namun, dalam hati bertanya-tanya siapakah orang tua ibu yang bernama Vans Wistara. Selama ini, ibu tak pernah menceritakan siapa keluarganya. Siapa suaminya, dan siapa kakek serta nenekku. Pertanyaan ini menjadi sebuah misteri. Sering aku bertanya kepada ibu. Di mana kakek dan nenek? Jawaban ibu selalu sama. Mereka berada di tempat yang jauh. Suatu hari nanti pasti akan tahu.
Kala itu, ayah meninggalkan ibu ketika aku baru berusia tujuh tahun. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangga kedua orang tua. Hingga ayah memilih untuk pergi dan meninggalkan kita. Sampai kini, tak pernah sekali pun terdengar kabar ayah. Hingga usiaku telah dewasa. Bahkan, ibu selalu menutupinya. Seolah itu menjadi rahasia yang dibawa sampai mati.
Tar!
Suara petir yang menggelegar memecahkan lamunanku. Sementara, hujan masih terus turun dengan deras. Selesai berdoa kutinggalkan pemakaman menuju jalan pulang. Kukayuh sepeda butut meninggalkan tempat itu. Segera menuju pulang ke rumah.
"Astagfirullah!" ucapku seketika.
Hampir saja sebuah mobil sport menyerempet saat sepedaku melaju di jalan raya. Dalam keadaan cuaca seperti ini, orang kaya selalu saja tak memperhatikan jalan. Mobil itu tiba-tiba berhenti dan membuka kaca jendela sembari memaki. Bukan menolong malah marah-marah tak jelas.
"Woi! Kalau jalan pakai mata. Ini jalan raya bukan jalan Nenek moyangmu yang seenak jidatmu naik sepeda di tengah jalan!" Umpatnya kasar. Pria berkaca mata hitam itu memaki dengan sumpah serapah yang tidak enak didengar.
"Sakira?!"
Mataku seketika melotot melihat wanita yang duduk di samping pria sombong itu. Dia tak lain adalah Sakira. Wanita yang sudah meninggalkanku dan juga Rafa demi pria kaya.
"Heh! Apa lihat-lihat! Naksir sama istriku?"
"Ti … tidak," jawabku gugup.
Sakira yang ada di sampingnya menoleh ke arahku, namun dia langsung membuang wajahnya. Mungkin Sakira menganggap diri ini hina dan merasa tak pantas menjadi suaminya. Aku sadar dia terlalu cantik untuk pria miskin sepertiku. Pantas saja dia lari dan memilih lelaki yang lebih baik, dan menjamin hidupnya.
"Dasar orang miskin!"
"Sayang, udah deh. Buat apa kamu ladeni orang miskin seperti dia. Mending kita segera pergi dari sini," ujar Sakira.
"Orang miskin kayak dia harus diberi pelajaran, Sayang. Biar gak memeras orang kaya."
"Kalau kita terus meladeni dia bisa-bisa telat sampai ke bandara. Mama dan Papa bisa menunggu lama."
"Baiklah kalau begitu. Kali ini, pria miskin itu aku maafkan. Lain hari kalau ketemu lagi tidak akan kuberi ampun dia."
Dasar orang kaya!
Mobil yang dikemudikan pria itu langsung pergi. Dengan susah payah aku bangun untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Dalam pikiran masih terbayang wajah Sakira yang cantik. Setelah kian lama kami tak bertemu aku sangat merindukannya. Dulu, kehidupan kita bahagia menjalani hari-hari. Sampai aku di PHK karena krisis covid 19.
Otomatis aku tak punya penghasilan. Untuk bertahan hidup aku bekerja sebagai buruh bangunan dan juga mencari barang bekas. Itu pun tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Harga bahan pokok yang semakin melambung tinggi membuat Sakira tiap hari mengeluh. Sampai pada puncaknya dia tidak tahan dan menginginkan untuk berpisah.
"Aku minta cerai, Mas. Hari ini juga kamu talak aku. Biarkan aku bebas menjalankan hidupku sendiri."
"Sakira, bagaimana nasib anak kita bila kau pergi meninggalkannya?"
"Itu urusan kamu, Mas. Aku tidak peduli. Aku sudah melahirkan dan mengurus Rafa sampai usia tiga bulan. Setelah itu, tugasmu untuk membesarkannya."
"Sakira, tolong pikirkan kembali niatmu untuk berpisah. Rafa masih membutuhkan ASI. Kasihan dia bila tumbuh kurang gizi."
"Pokoknya aku gak mau. Sekarang juga kamu harus menjatuhkan talak. Aku tidak mau sampai tua hidup susah denganmu dan menjadi miskin."
Sakira menarik kopernya, dia berjalan ke arah ruang tamu dan meninggalkan Rafa yang masih bayi merah. Jujur, aku tidak ingin Rafa kehilangan kasih sayang ibunya. Namun tak ada yang bisa kulakukan karena Sakira sudah memutuskan.
"Cepat, Mas. Tunggu apalagi? Kau pikir aku akan berubah walau kau menangis? Sorry, ya. Hatiku tidak luluh walau kau bersujud untuk meminta tidak pergi."
"Sakira, sadarlah. Istighfar, jangan hanya dibutakan oleh harta lantas kau menjual imanmu. Ingat kamu adalah seorang istri dan juga Ibu."
"Halah! Gak usah ceramah, Mas. Tidak ada orang yang jadi ustaz bisa kaya. Lebih baik putuskan saja. Aku sudah tidak tahan hidup miskin denganmu."
Aku bergeming. Rasanya berat untuk menjatuhkan talak kepada wanita yang sangat kucintai. Apalagi, Rafa masih membutuhkan kasih sayang orang tua yang lengkap.
"Mas Danu, jangan membuatku marah. Ada dan tanpa talak itu juga aku akan pergi dari gubuk tua ini."
"Baiklah kalau itu yang kau mau, Sakira. Aku akan menjatuhkan talak untukmu sekarang juga."
"Bagus kalau gitu. Aku tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk menggugat ke pengadilan."
"Sakira Farida, aku talak kamu hari ini juga. Mulai sekarang kau, aku bebaskan dari kewajiban sebagai istri."
"Tandatangani surat cerai ini!" Sakira menyodorkan kertas yang sudah dibubuhi matrai.
Dengan berat hati ku tandatangani surat cerai di atas materai sepuluh ribu. Kemudian, Sakira pergi melenggang begitu saja menyeret kopernya. Seolah merasa tidak bersalah telah meninggalkan Rafa. Bayi merah yang masih membutuhkan perhatiannya.
Di luar sudah menunggu mobil beserta pria yang sedang menunggu. Aku melihat Sakira naik mobil sport warna biru, lalu tersenyum bahagia. Senyumnya membuat hatiku hancur berkeping-keping. Terasa ada yang terkoyak dalam segumpal daging. Teganya dia mengkhianati demi lelaki kaya, yang punya segala-galanya daripada aku. Suami miskin yang hanya mengandalkan hidup dari mencari botol bekas. Sakitnya tuh di sini.
***
Bersambung.
Dari kemarin harinya, hujan lebat mengguyur desaku. Mulai dari pagi sampai pagi lagi, air terus turun membasahi bumi. Aku pun tidak bisa mencari botol bekas seperti biasa. Kulirik Rafa yang tertidur dengan pulas, saat meringkuk memeluk bantal guling butut. Wajahnya terlihat tampan meski memakai baju kumal.Aku tahu, anakku itu tidur sambil menahan lapar. Dari sore kami belum makan apa pun. Bukannya tidak ingin memasak, tetapi aku tidak punya uang untuk membeli bahan pokok. Bahkan, sebutir beras pun tidak ada di rumah. Jadi, bagaimana aku bisa membuatkan makanan? Rafa masih terlalu kecil untuk mengetahui beban berat apa yang menimpa ayahnya. Andai, dia sudah dewasa. Mungkin akan tahu sulitnya hidup jika tidak punya penghasilan tetap. Hanya mengandalkan hasil mulung. Biasanya, ibu akan meminjam beras dari tetangga, atau paling tidak bisa mencabut singkong yang ada di belakang rumah. Namun, beberapa hari sesudah dia pergi sangat terasa. Jika kehadiran beliau sangat berpengaruh. Kini, ak
Di luar hujan masih saja turun dengan deras. Seolah langit sedang menangis menumpahkan segala kesedihannya. Sejak ibu meninggal aku tak punya hasrat untuk hidup. Ditambah harus membesarkan Rafa seorang diri. Bekerja keras membanting tulang pun uang tak cukup. Hanya bisa untuk makan sehari. Esok atau lusa harus mencari lagi. Bulan depan Rafa sudah mulai sekolah TK. Aku tak punya biaya untuk membuat pendidikannya lebih layak. Uang sekolah masuk TK membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sementara, pekerjaanku sebagai buruh bangunan, dan pengumpul botol bekas tidak cukup untuk makan. Bagaimana bisa menyekolahkan Rafa ke nol besar. "Eh, Pak. Duduk sini! Kenapa berdiri saja di sana?" tanya wanita yang sedari tadi membicarakan Pak Anton."Makasih, Bu. Saya di sini saja. Baju saya basah," jawabku agak sungkan. Perhatian para ibu-ibu langsung tertuju padaku."Tak apa-apa, Pak. Mari makan gorengan saat cuaca hujan begini. Cocok untuk situasi yang dingin. Perut terisi dan badan menjadi hangat."
"Ayah, Rafa lapar," ucap Rafa memegangi perutnya yang kempes.Aku menatap wajah putra semata wayangku iba. Merasa bersalah pada anak sendiri yang baru berumur empat tahun. Seharusnya, masa kecil Rafa dihabiskan dengan penuh kebahagian. Bermain dan tertawa bersama teman-temannya. Namun, harus menderita bersamaku di sini. Hidup miskin dalam tekanan ekonomi.Pekerjaanku masih menumpuk. Belum selesai mengaduk bahan bangunan. Masih ada sisa sepuluh menit lagi untuk waktu istirahat. Namun, Rafa tak mungkin menahan lapar sampai waktu itu tiba. Jatah makanan untuk para pekerja sebentar lagi akan datang. Akan tetapi, Rafa sudah merengek minta makan."Bang, bisakah aku minta jatah makan duluan untuk anakku?" tanyaku pada Bang Furqon. Dia kepala mandor yang baru tempatku bekerja di sini."Nih makan nasi sisa kemarin!" Bang Furqon meletakan nasi berwarna kuning di atas meja dengan kasar."Bang, nasinya sudah basi dan berbau. Tidak layak lagi untuk dimakan.""Emang kalau makan nasi yang sudah kuni
Aku terkejut ketika melihat wajah Sakira berada di berita televisi. Saat sedang menikmati makan siang dengan para pekerja lainnya. Tanpa sengaja aku menjatuhkan gelas. Menimbulkan bunyi yang sangat keras. Membuat mata Bang Mandor mertua membulat sempurna menatapku."Danu!" Seru Bang Mandor. Matanya langsung melotot ke arahku.Pandanganku masih menatap layar televisi berukuran 14 inch. Sakira Farida Safira sedang diwawancarai sebagai bintang tamu. Kini, dia bekerja sebagai model tabloid wanita, dan juga model butik terkenal. Wanita yang namanya masih terukir indah dalam hati. Walau dia sudah bersuami.Meskipun sempat kecewa pada Sakira, tetapi sampai detik ini, aku masih menyimpan rasa pada dia. Terlebih Sakira Safira adalah ibu dari anakku. Wanita yang sudah membawa Rafa ke dunia. Salahkan aku bila masih mencintainya?"Dasar anak buah bodoh! Apa kau tidak punya mata ha!" Hardik Bang Mandor.Bang Mandor seketika menampar pipiku. Hingga menimbulkan bercak merah. Hampir saja aku terjatuh
Tanganku membelai rambut Rafa dengan lembut. Dia sedang memeluk foto ibunya yang kurobek dari sebuah majalah wanita. Wajah Sakira Safira saat diwawancarai oleh wartawan. Salah satu dari berita gosip di stasiun televisi. Memakai gaun sebatas lutut tanpa lengan terlihat cantik. Maklumlah Sakira adalah artis papan atas. Semua penampilannya menjadi sorotan media sosial. Bahkan, menjadi perbincangan hangat sekitar kariernya yang sedang naik daun. Ketika melihat wajah ibunya untuk pertama kali, Rafa tersenyum lebar dengan mata yang berbinar. Kata Rafa, 'atah, aku tidak sabar ingin segera bertemu dengan ibu.'' Sobekan majalah dipeluk dengan erat. Seperti menumpahkan kerinduan yang memuncak. Melebihi rasa rinduku pada wanita yang telah lama tidak ditemui. Entah seperti apa dia kini, bila saling bertatapan muka. Mungkin Sakura masih ada rasa cinta padaku?Dalam hatiku berpikir. Apakah reaksi Sakira nanti saat bertemu denganku. Apakah dia akan menerima Rafa? Kuharap begitu. Sebagai anak yang t
"Ibu!" Teriak Rafa. Dia segera berlari ke arah ibunya yang tidak lain adalah Sakira.Kubiarkan Rafa memeluk kaki Sakira dengan erat. Seolah tak ingin melepaskan. Sakira Safira terkejut. Tiba-tiba saja seorang bocah kecil memeluk lututnya sambil tersenyum."Eh, siapa kamu? Kenapa memanggilku Ibu? Berani sekali memanggilku dengan sebutan, 'ibu.' Dasar anak tidak sopan!" Bentak Sakira.Sakira bertanya sambil menatap Rafa. Wajah Rafa mirip dengannya, bak pinang dibelah dua. Hidung mancung, kulitnya juga putih bersih. Plek-ketiplek mirip dengan Sakira Farida Safira.Aku mendekat ke arah Sakira dengan langkah ragu. Kemeja yang kukenakan terlihat melambai-lambai tertiup angin. Tubuhku gemetar seperti terkena arus listrik tegangan tinggi. Menatap wanita yang pernah singgah di hatiku sekian tahun lalu.Mencoba mengembangkan senyum. Pada wanita yang sudah lama tak kutemui. Dia tidak banyak berubah. Walau sudah sekian tahun tidak pernah muncul. Seakan lenyap ditelan bumi. "Kamu lupa kalau punya
Rafa tersenyum ketika melihat makanan yang disediakan Naina di atas meja dengan lengkap. Berbagai menu terhidang serta lauk pauk yang sangat lezat. Begitu menggoda selera. Dia memegangi sendok sambil menggoyangkan kaki duduk di kursi. Sekilas aku mencuri pandang ke wajah Naina. Dia cantik dan menawan. Mungkin karena ayahnya orang kaya, dan punya segalanya. Hingga Naina tak pernah kekurangan apa pun dalam hal materi.Berbagai menu sehat tersedia. Ada juga sayur dengan aneka seafood dan juga ayam goreng KFC. Cuci tangan sudah, kaki juga sudah bersih. Melihat kentucky tepung bumbu, perut Rafa menjadi lapar dan keroncongan. Pasti dia tidak sabar ingin segera menikmati.Sesekali aku menangkap basah ke arah Rafa, lalu melirik ke arah Naina yang sedang menyiapkan minuman. Aku jadi teringat dengan keponakan—Bang Furqon yang setiap hari digendong oleh pria itu. Ketika keponakannya sedang disuapi ibunya makan. Saat itu, aku bisa merasakan Rafa bersedih. Mungkin timbul rasa iri pada diri Rafa.
Angin bertiup menerpa baju putih kemeja yang kupakai. Mempermainkan seperti layang-layang. Di hadapan makam ibu, aku menaburkan bunga. Kemudian, berdoa tepat di sisi pusara. Beberapa bulan lalu dia masih bercanda, dan tersenyum bersamaku.Aku berziarah mengunjungi makam orang tua setelah pulang bertemu dengan Sakira. Tradisi nyekar sudah dilakukan sejak dulu. Ketika umat muslim ingin mengirimkan doa. Aku dan Rafa duduk bersila di atas rumput membacakan yasin. Rafa menabur bunga di atas kuburan ibu dan menyiramkan air."Ibu, aku datang. Lusa Rafa sudah mulai sekolah. Doa, kan semoga Rafa bisa tetap sekolah dengan baik. Dan aku bisa membiayainya."Aku berbicara pada makam ibu yang berjajar dengan makam lain. Menaburkan bunga, lalu menyirami dengan air mawar yang dibawa dari rumah. Hanya sesekali saja kalau aku rindu ingin nyekar ke makamnya. Jangan tanya ke mana ayahku pergi. Sejak kecil, aku tak pernah bertemu dengannya."Ibu, pasti kamu di atas sana sedang melihatku sekarang. Iya, aku