Segera kurebut ponsel dari tangan Sandi dan menyimpannya ke atas meja. "Sudah, itu bukan hal penting," ucapku sebelum akhirnya berlalu dari hadapanku.
Rasanya tenggorokanku sangat kering setelah melihat foto tadi. Dengan cekatan, tanganku segera menuangkan segelas air putih dan menenguknya sampai habis.
Tiba-tiba aku kembali terpikir dengan ucapan satpam komplek, dugaanku Mas Ardi sering sekali pulang ke rumah. Tapi, kenapa aku baru menyadarinya sekarang
Sungguh, kau sangat bodoh, Rena!
Dengan tergesa-gesa, aku berlari menuju kamar utama, di mana aku dan Mas Ardi tidur. Segera kuperiksa berbagai sudut, berharap dapat menemukan sesuatu. Tapi, nihil aku tidak menemukan apapun.
"Sandi, kapan temanmu bisa memang CCTV di rumah Mbak?" tanyaku dari tangga dengan nada dingin dan tangan terlipat di dada.
Sandi tidak menjawab ucapanku, dia malah langsung mengambil ponsel dan menelpon seseorang. Setelah obrolan singkat mereka, Sandi terlihat mematikan sambungan telepon dan menatapku.
"Hari ini bisa katanya."
"Baiklah, katakan pada temanmu untuk segera memasangkannya sekarang."
"Sudah aku katakan." Sandi segera bangkit dan mengambil kunci mobilnya yang tergelatak di atas meja. "Aku pulang dulu, Mbak."
Aku mengangguk pelan, kemudian mengantar Sandi sampai depan rumah. Sebelum pergi, Sandi sempat melambaikan tangannya padaku, lalu mobil yang dia tumpangi menjauh secara perlahan.
Perlahan aku kembali masuk ke rumah dan menatap ruangan besar yang ada di hadapanku kali ini. Kepalaku menunduk dalam, sepi rasanya.
Bagiku rumah sebesar apapun tidak akan terasa indah, bila di dalamnya tidak terdapat sebuah tawa anak kecil dan mungkin itulah yang aku rasakan. Semenjak menikah, aku ingin sekali memiliki seorang anak, berbagai cara telah aku lakukan. Tapi, Tuhan belum memberi kepercayaan itu padaku.
Apa memang suamiku berselingkuh karena aku belum bisa memiliki keturunan. Jika itu benar terjadi, sungguh kejam Mas Ardi. Bukannya berusaha dan berdoa, dia malah melampiaskan semuanya pada wanita lain.
Tanpa sadar, hatiku kembali memanas disertai dengan rasa sakit yang teramat dalam. Pantas saja dia dekat dengan Icha, toh wanita itu sudah memiliki seorang putri yang cantik.
"Permisi!" teriak seseorang dari arah pintu. Dengan malas aku mulai melangkah dan membuka pintu dengan pelan.
"Ada keperluan apa?" tanyaku pada dua orang laki-laki yang berumur dua tahun lebih muda dariku.
"Apa benar ini rumah Mbak Rena? Kami adalah temannya Sandi."
Aku langsung mengangguk sambil ber 'oh' ria ketika mendengar ucapannya. Setelah itu, aku langsung mempersilahkan mereka masuk dan mulai memasang CCTV di berbagai tempat.
Sebenarnya aku begitu takut, jika Mas Ardi tiba-tiba datang dan memergoki aksiku. Sungguh, aku merasa sangat tidak tenang. Tapi, untungnya aku bisa kembali bernapas dengan lega, setelah salah satu teman Sandi berkata, jika semuanya sudah selesai.
"Total semuanya berapa?" tanyaku sambil merogoh dompet dari saku celana dan mengeluarkan beberapa uang berwarna merah.
"Tidak usah. Sandi sudah membayarnya kami tadi. Permisi!"
Aku langsung mengangguk sambil menatap kepergian mereka. Akhir-akhir ini sikapnya membuatku sedikit bingung.
Saat aku hendak berbalik, tiba-tiba bel kembali berbunyi. Kali ini siapa lagi, tidak mungkin itu Mas Ardi, biasanya dia akan langsung masuk begitu saja.
"Ya, ada keperluan apa?" tanyaku sambil membuka pintu. Aku hampir terlonjak, saat melihat dua orang wanita tengah tersenyum ke arahku sambil menenteng tas.
"Kami Wati dan Ijah, asisten rumah tangga yang akan bekerja di sini."
"Silahkan masuk."
Setelah itu, aku langsung mengantar mereka pergi ke kamar untuk membereskan barang-barang, baru sehabis itu langsung memulai pekerjaan.
Aku baru ingat dengan unggahan Mas Ardi tadi, sepertinya aku harus menyelidikinya. Segera kuambil ponsel yang berada di atas meja dan mulai mencari akun sosial media milik Mas Ardi.
Memang tidak ada yang aneh, semua fotonya sama. Tapi, tiba-tiba aku tergerak untuk melihat siapa saja orang yang menyukai unggahan tersebut, hingga pandanganku tertuju pada sebuah akun.
Dengan cepat, aku segera mengklik akun tersebut, hingga akhirnya terlihat dengan jelas puluhan foto yang sedikit tidak jelas.
Seketika aku langsung menyipitkan mata saat melihat sebuah unggahan baru-baru ini. Kuperhatikan foto tersebut dengan seksama, hingga secara tidak sengaja ekor mataku jatuh pada sebuah watermark yang terdapat diujung foto. Segera kuperbesar foto tersebut, hingga sebuah deretan tanggal terlihat dengan jelas.
Seketika wajahku langsung memerah sambil mengatupkan bibir. Mas Ardi benar-benar brengsek. Jadi, selama ini dia memiliki sebuah akun palsu khusus untuk mengunggah kebersamaannya dengan wanita selingkuhannya.
Bukan tanpa alasan kenapa aku menuduhnya seperti itu. Tetapi, foto diakhir postingannya yang membuatku yakin kalo itu memanglah dia. Di mana foto tersebut memposting sebuah gambar jam tangan berinisial nama Mas Ardi.
"B*doh sekali!" ketusku sambil tersenyum miring.
Aku mulai menggerakkan jari ke bawah layar, hingga deretan foto kembali terlihat. Sungguh menyedihkan diriku ini. Jadi, selama dua bulan itu dia tidak hanya bekerja, melainkan menyempatkan diri untuk berlibur bersama wanita selingkuhannya. Sementara aku dengan sabarnya menunggu kedatangannya di sini.
Kuklik salah satu foto yang menurutku cukup jelas. Di mana seorang wanita sedang memeluk lengan laki-laki yang ada di sebelahnya.
Lagi-lagi aku tersenyum miring saat melihat leher wanita tersebut, di mana sebuah tanda lahir terlihat. Dapat kusimpulkan, itu adalah wanita yang sama dengan yang ada di ponsel Mas Ardi.
"Jahat kamu, Mas!" raungku sambil mencengkram ponsel dengan sangat kuat.
Bagaimanapun itu rasanya memang menyakitkan. Sekuat apapun aku bertahan dan bersabar, hatiku tetap tidak bisa berbohong. Aku adalah seorang istri dan wanita, hatiku tetaplah mudah terluka.
"Mas, kau sungguh seorang penghianat!"
Kulempar ponsel yang ada dalam genggamanku hingga terpental cukup jauh. Aku tidak peduli bagaimana bentuknya. Namun, yang jelas hatiku sangat sakit sekarang, bagaikan ada sebuah pisau yang menunduk dengan sangat dalam, kemudian ditariknya secara perlahan.
Sudah jelas semuanya, bukti yang aku miliki semakin kuat. Hanya tinggal mengungkap satu hal lagi saja. Yaitu, siapa sebenarnya wanita hina yang berani berselingkuh dengan suamiku.
Tidak akan aku maafkan mereka. Sungguh, laki-laki dan wanita kotor seperti itu tidak layak untuk hidup. Awas saja Mas, akan aku balas semuanya.
***
Benar saja, ketika waktu sudah menunjukan pukul 12 malam Mas Ardi baru pulang. Dengan keadaan sedikit gelap, aku melihat Mas Ardi sedikit mengendap-endap ketika memasuki rumah.
"Baru pulang?" tanyaku dengan nada tinggi. Baru ketika aku menekan saklar lampu, raut wajahnya terlihat sangat kaget.
"Sayang, sejak kapan kamu berdiri di sana?"
Mas Ardi segera mendekat dan memelukku dengan erat. Kuamati wajahnya yang sedikit berkeringat, hingga tiba-tiba wangi parfum itu kembali tercium.
Kuraih wajahnya dan mulai mengelus rahangnya yang sangat halus. Membayangkan wanita lain melakukan hal ini padanya sungguh sangat menjijikan.
Sambil menatapnya tajam, aku mulai tersenyum nakal dan meraba tubuhnya yang masih berbalut kemeja. Aku yakin, naluri laki-lakinya pasti akan bangun ketika mendapatkan sentuhan dariku.
"Sayang, apa kau menginginkannya hm?"
"Mas," godaku lagi. Tapi, ketika dia hendak memulai aksinya, aku langsung berkata, "kamu pulang sama siapa malam ini?"
Mas Ardi sempat terdiam sejenak, tangannya seakan berhenti di udara. Dia menatapku lekat, sebelum akhirnya berlalu meninggalkanku yang tengah mematung sambil tersenyum miring.
"Hanya bersama Icha, memangnya kenapa?"
"Tidak, hanya ingin tahu saja."
Aku kembali mendekatinya dan memeluk pinggangnya dengan cukup erat.
"Memangnya Icha harus selalu pulang bersamamu, Mas?"
Mas Ardi terlihat sangat kaget, hingga beberapa detik kemudian wajahnya kembali normal. Tetapi, dia masih tidak berani menatap mataku. Mungkin, takut belangnya katauan olehku.
"Harus, Sayang," jawabnya singkat. Lalu, memasuki kamar dan menguncinya dengan cukup kasar. Terlihat jelas kalo dia sedang kesal padaku. "Mas lelah, jangan banyak bertanya."
"Baik, suamiku sayang," ucapku penuh penekanan di setiap kalimat.
***
"Ponsel kamu kenapa?" tanya Mas Ardi dari ujung pintu kamar mandi, saat melihat ponselku yang retak tergelak di atas meja.Kulihat Mas Ardi mendekat, dia meraih ponsel milikku dan menyalakannya. Alisnya sedikit terangkat, sebelum akhirnya menatapku lekat."Kapan kamu berganti lockscreen, Sayang?"Aku terdiam sejenak, lalu baru teringat jika aku telah menggantinya kemarin. Lagipula, untuk apa terus memasang fotonya, itu hanya akan menambah rasa sakitku saja."Kemarin, Mas. Aku salah pencet, terus malah keganti gitu."Mas Ardi tidak menjawab ucapanku, dia malah asyik mengotak-atik ponsel milikku. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan, padahal aku juga jarang sekali membuka ponselnya yang menyimpan banyak rahasia itu.Andai saja aku bersikap seperti itu, mungkin dia akan marah dan merebut ponselnya dengan kasar. Cih! Apaan sekali, bukannya itu sangat tidak a
Tidak ada yang lebih nikmat, selain meminum kopi di pagi hari ditemani rintik hujan yang membasahi bumi. Semesta sepertinya tahu perasaanku saat ini yang sedang dirundung rasa sakit yang tidak berujung.Semenjak kejadian semalam, aku tidak tidak ingin sekali melihat Mas Ardi dan untungnya, dia tidak kembali ke kamar sejak terakhir kali pergi. Aku tidak tahu dia pergi ke mana, entah menemui jalang tersebut atau apa, aku tidak peduli."Sayang, kenapa kamu tidak membangunkan Mas?" tanya Mas Ardi dari belakangku. Dari suaranya aku tahu, kalo dia baru bangun tidur.Kutarik napas kasar dan menghembuskannya secara perlahan saat secara tiba-tiba dia berjalan ke arahku dan duduk tepat didepanku."Mas, perlu banyak istirahat. Sepertinya kemarin malam sangat kelelahan," jawabku tanpa tarikan napas sekalipun. Sengaja aku memandang sembarang arah, cukup malas rasanya menatap mata yang suka sekali meli
Sesampainya di parkiran kantor, aku langsung dikejutkan oleh ponsel yang bergetar hebat. Sesaat kemudian, satu ujung bibirku tertarik ke atas saat melihat siapa penelpon tersebut.Sambil mendengus, segera kumasukkan ponsel ke dalam tas dan kembali melangkah dengan anggun, menimbulkan suara yang cukup keras, saat sepatu heels dan lantai beton saling bertemu.Baru saja hendak memasuki lift, lagi-lagi ponselku kembali berdering. Siapa lagi kalo bukan Mas Ardi, sepertinya dia ingin menanyakan kenapa wanita sialan itu tiba-tiba dipecat dari jabatannya.Ah, bukannya itu pantas dia dapatkan. Biarkan saja wanita itu turun jabatan, kalo bisa aku pecat saja sekalian. Tapi, sepertinya aku tidak akan melakukan hal tersebut secara tiba-tiba, kecuali jika dia melakukan hal gila.Tepat saat lift terbuka, kulihat Sandi sedang berdiri sambil menatapku dengan alis terangkat sebelah, seperti bingung melihat
Tepat di hadapanku, dua orang tengah terduduk lesu sambil meremas jari tangan masing-masing. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Namun, yang pasti aku tidak peduli dengan hal itu.Sudah hampir satu jam setelah kejadian memalukan itu terjadi. Tapi, aku masih saja bungkam, begitu pun dengan mereka. Segera kuhembuskan napas dengan kasar saat melihat leher Icha yang terdapat beberapa bercak merah serta tanda lahir yang selama ini aku cari.Ternyata memang benar, jika wanita j*lang yang ada dalam foto suamiku itu memanglah Icha, tetanggaku yang tidak tahu diri."Ini yang mau kalian lakukan sekarang? Membisu sepanjang hari?" tanyaku dengan nada dingin. Tetapi, kedua orang itu masih saja terdiam, membuat darahku semakin bergejolak."Jawab!" teriakku sambil menggebrak meja dengan cukup keras, membuat Mas Ardi dan Icha tersentak.Dengan dada yang masih naik turun, k
"Aku juga mencintai Icha, Rena."Bak disambar petir di siang bolong, ucapan Mas Ardi berhasil membuat diriku hancur hanya dalam hitungan detik. Jadi, selama ini dia tidak mencintaiku dan hanya berpura-pura saja. Sungguh, br*ngs*k sekali laki-laki itu."Tapi, aku juga mencintaimu," tambahnya yang berhasil membuat aku semakin memanas. Mas Ardi sungguh keterlaluan, dia benar-benar tidak puas hanya dengan satu wanita.Belum sempat aku membalas ucapannya, telepon kembali berdering. Sambil menahan rasa sakit, aku segera meraihnya hingga sebuah suara terdengar."Saya sudah menghubungi Rudi dan dia secepatnya akan segera pulang.""Bagus, segera hubungi saya kembali jika Rudi sudah sampai ke Indonesia."Segera kumatikan sambungan telepon dan menatap dua orang yang ada di hadapanku saat ini. Aku tidak peduli tentang kehidupan mereka selanjutnya, karena yang pasti
Dahiku sedikit mengkerut saat mendengar ucapan Sandi yang sama sekali tidak aku mengerti. Lagipula untuk apa dia meminta maaf, bukannya dia sudah banyak membantuku selama ini.Sambil tersenyum tipis, segera kusingkirkan tangannya yang berada di bahuku dan berkata, "jangan meminta maaf, harusnya Mbak berterima kasih padamu karena sudah ada.""Jadi, Mbak sudah tahu apa yang aku katakan?" tanya Sandi dengan cepat, membuatku langsung berputar dan kembali menatap manik matanya."Ya, mungkin kamu akan meminta maaf karena telah membuat keributan di kantor," jawabku dengan sepenuh hati, karena memang itulah yang aku pikirkan.Sandi tertunduk, hingga beberapa saat kemudian menggeleng pelan. Tentu saja hal itu membuat aku semakin kebingungan."Sebenarnya ... aku sudah mengetahui perselingkuhan Mas Ardi. Hanya saja, aku tidak ingin mengatakan semuanya pada Mbak. Aku--"
Belum sempat aku benar-benar menjauh dari hadapan Mas Ardi, tiba-tiba sebuah teriakan yang cukup mengagetkan menggema di seisi ruangan. Hingga akhirnya, terdengar sebuah suara pukulan yang cukup keras.Saat aku berbalik, terlihat Mas Ardi sudah tergelatak di dekat sopa. Sementara itu, tidak jauh dari tempatnya berada, Sandi terlihat mengepalkan tangan dengan dada naik turun dan rahang mengeras.Dengan gerakan cepat, segera kuhampiri Sandi dan menariknya dengan cukup kasar. Tapi, sayang tubuhnya tidak bergerak sama sekali, tatapannya masih berfokus pada Mas Ardi yang sedang menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya.Sandi kembali melangkah dan siap melayangkan pukulannya ke wajah Mas Ardi. Tapi, dengan sigap aku segera berteriak."Stop!"Mas Ardi maupun Sandi sama-sama menoleh ke arahku. Dengan wajah memerah dan melotot sempurna, Sandi
Waktu terus berlalu, hingga tidak terasa sudah dua hari semenjak kejadian itu menimpaku. Bohong jika aku berkata, kalau rasa sakitku sudah berkurang. Karena pada nyatanya hal itu masih tetap sama.Walaupun merasa ada yang sedikit berbeda, aku tetap harus kembali menjalani kehidupan dengan lebih baik.Saat hendak pergi menuju balkon sambil membawa segelas teh hangat. Indra pendengaranku menangkap sebuah suara yang berasal dari kamar Sandi."Rudi sudah sampai? Baguslah. Bilang padanya untuk menemuiku di sebuah cafe yang sering aku datangi hari ini." Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku melihat Sandi sedang berbicara melalui sambungan telepon."Ya, benar. Pukul 12 siang saja."Tidak beberapa lama kemudian Sandi mematikan sambungan telepon dan menyimpan benda persegi itu di atas ranjang.Ketika Sandi hendak