[Mbak, barusan saya melihat mobil pak Ardi sudah keluar komplek.]
Aku langsung tersenyum kecut dan kembali memasukan ponsel ke dalam tas. Mas Ardi sudah benar-benar gila sepertinya.
Hatiku sangat panas, rasanya sangat sulit untuk mengendalikan emosi. Jika saja Mas Ardi dan selingkuhannya ada tepat di depan mataku kali ini, habis mereka.
Bahkan, karena saking kesalnya, aku sampai tidak sadar jika roti yang ada dalam genggamanku sudah hancur bersamaan dengan bungkusnya yang sudah tidak karuan.
"Mbak, kenapa?" tanya Sandi tiba-tiba membuatku sedikit terlonjak.
Aku yang baru sadar dengan perbuatan barusan, segera memasukan roti ke dalam kantong plastik dan menatapnya dengan sedikit ragu.
"Ti-tidak!"
"Baiklah," jawab Sandi singkat, pandangannya tetap berfokus pada jalanan.
Setidaknya aku bersyukur, Sandi tidak bertanya banyak hal. Bisa kacau jadinya, kalau hal itu sampai terjadi, apalagi jika mulut kesayanganku ini sampai melontarkan kata-kata yang tidak seharusnya, alias keceplosan.
Tapi, pada nyatanya sebuah kenyataan yang menyakitkan menimpaku. Di mana aku adalah seorang korban laki-laki bermulut manis. Ya, sangat manis, sampai aku terbuai dan jatuh dalam perangkapnya.
Mungkin inilah salah satu teguran dari Tuhan, di mana aku jangan sampai terlalu percaya pada manusia, hingga benar-benar dibutakan oleh cinta dan inilah juga cara Tuhan menyadaranku, bahwa laki-laki itu bukanlah yang terbaik.
"Mbak Rena tidak ada niatan untuk memasang CCTV di rumah?"
Diluar dugaan, Sandi sepertinya dapat membaca pikiranku saat ini. Baru saja aku memikirkan hal itu tadi dan sekarang dia mengatakannya.
Tanpa menunggu persetujuanku terlebih dahulu, Sandi kembali berkata, "biar nanti aku hubungi temanku, Mbak tinggal terima beres saja."
Aku mengangguk pelan, sepertinya adikku memang orang yang sangat bisa dipercaya saat ini. Walaupun aku belum bisa menceritakan semuanya, karena memang aku pikir ini belum saatnya.
Beberapa menit kemudian, mobil yang kami tumpangi sudah mulai memasuki komplek perumahan. Saat turun dari mobil, hatiku langsung sakit seketika, seperti ada sesuatu yang mencabik-cabik.
Bayangan demi bayangan terlintas di kepala. Bagaimana dulu aku dan Mas Ardi menginjakan kaki pertama kali di sini, di sambut sebuah rumah yang memang cukup kami idamkan dari jauh-jauh hari.
Ini memang salahku juga, pacaran bertahun-tahun ternyata tidak menjamin diriku bisa mengenalnya lebih dalam. Masih banyak sekali hal yang belum aku ketahui tentangnya. Mungkin, sangat banyak.
Saat ini aku menyesal? Tentu saja! Pernikahan yang aku inginkan terjadi satu kali dalam seumur hidup, sepertinya tidak akan pernah terjadi. Harapanku perlahan mulai menghilang dan lenyap begitu saja.
Bagiku semua bukti yang aku temukan sudah cukup menyakitkan, sudah cukup nyata jika suamiku benar-benar berselingkuh. Walaupun belum pasti dengan siapa dan kapan dia memulai semuanya.
Tapi, aku sudah cukup yakin. Dia adalah seorang penghianat. Jika keluargaku sampai tahu, bukan hanya aku yang merasa dikhianati. Tapi, mereka juga dan ini akan menjadi pukulan yang sangat menyakitkan.
"Mbak! Mbak!"
Seketika aku langsung menggeleng dan menatap Sandi yang tepat berada di sampingku. Laki-laki itu terlihat menatapku dengan lembut, aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan jika mengetahui kakak iparnya telah berselingkuh.
"Ada apa?"
Sandi tidak menjawab ucapanku, dia masih saja terus menatapku dengan intens. Aku tidak tahu arti tatapan itu. Namun, yang pasti adalah dia jarang sekali melakukan hal itu.
"Tidak ada. Ayo, masuk! Sepertinya Mbak sangat lelah."
Ujung bibirku langsung tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman. Tanpa disangka-sangka, Sandi langsung merangkul bahuku, hingga aku terkekeh pelan.
Bagaimana tidak, ini adalah hal yang biasa kami lakukan ketika kecil. Aku dan Sandi harus tumbuh dewasa tanpa seorang ibu, itulah sebabnya kami sangat dekat. Sementara ayah kami, beliau adalah orang yang sangat sibuk, sehingga jarang ada waktu untuk bersama anak-anaknya.
"Sandi, jika ada orang yang menyakiti Mbak, apa yang akan kamu lakukan?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku, hingga beberapa saat kemudian aku baru sadar dan mengutuk diriku sendiri yang sangat bodoh.
Kulirik Sandi secara perlahan, raut wajahnya tetap sama. Aku harap dia tidak curiga dengan apa yang telah aku ucapkan.
"Mbak mau tahu apa yang akan aku lakukan?"
Aku mengangguk, sebelum akhirnya duduk di sopa dan menatapnya yang juga tengah menatap ke arahku.
"Akan aku hancurkan semua yang berhubungan dengan orang itu, sampai dia tidak bisa bernapas dengan lega. Mbak tahu 'kan kalo aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku?"
Kuteguk saliva dengan susah payah. Memang benar, Sandi tidak pernah bermain-main dengan ucapannya. Bahkan, kali ini tatapan matanya begitu tajam dengan rahang mengeras dan tangan terkepal kuat.
"Haha, kamu memang bisa diandalkan, Sandi." Aku langsung terkekeh pelan. Tapi, malah terdengar aneh, karena terkesan dipaksakan.
Diakhir kekehan, kutatap Sandi yang terlihat masih begitu marah. Dengan pelan, kuraih tangan kanannya kemudian mengenggamnya dengan erat.
"Kamu jangan memikirkan itu, Mbak hanya bercanda," ucapku pelan.
Aku harap, dia benar percaya kalo yang aku katakan tadi hanyalah sebuah kebohongan. Walaupun sebenarnya itu adalah kenyataan.
Sandi mengangguk dengan senyum merekah di wajah tampannya. "Tentu! Lagipula aku percaya dan aku juga yakin, tidak akan ada orang yang berani macam-macam pada Mbak."
Seketika aku langsung tersenyum saat mendengar ucapan Sandi. Sayangnya yang dia katakan tidak benar, karena pada nyatanya orang yang paling aku sayangi dan percaya adalah orang yang berani menyakitiku secara tidak terduga-duga.
"Oh iya, Mbak hari ini mulai menyewa asisten rumah tangga. Menurutmu bagaimana?"
"Itu bagus, lagipula Mbak selalu mengurus rumah sebesar ini sendirian dan bukannya itu sangat melelahkan."
Aku mengangguk, memang yang dia katakan ada benarnya juga. "Iya, aku hampir tidak ada waktu untuk bersantai. Sungguh, sangat melelahkan."
"Mbaknya saja bandel!" cerocos Sandi sambil menatapku dengan raut wajah kesal.
"Maafkan Mbakmu, Sandi," ujarku sambil terkekeh pelan, sebelum akhirnya meraih ponsel yang berada dalam tas.
Sesudah menyalakan ponsel, aku langsung berseluncur di sosial media hingga bosan. Tidak ada yang menarik bagiku, semuanya sama saja.
Hingga, secara tidak sengaja pandanganku tertuju pada sebuah unggahan milik suamiku. Aku sedikit mengerutkan dahi, saat melihat foto sebuah pantai. Perasaan aku dan Mas Ardi pergi beberapa bulan yang lalu. Tapi, kenapa dia baru mengunggahnya sekarang.
Saat aku hendak mematikan ponsel, Sandi langsung merebutnya dan ikut menatap foto yang Mas Ardi unggah di sosial medianya.
Kali ini aku tidak tahu ekspresi apa yang Sandi perlihatkan. Sebab, aku tidak bisa membacanya sama sekali. Namun, aku harap dia tidak memikirkan hal aneh.
"Sah?!""Sah ...."Suara para saksi serta orang-orang yang hadir di pernikahanku turut menggema. Bersamaan dengan itu, setetes demi tetes air mana turun membasahi pipi, tak kusangka setelah perjalanan panjang yang aku lalui, akhirnya Rehan menjadi pemberhentian terakhirku kali ini.Aku berharap, Rehan memang orang terakhir di hidupku, menjagaku sampai maut yang memisahkan. Sekali lagi aku berharap, jika apa yang terjadi terakhir kali padaku, takkan pernah terjadi lagi. Cukup kali itu saja, aku merasakan sebuah pengkhianatan yang amat sangat melukai hati, batin serta mentalku."Sayang, ada apa?"Sebuah bisikan lembut di ujung telinga, mampu menyadarkan aku dari lamunan panjang. Sontak, aku menoleh, menatap kedua sorot mata Rehan yang tampak begitu indah.Detik berikutnya kedua sudut bibirku tertarik ke atas, membuat lengkungan atas matamu ikut tertarik membentuk sebuah bulan sabit.Perlahan aku menggeleng pelan, kemudian menggenggam tangan Rehan dengan lembut."Tidak apa-apa, Sayang. A
"Hai, Mbak. Apa kabar?" Sontak, aku langsung menurunkan gelas yang sedang aku pegang, kemudian menoleh ke sumber suara.Tepat di hadapanku, seorang laki-laki tengah berdiri sambil menyunggingkan senyuman.Sejauh ini, tidak ada yang berubah darinya, hanya saja bulu-bulu halus yang biasa dia cukur rapih di area rahang, sepertinya kali ini dia biarkan tumbuh, membuatnya terlihat semakin dewasa."Baik, Rehan. Apa kabarmu? Sudah lama tidak bertemu," ucapku setelah sosok laki-laki tersebut duduk di hadapanku.Setelah memikirkan ulang perkataan Sandi, akhirnya kuputuskan untuk bertemu dengan Rehan di sebuah kafe yang jaraknya memang cukup jauh dari tempat tinggalku yang sekarang."Baik, juga."Tidak ada percakapan lain diantara kami, mungkin karena terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing."Mbak, kenapa kamu tiba-tiba menghilang begitu s
"Mbak, ini gadis yang mau aku perkenalkan padamu."Seketika aku langsung menoleh, tepat di hadapanku seorang gadis berbaju putih yang dipadukan dengan rok kotak-kotak berwarna hitam tengah berdiri.Kepala menunduk, tapi sekilas aku dapat melihat wajahnya begitu cantik dan imut jika dilihat secara langsung, jari tangannya saling bertautan satu sama lain.Baru saja aku akan berkata, tiba-tiba sebuah teriakan dari arah belakang mengagetkanku."Mamah ... Kak Andlew jahat." Seorang anak berusia tiga tahun setengah berlari ke pangkuanku, tangannya mengusap sudut mata yang berair."Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil mengecup puncak kepalanya."Kak Andlew, jahat! Dia rebut boneka beluang Lea," ucapnya disela-sela isak tangis. Pengucapannya yang masih sedikit cadel, membuatku semakin gemas."Udah, jangan nangis. Malu tuh sama Tante yang ada di
Entah berapa lama, aku tidak menginjakkan kaki keluar rumah, kadang rasa bosan selalu mendera. Hanya saja, aku memang tidak bisa dengan leluasa pergi ke manapun.Sampai detik ini, ayah melarangku untuk keluar jauh dari rumah. Alasannya tetap sama, dia memang kadang mengijinkanku pergi, hanya saja ketika ada keperluan mendadak saja, itupun ayah lebih sering menyuruh orang. Ayah masih saja takut terjadi hal buruk padaku.Tidak terasa, baby Andrew dan Andrea sudah bisa merangkak. Perkembangan mereka begitu cepat, rasanya baru kemarin aku mendengar suara tangisan keduanya untuk yang pertama kalinya."Wah, pinter banget anak, Ibu," ucapku kegirangan kala melihat Andrew dan Andrea merangkak, berlomba-lomba mengambil bola kecil yang sengaja aku simpan sedikit jauh di depan keduanya."Wih, om bangga sama kalian," ucap Sandi tiba-tiba. Dia langsung meraih Andrew dan membawanya keluar kamar, tentu saja itu mem
Kubuka resleting dompet yang sengaja aku simpan di pangkuan. Benar saja, benda persegi berwarna putih yang dari tadi aku cari ada di sana, berdampingan dengan beberapa benda lainnya.Sandi berdecak, dia menatap kesal ke arahku yang sedang tersenyum kecut."Makanya jangan panik dulu, tapi cari yang bener.""Iya, siap Pak boss," ucapku sambil memperagakan gerakan hormat.Ingin rasanya kutempeleng kepalanya, saat mendengar Sandi tertawa terbahak-bahak. Walaupun yang dia katakan memang benar juga. Tapi, aku tetap saja kesal.Kutatap Sandi sinis, tangan kanan meraih ponsel dengan cepat dan segera menghubungi nomor Bi Wati."Bi, bagaimana keadaan Andrew dan Andrea?""Baik-baik saja, Bu. Barusan habis minum susu dan sekarang sedang bermain bersama bibi."Aku mengangguk pelan ketika mendengar ucapan Bi
Perlahan, aku mulai melangkah, menghampiri seseorang yang masih menunduk dalam. Baju kaos berwarna putih kumal, celana panjang hitamnya pun sama, bahkan ada beberapa tambalan di sana.Aku tidak tahu karung berisi apa yang sengaja dia sembunyikan di belakang tubuh. Walaupun Sandi sudah berusaha menahan, tapi hal itu tidak mengurungkan niatku untuk mendekat ke arahnya."Apa yang kamu lakukan di sini?" Akhirnya, mulutku mampu melontarkan kalimat sesaat setelah beberapa detik membisu.Orang itu terdiam, rambutnya terlihat begitu acak-acakan, peluh mengucur membasahi kening hingga pakaian yang dia kenakan."Maaf, mungkin salah orang. Saya permisi."Mesti sudah lama tidak bertemu, tapi aku tidak akan pernah lupa dengan wajahnya dan suaranya. Walaupun, memang banyak yang sedikit berubah."Tidak!" Kucekal lengannya dengan cukup kasar. "Kutanya, apa
Sudah hampir seminggu aku tinggal di rumah ayah dan selama itu juga, kejadian yang sempat menimpa Bi Wati beberapa saat yang lalu tidak pernah terjadi lagi.Mungkin orang itu tahu, jika penjagaan di rumah ayah sangat ketat, karena hampir setiap penjuru rumah diisi oleh beberapa orang pria bertubuh tegap.Aku bergidik ngeri, saat membayangkan pria bertubuh tegap tersebut langsung menghajar orang yang berani macam-macam. Dapat kupastikan, orang itu langsung babak belur seketika."Sandi," teriakku saat melihat pria berkaos putih dan celana pendek melintas tepat di depanku. Sandi menoleh dan menaikan sebelah alisnya."Ada apa?"Aku beranjak dari duduk, menyambar dompet dan ponsel yang tergeletak di meja."Antar, Mbak, belanja! Mumpung si kembar lagi tidur dan stok susu juga masih ada," ucapku, setelah sebelumnya menoleh ke arah Andrew dan Andrea
Tidak mau ambil pusing, segera kurebahkan badan di ranjang empuk, menarik selimut hingga sebatas dada.Baru saja beberapa detik terpejam, mataku kembali terbuka menatap langit-langit kamar, sebelum akhirnya mulai menelusuri seisi ruangan.Aku sedikit beringsut, menyandarkan tubuh pada punggung ranjang, jari tangan ikut menarik selimut dan meremasnya secara perlahan.Masih terlintas dalam benakku, potret Rudi sedang makan siang bersama Icha. Walaupun tidak bisa melihat tatapan keduanya secara jelas, tetapi aku yakin jika mereka tidak mungkin bertemu, tanpa alasan yang tidak pasti.Apa jangan-jangan selama ini Rudi bersikap baik hanya karena menginginkan suatu hal? Emm mungkin saja, lagipula siapa yang tahu dengan isi hati seseorang.Tanpa sadar rahangku mengeras, tangan terkepal kuat, jika itu memangnya kebenarannya.Kurang ajar!
"Tidak mungkin, Rehan melakukan hal tersebut. Lagipula, untuk apa?" tanyaku dengan raut wajah keheranan.Sandi dan ayah terdiam sesaat, hingga beberapa detik kemudian Sandi mengangguk mantap. Tubuhnya sedikit membungkuk, tangan terkepal kuat serta menatap sembarang arah."Mbak, benar. Untuk apa dia melakukan hal tersebut, sementara itu kita tidak memiliki urusan lain dengannya atau jangan--" Sandi menggantungkan ucapan, dia menengok ke arahku sambil melotot. "Dia dendam, karena, Mbak sudah menolak cintanya."Seketika aku pun ikut terbelalak saat mendengar ucapannya. Tanpa rasa kasihan, segera kutoyor kepalanya dengan cukup keras sampai dia mengaduh kesakitan."Apa maksudmu, hah? Sembarangan sekali." Aku memang cukup kesal dengan ucapannya."Sudah! Apa-apaan kalian ini, sudah besar masih saja bertengkar!" Ayah bangkir sambil berkacak pinggang. Dia mencoba melerai kami. "Sand