Pagi itu, ruang rapat besar penuh dengan suara kursi bergeser. Beberapa staf sibuk menyalakan proyektor, menyiapkan grafik penjualan di layar. Damar masuk perlahan dengan tongkat di tangan. Semua mata langsung tertuju padanya.
“Selamat pagi, Pak,” serentak beberapa karyawan menyapa.
Damar mengangguk, mencoba tampak tenang. Ia berjalan menuju kursinya di ujung meja. Tongkatnya diketuk pelan ke lantai sebelum ia duduk. Sekejap, suasana kembali hening.
Karina menyusul masuk, menenteng map berisi dokumen rapat. Dengan cekatan ia membagikan satu per satu ke peserta, lalu menaruh salinan khusus di depan Damar. “Ini sudah saya rangkum, Pak. Biar Bapak tidak perlu membaca semua detail.”
Damar menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Bagus.”
Rapat pun dimulai. Beberapa staf menyampaikan laporan dengan terbata, sesekali melirik ke arah Damar. Namun setiap kali Damar hendak bicara, Karina bergerak cepat, menayangkan slide yang tepat atau menyodorkan catatan kecil.
“Pak, bagian ini bisa langsung lompat ke proyeksi,” bisiknya pelan, cukup terdengar di telinga Damar.
Damar mengikuti sarannya. Dan benar, presentasi terasa lebih lancar.
Di akhir rapat, salah satu manajer mendekat sambil berbisik pada rekannya, “Sekretaris baru itu pintar juga ya. Sepertinya Pak Damar sangat terbantu.”
Rekan yang lain menanggapi sambil tersenyum tipis, “Lebih dari sekadar terbantu, sepertinya.”
Bisik-bisik itu samar terdengar oleh Damar, namun ia memilih diam. Anehnya, bukan rasa tidak nyaman yang ia rasakan, melainkan sesuatu yang membuat dadanya membuncah dengan kebanggaan.
Hari itu, setelah rapat panjang, Karina muncul di ruang kerja dengan membawa dua kotak makanan.
“Pak, saya tahu Bapak pasti tidak sempat makan di kantin. Jadi saya pesan dari luar. Ini salad yang rendah lemak, cocok untuk pemulihan.”
Damar menatapnya, lalu tertawa kecil. “Kau sepertinya lebih perhatian daripada istriku.”
Ucapan itu meluncur begitu saja, spontan. Begitu ia menyadari, ia terdiam. Namun Karina hanya tersenyum.
“Saya hanya menjalankan tugas, Pak. Kalau Bapak sehat, pekerjaan saya juga lebih mudah.”
Damar mengangguk, tapi di dalam hatinya, kalimat tadi berputar. Lebih perhatian daripada istriku.
Alya memang selalu mengingatkan soal obat dan makanan sehat, tapi nadanya seperti instruksi. Sedangkan Karina, ia melakukannya dengan cara yang hangat, ringan, dan membuat Damar merasa… dipedulikan.
***
Sore hari, saat pulang kantor, Damar dan Karina masuk lift bersama. Beberapa staf lain ikut di dalam. Karina berdiri agak dekat, menahan map besar agar tidak jatuh.
“Terima kasih sudah menunggu, Pak,” ucap Karina sambil tersenyum.
Lift bergerak turun. Dua staf di pojok saling melirik, lalu berbisik, “Mereka selalu pulang bareng ya sekarang?”
Yang lain terkekeh pelan, “Kalau bosnya nyaman, siapa yang berani komentar?”
Damar pura-pura tidak mendengar. Karina pun tetap tenang. Namun dalam hati Damar ada rasa aneh campuran antara bangga dan bersalah.
Malam itu, saat Damar tengah sibuk dengan laporan di laptop, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk.
“Pak, jangan lupa besok ada rapat dengan investor jam 10. Istirahat yang cukup malam ini.” –Karina
Damar menatap layar lama. Senyum tipis terbit tanpa ia sadari. Pesan singkat itu sederhana, tapi membuatnya merasa diperhatikan lebih dari sekadar atasan.
Ia mengetik balasan singkat: “Baik. Terima kasih, Karina.”
Ponselnya kembali bergetar.
“Sama-sama, Pak. Selamat malam.”
Damar menaruh ponsel di meja. Namun senyum itu tetap tersisa di wajahnya hingga ia terlelap.
***
Esok paginya, Alya melihat senyum samar itu di wajah Damar saat ia bersiap berangkat kerja.
“Kau terlihat senang sekali,” ucap Alya sambil membetulkan dasi suaminya.
Damar menggeleng cepat. “Ah, tidak. Hanya lega karena pekerjaan berjalan lancar.”
Alya menatapnya lama. Ia tidak bertanya lebih jauh. Namun hatinya tahu, senyum itu bukan sekadar tentang pekerjaan. Ada sesuatu yang berubah.
Dan meski ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, Alya tahu: sebuah retakan halus sudah mulai terbentuk di dalam rumah tangganya.
***
Hari-hari di kantor kian terasa berbeda bagi Damar. Setelah sekian lama merasa tak berdaya, kini ia kembali duduk di ruangannya dengan penuh wibawa. Tongkat masih menemaninya, tapi tak mengurangi karisma yang sudah lama melekat. Namun ada sesuatu yang lain sebuah kenyamanan baru yang selalu hadir setiap kali Karina berada di sisinya.
Suara mesin fotokopi berdengung, aroma kopi menyebar dari pantry, dan ketukan sepatu terdengar bersahut-sahutan di lantai marmer kantor pusat perusahaan itu.
“Pak, ini agenda hari ini,” kata Karina begitu masuk ke ruang kerja Damar. Ia mengenakan blus putih sederhana, dipadukan dengan rok hitam selutut. Rambutnya diikat rapi, namun beberapa helai jatuh membingkai wajahnya.
Ia meletakkan map berwarna biru di meja. “Jam 9 ada pertemuan dengan tim keuangan, lalu jam 11 Bapak akan mendengarkan presentasi proyek baru.”
Damar membuka map itu sebentar. “Kau sudah ringkas semuanya?”
“Sudah, Pak. Saya beri catatan di bagian yang paling penting,” jawab Karina, suaranya tenang tapi penuh keyakinan.
Damar menatapnya sejenak. Ada sesuatu dari cara Karina bekerja—efisien, sigap, dan selalu mendahului kebutuhannya yang membuatnya merasa dihargai.
“Baik. Bagus sekali,” ucapnya akhirnya.
Di ruang rapat, suasana agak tegang. Angka-angka di layar menunjukkan penurunan laba kuartal lalu. Beberapa manajer bergantian memaparkan penjelasan, namun Damar mendengarkan dengan dahi berkerut.
Karina, duduk tak jauh dari sisi Damar, menuliskan catatan dengan cepat. Sesekali ia mendorong kertas kecil ke hadapan Damar: “Fokus ke biaya distribusi, ada kebocoran di sana.”
Damar melirik sekilas, lalu mengajukan pertanyaan tepat sasaran. “Kenapa biaya distribusi melonjak 15% tanpa ada penambahan wilayah? Ada laporan detail?”
Para manajer terdiam. Seorang staf terbata menjawab, “S-sedang kami susun, Pak.”
Damar mengangguk pelan. “Saya tunggu sore ini. Jangan ulangi lagi.”
Ketegasan itu membuat suasana seketika tegang. Namun Damar tahu, keberaniannya mengarahkan diskusi barusan berkat Karina yang cepat tanggap. Ia menoleh sekilas, dan Karina membalas dengan senyum tipis, seolah berkata Saya ada di sini untuk mendukung Anda.
Saat makan siang, Damar biasanya makan di ruangannya. Hari itu Karina mengetuk pintu membawa dua kotak bekal.
“Saya sempat mampir ke kafe dekat sini, Pak. Katanya sup ayam mereka sehat untuk pemulihan. Saya belikan satu untuk Bapak,” ucapnya sambil meletakkan kotak di meja.
Damar sempat ragu. “Kau tidak perlu repot, Karina.”
“Tidak apa-apa, Pak. Lagipula saya juga harus makan. Lebih baik kita makan sambil membahas jadwal sore.”
Damar akhirnya tersenyum kecil. Mereka pun makan bersama, membicarakan agenda kerja. Namun di sela-sela percakapan, ada momen hening yang terasa… berbeda.
Suara sendok beradu dengan mangkuk terdengar jelas. Sesekali tatapan mereka bertemu, lalu sama-sama cepat dialihkan. Namun ada kilasan hangat yang sulit diabaikan.
Beberapa staf mulai memperhatikan. Di ruang pantry, dua karyawan berbisik sambil menyeruput kopi.
“Pak Damar sekarang sering banget sama Mbak Karina ya?”
“Iya. Kayaknya tiap langkahnya diikuti. Dari rapat, makan siang, sampai pulang kantor.”
“Hmm, kalau istrinya tahu gimana ya?”
Bisik-bisik itu belum sampai ke telinga Alya, tapi sudah menjadi kabar kecil yang beredar di kantor.
Menjelang sore, Damar masih duduk di ruangannya, menatap layar laptop dengan mata lelah. Karina masih di sana, meski jam kerja sudah selesai.
“Bapak mau saya buatkan kopi?” tanyanya.
“Tidak usah. Kau juga pasti lelah, pulanglah duluan.”
Karina menggeleng. “Saya belum terlalu lelah, Pak. Lagipula kalau saya pulang, Bapak tetap akan duduk sendirian di sini. Lebih baik saya menemani.”
Kalimat sederhana itu membuat dada Damar terasa hangat. Ia tidak ingat kapan terakhir kali seseorang berkata begitu padanya.
Alya di rumah memang selalu menunggu, tapi sering dengan ekspresi cemas atau lelah. Karina berbeda ia hadir tanpa beban, seolah keberadaannya memang sudah seharusnya di sana.
Saat akhirnya mereka selesai, Damar berjalan keluar kantor dengan tongkat di tangan. Karina ada di sisinya, membawa map.
“Terima kasih sudah menemani lembur,” kata Damar saat mereka berdiri di lobi.
Karina tersenyum. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan pekerjaan saya.”
Namun tatapan mata mereka beradu sesaat, lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu di sana sebuah keakraban yang mulai melampaui batas atasan dan bawahan.
Dan ketika Damar masuk ke mobilnya, ia merasakan sesuatu yang asing namun menenangkan ia tidak lagi merasa sendirian.
Malam itu rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Damar baru pulang lewat tengah malam. Lampu ruang tamu masih menyala, dan Alya sudah menunggunya di sofa dengan pakaian santai, secangkir teh hangat di atas meja.Begitu pintu terbuka, Damar langsung tertegun melihat istrinya masih terjaga. “Ly… kamu belum tidur?”Alya tersenyum samar. “Aku menunggumu Mas. Aku kira hari ini Mas pulang lebih cepat.”Damar meletakkan jasnya di gantungan, mencoba terlihat tenang. “Ada rapat mendadak, aku tidak bisa tinggalkan.”"Lagi-lagi alasan yang sama, setiap hari alsannya selalu sama ketika pulangtengah malam," batin Alya.Alya berdiri, berjalan mendekatinya. Aroma parfum asing yang beberapa hari terakhir mengusik indra penciumannya kembali tercium samar. Ia menghela napas pelan, menatap Damar dalam-dalam.“Mas, boleh aku bertanya sesuatu?” suaranya lembut, tapi tegas.“Tentu. Apa, Ly?”“Kalau aku bilang… aku mencium aroma berbeda darimu akhir-akhir ini, Mas akan jawab apa?”Damar tercekat. Senyum
Suasana kantor siang itu masih sibuk. Lobi dipenuhi pegawai yang lalu-lalang, beberapa membawa berkas, sebagian lain menunggu lift. Di antara keramaian itu, langkah Alya tetap anggun. Ia tidak tampak terburu-buru, tapi aura kehadirannya membuat beberapa pasang mata menoleh.Resepsionis yang sudah mengenalnya segera berdiri. “Selamat siang, Bu Alya.”“Selamat siang,” balas Alya dengan senyum tipis. “Saya ingin menemui Mas Damar. Dia sedang di ruangan, kan?”“Betul, Bu. Saya antar sampai lift," tawar resepsionis dengan sopan."Baiklah," ucap Alya yang tersenyum kepada resepsionis itu.Beberapa menit kemudian, Alya sudah berdiri di depan pintu kayu berpelitur gelap dengan plakat bertuliskan Damar Pratama – Direktur Utama. Ia mengetuk sekali, lalu mendorong pintu masuk tanpa menunggu jawaban.Damar mendongak dari balik tumpukan berkas. Saat melihat Alya yang masuk Damar merasa kaget bukan main melihat Alya berdiri di sana. “Ly? Apa yang… kamu lakukan di sini?”Alya menutup pintu perlahan,
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar, membias hangat ke seluruh ruangan. Alya berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang tergerai lembut. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya penuh tekad. Semalam ia tidak banyak tidur, pikirannya terus bergulir, menimbang-nimbang langkah apa yang harus diambil. Dan pagi ini, keputusannya bulat, ia akan mendatangi kantor Damar, bukan lagi hanya menunggu cerita dari Nadia atau menebak-nebak, Alya ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri.Ia menyiapkan sarapan dengan rapi seperti biasa. Damar turun dari kamar, sudah rapi dengan kemeja kerja abu-abu yang dipadu jas gelap. Alya menaruh secangkir kopi hitam di depannya, senyum tipis tersungging di bibirnya.“Mas, jangan lupa pakai jaket. Cuaca agak sulit ditebak belakangan ini,” katanya lembut, seolah semua berjalan normal.Damar menatap sekilas, lalu mengangguk. “Iya, Ly. Kamu jangan terlalu capek di rumah.”Percakapan berhenti di situ. Selebihnya hanya suara sendok beradu
Pagi itu cahaya matahari menyelinap lembut melalui tirai kamar, menyentuh wajah Alya yang sudah bangun sejak subuh. Ia menatap sosok Damar suaminya yang masih terlelap. Sejenak ia teringat masa-masa ketika lelaki itu lumpuh dan tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Dulu, setiap pagi, ia yang menguatkan Damar, menyuapi, memijat, bahkan memandikannya. Kini, setelah sembuh, lelaki itu tampak gagah kembali, seakan semua luka masa lalu hilang.Namun Alya tahu, luka yang sesungguhnya bukan di tubuh, melainkan di hati.Dengan langkah pelan, ia meninggalkan kamar, menuju dapur, dan mulai menyiapkan sarapan. Aroma tumisan bawang putih berpadu dengan wangi kopi hitam memenuhi udara. Alya menata meja dengan rapi, menyusun buah di piring kecil, dan meletakkan sendok-garpu sejajar. Tangannya begitu tenang, meski pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.Tak lama, Damar keluar kamar dengan kemeja putih dan dasi yang baru ia pasang. “Wah, sarapan pagi ini kelihatan istimewa sekali,” kata Damar samb
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah tirai kamar, jatuh di dinding dengan lembut. Alya sudah bangun lebih awal, menata rambutnya rapi, lalu beranjak ke dapur. Bunyi sayuran yang ditumis dan aroma bawang putih memenuhi udara, menandai rutinitas yang nyaris tak pernah berubah sejak dulu.Damar keluar kamar dengan kemeja biru muda, wajahnya segar. “Seperti biasa, kamu bangun duluan. Aku heran, kamu nggak pernah lelah ya, Ly?” tanyanya, mengambil tempat di meja makan.Alya hanya tersenyum tipis. “Kalau bukan aku, siapa lagi?” jawabnya ringan sambil menuang jus jeruk ke gelas.Mereka sarapan bersama. Damar sesekali menatap ponselnya, jarinya sibuk mengetik sesuatu. Sesekali bibirnya membentuk senyum kecil, seolah membaca pesan yang menyenangkan. Alya memperhatikan gerakan itu dari ekor mata, lalu menunduk kembali pada piringnya. Ia tak bertanya apa-apa, hanya membiarkan keheningan di antara mereka berbicara lebih lantang daripada kata-kata.Setelah sarapan, Damar pamit dengan terge
Pagi itu udara masih sejuk. Aroma embun bercampur dengan bau tanah basah masuk lewat celah jendela. Alya membuka mata perlahan, tubuhnya masih berat karena tidur yang tak benar-benar nyenyak. Ia sempat terbangun beberapa kali di tengah malam, memikirkan aroma asing yang semalam begitu mengganggunya.Ia menoleh ke samping. Damar masih terlelap. Wajah Damar tampak tenang, bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur. Alya memandanginya lama, mencoba menemukan sesuatu di balik ketenangan itu. Tapi yang tampak hanyalah Damar yang sama lelaki yang pernah ia rawat dengan sepenuh hati ketika lumpuh dulu.Alya bangkit perlahan, menyingkap selimut, lalu berdiri di sisi ranjang. Matanya langsung jatuh pada kursi di dekat jendela, tempat kemeja abu-abu yang dipakai Damar semalam tergantung seadanya.Tangannya bergerak pelan, meraih kemeja itu. Ia mendekatkannya ke wajah, menarik napas panjang menghirup aroma parfum yang ada di kemeja Damar. Wangi itu masih ada. Lembut, floral, bercampur musk. Tida