Share

Diam Tapi Peka

Penulis: Dinda Cahyani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-09 13:22:35

Pagi itu, ruang rapat besar penuh dengan suara kursi bergeser. Beberapa staf sibuk menyalakan proyektor, menyiapkan grafik penjualan di layar. Damar masuk perlahan dengan tongkat di tangan. Semua mata langsung tertuju padanya.

“Selamat pagi, Pak,” serentak beberapa karyawan menyapa.

Damar mengangguk, mencoba tampak tenang. Ia berjalan menuju kursinya di ujung meja. Tongkatnya diketuk pelan ke lantai sebelum ia duduk. Sekejap, suasana kembali hening.

Karina menyusul masuk, menenteng map berisi dokumen rapat. Dengan cekatan ia membagikan satu per satu ke peserta, lalu menaruh salinan khusus di depan Damar. “Ini sudah saya rangkum, Pak. Biar Bapak tidak perlu membaca semua detail.”

Damar menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Bagus.”

Rapat pun dimulai. Beberapa staf menyampaikan laporan dengan terbata, sesekali melirik ke arah Damar. Namun setiap kali Damar hendak bicara, Karina bergerak cepat, menayangkan slide yang tepat atau menyodorkan catatan kecil.

“Pak, bagian ini bisa langsung lompat ke proyeksi,” bisiknya pelan, cukup terdengar di telinga Damar.

Damar mengikuti sarannya. Dan benar, presentasi terasa lebih lancar.

Di akhir rapat, salah satu manajer mendekat sambil berbisik pada rekannya, “Sekretaris baru itu pintar juga ya. Sepertinya Pak Damar sangat terbantu.”

Rekan yang lain menanggapi sambil tersenyum tipis, “Lebih dari sekadar terbantu, sepertinya.”

Bisik-bisik itu samar terdengar oleh Damar, namun ia memilih diam. Anehnya, bukan rasa tidak nyaman yang ia rasakan, melainkan sesuatu yang membuat dadanya membuncah dengan kebanggaan.

Hari itu, setelah rapat panjang, Karina muncul di ruang kerja dengan membawa dua kotak makanan.

“Pak, saya tahu Bapak pasti tidak sempat makan di kantin. Jadi saya pesan dari luar. Ini salad yang rendah lemak, cocok untuk pemulihan.”

Damar menatapnya, lalu tertawa kecil. “Kau sepertinya lebih perhatian daripada istriku.”

Ucapan itu meluncur begitu saja, spontan. Begitu ia menyadari, ia terdiam. Namun Karina hanya tersenyum.

“Saya hanya menjalankan tugas, Pak. Kalau Bapak sehat, pekerjaan saya juga lebih mudah.”

Damar mengangguk, tapi di dalam hatinya, kalimat tadi berputar. Lebih perhatian daripada istriku.

Alya memang selalu mengingatkan soal obat dan makanan sehat, tapi nadanya seperti instruksi. Sedangkan Karina, ia melakukannya dengan cara yang hangat, ringan, dan membuat Damar merasa… dipedulikan.

***

Sore hari, saat pulang kantor, Damar dan Karina masuk lift bersama. Beberapa staf lain ikut di dalam. Karina berdiri agak dekat, menahan map besar agar tidak jatuh.

“Terima kasih sudah menunggu, Pak,” ucap Karina sambil tersenyum.

Lift bergerak turun. Dua staf di pojok saling melirik, lalu berbisik, “Mereka selalu pulang bareng ya sekarang?”

Yang lain terkekeh pelan, “Kalau bosnya nyaman, siapa yang berani komentar?”

Damar pura-pura tidak mendengar. Karina pun tetap tenang. Namun dalam hati Damar ada rasa aneh campuran antara bangga dan bersalah.

Malam itu, saat Damar tengah sibuk dengan laporan di laptop, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk.

“Pak, jangan lupa besok ada rapat dengan investor jam 10. Istirahat yang cukup malam ini.” –Karina

Damar menatap layar lama. Senyum tipis terbit tanpa ia sadari. Pesan singkat itu sederhana, tapi membuatnya merasa diperhatikan lebih dari sekadar atasan.

Ia mengetik balasan singkat: “Baik. Terima kasih, Karina.”

Ponselnya kembali bergetar.

“Sama-sama, Pak. Selamat malam.”

Damar menaruh ponsel di meja. Namun senyum itu tetap tersisa di wajahnya hingga ia terlelap.

***

Esok paginya, Alya melihat senyum samar itu di wajah Damar saat ia bersiap berangkat kerja.

“Kau terlihat senang sekali,” ucap Alya sambil membetulkan dasi suaminya.

Damar menggeleng cepat. “Ah, tidak. Hanya lega karena pekerjaan berjalan lancar.”

Alya menatapnya lama. Ia tidak bertanya lebih jauh. Namun hatinya tahu, senyum itu bukan sekadar tentang pekerjaan. Ada sesuatu yang berubah.

Dan meski ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, Alya tahu: sebuah retakan halus sudah mulai terbentuk di dalam rumah tangganya.

***

Hari-hari di kantor kian terasa berbeda bagi Damar. Setelah sekian lama merasa tak berdaya, kini ia kembali duduk di ruangannya dengan penuh wibawa. Tongkat masih menemaninya, tapi tak mengurangi karisma yang sudah lama melekat. Namun ada sesuatu yang lain sebuah kenyamanan baru yang selalu hadir setiap kali Karina berada di sisinya.

Suara mesin fotokopi berdengung, aroma kopi menyebar dari pantry, dan ketukan sepatu terdengar bersahut-sahutan di lantai marmer kantor pusat perusahaan itu.

“Pak, ini agenda hari ini,” kata Karina begitu masuk ke ruang kerja Damar. Ia mengenakan blus putih sederhana, dipadukan dengan rok hitam selutut. Rambutnya diikat rapi, namun beberapa helai jatuh membingkai wajahnya.

Ia meletakkan map berwarna biru di meja. “Jam 9 ada pertemuan dengan tim keuangan, lalu jam 11 Bapak akan mendengarkan presentasi proyek baru.”

Damar membuka map itu sebentar. “Kau sudah ringkas semuanya?”

“Sudah, Pak. Saya beri catatan di bagian yang paling penting,” jawab Karina, suaranya tenang tapi penuh keyakinan.

Damar menatapnya sejenak. Ada sesuatu dari cara Karina bekerja—efisien, sigap, dan selalu mendahului kebutuhannya yang membuatnya merasa dihargai.

“Baik. Bagus sekali,” ucapnya akhirnya.

Di ruang rapat, suasana agak tegang. Angka-angka di layar menunjukkan penurunan laba kuartal lalu. Beberapa manajer bergantian memaparkan penjelasan, namun Damar mendengarkan dengan dahi berkerut.

Karina, duduk tak jauh dari sisi Damar, menuliskan catatan dengan cepat. Sesekali ia mendorong kertas kecil ke hadapan Damar: “Fokus ke biaya distribusi, ada kebocoran di sana.”

Damar melirik sekilas, lalu mengajukan pertanyaan tepat sasaran. “Kenapa biaya distribusi melonjak 15% tanpa ada penambahan wilayah? Ada laporan detail?”

Para manajer terdiam. Seorang staf terbata menjawab, “S-sedang kami susun, Pak.”

Damar mengangguk pelan. “Saya tunggu sore ini. Jangan ulangi lagi.”

Ketegasan itu membuat suasana seketika tegang. Namun Damar tahu, keberaniannya mengarahkan diskusi barusan berkat Karina yang cepat tanggap. Ia menoleh sekilas, dan Karina membalas dengan senyum tipis, seolah berkata Saya ada di sini untuk mendukung Anda.

***

Saat makan siang, Damar biasanya makan di ruangannya. Hari itu Karina mengetuk pintu membawa dua kotak bekal.

“Saya sempat mampir ke kafe dekat sini, Pak. Katanya sup ayam mereka sehat untuk pemulihan. Saya belikan satu untuk Bapak,” ucapnya sambil meletakkan kotak di meja.

Damar sempat ragu. “Kau tidak perlu repot, Karina.”

“Tidak apa-apa, Pak. Lagipula saya juga harus makan. Lebih baik kita makan sambil membahas jadwal sore.”

Damar akhirnya tersenyum kecil. Mereka pun makan bersama, membicarakan agenda kerja. Namun di sela-sela percakapan, ada momen hening yang terasa… berbeda.

Suara sendok beradu dengan mangkuk terdengar jelas. Sesekali tatapan mereka bertemu, lalu sama-sama cepat dialihkan. Namun ada kilasan hangat yang sulit diabaikan.

Beberapa staf mulai memperhatikan. Di ruang pantry, dua karyawan berbisik sambil menyeruput kopi.

“Pak Damar sekarang sering banget sama Mbak Karina ya?”

“Iya. Kayaknya tiap langkahnya diikuti. Dari rapat, makan siang, sampai pulang kantor.”

“Hmm, kalau istrinya tahu gimana ya?”

Bisik-bisik itu belum sampai ke telinga Alya, tapi sudah menjadi kabar kecil yang beredar di kantor.

***

Menjelang sore, Damar masih duduk di ruangannya, menatap layar laptop dengan mata lelah. Karina masih di sana, meski jam kerja sudah selesai.

“Bapak mau saya buatkan kopi?” tanyanya.

“Tidak usah. Kau juga pasti lelah, pulanglah duluan.”

Karina menggeleng. “Saya belum terlalu lelah, Pak. Lagipula kalau saya pulang, Bapak tetap akan duduk sendirian di sini. Lebih baik saya menemani.”

Kalimat sederhana itu membuat dada Damar terasa hangat. Ia tidak ingat kapan terakhir kali seseorang berkata begitu padanya.

Alya di rumah memang selalu menunggu, tapi sering dengan ekspresi cemas atau lelah. Karina berbeda ia hadir tanpa beban, seolah keberadaannya memang sudah seharusnya di sana.

Saat akhirnya mereka selesai, Damar berjalan keluar kantor dengan tongkat di tangan. Karina ada di sisinya, membawa map.

“Terima kasih sudah menemani lembur,” kata Damar saat mereka berdiri di lobi.

Karina tersenyum. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan pekerjaan saya.”

Namun tatapan mata mereka beradu sesaat, lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu di sana sebuah keakraban yang mulai melampaui batas atasan dan bawahan.

Dan ketika Damar masuk ke mobilnya, ia merasakan sesuatu yang asing namun menenangkan ia tidak lagi merasa sendirian.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Bayangan yang Kembali

    Beberapa minggu berlalu sejak malam itu di balkon apartemen Alya.Hubungan Alya dan Arsen semakin hangat mereka mulai saling terbuka, berbagi kebiasaan kecil, tawa ringan, bahkan percakapan panjang tentang mimpi-mimpi masa depan. Tapi, seperti bayangan yang selalu menempel, Damar kembali hadir di kehidupan mereka.Sore itu, Alya sedang menyiapkan dokumen untuk presentasi di rumah.Arsen duduk di sofa, membaca majalah desain. Mereka tertawa kecil membahas proyek baru yang sedang digarap Arsen. Kehangatan itu membuat Alya merasa aman, seolah dunia bisa tenang sejenak.Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi muncul nama Damar.“Alya, bisakah kita bicara? Aku ingin menjelaskan semuanya. Aku ingin kesempatan kedua." Isi pesan dari Damar.Alya menatap layar, napasnya membeku sesaat. Tangan yang menahan dokumen hampir jatuh.Ia menatap Arsen yang masih fokus membaca, lalu menelan ludah. “Arsen… ini Damar.”Arsen menutup majalah, menatapnya dengan tenang tapi tajam. “Apa dia minta ketemu?”Alya

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Keputusan

    Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Arsen di kafe.Alya mencoba fokus bekerja, menulis, berolahraga, dan menjaga ritme hidupnya tetap stabil. Tapi di sela-sela waktu sunyi, pikiran tentang Arsen selalu kembali. Tentang cara pria itu menatapnya tanpa menuntut, tanpa menyalahkan, tanpa mengasihani.Dan justru itu yang membuat Alya takut.Malam itu, ia duduk di balkon apartemennya. Angin laut membawa aroma asin, langit penuh bintang samar di balik awan tipis. Di meja kecil, secangkir teh melati mengepul pelan.Ia membuka laptopnya, mencoba menulis. Tapi baru beberapa kalimat, pikirannya kacau lagi.Ponselnya bergetar. Nama Arsen muncul di layar."Aku nggak tahu kamu mau jawab atau nggak. Tapi aku di bawah, di depan gedungmu, aku cuma mau bicara. Sekali ini aja," isi pesan dari Arsen.Alya menatap pesan itu lama. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi bukan karena takut. Karena ia tahu, kali ini ia harus menentukan arah hidupnya.Ia mengambil shawl, turun dengan langkah mantap.Arsen

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Bayangan Dari Masa Lalu

    Alya berdiri diam di ambang pintu, memandangi sosok Arsen yang masih basah kuyup.Hujan di luar belum reda, tapi entah kenapa, kehadiran pria itu membuat ruangan apartemennya terasa lebih hangat dan berbahaya sekaligus.“Kenapa kamu datang, Sen?”Suaranya pelan tapi berat. “Aku pikir kamu butuh waktu sendiri.”Arsen menarik napas panjang. “Aku memang mau kasih kamu waktu. Tapi setelah tahu kamu ketemu Damar hari ini, aku nggak bisa diam.”Alya membeku. “Kamu tahu?”“Teman di kantormu cerita,” jawab Arsen tenang. “Aku nggak bermaksud ngawasin kamu, tapi aku khawatir.”Alya menatapnya lama. Mata itu… mata yang dulu hanya penuh dingin profesionalisme, kini menyimpan sesuatu yang lebih dalam takut kehilangan.Ia berjalan pelan ke arah dapur, menyiapkan dua cangkir kopi tanpa menatap Arsen. “Kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak akan jatuh dua kali pada orang yang sama.”“Bukan itu maksudku,” suara Arsen sedikit serak. Ia melangkah mendekat. “Aku cuma takut… kamu belum benar-benar bebas dar

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Antara Luka dan Rasa yang Tumbuh

    Matahari sore menembus jendela kaca kafe tempat Alya duduk. Di depannya, laptop terbuka, tetapi jarinya hanya menatap layar kosong. Sudah setengah jam dia tidak mengetik apa pun. Pikirannya melayang ke arah yang tidak ingin ia akui tentang Arsen.Sejak beberapa minggu terakhir, pria itu hadir terlalu sering. Di kantor, di lobi apartemen, bahkan di pesan singkat sederhana yang selalu berujung pada percakapan panjang.Awalnya, Alya pikir kehadiran Arsen hanya sebagai rekan kerja yang perhatian. Tapi perlahan, tatapan hangat itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam… sesuatu yang membuat dadanya bergetar, tapi juga takut.“Masih belum bisa fokus, ya?”Suara berat itu membuyarkan lamunannya. Arsen datang tanpa mengetuk, membawa dua gelas kopi panas.Alya tersenyum samar. “Kamu memang jago banget muncul di waktu yang tepat.”Arsen duduk di seberangnya, matanya tajam tapi lembut. “Atau kamu memang selalu butuh aku di waktu yang salah.”Alya menatap pria itu pria yang kini mulai mengisi r

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Sepi yang Tertinggal

    Sudah tiga minggu sejak Alya meninggalkan rumahnya dengan Damar. Rumah besar itu kini bagai bangunan kosong tanpa jiwa. Tak ada lagi tawa kecil, tak ada aroma kopi buatan Alya di pagi hari, hanya sunyi yang memantul di setiap dinding.Damar bangun pagi dengan mata bengkak, duduk di tepi ranjang, menatap sisi tempat tidur yang kosong. Dulu, tangan Alya akan menggenggam tangannya pelan, menanyakan apakah ia butuh bantuan berdiri. Kini, hanya udara yang menjawab.Ia berjalan ke dapur, membuka lemari, semua masih sama, kecuali toples gula yang sudah kosong. Alya selalu mengisinya tiap akhir pekan. Kini, benda kecil itu terasa seperti simbol kehilangan yang lebih besar dari apapun.Sementara itu, di sebuah apartemen kecil di pinggir Denpasar, Alya memulai harinya dengan sederhana. Kopi hitam, buku catatan di samping laptop, dan musik instrumental yang pelan mengisi ruang. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tanpa riasan berlebihan. Ia tampak tenang tapi ketenangan itu bukan tanpa luka.Di l

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Tidak Ada Jalan Kembali

    Malam itu, di gedung kantor Damar sudah terlihat sepi. Lampu-lampu lorong berpendar redup, membentuk bayangan panjang di lantai marmer. Alya berdiri di ujung koridor, napasnya perlahan, langkahnya mantap. Hatinya sakit, tapi ia menahan segalanya amarah, kecewa, dan rasa sedih yang ingin meledak. Ia ingin melihat sendiri… agar tak ada lagi keraguan.Di balik kaca ruang rapat, ia melihat pemandangan yang selama ini menghantui pikirannya:Damar dan Karina duduk terlalu dekat. Tangan Damar di pinggang Karina, wajah mereka nyaris bersentuhan. Tawa kecil Karina terdengar ringan, tapi menusuk seperti pisau. Damar tersenyum santai, tanpa rasa bersalah. Mereka bercumbu, bebas, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Rasa sakit menekan dada Alya. Tubuhnya gemetar, tapi wajahnya tetap tenang. Air mata menitik, tapi ia menahannya. Ia mengumpulkan seluruh keberanian, melangkah masuk ke ruang rapat.Damar menoleh, matanya melebar saat melihat Alya berdiri di pintu. Wajahnya pucat, tangan gemetar.“

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status