แชร์

Pengakuan yang Terlarang

ผู้เขียน: Dinda Cahyani
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-10 19:13:17

Malam itu, usai pertemuan dengan salah satu investor, Damar dan Karina belum langsung pulang. Restoran tempat mereka makan bersama tim perlahan sepi, hanya tinggal beberapa meja yang masih terisi. Rekan-rekan lain sudah pamit lebih dulu, meninggalkan mereka berdua.

Karina menutup map presentasi yang sejak tadi menemaninya. “Hari ini Bapak hebat sekali. Investor terlihat sangat yakin.”

Damar menghela napas, lalu tersenyum samar. “Kalau bukan karena kau yang menyiapkan semuanya, aku mungkin sudah kelabakan.”

Hening sebentar. Damar menatap Karina lebih lama dari biasanya. Lampu restoran yang temaram membuat wajah Karina terlihat lembut, dan sesuatu bergetar di dalam dadanya.

“Karina…” suara Damar terdengar berat. “Aku tidak tahu harus bagaimana mengatakannya. Tapi… kehadiranmu membuatku merasa hidup lagi.”

Karina membeku. Matanya menatap Damar dengan ragu. “Pak…”

“Aku tahu ini salah. Aku sudah punya istri yang sangat baik. Alya telah merawatku di saat terburuk. Tapi bersamamu… aku merasa berbeda. Aku merasa dihargai sebagai seorang lelaki, bukan sekadar beban.”

Karina menelan ludah, kedua tangannya mengepal di pangkuan. Lalu, perlahan ia menggeleng. “Pak, saya juga tidak seharusnya merasakan ini. Tapi… setiap hari berada di dekat Bapak, mendengarkan, membantu… saya tidak bisa menutup mata. Saya... saya juga merasakan hal yang sama.”

Damar menarik napas panjang. Hatinya berkecamuk antara rasa bersalah dan kelegaan.

“Kita tidak boleh seperti ini,” kata Karina pelan, meski matanya berkilat dengan emosi yang bertolak belakang.

“Tapi sudah terlambat,” jawab Damar, suaranya lirih. “Perasaan itu sudah ada.”

Mata mereka saling bertemu. Waktu seakan berhenti. Dan di detik itu, sebuah batas yang selama ini mereka jaga runtuh oleh kejujuran masing-masing.

Damar merasakan sesuatu yang lama terkubur dalam dirinya kembali menyala, sebuah gairah, sebuah kebanggaan sebagai lelaki yang diinginkan.

Karina menunduk, berusaha mengatur napasnya. “Pak… kalau kita teruskan ini, akan menghancurkan banyak hal.”

“Aku tahu,” jawab Damar cepat, seakan tak ingin memberi celah.

“Aku tahu risikonya. Tapi aku juga tidak bisa berpura-pura lagi," kata Damar.

Karina terdiam. Ia menggenggam ujung mapnya erat, seolah itu satu-satunya pegangan. Namun getar di bibirnya mengkhianati hati yang mulai goyah.

Damar menyandarkan punggung, menatap langit-langit restoran yang remang. “Selama ini aku hidup seperti mayat berjalan, Karina. Alya sudah berbuat banyak… tapi entah kenapa aku tetap merasa hampa. Dan kau, kau membuatku merasa bernapas lagi.”

Kalimat itu menekan sisi nurani Karina. Ia ingin menyangkal, tapi hatinya tahu ia juga merasa sama. Perhatian yang ia berikan selama ini ternyata tidak lagi sebatas pekerjaan. Ia telah jatuh terlalu dalam.

Perlahan, Karina mengangkat wajahnya. “Kalau benar begitu… apa yang Bapak inginkan dari saya?”

Damar menoleh, tatapannya menusuk. “Aku ingin kau tetap ada di sisiku. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa menahan diri. Tapi satu hal yang pasti… aku tidak ingin kehilanganmu.”

Hening sejenak. Lalu, dengan suara bergetar, Karina berkata, “Saya… juga tidak ingin jauh dari Bapak.”

Seketika, dinding terakhir runtuh.

Damar meraih tangan Karina yang sejak tadi berada di pangkuannya. Hangat, bergetar, tapi tidak ditarik. Karina menutup mata sesaat, membiarkan jemarinya terjalin dengan jemari Damar.

Detik itu, mereka tahu garis yang tak seharusnya dilanggar sudah benar-benar dilewati.

Malam makin larut ketika mereka meninggalkan restoran. Udara dingin menusuk, namun hati mereka justru terbakar.

Karina berjalan di sisi Damar, tetap menjaga jarak agar tidak mencolok. Tapi sesekali, tangan mereka bersentuhan. Sentuhan kecil itu sudah cukup untuk membuat dada Damar bergemuruh.

“Saya akan pesan taksi,” ucap Karina ketika mereka tiba di depan lobi.

Damar menoleh, ingin mengatakan sesuatu. Tapi ia menahan diri. “Baiklah. Hati-hati di jalan.”

Karina hanya tersenyum samar. Namun tatapan mereka lebih fasih daripada kata-kata. Ada janji tak terucap, ada hasrat yang belum tersalurkan.

Mobil Karina meluncur pergi, meninggalkan Damar berdiri dengan pikiran yang kacau. Ia tahu, begitu pulang ke rumah, ia harus berhadapan lagi dengan Alya yang setia menunggunya. Dan itu membuat hatinya terasa dihantam rasa bersalah.

Namun di balik semua itu, ada suara lain yang lebih keras berbisik di dalam dirinya: Aku tidak bisa berhenti sekarang.

Ketika sampai di rumah, Alya sudah menunggu di ruang tamu. Rambutnya diikat sederhana, masih mengenakan daster, namun wajahnya terlihat lelah.

“Kau pulang terlambat,” katanya sambil menyodorkan segelas air hangat.

“Rapat dengan investor,” jawab Damar singkat, meneguk air itu tanpa menatap Alya.

Alya mengangguk pelan. “Bagus kalau berjalan lancar.”

Damar hanya menggumam. Tatapannya melayang ke ponselnya. Ia menunggu sesuatu, sebuah pesan.

Dan tak lama kemudian, layar ponsel bergetar.

“Sudah sampai rumah, Pak. Terima kasih untuk malam ini.” –Karina

Damar menahan senyum di hadapan Alya. Ia hanya mengetik balasan singkat: “Sama-sama. Selamat malam, Karina.”

Namun di balik layar ponsel itu, ada kenyataan pahit, ia baru saja mengkhianati perempuan yang telah menjaga dan merawatnya di saat ia tidak berdaya.

Dan meski nuraninya berteriak, Damar tahu perjalanannya menuju jurang sudah benar-benar dimulai.

Setelah meneguk air hangat yang diberikan Alya, Damar langsung menuju kamar. Ia menyibukkan diri dengan ponselnya, seolah ada hal penting yang harus dicek. Alya memperhatikan dari pintu, matanya meneliti perubahan kecil yang tak bisa luput dari perhatiannya.

Selama bertahun-tahun menikah, ia tahu benar bahasa tubuh suaminya. Cara Damar menyembunyikan senyum tipis di balik layar ponsel, caranya mengetik cepat lalu segera mengunci layar semuanya terasa janggal.

“Ada apa? Sepertinya kau sibuk sekali belakangan ini,” tanya Alya, mencoba terdengar santai.

Damar mengangkat kepala, sedikit terkejut. “Tidak. Hanya urusan pekerjaan.”

Alya melangkah masuk, duduk di tepi ranjang. “Pekerjaan? Sampai membuatmu tersenyum begitu?”

Damar tercekat. Ia segera menunduk, menyimpan ponsel di meja. “Investor tadi puas dengan rapatnya. Itu saja.”

Jawaban itu terdengar masuk akal, tapi Alya tidak buta. Ada jeda terlalu lama sebelum Damar menjawab, ada keraguan di matanya. Ia menarik napas dalam, lalu mengangguk pelan.

“Kalau begitu, syukurlah,” ucap Alya sambil berbaring.

Namun hatinya tetap gelisah. Ada sesuatu yang berubah.

***

Beberapa hari ke depan, perubahan itu semakin nyata. Damar pulang lebih malam dari biasanya, sering beralasan rapat atau lembur. Saat di rumah pun, ia lebih sering menatap ponsel daripada bercakap dengan Alya.

Suatu sore, ketika Alya sedang membereskan meja makan, ponsel Damar berbunyi. Notifikasi pesan singkat muncul di layar:

“Besok saya sudah siapkan dokumen untuk presentasi. Jangan lupa sarapan, Pak.” –K

Alya terdiam. Inisial itu—K. Pikirannya langsung terhubung dengan satu nama: Karina, sekretaris baru Damar.

Wajahnya menegang, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak langsung menegur Damar, tapi matanya menyimpan tanda tanya besar.

***

Malamnya, Alya memberanikan diri bicara. Mereka sedang duduk di ruang keluarga, televisi menyala namun tak benar-benar ditonton.

“Dam…” suara Alya lembut, namun ada ketegasan yang tak bisa disembunyikan.

“Hm?” Damar menjawab sambil tetap menatap layar TV.

“Kau sering sekali menyebut nama Karina akhir-akhir ini. Sekretaris barumu, ya?”

Damar tersentak kecil, lalu cepat menguasai diri. “Iya. Dia memang cekatan. Banyak membantu di kantor.”

Alya menoleh, menatap suaminya lurus. “Membantu… atau lebih dari itu?”

Ruangan mendadak sunyi. Hanya suara TV yang terdengar samar. Damar tertawa singkat, dipaksakan. “Apa maksudmu? Jangan berpikir macam-macam. Aku sibuk, Alya. Itu saja.”

Alya tidak menjawab. Ia hanya menatap Damar lama, seolah mencoba membaca pikirannya. Senyumnya samar, tapi penuh arti.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku harap hanya itu.”

Namun di dalam hatinya, Alya tahu sesuatu sedang bersembunyi di balik kata-kata Damar.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Bayangan yang Kembali

    Beberapa minggu berlalu sejak malam itu di balkon apartemen Alya.Hubungan Alya dan Arsen semakin hangat mereka mulai saling terbuka, berbagi kebiasaan kecil, tawa ringan, bahkan percakapan panjang tentang mimpi-mimpi masa depan. Tapi, seperti bayangan yang selalu menempel, Damar kembali hadir di kehidupan mereka.Sore itu, Alya sedang menyiapkan dokumen untuk presentasi di rumah.Arsen duduk di sofa, membaca majalah desain. Mereka tertawa kecil membahas proyek baru yang sedang digarap Arsen. Kehangatan itu membuat Alya merasa aman, seolah dunia bisa tenang sejenak.Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi muncul nama Damar.“Alya, bisakah kita bicara? Aku ingin menjelaskan semuanya. Aku ingin kesempatan kedua." Isi pesan dari Damar.Alya menatap layar, napasnya membeku sesaat. Tangan yang menahan dokumen hampir jatuh.Ia menatap Arsen yang masih fokus membaca, lalu menelan ludah. “Arsen… ini Damar.”Arsen menutup majalah, menatapnya dengan tenang tapi tajam. “Apa dia minta ketemu?”Alya

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Keputusan

    Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Arsen di kafe.Alya mencoba fokus bekerja, menulis, berolahraga, dan menjaga ritme hidupnya tetap stabil. Tapi di sela-sela waktu sunyi, pikiran tentang Arsen selalu kembali. Tentang cara pria itu menatapnya tanpa menuntut, tanpa menyalahkan, tanpa mengasihani.Dan justru itu yang membuat Alya takut.Malam itu, ia duduk di balkon apartemennya. Angin laut membawa aroma asin, langit penuh bintang samar di balik awan tipis. Di meja kecil, secangkir teh melati mengepul pelan.Ia membuka laptopnya, mencoba menulis. Tapi baru beberapa kalimat, pikirannya kacau lagi.Ponselnya bergetar. Nama Arsen muncul di layar."Aku nggak tahu kamu mau jawab atau nggak. Tapi aku di bawah, di depan gedungmu, aku cuma mau bicara. Sekali ini aja," isi pesan dari Arsen.Alya menatap pesan itu lama. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi bukan karena takut. Karena ia tahu, kali ini ia harus menentukan arah hidupnya.Ia mengambil shawl, turun dengan langkah mantap.Arsen

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Bayangan Dari Masa Lalu

    Alya berdiri diam di ambang pintu, memandangi sosok Arsen yang masih basah kuyup.Hujan di luar belum reda, tapi entah kenapa, kehadiran pria itu membuat ruangan apartemennya terasa lebih hangat dan berbahaya sekaligus.“Kenapa kamu datang, Sen?”Suaranya pelan tapi berat. “Aku pikir kamu butuh waktu sendiri.”Arsen menarik napas panjang. “Aku memang mau kasih kamu waktu. Tapi setelah tahu kamu ketemu Damar hari ini, aku nggak bisa diam.”Alya membeku. “Kamu tahu?”“Teman di kantormu cerita,” jawab Arsen tenang. “Aku nggak bermaksud ngawasin kamu, tapi aku khawatir.”Alya menatapnya lama. Mata itu… mata yang dulu hanya penuh dingin profesionalisme, kini menyimpan sesuatu yang lebih dalam takut kehilangan.Ia berjalan pelan ke arah dapur, menyiapkan dua cangkir kopi tanpa menatap Arsen. “Kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak akan jatuh dua kali pada orang yang sama.”“Bukan itu maksudku,” suara Arsen sedikit serak. Ia melangkah mendekat. “Aku cuma takut… kamu belum benar-benar bebas dar

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Antara Luka dan Rasa yang Tumbuh

    Matahari sore menembus jendela kaca kafe tempat Alya duduk. Di depannya, laptop terbuka, tetapi jarinya hanya menatap layar kosong. Sudah setengah jam dia tidak mengetik apa pun. Pikirannya melayang ke arah yang tidak ingin ia akui tentang Arsen.Sejak beberapa minggu terakhir, pria itu hadir terlalu sering. Di kantor, di lobi apartemen, bahkan di pesan singkat sederhana yang selalu berujung pada percakapan panjang.Awalnya, Alya pikir kehadiran Arsen hanya sebagai rekan kerja yang perhatian. Tapi perlahan, tatapan hangat itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam… sesuatu yang membuat dadanya bergetar, tapi juga takut.“Masih belum bisa fokus, ya?”Suara berat itu membuyarkan lamunannya. Arsen datang tanpa mengetuk, membawa dua gelas kopi panas.Alya tersenyum samar. “Kamu memang jago banget muncul di waktu yang tepat.”Arsen duduk di seberangnya, matanya tajam tapi lembut. “Atau kamu memang selalu butuh aku di waktu yang salah.”Alya menatap pria itu pria yang kini mulai mengisi r

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Sepi yang Tertinggal

    Sudah tiga minggu sejak Alya meninggalkan rumahnya dengan Damar. Rumah besar itu kini bagai bangunan kosong tanpa jiwa. Tak ada lagi tawa kecil, tak ada aroma kopi buatan Alya di pagi hari, hanya sunyi yang memantul di setiap dinding.Damar bangun pagi dengan mata bengkak, duduk di tepi ranjang, menatap sisi tempat tidur yang kosong. Dulu, tangan Alya akan menggenggam tangannya pelan, menanyakan apakah ia butuh bantuan berdiri. Kini, hanya udara yang menjawab.Ia berjalan ke dapur, membuka lemari, semua masih sama, kecuali toples gula yang sudah kosong. Alya selalu mengisinya tiap akhir pekan. Kini, benda kecil itu terasa seperti simbol kehilangan yang lebih besar dari apapun.Sementara itu, di sebuah apartemen kecil di pinggir Denpasar, Alya memulai harinya dengan sederhana. Kopi hitam, buku catatan di samping laptop, dan musik instrumental yang pelan mengisi ruang. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tanpa riasan berlebihan. Ia tampak tenang tapi ketenangan itu bukan tanpa luka.Di l

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Tidak Ada Jalan Kembali

    Malam itu, di gedung kantor Damar sudah terlihat sepi. Lampu-lampu lorong berpendar redup, membentuk bayangan panjang di lantai marmer. Alya berdiri di ujung koridor, napasnya perlahan, langkahnya mantap. Hatinya sakit, tapi ia menahan segalanya amarah, kecewa, dan rasa sedih yang ingin meledak. Ia ingin melihat sendiri… agar tak ada lagi keraguan.Di balik kaca ruang rapat, ia melihat pemandangan yang selama ini menghantui pikirannya:Damar dan Karina duduk terlalu dekat. Tangan Damar di pinggang Karina, wajah mereka nyaris bersentuhan. Tawa kecil Karina terdengar ringan, tapi menusuk seperti pisau. Damar tersenyum santai, tanpa rasa bersalah. Mereka bercumbu, bebas, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Rasa sakit menekan dada Alya. Tubuhnya gemetar, tapi wajahnya tetap tenang. Air mata menitik, tapi ia menahannya. Ia mengumpulkan seluruh keberanian, melangkah masuk ke ruang rapat.Damar menoleh, matanya melebar saat melihat Alya berdiri di pintu. Wajahnya pucat, tangan gemetar.“

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status