Malam itu, usai pertemuan dengan salah satu investor, Damar dan Karina belum langsung pulang. Restoran tempat mereka makan bersama tim perlahan sepi, hanya tinggal beberapa meja yang masih terisi. Rekan-rekan lain sudah pamit lebih dulu, meninggalkan mereka berdua.
Karina menutup map presentasi yang sejak tadi menemaninya. “Hari ini Bapak hebat sekali. Investor terlihat sangat yakin.”
Damar menghela napas, lalu tersenyum samar. “Kalau bukan karena kau yang menyiapkan semuanya, aku mungkin sudah kelabakan.”
Hening sebentar. Damar menatap Karina lebih lama dari biasanya. Lampu restoran yang temaram membuat wajah Karina terlihat lembut, dan sesuatu bergetar di dalam dadanya.
“Karina…” suara Damar terdengar berat. “Aku tidak tahu harus bagaimana mengatakannya. Tapi… kehadiranmu membuatku merasa hidup lagi.”
Karina membeku. Matanya menatap Damar dengan ragu. “Pak…”
“Aku tahu ini salah. Aku sudah punya istri yang sangat baik. Alya telah merawatku di saat terburuk. Tapi bersamamu… aku merasa berbeda. Aku merasa dihargai sebagai seorang lelaki, bukan sekadar beban.”
Karina menelan ludah, kedua tangannya mengepal di pangkuan. Lalu, perlahan ia menggeleng. “Pak, saya juga tidak seharusnya merasakan ini. Tapi… setiap hari berada di dekat Bapak, mendengarkan, membantu… saya tidak bisa menutup mata. Saya... saya juga merasakan hal yang sama.”
Damar menarik napas panjang. Hatinya berkecamuk antara rasa bersalah dan kelegaan.
“Kita tidak boleh seperti ini,” kata Karina pelan, meski matanya berkilat dengan emosi yang bertolak belakang.
“Tapi sudah terlambat,” jawab Damar, suaranya lirih. “Perasaan itu sudah ada.”
Mata mereka saling bertemu. Waktu seakan berhenti. Dan di detik itu, sebuah batas yang selama ini mereka jaga runtuh oleh kejujuran masing-masing.
Damar merasakan sesuatu yang lama terkubur dalam dirinya kembali menyala, sebuah gairah, sebuah kebanggaan sebagai lelaki yang diinginkan.
Karina menunduk, berusaha mengatur napasnya. “Pak… kalau kita teruskan ini, akan menghancurkan banyak hal.”
“Aku tahu,” jawab Damar cepat, seakan tak ingin memberi celah.
“Aku tahu risikonya. Tapi aku juga tidak bisa berpura-pura lagi," kata Damar.
Karina terdiam. Ia menggenggam ujung mapnya erat, seolah itu satu-satunya pegangan. Namun getar di bibirnya mengkhianati hati yang mulai goyah.
Damar menyandarkan punggung, menatap langit-langit restoran yang remang. “Selama ini aku hidup seperti mayat berjalan, Karina. Alya sudah berbuat banyak… tapi entah kenapa aku tetap merasa hampa. Dan kau, kau membuatku merasa bernapas lagi.”
Kalimat itu menekan sisi nurani Karina. Ia ingin menyangkal, tapi hatinya tahu ia juga merasa sama. Perhatian yang ia berikan selama ini ternyata tidak lagi sebatas pekerjaan. Ia telah jatuh terlalu dalam.
Perlahan, Karina mengangkat wajahnya. “Kalau benar begitu… apa yang Bapak inginkan dari saya?”
Damar menoleh, tatapannya menusuk. “Aku ingin kau tetap ada di sisiku. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa menahan diri. Tapi satu hal yang pasti… aku tidak ingin kehilanganmu.”
Hening sejenak. Lalu, dengan suara bergetar, Karina berkata, “Saya… juga tidak ingin jauh dari Bapak.”
Seketika, dinding terakhir runtuh.
Damar meraih tangan Karina yang sejak tadi berada di pangkuannya. Hangat, bergetar, tapi tidak ditarik. Karina menutup mata sesaat, membiarkan jemarinya terjalin dengan jemari Damar.
Detik itu, mereka tahu garis yang tak seharusnya dilanggar sudah benar-benar dilewati.
Malam makin larut ketika mereka meninggalkan restoran. Udara dingin menusuk, namun hati mereka justru terbakar.
Karina berjalan di sisi Damar, tetap menjaga jarak agar tidak mencolok. Tapi sesekali, tangan mereka bersentuhan. Sentuhan kecil itu sudah cukup untuk membuat dada Damar bergemuruh.
“Saya akan pesan taksi,” ucap Karina ketika mereka tiba di depan lobi.
Damar menoleh, ingin mengatakan sesuatu. Tapi ia menahan diri. “Baiklah. Hati-hati di jalan.”
Karina hanya tersenyum samar. Namun tatapan mereka lebih fasih daripada kata-kata. Ada janji tak terucap, ada hasrat yang belum tersalurkan.
Mobil Karina meluncur pergi, meninggalkan Damar berdiri dengan pikiran yang kacau. Ia tahu, begitu pulang ke rumah, ia harus berhadapan lagi dengan Alya yang setia menunggunya. Dan itu membuat hatinya terasa dihantam rasa bersalah.
Namun di balik semua itu, ada suara lain yang lebih keras berbisik di dalam dirinya: Aku tidak bisa berhenti sekarang.
Ketika sampai di rumah, Alya sudah menunggu di ruang tamu. Rambutnya diikat sederhana, masih mengenakan daster, namun wajahnya terlihat lelah.
“Kau pulang terlambat,” katanya sambil menyodorkan segelas air hangat.
“Rapat dengan investor,” jawab Damar singkat, meneguk air itu tanpa menatap Alya.
Alya mengangguk pelan. “Bagus kalau berjalan lancar.”
Damar hanya menggumam. Tatapannya melayang ke ponselnya. Ia menunggu sesuatu, sebuah pesan.
Dan tak lama kemudian, layar ponsel bergetar.
“Sudah sampai rumah, Pak. Terima kasih untuk malam ini.” –Karina
Damar menahan senyum di hadapan Alya. Ia hanya mengetik balasan singkat: “Sama-sama. Selamat malam, Karina.”
Namun di balik layar ponsel itu, ada kenyataan pahit, ia baru saja mengkhianati perempuan yang telah menjaga dan merawatnya di saat ia tidak berdaya.
Dan meski nuraninya berteriak, Damar tahu perjalanannya menuju jurang sudah benar-benar dimulai.
Setelah meneguk air hangat yang diberikan Alya, Damar langsung menuju kamar. Ia menyibukkan diri dengan ponselnya, seolah ada hal penting yang harus dicek. Alya memperhatikan dari pintu, matanya meneliti perubahan kecil yang tak bisa luput dari perhatiannya.
Selama bertahun-tahun menikah, ia tahu benar bahasa tubuh suaminya. Cara Damar menyembunyikan senyum tipis di balik layar ponsel, caranya mengetik cepat lalu segera mengunci layar semuanya terasa janggal.
“Ada apa? Sepertinya kau sibuk sekali belakangan ini,” tanya Alya, mencoba terdengar santai.
Damar mengangkat kepala, sedikit terkejut. “Tidak. Hanya urusan pekerjaan.”
Alya melangkah masuk, duduk di tepi ranjang. “Pekerjaan? Sampai membuatmu tersenyum begitu?”
Damar tercekat. Ia segera menunduk, menyimpan ponsel di meja. “Investor tadi puas dengan rapatnya. Itu saja.”
Jawaban itu terdengar masuk akal, tapi Alya tidak buta. Ada jeda terlalu lama sebelum Damar menjawab, ada keraguan di matanya. Ia menarik napas dalam, lalu mengangguk pelan.
“Kalau begitu, syukurlah,” ucap Alya sambil berbaring.
Namun hatinya tetap gelisah. Ada sesuatu yang berubah.
***
Beberapa hari ke depan, perubahan itu semakin nyata. Damar pulang lebih malam dari biasanya, sering beralasan rapat atau lembur. Saat di rumah pun, ia lebih sering menatap ponsel daripada bercakap dengan Alya.
Suatu sore, ketika Alya sedang membereskan meja makan, ponsel Damar berbunyi. Notifikasi pesan singkat muncul di layar:
“Besok saya sudah siapkan dokumen untuk presentasi. Jangan lupa sarapan, Pak.” –K
Alya terdiam. Inisial itu—K. Pikirannya langsung terhubung dengan satu nama: Karina, sekretaris baru Damar.
Wajahnya menegang, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak langsung menegur Damar, tapi matanya menyimpan tanda tanya besar.
Malamnya, Alya memberanikan diri bicara. Mereka sedang duduk di ruang keluarga, televisi menyala namun tak benar-benar ditonton.
“Dam…” suara Alya lembut, namun ada ketegasan yang tak bisa disembunyikan.
“Hm?” Damar menjawab sambil tetap menatap layar TV.
“Kau sering sekali menyebut nama Karina akhir-akhir ini. Sekretaris barumu, ya?”
Damar tersentak kecil, lalu cepat menguasai diri. “Iya. Dia memang cekatan. Banyak membantu di kantor.”
Alya menoleh, menatap suaminya lurus. “Membantu… atau lebih dari itu?”
Ruangan mendadak sunyi. Hanya suara TV yang terdengar samar. Damar tertawa singkat, dipaksakan. “Apa maksudmu? Jangan berpikir macam-macam. Aku sibuk, Alya. Itu saja.”
Alya tidak menjawab. Ia hanya menatap Damar lama, seolah mencoba membaca pikirannya. Senyumnya samar, tapi penuh arti.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku harap hanya itu.”
Namun di dalam hatinya, Alya tahu sesuatu sedang bersembunyi di balik kata-kata Damar.
Malam itu rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Damar baru pulang lewat tengah malam. Lampu ruang tamu masih menyala, dan Alya sudah menunggunya di sofa dengan pakaian santai, secangkir teh hangat di atas meja.Begitu pintu terbuka, Damar langsung tertegun melihat istrinya masih terjaga. “Ly… kamu belum tidur?”Alya tersenyum samar. “Aku menunggumu Mas. Aku kira hari ini Mas pulang lebih cepat.”Damar meletakkan jasnya di gantungan, mencoba terlihat tenang. “Ada rapat mendadak, aku tidak bisa tinggalkan.”"Lagi-lagi alasan yang sama, setiap hari alsannya selalu sama ketika pulangtengah malam," batin Alya.Alya berdiri, berjalan mendekatinya. Aroma parfum asing yang beberapa hari terakhir mengusik indra penciumannya kembali tercium samar. Ia menghela napas pelan, menatap Damar dalam-dalam.“Mas, boleh aku bertanya sesuatu?” suaranya lembut, tapi tegas.“Tentu. Apa, Ly?”“Kalau aku bilang… aku mencium aroma berbeda darimu akhir-akhir ini, Mas akan jawab apa?”Damar tercekat. Senyum
Suasana kantor siang itu masih sibuk. Lobi dipenuhi pegawai yang lalu-lalang, beberapa membawa berkas, sebagian lain menunggu lift. Di antara keramaian itu, langkah Alya tetap anggun. Ia tidak tampak terburu-buru, tapi aura kehadirannya membuat beberapa pasang mata menoleh.Resepsionis yang sudah mengenalnya segera berdiri. “Selamat siang, Bu Alya.”“Selamat siang,” balas Alya dengan senyum tipis. “Saya ingin menemui Mas Damar. Dia sedang di ruangan, kan?”“Betul, Bu. Saya antar sampai lift," tawar resepsionis dengan sopan."Baiklah," ucap Alya yang tersenyum kepada resepsionis itu.Beberapa menit kemudian, Alya sudah berdiri di depan pintu kayu berpelitur gelap dengan plakat bertuliskan Damar Pratama – Direktur Utama. Ia mengetuk sekali, lalu mendorong pintu masuk tanpa menunggu jawaban.Damar mendongak dari balik tumpukan berkas. Saat melihat Alya yang masuk Damar merasa kaget bukan main melihat Alya berdiri di sana. “Ly? Apa yang… kamu lakukan di sini?”Alya menutup pintu perlahan,
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar, membias hangat ke seluruh ruangan. Alya berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang tergerai lembut. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya penuh tekad. Semalam ia tidak banyak tidur, pikirannya terus bergulir, menimbang-nimbang langkah apa yang harus diambil. Dan pagi ini, keputusannya bulat, ia akan mendatangi kantor Damar, bukan lagi hanya menunggu cerita dari Nadia atau menebak-nebak, Alya ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri.Ia menyiapkan sarapan dengan rapi seperti biasa. Damar turun dari kamar, sudah rapi dengan kemeja kerja abu-abu yang dipadu jas gelap. Alya menaruh secangkir kopi hitam di depannya, senyum tipis tersungging di bibirnya.“Mas, jangan lupa pakai jaket. Cuaca agak sulit ditebak belakangan ini,” katanya lembut, seolah semua berjalan normal.Damar menatap sekilas, lalu mengangguk. “Iya, Ly. Kamu jangan terlalu capek di rumah.”Percakapan berhenti di situ. Selebihnya hanya suara sendok beradu
Pagi itu cahaya matahari menyelinap lembut melalui tirai kamar, menyentuh wajah Alya yang sudah bangun sejak subuh. Ia menatap sosok Damar suaminya yang masih terlelap. Sejenak ia teringat masa-masa ketika lelaki itu lumpuh dan tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Dulu, setiap pagi, ia yang menguatkan Damar, menyuapi, memijat, bahkan memandikannya. Kini, setelah sembuh, lelaki itu tampak gagah kembali, seakan semua luka masa lalu hilang.Namun Alya tahu, luka yang sesungguhnya bukan di tubuh, melainkan di hati.Dengan langkah pelan, ia meninggalkan kamar, menuju dapur, dan mulai menyiapkan sarapan. Aroma tumisan bawang putih berpadu dengan wangi kopi hitam memenuhi udara. Alya menata meja dengan rapi, menyusun buah di piring kecil, dan meletakkan sendok-garpu sejajar. Tangannya begitu tenang, meski pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.Tak lama, Damar keluar kamar dengan kemeja putih dan dasi yang baru ia pasang. “Wah, sarapan pagi ini kelihatan istimewa sekali,” kata Damar samb
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah tirai kamar, jatuh di dinding dengan lembut. Alya sudah bangun lebih awal, menata rambutnya rapi, lalu beranjak ke dapur. Bunyi sayuran yang ditumis dan aroma bawang putih memenuhi udara, menandai rutinitas yang nyaris tak pernah berubah sejak dulu.Damar keluar kamar dengan kemeja biru muda, wajahnya segar. “Seperti biasa, kamu bangun duluan. Aku heran, kamu nggak pernah lelah ya, Ly?” tanyanya, mengambil tempat di meja makan.Alya hanya tersenyum tipis. “Kalau bukan aku, siapa lagi?” jawabnya ringan sambil menuang jus jeruk ke gelas.Mereka sarapan bersama. Damar sesekali menatap ponselnya, jarinya sibuk mengetik sesuatu. Sesekali bibirnya membentuk senyum kecil, seolah membaca pesan yang menyenangkan. Alya memperhatikan gerakan itu dari ekor mata, lalu menunduk kembali pada piringnya. Ia tak bertanya apa-apa, hanya membiarkan keheningan di antara mereka berbicara lebih lantang daripada kata-kata.Setelah sarapan, Damar pamit dengan terge
Pagi itu udara masih sejuk. Aroma embun bercampur dengan bau tanah basah masuk lewat celah jendela. Alya membuka mata perlahan, tubuhnya masih berat karena tidur yang tak benar-benar nyenyak. Ia sempat terbangun beberapa kali di tengah malam, memikirkan aroma asing yang semalam begitu mengganggunya.Ia menoleh ke samping. Damar masih terlelap. Wajah Damar tampak tenang, bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur. Alya memandanginya lama, mencoba menemukan sesuatu di balik ketenangan itu. Tapi yang tampak hanyalah Damar yang sama lelaki yang pernah ia rawat dengan sepenuh hati ketika lumpuh dulu.Alya bangkit perlahan, menyingkap selimut, lalu berdiri di sisi ranjang. Matanya langsung jatuh pada kursi di dekat jendela, tempat kemeja abu-abu yang dipakai Damar semalam tergantung seadanya.Tangannya bergerak pelan, meraih kemeja itu. Ia mendekatkannya ke wajah, menarik napas panjang menghirup aroma parfum yang ada di kemeja Damar. Wangi itu masih ada. Lembut, floral, bercampur musk. Tida