Malam menua dengan pelan. Gedung kantor hampir seluruhnya gelap, hanya satu ruangan yang masih berpendar cahaya yaitu di ruangan direktur utama, milik Damar. Ia duduk di balik meja besar, jasnya sudah dilepas, dasinya longgar. Di depannya, lembar laporan keuangan terbuka, namun matanya sudah mulai lelah.
Pintu diketuk pelan.
“Masuk.” Suara damar terdengar berat.
Karina muncul, membawa dua gelas kopi dalam paper cup. Rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya tampak lembut dalam sorot lampu ruangan. Ia menutup pintu di belakangnya, lalu berjalan mendekat dengan senyum kecil.
“Aku tahu kamu belum makan apa-apa. Jadi aku bawain kopi, sama roti keju.” Suaranya hangat, lebih pribadi dibanding biasanya.
Damar menatapnya, kemudian tersenyum. “Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan.”
Karina duduk di kursi sebelahnya, tidak lagi menjaga jarak seperti dulu. Tangannya terulur, menyodorkan kopi, dan saat jemari mereka bersentuhan, Karina sengaja tidak segera melepasnya. Sentuhan itu kecil, tapi membuat dada Damar bergetar.
“Kalau orang lihat, bisa gawat,” ucap Damar, seolah mengingatkan.
Karina tersenyum, mencondongkan tubuhnya. “Kalau memang sudah salah dari awal, kenapa masih harus takut ketahuan?”
Damar tertawa kecil, tapi tawa itu cepat memudar ketika Karina menggenggam tangannya lebih erat. Ada keberanian dalam tatapan mata Karina malam itu, seolah ia menuntut sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian samar.
Mereka bicara lama, tapi bukan tentang pekerjaan. Karina bertanya soal keseharian Damar, soal masa kecilnya, bahkan hal-hal ringan seperti makanan favorit. Suasana cair, penuh tawa kecil yang seakan mengisi ruang hampa di hati Damar.
Tanpa sadar, jarak mereka semakin dekat. Damar mendengar jelas tarikan napas Karina, merasakan wangi parfumnya yang lembut.
“Dulu aku kira… kamu sosok yang dingin, Pak,” bisik Karina sambil tersenyum.
Kalimat itu membuat pertahanan terakhir Damar runtuh. Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi Karina dengan lembut. Karina menutup mata, lalu miring sedikit, hingga bibir mereka bersentuhan.
Ciuman pertama itu singkat, ragu-ragu. Tapi begitu Karina meraih kerah kemeja Damar dan menariknya lebih dekat, segalanya berubah. Ciuman itu menjadi dalam, penuh perasaan yang terpendam bahkan Karina sudah berpindah diatas pangkuan Damar tanpa mereka sadari.
Setelah ciuman yang penuh gai rah itu mereka tidak buru-buru melepaskan diri. Karina bersandar di dada Damar, mendengar detak jantungnya yang masih kacau. Damar mengusap rambutnya, mencoba menenangkan napasnya sendiri.
“Kita nggak seharusnya begini….” ucap Damar pelan.
Karina menoleh, menatapnya dengan mata berkilat. “Kamu mau berhenti?”
Damar terdiam. Ia tahu jawabannya, dan Karina pun tahu. Tidak ada kata "ya".
“Kalau begitu, jangan bilang itu lagi,” bisik Karina sambil menempelkan jarinya ke bibir Damar.
Mereka kembali terjebak dalam kedekatan. Tangan Karina bermain di lengan Damar, sementara Damar membiarkan dirinya larut. Malam itu, kantor yang sepi menjadi saksi hubungan terlarang yang semakin nyata.
Mereka kembali mengulangi ciuman mereka, bahkan kini semakin panas, tidak seperti ciuman seperti awalnya, hingga akhirnya Karina kehabisan napas barulah mereka melepaskan ciuman itu dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.
Damar mengusap jejak silivanya di bibir Karina dan kembali menyatukan bibirnya dengan Karina setelah merasa mereka mmpunyai oksigen yang cukup.
Tak hari sudah tengah malam dan itu artinya mereka harus mengakhiri kegilaan mereka, dan akhirnya mereka meninggalkan gedung, Karina menggandeng lengan Damar dengan ringan. Di dalam lift, ia bersandar di bahu lelaki itu, matanya setengah terpejam.
“Aku nyaman sekali di sini,” gumamnya.
Jawaban itu membuat Damar terdiam. Ada sesuatu dalam dirinya yang tak mampu melawan ketulusan Karina.
Sementara itu, di rumah, Alya duduk di sofa ruang keluarga. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, tapi Damar belum juga pulang. Ia menyalakan televisi hanya untuk mengisi kesunyian, namun pikirannya terus mengembara.
Begitu mendengar suara mobil di garasi, Alya berdiri. Ia menyambut Damar di pintu, senyum lembutnya seperti biasa.
“Capek lembur, Mas?” tanyanya pelan.
Alya berdiri sejenak di ambang pintu kamar, memperhatikan punggung Damar yang tengah merapikan kemejanya di gantungan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang tiba-tiba berlari kencang. Aroma samar itu masih menempel di udara aroma parfum yang bukan miliknya, bukan juga aroma Damar.
Biasanya, sepulang kerja, tubuh Damar hanya membawa wangi khas sabun mandi hotel atau bau kopi kantor yang melekat di kemeja. Malam ini berbeda. Ada wangi bunga lembut bercampur musk, samar, tapi cukup kuat untuk membuat Alya berhenti berpikir jernih sejenak.
Ia melangkah perlahan, menaruh handuk bersih di atas ranjang. “Mas, aku siapkan air hangat ya? Biar badan lebih segar,” katanya dengan nada datar, berusaha terdengar wajar.
Damar hanya mengangguk, tidak menoleh. “Iya, terima kasih, Ya.”
Alya masuk ke kamar mandi, membuka keran air hangat. Tapi matanya kosong, pikirannya sibuk menimbang.
"Apakah aku berlebihan? Mungkin saja Damar bertemu rekan kerja perempuan. Bisa jadi parfumnya menempel karena jarak terlalu dekat di ruang rapat. Tidak adil kalau langsung menuduh," pikir Alya yang mencoba berpikir positif.
Namun hatinya berbisik lain. "Aku tahu wangi itu. Itu parfum wanita yang mahal. Wanita yang peduli dengan kesan. Wanita yang ingin diperhatikan."
Alya menutup mata, menggenggam pinggiran wastafel. Ia tidak ingin air mata jatuh, tidak ingin terlihat rapuh. Ia menatap bayangannya di cermin mata yang sedikit redup, wajah yang kelelahan, tapi tetap tegas.
“Kalau memang benar ada sesuatu, aku akan tahu,” gumamnya pelan.
Saat kembali ke kamar, ia mendapati Damar sudah duduk di ranjang, membuka ponselnya. Alya memperhatikan sekilas. Ada senyum samar yang muncul di wajah suaminya, lalu cepat-cepat disembunyikan saat ia sadar Alya memperhatikannya.
“Ada kabar bagus?” tanya Alya sambil duduk di sisi ranjang.
Alya tersenyum tipis. “Kerja memang bikin capek, ya. Tapi jangan lupa ada aku di rumah, Mas. Jangan semua energi habis buat kantor.”
Ucapan itu sederhana, tapi di dalamnya tersimpan pesan: sebuah pengingat bahwa ia ada, hadir, dan memperhatikan.
Damar mengangguk, lalu berjalan kearah kamar mandi. “Aku tahu, Ya. Kamu selalu ada buat aku. Itu yang bikin aku kuat.”
Tak lama Damar selesai mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Damar melihat Alya sudah tertidur, namun sebenarya Alya belum tertidur, Alya hanya memejamkan matanya, dan Damarpun langsung merebahkan tubuhnya di kasur, dan tak butuh waktu yang lama Damar sudah tertidur pulas, napasnya teratur.
Alya membuka matanya setelah mendengar dengkuran halus Damar, Alya memandang wajah Damar yang sudah terpejam. Tangannya bergerak pelan, merapikan selimut di dada lelaki itu. Namun matanya tetap menatap tajam, seakan mencari jawaban yang tak terucap.
Malam semakin larut. Damar tertidur pulas, napasnya teratur. Alya masih terjaga. Ia menatap ponsel suaminya di meja samping ranjang. Jaraknya hanya satu lengan, dan dorongan untuk mengambilnya begitu kuat.
Namun Alya menahan diri. Ia menutup matanya sejenak, mengatur napas. Aku bukan perempuan cengeng yang memeriksa ponsel suami di belakang. Kalau memang ada sesuatu, aku akan tahu. Dengan cara yang elegan. Dengan kepala dingin.
Alya berbalik, menatap langit-langit kamar. Di balik dadanya yang terasa perih, ada tekad yang tumbuh semakin kuat, "Kalau dia benar menyembunyikan sesuatu, aku akan mengungkapnya. Tapi kalau aku salah, aku tak ingin pernah menyesal telah menaruh curiga berlebihan."
Alya akhirnya memejamkan mata, meski tidurnya tak nyenyak. Aroma parfum asing itu masih membayang di hidungnya, seolah menjadi pesan samar yang sulit diabaikan.
Malam itu rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Damar baru pulang lewat tengah malam. Lampu ruang tamu masih menyala, dan Alya sudah menunggunya di sofa dengan pakaian santai, secangkir teh hangat di atas meja.Begitu pintu terbuka, Damar langsung tertegun melihat istrinya masih terjaga. “Ly… kamu belum tidur?”Alya tersenyum samar. “Aku menunggumu Mas. Aku kira hari ini Mas pulang lebih cepat.”Damar meletakkan jasnya di gantungan, mencoba terlihat tenang. “Ada rapat mendadak, aku tidak bisa tinggalkan.”"Lagi-lagi alasan yang sama, setiap hari alsannya selalu sama ketika pulangtengah malam," batin Alya.Alya berdiri, berjalan mendekatinya. Aroma parfum asing yang beberapa hari terakhir mengusik indra penciumannya kembali tercium samar. Ia menghela napas pelan, menatap Damar dalam-dalam.“Mas, boleh aku bertanya sesuatu?” suaranya lembut, tapi tegas.“Tentu. Apa, Ly?”“Kalau aku bilang… aku mencium aroma berbeda darimu akhir-akhir ini, Mas akan jawab apa?”Damar tercekat. Senyum
Suasana kantor siang itu masih sibuk. Lobi dipenuhi pegawai yang lalu-lalang, beberapa membawa berkas, sebagian lain menunggu lift. Di antara keramaian itu, langkah Alya tetap anggun. Ia tidak tampak terburu-buru, tapi aura kehadirannya membuat beberapa pasang mata menoleh.Resepsionis yang sudah mengenalnya segera berdiri. “Selamat siang, Bu Alya.”“Selamat siang,” balas Alya dengan senyum tipis. “Saya ingin menemui Mas Damar. Dia sedang di ruangan, kan?”“Betul, Bu. Saya antar sampai lift," tawar resepsionis dengan sopan."Baiklah," ucap Alya yang tersenyum kepada resepsionis itu.Beberapa menit kemudian, Alya sudah berdiri di depan pintu kayu berpelitur gelap dengan plakat bertuliskan Damar Pratama – Direktur Utama. Ia mengetuk sekali, lalu mendorong pintu masuk tanpa menunggu jawaban.Damar mendongak dari balik tumpukan berkas. Saat melihat Alya yang masuk Damar merasa kaget bukan main melihat Alya berdiri di sana. “Ly? Apa yang… kamu lakukan di sini?”Alya menutup pintu perlahan,
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar, membias hangat ke seluruh ruangan. Alya berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang tergerai lembut. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya penuh tekad. Semalam ia tidak banyak tidur, pikirannya terus bergulir, menimbang-nimbang langkah apa yang harus diambil. Dan pagi ini, keputusannya bulat, ia akan mendatangi kantor Damar, bukan lagi hanya menunggu cerita dari Nadia atau menebak-nebak, Alya ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri.Ia menyiapkan sarapan dengan rapi seperti biasa. Damar turun dari kamar, sudah rapi dengan kemeja kerja abu-abu yang dipadu jas gelap. Alya menaruh secangkir kopi hitam di depannya, senyum tipis tersungging di bibirnya.“Mas, jangan lupa pakai jaket. Cuaca agak sulit ditebak belakangan ini,” katanya lembut, seolah semua berjalan normal.Damar menatap sekilas, lalu mengangguk. “Iya, Ly. Kamu jangan terlalu capek di rumah.”Percakapan berhenti di situ. Selebihnya hanya suara sendok beradu
Pagi itu cahaya matahari menyelinap lembut melalui tirai kamar, menyentuh wajah Alya yang sudah bangun sejak subuh. Ia menatap sosok Damar suaminya yang masih terlelap. Sejenak ia teringat masa-masa ketika lelaki itu lumpuh dan tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Dulu, setiap pagi, ia yang menguatkan Damar, menyuapi, memijat, bahkan memandikannya. Kini, setelah sembuh, lelaki itu tampak gagah kembali, seakan semua luka masa lalu hilang.Namun Alya tahu, luka yang sesungguhnya bukan di tubuh, melainkan di hati.Dengan langkah pelan, ia meninggalkan kamar, menuju dapur, dan mulai menyiapkan sarapan. Aroma tumisan bawang putih berpadu dengan wangi kopi hitam memenuhi udara. Alya menata meja dengan rapi, menyusun buah di piring kecil, dan meletakkan sendok-garpu sejajar. Tangannya begitu tenang, meski pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.Tak lama, Damar keluar kamar dengan kemeja putih dan dasi yang baru ia pasang. “Wah, sarapan pagi ini kelihatan istimewa sekali,” kata Damar samb
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah tirai kamar, jatuh di dinding dengan lembut. Alya sudah bangun lebih awal, menata rambutnya rapi, lalu beranjak ke dapur. Bunyi sayuran yang ditumis dan aroma bawang putih memenuhi udara, menandai rutinitas yang nyaris tak pernah berubah sejak dulu.Damar keluar kamar dengan kemeja biru muda, wajahnya segar. “Seperti biasa, kamu bangun duluan. Aku heran, kamu nggak pernah lelah ya, Ly?” tanyanya, mengambil tempat di meja makan.Alya hanya tersenyum tipis. “Kalau bukan aku, siapa lagi?” jawabnya ringan sambil menuang jus jeruk ke gelas.Mereka sarapan bersama. Damar sesekali menatap ponselnya, jarinya sibuk mengetik sesuatu. Sesekali bibirnya membentuk senyum kecil, seolah membaca pesan yang menyenangkan. Alya memperhatikan gerakan itu dari ekor mata, lalu menunduk kembali pada piringnya. Ia tak bertanya apa-apa, hanya membiarkan keheningan di antara mereka berbicara lebih lantang daripada kata-kata.Setelah sarapan, Damar pamit dengan terge
Pagi itu udara masih sejuk. Aroma embun bercampur dengan bau tanah basah masuk lewat celah jendela. Alya membuka mata perlahan, tubuhnya masih berat karena tidur yang tak benar-benar nyenyak. Ia sempat terbangun beberapa kali di tengah malam, memikirkan aroma asing yang semalam begitu mengganggunya.Ia menoleh ke samping. Damar masih terlelap. Wajah Damar tampak tenang, bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur. Alya memandanginya lama, mencoba menemukan sesuatu di balik ketenangan itu. Tapi yang tampak hanyalah Damar yang sama lelaki yang pernah ia rawat dengan sepenuh hati ketika lumpuh dulu.Alya bangkit perlahan, menyingkap selimut, lalu berdiri di sisi ranjang. Matanya langsung jatuh pada kursi di dekat jendela, tempat kemeja abu-abu yang dipakai Damar semalam tergantung seadanya.Tangannya bergerak pelan, meraih kemeja itu. Ia mendekatkannya ke wajah, menarik napas panjang menghirup aroma parfum yang ada di kemeja Damar. Wangi itu masih ada. Lembut, floral, bercampur musk. Tida