Share

Jejak yang Tersisa

Author: Dinda Cahyani
last update Huling Na-update: 2025-09-26 17:00:54

Malam menua dengan pelan. Gedung kantor hampir seluruhnya gelap, hanya satu ruangan yang masih berpendar cahaya yaitu di ruangan direktur utama, milik Damar. Ia duduk di balik meja besar, jasnya sudah dilepas, dasinya longgar. Di depannya, lembar laporan keuangan terbuka, namun matanya sudah mulai lelah.

Pintu diketuk pelan.

“Masuk.” Suara damar terdengar berat.

Karina muncul, membawa dua gelas kopi dalam paper cup. Rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya tampak lembut dalam sorot lampu ruangan. Ia menutup pintu di belakangnya, lalu berjalan mendekat dengan senyum kecil.

“Aku tahu kamu belum makan apa-apa. Jadi aku bawain kopi, sama roti keju.” Suaranya hangat, lebih pribadi dibanding biasanya.

Damar menatapnya, kemudian tersenyum. “Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan.”

Karina duduk di kursi sebelahnya, tidak lagi menjaga jarak seperti dulu. Tangannya terulur, menyodorkan kopi, dan saat jemari mereka bersentuhan, Karina sengaja tidak segera melepasnya. Sentuhan itu kecil, tapi membuat dada Damar bergetar.

“Kalau orang lihat, bisa gawat,” ucap Damar, seolah mengingatkan.

Karina tersenyum, mencondongkan tubuhnya. “Kalau memang sudah salah dari awal, kenapa masih harus takut ketahuan?”

Damar tertawa kecil, tapi tawa itu cepat memudar ketika Karina menggenggam tangannya lebih erat. Ada keberanian dalam tatapan mata Karina malam itu, seolah ia menuntut sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian samar.

Mereka bicara lama, tapi bukan tentang pekerjaan. Karina bertanya soal keseharian Damar, soal masa kecilnya, bahkan hal-hal ringan seperti makanan favorit. Suasana cair, penuh tawa kecil yang seakan mengisi ruang hampa di hati Damar.

Tanpa sadar, jarak mereka semakin dekat. Damar mendengar jelas tarikan napas Karina, merasakan wangi parfumnya yang lembut.

“Dulu aku kira… kamu sosok yang dingin, Pak,” bisik Karina sambil tersenyum.

“Dan sekarang?” Damar balik bertanya.

“Sekarang aku tahu… kamu cuma menyimpan luka yang dalam. Dan aku ingin jadi orang yang ada di sana, menemaninya," jawab Karina yang menatap dalam mata Damar.

Kalimat itu membuat pertahanan terakhir Damar runtuh. Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi Karina dengan lembut. Karina menutup mata, lalu miring sedikit, hingga bibir mereka bersentuhan.

Ciuman pertama itu singkat, ragu-ragu. Tapi begitu Karina meraih kerah kemeja Damar dan menariknya lebih dekat, segalanya berubah. Ciuman itu menjadi dalam, penuh perasaan yang terpendam bahkan Karina sudah berpindah diatas pangkuan Damar tanpa mereka sadari.

Setelah ciuman yang penuh gai rah itu mereka tidak buru-buru melepaskan diri. Karina bersandar di dada Damar, mendengar detak jantungnya yang masih kacau. Damar mengusap rambutnya, mencoba menenangkan napasnya sendiri.

“Kita nggak seharusnya begini….” ucap Damar pelan.

Karina menoleh, menatapnya dengan mata berkilat. “Kamu mau berhenti?”

Damar terdiam. Ia tahu jawabannya, dan Karina pun tahu. Tidak ada kata "ya".

“Kalau begitu, jangan bilang itu lagi,” bisik Karina sambil menempelkan jarinya ke bibir Damar.

Mereka kembali terjebak dalam kedekatan. Tangan Karina bermain di lengan Damar, sementara Damar membiarkan dirinya larut. Malam itu, kantor yang sepi menjadi saksi hubungan terlarang yang semakin nyata.

Mereka kembali mengulangi ciuman mereka, bahkan kini semakin panas, tidak seperti ciuman seperti awalnya, hingga akhirnya Karina kehabisan napas barulah mereka melepaskan ciuman itu dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Damar mengusap jejak silivanya di bibir Karina dan kembali menyatukan bibirnya dengan Karina setelah merasa mereka mmpunyai oksigen yang cukup.

Tak hari sudah tengah malam dan itu artinya mereka harus mengakhiri kegilaan mereka, dan akhirnya mereka meninggalkan gedung, Karina menggandeng lengan Damar dengan ringan. Di dalam lift, ia bersandar di bahu lelaki itu, matanya setengah terpejam.

“Aku nyaman sekali di sini,” gumamnya.

Damar menoleh, menatap wajah Karina dari jarak dekat. Ada senyum samar di bibirnya, tapi juga kegelisahan di matanya. “Kamu tahu, hubungan ini bisa menghancurkan kita berdua, kan?”

“Kalau pun hancur, setidaknya aku pernah bahagia,” jawab Karina cepat, tanpa ragu.

Jawaban itu membuat Damar terdiam. Ada sesuatu dalam dirinya yang tak mampu melawan ketulusan Karina.

Sementara itu, di rumah, Alya duduk di sofa ruang keluarga. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, tapi Damar belum juga pulang. Ia menyalakan televisi hanya untuk mengisi kesunyian, namun pikirannya terus mengembara.

Begitu mendengar suara mobil di garasi, Alya berdiri. Ia menyambut Damar di pintu, senyum lembutnya seperti biasa.

“Capek lembur, Mas?” tanyanya pelan.

“Lumayan. Ada rapat tambahan sama tim.”

Alya berdiri sejenak di ambang pintu kamar, memperhatikan punggung Damar yang tengah merapikan kemejanya di gantungan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang tiba-tiba berlari kencang. Aroma samar itu masih menempel di udara aroma parfum yang bukan miliknya, bukan juga aroma Damar.

Biasanya, sepulang kerja, tubuh Damar hanya membawa wangi khas sabun mandi hotel atau bau kopi kantor yang melekat di kemeja. Malam ini berbeda. Ada wangi bunga lembut bercampur musk, samar, tapi cukup kuat untuk membuat Alya berhenti berpikir jernih sejenak.

Ia melangkah perlahan, menaruh handuk bersih di atas ranjang. “Mas, aku siapkan air hangat ya? Biar badan lebih segar,” katanya dengan nada datar, berusaha terdengar wajar.

Damar hanya mengangguk, tidak menoleh. “Iya, terima kasih, Ya.”

Alya masuk ke kamar mandi, membuka keran air hangat. Tapi matanya kosong, pikirannya sibuk menimbang.

"Apakah aku berlebihan? Mungkin saja Damar bertemu rekan kerja perempuan. Bisa jadi parfumnya menempel karena jarak terlalu dekat di ruang rapat. Tidak adil kalau langsung menuduh," pikir Alya yang mencoba berpikir positif.

Namun hatinya berbisik lain. "Aku tahu wangi itu. Itu parfum wanita yang mahal. Wanita yang peduli dengan kesan. Wanita yang ingin diperhatikan."

Alya menutup mata, menggenggam pinggiran wastafel. Ia tidak ingin air mata jatuh, tidak ingin terlihat rapuh. Ia menatap bayangannya di cermin mata yang sedikit redup, wajah yang kelelahan, tapi tetap tegas.

“Kalau memang benar ada sesuatu, aku akan tahu,” gumamnya pelan.

Saat kembali ke kamar, ia mendapati Damar sudah duduk di ranjang, membuka ponselnya. Alya memperhatikan sekilas. Ada senyum samar yang muncul di wajah suaminya, lalu cepat-cepat disembunyikan saat ia sadar Alya memperhatikannya.

“Ada kabar bagus?” tanya Alya sambil duduk di sisi ranjang.

“Hmm? Oh, nggak. Cuma ada chat grup kantor,” jawab Damar singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja samping ranjang, agak terburu-buru.

Alya tersenyum tipis. “Kerja memang bikin capek, ya. Tapi jangan lupa ada aku di rumah, Mas. Jangan semua energi habis buat kantor.”

Ucapan itu sederhana, tapi di dalamnya tersimpan pesan: sebuah pengingat bahwa ia ada, hadir, dan memperhatikan.

Damar mengangguk, lalu berjalan kearah kamar mandi. “Aku tahu, Ya. Kamu selalu ada buat aku. Itu yang bikin aku kuat.”

Tak lama Damar selesai mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Damar melihat Alya sudah tertidur, namun sebenarya Alya belum tertidur, Alya hanya memejamkan matanya, dan Damarpun langsung merebahkan tubuhnya di kasur, dan tak butuh waktu yang lama Damar sudah tertidur pulas, napasnya teratur.

Alya membuka matanya setelah mendengar dengkuran halus Damar, Alya memandang wajah Damar yang sudah terpejam. Tangannya bergerak pelan, merapikan selimut di dada lelaki itu. Namun matanya tetap menatap tajam, seakan mencari jawaban yang tak terucap.

Malam semakin larut. Damar tertidur pulas, napasnya teratur. Alya masih terjaga. Ia menatap ponsel suaminya di meja samping ranjang. Jaraknya hanya satu lengan, dan dorongan untuk mengambilnya begitu kuat.

Namun Alya menahan diri. Ia menutup matanya sejenak, mengatur napas. Aku bukan perempuan cengeng yang memeriksa ponsel suami di belakang. Kalau memang ada sesuatu, aku akan tahu. Dengan cara yang elegan. Dengan kepala dingin.

Alya berbalik, menatap langit-langit kamar. Di balik dadanya yang terasa perih, ada tekad yang tumbuh semakin kuat, "Kalau dia benar menyembunyikan sesuatu, aku akan mengungkapnya. Tapi kalau aku salah, aku tak ingin pernah menyesal telah menaruh curiga berlebihan."

Alya akhirnya memejamkan mata, meski tidurnya tak nyenyak. Aroma parfum asing itu masih membayang di hidungnya, seolah menjadi pesan samar yang sulit diabaikan.


Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Bayangan yang Kembali

    Beberapa minggu berlalu sejak malam itu di balkon apartemen Alya.Hubungan Alya dan Arsen semakin hangat mereka mulai saling terbuka, berbagi kebiasaan kecil, tawa ringan, bahkan percakapan panjang tentang mimpi-mimpi masa depan. Tapi, seperti bayangan yang selalu menempel, Damar kembali hadir di kehidupan mereka.Sore itu, Alya sedang menyiapkan dokumen untuk presentasi di rumah.Arsen duduk di sofa, membaca majalah desain. Mereka tertawa kecil membahas proyek baru yang sedang digarap Arsen. Kehangatan itu membuat Alya merasa aman, seolah dunia bisa tenang sejenak.Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi muncul nama Damar.“Alya, bisakah kita bicara? Aku ingin menjelaskan semuanya. Aku ingin kesempatan kedua." Isi pesan dari Damar.Alya menatap layar, napasnya membeku sesaat. Tangan yang menahan dokumen hampir jatuh.Ia menatap Arsen yang masih fokus membaca, lalu menelan ludah. “Arsen… ini Damar.”Arsen menutup majalah, menatapnya dengan tenang tapi tajam. “Apa dia minta ketemu?”Alya

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Keputusan

    Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Arsen di kafe.Alya mencoba fokus bekerja, menulis, berolahraga, dan menjaga ritme hidupnya tetap stabil. Tapi di sela-sela waktu sunyi, pikiran tentang Arsen selalu kembali. Tentang cara pria itu menatapnya tanpa menuntut, tanpa menyalahkan, tanpa mengasihani.Dan justru itu yang membuat Alya takut.Malam itu, ia duduk di balkon apartemennya. Angin laut membawa aroma asin, langit penuh bintang samar di balik awan tipis. Di meja kecil, secangkir teh melati mengepul pelan.Ia membuka laptopnya, mencoba menulis. Tapi baru beberapa kalimat, pikirannya kacau lagi.Ponselnya bergetar. Nama Arsen muncul di layar."Aku nggak tahu kamu mau jawab atau nggak. Tapi aku di bawah, di depan gedungmu, aku cuma mau bicara. Sekali ini aja," isi pesan dari Arsen.Alya menatap pesan itu lama. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi bukan karena takut. Karena ia tahu, kali ini ia harus menentukan arah hidupnya.Ia mengambil shawl, turun dengan langkah mantap.Arsen

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Bayangan Dari Masa Lalu

    Alya berdiri diam di ambang pintu, memandangi sosok Arsen yang masih basah kuyup.Hujan di luar belum reda, tapi entah kenapa, kehadiran pria itu membuat ruangan apartemennya terasa lebih hangat dan berbahaya sekaligus.“Kenapa kamu datang, Sen?”Suaranya pelan tapi berat. “Aku pikir kamu butuh waktu sendiri.”Arsen menarik napas panjang. “Aku memang mau kasih kamu waktu. Tapi setelah tahu kamu ketemu Damar hari ini, aku nggak bisa diam.”Alya membeku. “Kamu tahu?”“Teman di kantormu cerita,” jawab Arsen tenang. “Aku nggak bermaksud ngawasin kamu, tapi aku khawatir.”Alya menatapnya lama. Mata itu… mata yang dulu hanya penuh dingin profesionalisme, kini menyimpan sesuatu yang lebih dalam takut kehilangan.Ia berjalan pelan ke arah dapur, menyiapkan dua cangkir kopi tanpa menatap Arsen. “Kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak akan jatuh dua kali pada orang yang sama.”“Bukan itu maksudku,” suara Arsen sedikit serak. Ia melangkah mendekat. “Aku cuma takut… kamu belum benar-benar bebas dar

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Antara Luka dan Rasa yang Tumbuh

    Matahari sore menembus jendela kaca kafe tempat Alya duduk. Di depannya, laptop terbuka, tetapi jarinya hanya menatap layar kosong. Sudah setengah jam dia tidak mengetik apa pun. Pikirannya melayang ke arah yang tidak ingin ia akui tentang Arsen.Sejak beberapa minggu terakhir, pria itu hadir terlalu sering. Di kantor, di lobi apartemen, bahkan di pesan singkat sederhana yang selalu berujung pada percakapan panjang.Awalnya, Alya pikir kehadiran Arsen hanya sebagai rekan kerja yang perhatian. Tapi perlahan, tatapan hangat itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam… sesuatu yang membuat dadanya bergetar, tapi juga takut.“Masih belum bisa fokus, ya?”Suara berat itu membuyarkan lamunannya. Arsen datang tanpa mengetuk, membawa dua gelas kopi panas.Alya tersenyum samar. “Kamu memang jago banget muncul di waktu yang tepat.”Arsen duduk di seberangnya, matanya tajam tapi lembut. “Atau kamu memang selalu butuh aku di waktu yang salah.”Alya menatap pria itu pria yang kini mulai mengisi r

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Sepi yang Tertinggal

    Sudah tiga minggu sejak Alya meninggalkan rumahnya dengan Damar. Rumah besar itu kini bagai bangunan kosong tanpa jiwa. Tak ada lagi tawa kecil, tak ada aroma kopi buatan Alya di pagi hari, hanya sunyi yang memantul di setiap dinding.Damar bangun pagi dengan mata bengkak, duduk di tepi ranjang, menatap sisi tempat tidur yang kosong. Dulu, tangan Alya akan menggenggam tangannya pelan, menanyakan apakah ia butuh bantuan berdiri. Kini, hanya udara yang menjawab.Ia berjalan ke dapur, membuka lemari, semua masih sama, kecuali toples gula yang sudah kosong. Alya selalu mengisinya tiap akhir pekan. Kini, benda kecil itu terasa seperti simbol kehilangan yang lebih besar dari apapun.Sementara itu, di sebuah apartemen kecil di pinggir Denpasar, Alya memulai harinya dengan sederhana. Kopi hitam, buku catatan di samping laptop, dan musik instrumental yang pelan mengisi ruang. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tanpa riasan berlebihan. Ia tampak tenang tapi ketenangan itu bukan tanpa luka.Di l

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Tidak Ada Jalan Kembali

    Malam itu, di gedung kantor Damar sudah terlihat sepi. Lampu-lampu lorong berpendar redup, membentuk bayangan panjang di lantai marmer. Alya berdiri di ujung koridor, napasnya perlahan, langkahnya mantap. Hatinya sakit, tapi ia menahan segalanya amarah, kecewa, dan rasa sedih yang ingin meledak. Ia ingin melihat sendiri… agar tak ada lagi keraguan.Di balik kaca ruang rapat, ia melihat pemandangan yang selama ini menghantui pikirannya:Damar dan Karina duduk terlalu dekat. Tangan Damar di pinggang Karina, wajah mereka nyaris bersentuhan. Tawa kecil Karina terdengar ringan, tapi menusuk seperti pisau. Damar tersenyum santai, tanpa rasa bersalah. Mereka bercumbu, bebas, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Rasa sakit menekan dada Alya. Tubuhnya gemetar, tapi wajahnya tetap tenang. Air mata menitik, tapi ia menahannya. Ia mengumpulkan seluruh keberanian, melangkah masuk ke ruang rapat.Damar menoleh, matanya melebar saat melihat Alya berdiri di pintu. Wajahnya pucat, tangan gemetar.“

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status