"Maaf sebelumnya, tadi aku terpaksa lacak kamu melalui nomor hape. Soalnya aku khawatir, apalagi kamu sempat menolak dengan usulku."Kedua mata Viola membola sempurna, penuturan Bobby sangat membuat dirinya terkejut.'Segitunya kamu, Mas? Sampai melakukan hal yang tak terpikirkan olehku.'"Kok diam? Kamu marah?""Mau marah juga nggak ada gunanya, Mas. Udah terlanjur kamu ke sini, tapi sebaiknya kamu pulang, lanjut kerja lagi. Ini aku bukan ngusir, ya. Tapi pasti kamu paham."'Semoga dia nggak bantah, yang ada bisa tahu kalau aku sama sekali nggak sakit.'Bobby mengangguk paham, sebelum beranjak dari tempat duduknya, dia masih sempat-sempatnya menenggak kopi dingin itu hingga tetesan terakhir."Sayang nggak dihabisin," ucapnya sebelum permisi.Viola hanya tersenyum tipis, ada kelegaan yang dia rasakan. Tak berlama-lama di teras, Viola membereskan buah dan gelas bekas minum Bobby tadi, dan membawanya kembali ke dalam rumah. Tak langsung mencucinya, Viola sengaja membiarkan gelas kotor i
Mayang bergeming di ambang pintu ruang kerja."Tidak. Keputusan saya tidak bisa diganggu gugat sekalipun kamu memilih berhenti di perusahaan ini. Saya tahu, pasti hari-harimu kusut 'kan?"Mayang melipat tangan di dadanya, tampak dirinya mengejek Viola."Memang itu yang saya harapkan. Tapi ... kamu masih waras, masih punya harapan itu, dan masih bisa memperbaiki apa yang rusak, syukur-syukur kamu sadar atas dirimu yang sama sekali tidak punya hati nurani.""So ... jawaban saya pasti kamu sudah paham 'kan?"Meski hatinya terasa teriris dengan kata yang terucap dari mulut Mayang. Viola tetap tersenyum."Iya, Mbak. Nggak papa, kalau mbak masih pada pendirian awal. Saya doakan semoga Maura makin pulih, semoga ada rezeki besar untuknya. Dan, buat mbak juga. Saya ingin pamit."Viola mengulurkan tangannya, akan tetapi uluran tangannya itu tak disambut dengan baik oleh Mayang, dia malah bertolak ke meja kerjanya.Semua orang yang satu ruang kerja dengan Viola terdiam dan tak berani ikut campur
Ending Rahim yang Tak Bersalah"Nggak kok, cuma lagi sibuk aja." Viola hanya menjawab ala kadarnya, meskipun dia berbohong tak berucap sesuai hatinya."Oh, kirain aku kamu marah.""Emang alasan apa yang membuat aku harus marah sama kamu, Mas?""Ya ... soal ... Vio ... Maaf aku sudah membuat kamu tak nyaman. Dan, kamu memilih untuk mengakhiri karirmu, aku yakin itu pasti karena diriku.""Aku pikir awalnya akan membuat kamu tenang bahkan bisa berkembang, malah dapat masalah lain.""Maafkan aku, Vio." Ada rasa sesal di hati Bobby, tak menyangka terlalu jauh membawa Viola dalam masalah yang tak terduga, bahkan kembali membawanya ke masa lalu yang sudah susah payah dia lupakan"Untuk masalah itu, aku sedang tidak ingin membahasnya, lagi capek banget. Boleh aku izin masuk untuk istirahat?""Tapi ... ada hal lain yang ingin aku bicarakan sama kamu, bisa kita ngobrol sebentar di luar?" tanya Bobby dengan hati-hati."Pentingkah? Nggak bisa ditunda kapan-kapan, Mas?" Viola berusaha mengelak, be
Bab 1Puluhan tahun berlalu, hingga tanpa terasa lelaki yang dibesarkan tanpa figur seorang ayah itu. Namun, sisi lain hidup Ammar tampak sangat sempurna. Berbanding terbalik dengan perjalanan hidup Viola dari kecil hingga dewasa.Pendidikan Ammar juga tidak main-main, selesai homeschooling hingga kelas 6 SD, Ammar melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya di sekolah swasta, jelas saja Viola ingin Ammar dapat pendidikan yang lebih baik. SMA pun demikian masih melanjutkan di sekolah swasta. Tanpa tanggung-tanggung, dalam waktu 4 tahun Ammar berhasil menyelesaikan studinya sebagai mahasiswa jurusan teknik sipil. Setelah tamat, Ammar langsung dapat pekerjaan di perusahaan tempat dia magang dulu.Di tahun kelima, Ammar dapat tanggung jawab untuk proyek yang cukup besar jauh dari kota. Proyek berjalan kurun waktu satu tahun dan itu membuat Ammar menghabiskan waktu di sana. Dan, kota kecil itu juga hati Ammar terpaut dengan seorang gadis. Cantik, putih, tinggi, dan tubuhnya juga ideal."Ooo
Bab 2"Coba pastikan lagi, Pak. Atau bisa jadi dari gen istri bapak.""Gimana saya mau mencari tahu, jikalau dokter saja melarang untuk memberi tahu istri soal ini.""Jangan, Pak. Jangan. Bisa cari tahu diam-diam, tapi kalau memang tidak ada faktor genetik dari pihak bapak ataupun istri, bisa jadi saat pembelahan sel tidak terjadi secara sempurna, atau lain kemungkinan ini semua takdir Sang Pencipta.""Entah lah, Dok. Saya tidak bisa berpikir jernih soal ini.""Saya paham kalau bapak shock, tapi saya juga berharap masih ada keajaiban kedepannya.""Apa masih ada yang ingin dokter sampaikan? Kalau tidak saya mau pamit.""Sebenarnya banyak yang ingin saya diskusikan, tapi sepertinya timingnya nggak tepat. Lain kali saja."Lita tidak mau menyusui anak yang baru dilahirkannya itu. Hati dan juga jiwa raganya menolak."Kasih aja sufor, Mas! Aku tidak ingin menyusui anak ini.""Lita! Kamu kenapa? Kamu sadar tidak bicara apa barusan?"Hingga hari kedua, Lita masih saja tidak mau menyusui sang
Bab 3"Apa maksudmu? Kenapa berbicara seperti itu ke Bunda?" Viola menaruh Arumi kembi ke ranjang. Kemudian, menarik pelan tangan anaknya dan duduk di bibir ranjang.Ammar yang susah payah menahan air matanya, tak bisa lagi bersikap tegar di depan ibunya. Bulir bening itu menggenangi bola matanya dan bersiap-siap untuk tumpah, tapi buru-buru Ammar menyeka bulir bening itu."Apa ini alasan kamu meminta bunda untuk tidak datang ke rumah sakit saat Lita akan melahirkan? Apa ini juga alasan kamu tidak ditemani oleh siapapun, termasuk mertua dan ipar kamu?"Ammar mengangguk berat."Aku punya alasan, Bun. Bunda kecewa kah?""Ya ... bunda kecewa.""Bund, maaf, bukan bermaksud, tapi aku nggak siap liat bunda dan yang lainnya sedih. Anakku yang dinantikan selama ini tak sesuai dengan harapan kalian." "Bunda kecewa kenapa kamu nggak cerita dari awal. Kenapa kamu sembunyikan dari Bunda? Memangnya bunda pernah kecewa dengan apa yang kamu jalani? Apa karena bunda selama ini tidak pernah memperken
Bab 4"Masa Neng Viola tidak tahu alasan saya berkata demikian? Bukannya Neng Viola sudah melihat bayi yang ada di kamar Ammar dan Lita.""Ya, saya sudah melihatnya. Lantas apa hubungannya dengan ucapan Neng Ririn tadi. Itu kan bayi mereka.""Saya tidak yakin, pasti Ammar sudah menjebak Lita. Bisa jadi itu anak orang lain. Saya rasa ad maksud lain dibalik hadirnya bayi itu.""Astaghfirullah, Neng. Jauh sekali pikiranmu. Sampai menuduh Ammar seperti itu. Saya tahu Ammar seperti apa, dia tidak akan berbuat sekonyol itu.""Udahlah, Neng Viola. Nanti saja kita buktikan. Saya akan tinggal di sini, biar tidak terjadi hal-hal buruk.""Sama lah kalau begitu, saya juga tinggal di sini. Kita buktikan saja siapa yang memfitnah."Lita tersentak, dia menatap ibunya, seolah mengode sesuatu."Lho, nggak bisa gitu dong, Neng. Anakmu laki-laki tidak perlu ditemani, beda dengan anakku, perlu penjagaan ketat.""Dia tidak terancam kok di sini, Neng Ririn. Malah, Lita bisa me time sepanjang waktu. Kan yan
Bab 5Ammar seketika berdiri, telinganya terasa semakin panas oleh ucapan Lita yang sama sekali tidak ada rasa peduli padanya."Kamu bisa ngertiin posisi aku nggak?""Kamu juga nggak ngertiin aku, Mas. Kamu nggak ngerti gimana perasaan aku!" Lita tak mau kalah, mau adu nasib dengan suaminya yang siang malam berkejar-kejaran dengan waktu. "Aku kurang ngertiin apalagi coba? Aku akan tetap test DNA, tapi sabar dulu.""Terserah lah, Mas. Kamu egois!" Lita meninggalkan Ammar tanpa belas kasihan sedikitpun, seolah cinta dan kasih sayang yang dia berikan dari awal pernikahan sirna begitu saja."Lita ... Lita ... kamu nggak capek apa kita begini terus!" seru Ammar. Namun, Lita sama sekali tidak memperdulikan ucapan suaminya. Dia terus saja menaiki anak tangga Hari-hari yang dijalani Ammar sekarang selalu banyak masalah. Rumah terasa panas, dia pun sulit berkonsentrasi. Bahkan kerjaan yang sedang dia selesaikan sekarang itu, karena klien protes, dan itu karena Ammar tidak fokus.Viola yang m