14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan
Srini lebih dulu selesai makan, dia bangkit dari duduk setelah mencuci tangan pada air di baskom kecil, yang sengaja Kembang sediakan untuk itu. Pandu dan Kembang secara bersamaan menengadah, melihat Srini yang berdiri. "Kalian lanjutlah makan, aku sudah selesai. Aku mau melanjutkan tidur, sepertinya hari ini aku akan tidur lebih cepat," ujar Srini, lalu berjalan meninggalkan dapur, dan hilang setelah ia melewati pintu sekat ruangan yang terbuat dari bilik kayu. Setelah Pandu yakin, Srini sudah masuk ke kamar. "Kenapa kau menginjak kakiku!" Remaja laki-laki itu langsung bertanya pada gadis yang masih duduk, di hadapannya dengan intonasi biasa tapi suaranya tertahan. Kembang yang ditanya seperti itu hanya melirik, kemudian lanjut makan. Pandu gemas, ia balas menginjak kaki Kembang secara ringan. Membuat gadis itu kaget, dan sedikit melotot padanya. "Kenapa kau menginjak kakiku tadi?" Pandu bertanya sekali lagi. "Kau sendiri kenapa mencolek-colek kakiku dengan jempol kakimu
Kembang berjalan, menyusuri jalan setapak, yang di kanan kirinya adalah pohon singkong. Gelap, tetapi gadis itu tak merasa takut. Justru, dia berjalan sembari memegangi pergelangan tangan dan menempelkannya di dada. Tepat di mana Pandu menggenggam tangannya tadi.Kembang tak mengerti, ada apa dengan dirinya sendiri.Dia menunduk, terus mengingat adegan saat Pandu memegangi tangannya, dan memberinya tatapan mata yang dia sendiri susah untuk menjelaskan.Gadis itu seolah melihat sisi lain dari sahabatnya sendiri, entah apa. Langkah Kembang terhenti, saat ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Dia berbalik, tak menemukan siapapun, dan tak melihat apapun, hitam karena gelap.Di ujung sana lampu depan rumahnya menyala, dan hanya itulah yang menjadi pacuan Kembang untuk terus berjalan lurus. Bulu kuduknya mulai meremang, ketika kakinya merasakan ada orang lain lagi yang menginjak tanah yang sama. Tidak jauh di belakangnya, dia berdiam merasakan detakan takut juga pundaknya kaku sampa
Di pasar, saat Kembang dan Srini tengah berjualan. Datang satu pria pendek, tampangnya sangat ramah, cara berjalannya saja semangat sekali ketika mendekati lapak jualan Srini dan Kembang. "Aku ingin beli 1kg lobak putihnya," kata Pria itu pada Srini, tanpa menanyakan berapa harga kiloannya. "Baik, tunggu sebentar, Pak," kata Srini, mengambil plastik dan memasukan beberapa lobak untuk ditimbang. "Jangan panggil aku 'Pak', Nona. Panggil saja aku Mung," ujarnya. Srini tersenyum ramah, mengangguk."Baiklah, tunggu sebentar, Mung."Di sela apa yang yang tengah dilakukan oleh ibunya, yang melayani pria bernama Mung itu.Kembang diam-diam memperhatikan orang tersebut, dia seperti mengingatnya dan pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, tak ingat jelas di mana. 'Aku sepertinya pernah melihat wajah itu, tetapi di mana?' batin Kembang. Mung berusia sekitar 45 tahun, tingginya sekitar 153cm, dia lebih pendek dari Pandu, dan jelas sekali lebih pendek dari Kembang. Sebab, Kembang lebih tin
"Bersiaplah untuk nanti malam.".Perempuan yang tengah duduk sambil meminum teh di ruang tamu, menatap ayahnya. "Bersiap untuk apa, Ayah?""Putra Juragan sawah, akan ke mari untuk melamarmu." Sang Ayah—Bahar, ikut duduk di kursi kosong di hadapan Si Perempuan."Apa? Ayah akan menjodohkanku lagi? Setelah 4 laki-laki yang kutolak kemarin? Apa Ayah yakin ... tidak akan malu lagi, bila nanti aku menolak Pria itu juga?" Srini meletakan gelas tehnya, ia tidak jadi menyesap karena sudah kadung tidak berselera."Srini!" Bahar berdiri,"turuti saja apa kata Ayah! Kamu ini sudah dewasa umurmu sudah 30 tahun .... kamu seharusnya sudah punya anak 3 tapi ini malah masih asik-asikan melajang. Apa kamu pikir, Ayah tidak menginginkan seorang cucu?!"Srini mengembuskan napas kasar, dia ikut berdiri. "Aku tau, aku paham ... tapi bagaimana jika aku belum menemukan jodoh yang baik untukku, Ayah?""Tau apa kamu tentang jodoh! Setiap laki-laki yang Ayah jodohkan padamu itu adalah orang baik, pilihan terbaik
Sesampinya di rumah, Srini mengambil beberapa baju lamanya di lemari. Baju-baju yang sudah lama karena bekas Srini waktu masih kecil. Dia mencari baju kebaya dan bawahan yang terbuat dari kain jarik yang sekiranya muat untuk di pakai Kembang. Setelah menemukan, dia berbalik dan menghampiri Kembang yang sedang duduk di sisi ranjang tidurnya."Mandilah, setelah itu kita makan," kata Srini."Ba-baik, B-bu ...."Srini tersenyum, saat Kembang memanggilnya 'Ibu'. Hatinya tersentuh, dan seperti inilah mungkin rasanya bila memiliki anak.Srini menunggu Kembang selesai mandi, sambil duduk di sisi ranjang. Melihat ke arah tumpukan baju yang tadi ia ambil dari lemari tergeletak di kasur, tak jauh darinya. Baju-baju itu sedikit berantakan, mungkin karena tadi Srini mengambilnya dengan semangat lalu sempat menilap acak jadilah seperti itu. Dengan kemauan hatinya, ia meraih tumpukan pakaian itu dan melipatnya. Agar saat Kembang mengambilnya sudah rapi.****"Ini, ayo makanlah ... aku tau kau suda
Satem hendak melangkahkan kaki menghampiri putrinya, dia sangat khawatir. Tetapi, tak bisa karena Bahar sudah mencengkal kuat lengannya."Kau Srini! Sudah mempermalukanku! Pergilah kau dari sini! Enyahlah anak durhaka!"JDAR!Bagai petir, bagai ledakan tak terduga. Bahar akhirnya mengusir putri semata wayangnya. Satem menutup mulut, kepalanya menggeleng perlahan menatap Srini dan matanya kabur karena cairan yang menumpuk di pelupuk mata. Kembang mendelik tak percaya.Sementara Srini perlahan mulai tersenyum, menyeringai menatap Sang ayah dengan kecewa. Alih-alih mendengarkan keinginan hati dan perasaanya, ayahnya justru memilih mengusirnya."Ayah mengusirku? ... baik, itu artinya aku bebas? ... baik, aku pergi," kata Srini, dia berbalik menangis dengan senyuman yang sebenarnya senyum penutup amarah. Tak lupa, ia juga menarik tangan Kembang supaya ikut dengannya."Apa yang kau lakukan! Dia anak kita satu-satunya!?" Satem berteriak tak terima putrinya diusir. Sedangkan Bahar, terus m
Srini dan Kembang turun dari kereta delman."Ini Paman, sesuai perjanjian awal. 1 koin perak." Srini memberikan 1 benda bulat yang ukurannya sebesar tutup botol tapi lebih tipis lagi. Tukang delman itu menerima dengan senang."Terimakasih."Srini tersenyum. "Tidak, aku yang harusnya berterimakasih."Saat Tukang delman memasukan koin itu ke dalam saku baju, Srini dan Kembang memperhatikan sesaat."Ah iya, Paman ... sebentar lagi akan petang. Apa kau akan kembali sekarang?""Iya, saya akan langsung pulang lagi ke Distrik Kates. Mungkin sampai sana akan malam, tetapi tidak terlalu malam juga.""Baiklah, hati-hati di jalan ... semoga perjalanmu lancar sekali lagi terima kasih."."Sama-sama, ya sudah ... saya pamit dulu." Srini mengangguk sembari tersenyum simpul. Tukang delman menaiki delmannya, lalu membuat kuda-kudanya berbalik arah dan mulai mencambuk pant4t kudanya. Kemudian melambaikan tangan pada Srini dan Kembang. Mereka pun mengangkat tangan, membalas lambaian sembari senyum.