LOGINPagi hari dengan udara yang sejuk dan suara kicauan burung-burung yang hinggap di beberapa dahan dan ranting pohon menemani Zahra untuk menikmati udara pagi hari ini. dia sedikit terkejut saat ada sepasang tangan yang tiba-tiba melingkar di perutnya.
"Mas udah bangun?" Tanya Zahra yang mengenali siapa yang sedang memeluknya dari belakang. "Kenapa disini udara pagi ini lumayan dingin," sahut Mizan tanpa menunggu jawaban Ia membawa tubuh Zahra masuk ke dalam kamar. Zahra sedikit kebingungan saat Mizan membawanya kembali masuk ke kamar. "Kenapa malah tidur lagi." "Masih pagi dan masih sangat dingin lebih baik kita tidur lagi," Mizan membawa sang istri kembali ke tempat tidur dan menyelimuti tubuh mereka berdua. "Iya tapi nggak baik tidur lagi mending kita olahraga lari sekitaran sini," sahut Zahra menawar. "Mending olahraga pagi yang lain aja nggak sih kata anak muda sekarang," goda Mizan. "Ish udah mau siang Mas," sahut Zahra malu-malu. "Oh iya sayang kemarin ada Bibi dan keponakanku datang iya?" "Iya sore mereka datang kesini, tidak tahu kalau mereka akan menginap atau tidak karena setelah membuat makanan langsung pergi ke kamar tidak ke bawah lagi," "Apa mereka membuat ulah lagi?" tanya Mizan penuh selidik. "Iya begitulah, kapan sih mereka nggak pernah nyari ribut kalau datang kesini," "Baiklah diamkan saja seperti biasa kalau mereka berulah lagi," Zahra mencoba melepaskan lengan Mizan yang sedang memeluknya, namun bukannya melepaskan malah semakin mengeratkan pelukannya. "Iya sudah ayo lepaskan pelukanmu ini, aku akan membuat sarapan." "Lima menit lagi..." Mizan kembali memejamkan matanya. Bukan lima menit lagi nyatanya lima menit yang di katakan Mizan adalah tiga jam kemudian. kini dengan paksaan sang Istri membangunkannya akhirnya mereka turun untuk sarapan pagi yang sudah terlewat beberapa jam. "Mizan kalian baru bangun? kok Istri kamu nggak di siplin sih jam segini baru bangun belum nyiapin sarapan," ucap sang Bibi. "Ini baru mau bikin Bi." sahut Zahra menimpali saat melihat Endah menatapnya sinis. "Istri itu bangunnya pagi siapin sarapan untuk suami dengan keluarganya," "Maaf Bi, memang aku yang menyuruhnya membuat sarapannya sekarang, kalau Bibi ingin sarapan bukannya disini banyak asisten yang bisa di mintai tolong membuat sarapan," ucap Mizan mendekati Endah. "Dan satu lagi dia bukan orang yang seenaknya Bibi suruh-suruh! dia adalah ratu di rumah ini, kedudukannya sama denganku di rumah ini jadi jangan pernah sekali menyuruhnya apapun, untuk apa aku memiliki banyak asisten kalau begitu," ucap Mizan dengan nada tegas. "Kok kamu berbicara seperti itu sama keluarga sendiri," Endah menjadi kesal dengan apa yang diucapkan keponakannya itu. "Keluarga kata Bibi? apa pernah bibi memperlakukan istriku dengan baik seperti keluarga sendiri?" tanya Mizan. "Kapan aku memperlakukan istrimu dengan tidak baik?" Endah malah bertanya balik. "Kenapa kakak memarahi mamahku." ucap Hilda menghampiri Mizan dengan nada tidak suka. "Sudahlah jangan ada keributan pagi ini, aku buatkan sarapan sekarang," sahut Zahra yang tidak ingin ada keributan pagi ini, di tambah lumayan sulit baginya nanti untuk merubah mood sang suami bila sudah marah. Mizan tipikal orang mudah terbawa emosi namun tak sampai main tangan paling sekedar mengomeli dan yang lebih parah memecahkan barang-barang yan ada di sekitar. Sudah mendapat perintah dari sang istri, Mizan pun akhirnya menurutinya dan kini memilih duduk di meja makan, sedangkan Endah dan Hilda kembali ke kamar tamu masing-masing. Perasaannya kini semakin kesal kepada sang Bibi dan keponakannya setiap hari bila bertemu, mereka selalu membuat masalah entah itu dengan Zahra mau pun dirinya. Namun dia menahannya untuk tidak sampai melampiaskannya, karena bagaimana pun sang Bibi yang merawatnya sejak kecil saat kedua orang tuanya meninggal dunia karena kecelakaan pesawat. "Ada yang perlu aku bantu?" setelah meredam amarahnya, Mizan mendekati sang Istri berniat membantunya. "Tidak perlu sudah tunggu saja di meja makan, hari ini aku hanya membuat nasi goreng saja karena bahan-bahan di dapur sudah habis tidak apa kan mas?" "Tidak apa-apa nanti setelah sarapan kita beli persediaan stok makanan ke supermarket." sahut Mizan. "Baiklah, ya sudah kita sarapan sekarang nasi gorengnya sudah jadi," Setelah acara sarapan selesai kini mereka sedang berada di supermarket untuk memberi stok bahan makanan, Zahra selalu membeli bahan dan stok makanan sendiri karena dia yang akan memasaknya sedangkan untuk para Asisten masalah makanan di serahkan kepada ketuanya untuk urusan makanan sehari-harinya. Tidak butuh waktu lama mereka disana, karena Zahra membeli bahan untuk semiggu kemudian. sebelum pulang mereka makan bakso langganan mereka selama zaman pacaran dulu. "Mang pesen dua porsi seperti biasa iya," ucap Mizan mendekati pedagang bakso tersebut. "Eh aden siap ditunggu iya dua porsi seperti biasanya kan?" "Sip saya tunggu iya di meja paling pojok," sahut Mizan seraya menunjuk tempat yang dimaksud. "Siap Aden." sang tukang bakso pun bergegas membuatkan pesanan. Setelah memesan Mizan pun kembali ke mejanya menuggu pesaannya dengan Zahra datang, selama menunggu Mizan dan Zahra berbincang tentang masa-masa mereka pacaran dulu. "Aku sampai sekarang nggak nyangka loh mas bakal dinikahin sama orang sesukses kamu, karena dulu aku kenal kamu ngakunya orang kantoran doang," "Iya memang orang kantoran kan?" sahut Mizan. "Iya maksudnya karyawan biasa di tempat mas kerja, eh pas nikah baru tahu ternyata mas yang punya tempat kerjanya." Zahra terkekeh saat mengingat moment tersebut "Iya kan aku nyari yang tulus cinta sama aku, karena dulu pada mau karena jabatan aku doang. jadi deh pura-pura pas deketin kamu," sahut Mizan terkekeh mengingat kembali saat dimana dia mencoba mendekati Zahra yang cuek bebek dengan lelaki, setelah tahu alasannya ingin fokus kuliah katanya. "Maaf aden, non ini baksonya dua porsi seperti biasanya," sahut sang penjual bakso mengintrupsi saat Mizan dan Zahra sedang asyik berbincang. "Terima kasih mang," ucap Zahra. "Sama-sama non, silahkan di nikmati," penjual bakso pun pamit meninggalkan tempat karena sedang ramai pembeli. "Iya sudah ayo kita makan selagi panas," Mereka pun memakan baksonya dengan lahap tak tersisa kini setelah selesai bergegas kembali pulang. "Mas bibi sama Hilda ternyata masih disini, tapi kok muka mereka kaya panik gitu iya," ucap Zahra saat masuk ke dalam hendak ke dapur, namun melihat keduanya yang berada di ruang tamu duduk dengan wajah tegang. "Nggak tahu sayang, nanti juga di cerita tanpa kita tanya," sahut Mizan langsung ke dapur membawa barang belanjaan yang mereka beli tadi. Dan benar saja mereka sampai di dapur, Endah dan Hilda datang menghampiri Mizan dan Zahra. "Mizan tolong Bibi Mizan," Endah memegangi lengan Mizan. "Ada apa Bi kenapa Bibi panik sekali?" tanya Zahra. "Mizan tolongin bibi, beberapa hari yang lalu Bibi menginvestasikan uang dan perhiasan," sahut Endah dengan nada bergetar akibat terlalu panik. "Iya terus masalahnya apa bi tolong jangan bertele-tele," sahut Mizan yang kini memfokuskan padangannya kepada sang bibi. "Bibi habis kena tipu Mizan ternyata perusahaan yang Bibi investasi ternyata perusahaan bodong, barusan Bibi lihat beritanya di tv," ucap Endah sesegukkan. "Bibi bingung harus bagaimana sekarang Mizan semua uang dan emas bibi investasikan disana," sambungnya "Kenapa Bibi bsa seceroboh itu, biasanya bibi selalu teliti apa lagi masalah uang dan perhiasan," "Bibi juga tidak tahu Mizan apa yang harus bibi lakukan sekarang," kini Endah meraung-raung frustasi setelah mendapatkan kabar tersebut. Mendengar itu Mizan menghelan nafas lalu mengecek dan mengetik sesuatu pada ponselnya. "Aku tidak tahu apa yang aku lakukan sekarang bisa mengembalikan aset bibi, tapi bibi harus bersiap bila itu tidak kembali karena itu sudah konsekuensi terburuknya," "Ini bi minum dulu biar sedikit tenang," Zahra pun memberikan air dingin dan di berikan kepada Endah.Zahra reflek berdiri setengah, mendorong kursinya ke belakang punggung pria itu. Dia kehilangan keseimbangan, jatuh ke lantai, pisaunya terlempar.“Tali saya sekarang sedikit longgar! Mbak, dorong lagi!”Dengan tenaga sisa, Zahra dorong kursinya sekali lagi sampai kursi Mira miring dan tali di tangannya cukup longgar buat dia lepas.Begitu bebas, Mira langsung mengambil pisau dan potong tali Zahra.Dari speaker yang masih menyala samar, suara pria itu mendesis:“Berani sekali kalian...”Lampu kembali menyala mendadak, ruangan disorot putih terang. Zahra dan Mira refleks tutup mata sejenak, lalu sadar di dinding sebelah kanan, ada pintu besi kecil terbuka sedikit.“Itu dia... keluar lewat situ!”ucap Mira mencoba mengatur nafasnya.“Ayo mbak jangan pikir dua kali, kita harus keluar sekarang juga!”sahut Zahra.Mereka berdua mencoba untuk berlari secepat mungkin melewati lorong gelap, langkah kaki menggema dengan nafas memburu. Di belakang, suara pelaku terdengar lagi, makin dekat, makin b
Kabut tipis menyelimuti halaman kantor polisi sektor timur, di ruang kecil penuh map dan papan investigasi, Inspektur Rian berdiri menatap dua foto. Mira - karyawan perusahaan konstruksi, dan Zahra - pemilik butik di pusat kota. Di meja, dua ponsel korban tergeletak dalam kantong plastik bening, basah oleh sisa hujan semalam. “Dua perempuan, dua tempat berbeda. Namun hilang di malam yang sama,dan dua-duanya mendapatkan pesan dari nomor tidak dikenal.”ucap Rian seraya nyeruput kopi yang sudah dingin “Nomornya sudah bisa kita lacak, pak. Namun sinyalnya hanya muncul selama enam detik lalu mati, seperti sengaja dimatikan.”sahut Dewi penyidik muda. “Sebenarnya enam detik sudah cukup untuk menarik perhatian mereka, sepertinya orang ini ingin menunjukan bahwa pelaku melihat mereka.” Dewi menempelkan peta kota ke papan, dua titik merah muncul satu di dekat gedung perkantoran, dan satu lagi di area butik Zahra. Rian menatap lama, dua titik itu dihubungkan garis tipis dan di tengah-te
Waktu sudah jam sebelas siang saat Zahra melihat jam di ponselnya, dia langsung bersiap-siap untuk berganti pakaian setelah selesai menata makanannya di dalam box makanan. Zahra kali ini pergi menggunakan supir untuk ke kantor Mizan, karena sang suami masih belum mengizinkannya membawa mobil sendiri. Zahra hanya bisa mengikuti saja yang di minta Mizan toh dirinya juga memang merasa belum mampu membawa mobil sendiri saat ini. Di kantor Mira sudah melihat jam menunjukkan setengah dua belas lebih, dirinya membawa berkas yang akan diserahkan kepada Mizan. Sebelumnya Mizan meminta berkas kerja sama untuk client baru, dan sengaja Mira memberikannya sekarang karena momennya pas “It’s showtime.” gumam Mira bangkit dari tempat duduknya. Mira mengetuk pintu ruang kerja Mizan, setelah dipersilahkan masuk dia masuk dan menutup pintu perlahan. ‘Iya ada apa Mira?” “Ini saya ingin memberikan berkas sampel yang akan diberikan kepada client, saya sudah revisi ulang jika ada yang kurang akan saya
“Siap kak setelah ini aku langsung hubungi timnya, kita pergi sekarang balik ke butik kak?” “Iya kita balik ke butik sekarang, kerjaan belum.” Keduanya perlahan mulai berjalan keluar melewati beberapa puing yang belum sepenuhnya dibersihkan. “Kak Awas!”teriak Sindy. “Sial—!”ucap Zahra sedikit berteriak karena terkejut.Suara besi terdengar saling beradu. Lalu tubuhnya meluncur jatuh ke bawah, menghantam seng lantai bawah sebelum akhirnya terhempas ke tanah. Zahra tidak bahwa di sekitar sana sebuah lubang yang membuatnya terperosok dari lantai dua ke bawah.Pandangan Zahra mulai kabur, suara sirine jauh entah dari mana. Udara dingin menusuk paru-paru, mungkin Sindy yang buru-buru memanggil mobil ambulance.“Kak Zahra! Kak Zahraaa! kenapa tiba-tiba lari sendiri kaya gitu!”ucap Sindy panik.Dia langsung turun, lututnya gemetar, tapi tangannya nekat meraih wajah Zahra yang penuh darah tipis di pelipis.“Aku... aku nggak bisa gerakin tangan kanan Ndy.”ucap Zahra dengan suara lemah sambi
“Aku minta maaf kak, seharusnya aku lebih perhatian lagi sama kakak dan seharusnya tadi biar aku saja yang belanja sendiri, sekarang kakak jadi nggak enak badan kaya gini.” ucap Sindy merasa tidak enak. “Kenapa kamu minta maaf, kakak yang ngajak kamu buat belanja kok, kakak beneran nggak kenapa-kenapa mungkin karena faktor cuaca juga jadi sekarang kurang enak badan.” Zahra tersenyum seraya mengelus lengan Sindy agar tidak menyalahkan dirinya sendiri karena kondisinya saat ini. Dirinya juga bingung kepada tiba-tiba seperti itu, padahal saat belanja tadi di supermarket kondisinya dalam keadaan baik-baik saja. “Iya sih akhir-akhir ini cuaca lagi jelek banget, pagi cerah eh siang ke sore kadang hujan deras, kadang sebaliknya juga.”sahut Sindy yang memang merasakannya. Akhir-akhir ini juga sebenarnya dirinya merasa kurang enak badan karena cuaca yang gampang sekali berubah, namun dirinya langsung minum obat sehingga keesokan harinya sudah mendingan. “Nah itu kamu tahu, kan sekaran
Zahra pun meninggalkan Sindy di dapur menyelesaikan pekerjaannya, dan bergegas menuju kamar untuk istirahat sejenak lalu mulai mempersiapkan pakaian yang akan digunakan Mizan nanti selama bekerja diluar kantor. “Kenapa denganku? apa aku terlalu berlarut karena kepikiran besok Mas Mizan dan Mbak Mira.” gumam Zahra dalam hati saat berjalan menuju kamar.“Sudahlah jangan terlalu overthinking, ingat kondisi kamu sekarang malah semakin memburuk.Jangan terlalu banyak berpikir keras,” Zahra menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.Di kamar lain, Mira sedang menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya nanti selama beberapa hari ke depan diluar kota. Dengan wajah sumringah dia membayangkan beberapa rencananya nanti di luar kota akan berhasil.“Akhirnya waktu itu telah tiba, kali ini rencanaku tidak boleh gagal. besok aku harus bisa membuat fokus Mizan hanya kepadaku, langkah awal untuk menghancurkan keluarga kecil ini yang sudah membuat Ibuku menderita selama ini.”Keesokan hari mereka berkumpul







