Bab 22
"Kau bercanda? Aku sedang mengejar Arra sekarang!" Eiden berteriak, marah. "Kalau hanya mirip, tidak usah lapor. Buang-buang waktu!" tambahnya dengan nada dingin, dia lalu mematikan telepon itu secara sepihak. Bisa gila dia kalau semua orang yang berbeda tempat melapor bahwa mereka melihat Arra. Ditambah lagi aroma di mobil membuatnya serasa ingin muntah. Eiden menutup hidung sembari tangan satunya mencari-cari masker. Hardy melirik lewat kaca spion. Bossnya sungguh sudah berubah, Hardy seperti tidak bisa mengenali. Bajunya lusuh seperti tak pernah disetrika, wajahnya kusut seperti tidak menyentuh air berhari-hari. 'Kasihan sekali Tuan Eiden, dia seperti boss muda yang stres karena kena tipu triliunan dolar.' "Kau! Lihatlah jalan di depan kosong, kenapa kau malah bergerak seperti keong?" Eiden menyadari bahwa asistennya sejak tadi memperhatikannya. "MBab 1 “Oh, my God!” Arra terbangun dan mendapati dirinya berada di sebuah kamar hotel yang mewah. Gadis itu kebingungan, bertanya-tanya kenapa dia bisa berada di tempat itu. Tak hanya tempat, ternyata yang lebih membingungkan lagi adalah dia tak mengenakan sehelai pun pakaian. Tubuhnya hanya tertutup oleh selimut putih kamar hotel. Arra langsung terbelalak menyadari keadaannya. Dia hendak bangkit dari ranjang, tapi gerakannya terhenti, saat seseorang membuka pintu kamar mandi. Sungguh mengejutkan! seorang pria dengan dada bidang dan body sixpack keluar hanya memakai handuk di pinggang. Melihat itu, Arra reflek menutup wajahnya dan menundukkan kepala. Melihat tingkah Arra, pria itu malah tersenyum. “Sekarang baru ditutup, padahal tadi malam kau tidak hanya melihat tapi juga menikmatinya,” oloknya, dengan santai dia duduk di sisi Arra masih tanpa mengenakan pakaian. Mendengar dia bicara, Arra memberanikan diri mengangkat wajah untuk memandang pria di sampingnya. “A-apa maksu
BAB 2 “S-selamat pagi, anda siapa? Dan kenapa menunggu saya?” tanya Arra ragu-ragu. Matanya memindai penampilan Hardy dari atas sampai bawah. “Akan saya jelaskan nanti setelah anda sarapan. Mari Nona, silahkan ikut saya.” Pria itu merentangkan sebelah tangannya ke samping dengan badan agak membungkuk. “Silahkan anda pesan menu yang anda inginkan. Saya akan menelepon Tuan Eiden untuk melapor bahwa anda sudah bersama saya.” Pria itu berbalik setelah mengantarkan Arra ke ruangan VVIP restoran. Saat Hardy mengeluarkan ponsel dan meninggalkan Arra untuk menghubungi Eiden, kaki Arra segera melangkah dan menghilang dari restoran tersebut. “Tuan ... Nona itu sudah bersama saya. Selain memberinya cek, apa lagi yang harus saya lakukan?” “Antar dia ke apartemennya! Pekan depan jemput dia kembali ke hotel. Mulai hari ini dan seterusnya, semua kebutuhannya aku yang tanggung. Pastikan dia berhenti bekerja!” Eiden memberi perintah dengan jelas. “Baik, Tuan.” Panggilan berakhir, Hardy
BAB 3 Orang tua Arra sudah terkulai lemas usai dihajar para penagih hutang. “Sita ponselnya, dan ikat mereka dengan kencang agar tidak bisa kabur.” Pria yang separuh wajahnya terdapat bekas luka itu memberi perintah kepada bawahannya. “Siap, Boss ... Tapi apa mungkin anak mereka benar-benar akan datang?” tanya salah seorang. “Pasti! Anak itu teramat menyayangi dua lansia tidak berguna ini!” Usai menjawab pria yang dipanggil boss itu keluar disusul oleh anak buahnya. Seperginya mereka, Kelly, ibu Arra, menatap suaminya iba. Tak tega dia melihat wajah Bruce yang sudah babak belur, bahkan sudut bibirnya robek. “Bruce ... Sebenarnya siapa mereka? Tidak mungkin hanya karena kau punya hutang, mereka sampai menculik dan bahkan mengancam untuk membunuh.” Kelly tahu suaminya pernah berhutang kepada rentenir untuk membiayai kuliah Arra, dan sampai sekarang hutang itu belum lunas sebab pemasukan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tapi, seingatnya wajah rentenir yang s
BAB 4 Arra membuka mata dan mendapati dirinya berada di tempat asing. Dia pikir para rentenir itu juga menangkapnya. Tapi tidak, sebab tempat dia membuka mata sekarang justru terlihat mewah, berbanding terbalik dengan tempat ayah dan ibunya disekap. Menyebut ibu, Arra seketika bangkit dari tidurnya. Adegan saat ibunya ditembak terekam ulang. Tidak mungkin itu hanya mimpi, sebab Arra sempat ingat samar-samar saat tubuhnya digendong dan dimasukkan ke dalam mobil, dia mendengar suara tembakan bersahut-sahutan. “Kau sudah bangun?” Suara pria membuat Arra menolehkan kepala ke samping. “Kau?” Arra terkejut sebab orang itu adalah pria yang sudah menidurinya kemarin. “Hmm ....” Eiden menatap teduh wajah wanita yang seharian tadi membuatnya frustasi. “Maaf ... Tapi aku tidak ada urusan denganmu, sekarang biarkan aku pergi karena orang tuaku saat ini membutuhkanku.” Meski penasaran kenapa dia bisa ada di kamar pria ini, tapi Arra rasa itu tidak begitu penting. Keadaan orang tuanya teru
BAB 5 Merasa hidupnya terancam, wanita itu buru-buru keluar dari kamar. Tidak hanya keluar kamar, Arra bertekad untuk pergi dari mansion detik ini juga. Marah ... Tentu saja Arra marah bahkan teramat, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Arra masih lebih sayang nyawanya untuk melakukan balas dendam sekarang. Arra berniat untuk mengumpulkan uang yang banyak, lalu pada akhirnya saat dirinya sudah memiliki kuasa dan uang, ia akan datang lagi menuntut balas akan kematian orang tuanya. “Nona mau kemana?” Security yang melihat Arra hendak keluar gerbang, menghampiri. “Aku ingin membeli beberapa camilan, bisa tolong bukakan pintu gerbangnya?” Arra sebisa mungkin bersikap normal. Kesedihan, kemarahan dan kekecewaannya dia tutupi dengan senyuman. Melihat keraguan di wajah security itu, Arra langsung bicara lagi, “Eiden sudah memberi izin, justru kau akan dapat masalah jika tidak membuka gerbangnya. Bosmu sedang banyak pekerjaan, jadi dia tidak bisa mengantarku seperti biasa.” Securit
BAB 6 "T-tidak mungkin!" Arra bergumam sendiri. Seketika bayangan seminggu yang lalu terekam ulang dalam ingatannya. Bagaimana dia mabuk sampai menghabiskan malam panas bersama Eiden. Pria itu sungguh biadab! Setelah tidur dengan Arra, dia lalu membunuh orang tua Arra. Dan sekarang, bisa-bisanya Arra hamil anaknya ... “Sebenarnya apa salahku padamu???” Arkh ... Rasanya Arra mau gila memikirkan ini. Selama seminggu Arra tinggal di mansion Eiden, pria itu bersikap sangat baik, bahkan teramat baik. Memberikannya kejutan setiap malam, entah itu dengan candle light dinner atau sekedar hadiah kecil. Maka saat mengingat perlakuan manis itu, rasanya Arra ingin kembali untuk memberitahukan kehamilannya. Tapi bayangan kematian sang ibu yang ditembak tepat di depan mata kepalanya, membuat Arra tak sudi walau hanya memikirkan pria jahat itu. Arra duduk di ranjang rumah sakit, meraba perutnya yang masih rata. "Baiklah, aku akan merawatmu. Tapi sebagai gantinya, kau harus memb
BAB 7 ‘Ah, sekalipun dia bukan pria baik, sepertinya dia hanya gila wanita. Bukan biadab yang tega membunuh orang seperti pria gila itu.' Arra bergumam dalam hati. Pria gila yang dia maksud tentu saja Eiden. Seseorang yang hampir membuatnya jatuh cinta namun seketika berubah menjadi benci. Bahkan teramat benci. Sebab menarik Arra ke dalam derita luar biasa dalam hidupnya. Arra menghela napas panjang, merasa sangat bodoh! Entah kenapa di setiap situasi, dia justru selalu membawa nama Eiden di pikirannya. Walau hanya sebatas membandingkan, tapi terus Arra mengingat pria itu tanpa dia sadari. "Bi ... Jangan paksa dia, biarkan Arra yang memilih sendiri. Lagipula, selama ini tak ada siapapun yang mau pakai kamar itu karena bekas orang mati." Tiba-tiba Andrew muncul, wajahnya terlihat sendu. "Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa tidak pantas memakai kamar ini, karena aku bukan Mia, gadis kecil yang kalian sayang." Arra menunduk, dia tak berani menatap Andrew maupun Bi Mer
BAB 8 Mendengar kata ‘ingin sendiri’, Andrew langsung panik. Bayangan saat Mia tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan penuh darah seketika memenuhi kepalanya. Andrew khawatir kalau sampai Arra melakukan hal bodoh seperti yang Mia lakukan. Membuka pintu, Andrew berlari masuk ke dalam. “Arra!” Melotot pria itu saat melihat Arra duduk berjongkok mengobrak-abrik isi koper, tanpa berbalut apapun. “Aaaa ....” Melihat seseorang mendobrak kamarnya, Arra reflek melemparkan barang yang dia pegang tepat mengenai kepala Andrew. “Dokter ... Kenapa kau masuk tidak mengetuk pintu?” Arra seketika menutupi dadanya tapi sial, bagian tubuhnya yang lain terekspose di hadapan Andrew. “A-aku kaget. Eh, maksudku, aku tadi khawatir kamu bilang ingin sendiri. Aku takut kamu –.” Arra berbalik badan membelakangi Andrew. “Dokter, jangan khawatir! Aku tidak seberani adikmu. Aku serius dengan ucapanku di rumah sakit tadi, kalau aku tak akan mati sendirian, kecuali ayah anak ini ikut bersa
Bab 22 "Kau bercanda? Aku sedang mengejar Arra sekarang!" Eiden berteriak, marah. "Kalau hanya mirip, tidak usah lapor. Buang-buang waktu!" tambahnya dengan nada dingin, dia lalu mematikan telepon itu secara sepihak. Bisa gila dia kalau semua orang yang berbeda tempat melapor bahwa mereka melihat Arra. Ditambah lagi aroma di mobil membuatnya serasa ingin muntah. Eiden menutup hidung sembari tangan satunya mencari-cari masker. Hardy melirik lewat kaca spion. Bossnya sungguh sudah berubah, Hardy seperti tidak bisa mengenali. Bajunya lusuh seperti tak pernah disetrika, wajahnya kusut seperti tidak menyentuh air berhari-hari. 'Kasihan sekali Tuan Eiden, dia seperti boss muda yang stres karena kena tipu triliunan dolar.' "Kau! Lihatlah jalan di depan kosong, kenapa kau malah bergerak seperti keong?" Eiden menyadari bahwa asistennya sejak tadi memperhatikannya. "M
BAB 21"Kau yakin?" "Yakin, Tuan. Tapi ...." "Kalau begitu, kejar dia. Kenapa kau malah meneleponku?!" Suara Eiden meninggi, bahkan dia tak memberi Hardy kesempatan untuk melanjutkan ucapannya. Sungguh kesal pria itu dengan tingkah asistennya, bisa-bisanya dia melapor di saat seharusnya dia langsung ambil tindakan. "Maaf, Tuan. Tapi anda sendiri yang bilang agar saya tidak perlu membawa mobil, jadi saya sekarang tidak punya kendaraan untuk mengejar." "Shit! Bodoh! Arkh ...." Kesal, Eiden mengepalkan tangannya dan memukul udara. 'Siapa yang bodoh, Tuan? Tentu bukan saya.' ingin rasanya Hardy menjawab. "Kau tunggu aku! Jangan sampai dia hilang dari pandanganmu." Eiden menutup sambungan teleponnya. "T-tapi, Tuan ...." Hardy ingin mengatakan bahwa wanita itu naik ker
Bab 20 “Mungkin saja ‘kan? Memangnya kau tidak mau punya anak?” Andrew membuang muka, menutupi bahwa dia sedang sangat gugup sekarang. “Hahaha ....” Tertawa si penguasa arogan itu. “Menyusahkan, aku tidak mau kehidupan dan pekerjaanku terganggu karenanya,” lanjut Eiden dingin. Sedikitpun dia memang tak pernah berpikir untuk punya anak, bahkan merencanakannya saja tidak. Bukan apa-apa, mengingat status dan pekerjaannya terlalu beresiko kalau dia sampai punya anak. Para musuh pasti akan menjadikan anaknya sebagai sasaran. Namun jawaban Eiden barusan, justru menarik anggapan buruk di kepala Andrew. ‘Biadab! Pantas saja kau ingin melenyapkan Arra dan bayinya!’ geram Andrew. Pria itu mengepalkan tangannya. Sekarang dia mengerti kenapa Arra sampai pingsan karena ketakutan saat tahu Eiden datang ke rumahnya. Tak tahan lagi meladeni temannya yang teramat kejam itu, Andrew bangkit. “Aku sudah jelaskan s
BAB 19"Ck! Mau apa lagi dia?!" Mau tak mau, Andrew menghentikan mobilnya. Beruntung kaca mobilnya gelap, jadi orang luar tak bisa mengintip ke dalam siapa saja penumpangnya. Andrew lantas menurunkan separuh kaca dan melongo keluar. "Tuan Eiden, anda belum pulang rupanya. Apa ada yang bisa saya bantu?" Andrew tersenyum. 'Cih! masih saja berpura-pura.'Eiden menundukkan kepalanya agar sejajar dengan Andrew, "Aku tidak akan pulang sebelum urusanku di sini selesai." Ketus dan dingin dia bicara. "Ya, itu terserah padamu. Maaf ... Tapi saya sedang buru-buru." Andrew tak punya banyak waktu untuk meladeni Eiden. Sekarang, dia hanya ingin segera sampai ke rumah sakit agar Arra lekas ditangani."Berhenti berbicara formal denganku!" Eiden berteriak. Tangannya bahkan memukul bagian atas body mobil Eiden. Andrew terkejut, tapi pria itu sangat pintar menutupi keterkejutannya. Alih-alih takut melihat kemarahan Eiden, pria itu justru melirik ke belakang lewat kaca spion, melihat Arra sudah sada
BAB 18Setengah jam yang lalu, Eiden beserta empat anak buahnya keluar dari gerbang besar yang tak lain adalah kediaman keluarga Storm. Kendati Andrew Storm sudah tak memiliki orang tua, tapi tak ada satupun orang berani menyinggungnya. Dia memiliki pengaruh besar untuk kehidupan orang-orang di Amareka, sebab selain memiliki harta dan kekuasaan, dia memiliki bakat yang jarang dimiliki orang lain. Keahliannya dalam mengobati orang sakit bahkan yang kritis sekalipun, sudah tak perlu diragukan lagi. Itulah sebabnya hampir semua kalangan tak ada yang berani mencari masalah dengannya. Dan rupanya hal itu juga berlaku untuk Eiden, sang penguasa kota yang merupakan pimpinan D'trask. "Brengsek! Sialan! Apa dia sudah lupa, siapa yang melindunginya saat dulu masih sekolah?!" Eiden memaki Andrew. Sesungguhnya, Eiden dan Andrew adalah teman saat masih SMA. Bahkan setelah lulus pun, mereka berada dalam satu kapal, satu frekuensi bahkan satu line dalam dunia permafiaan. Keduanya adalah anggota
Bab 17“Ada apa, Bi?” Melewatkan mengetuk pintu, Andrew langsung masuk. “Tuan, Nona Arra pingsan,” lapor Bi Merry. Pria itu berjalan ke arah sofa, di mana Arra sudah tak sadarkan diri dengan kaki yang masih terendam di bak mandi. Andrew menepuk-nepuk pipinya. Khawatir, tentu saja pria itu mengkhawatirkan Arra. Bahkan bayangan kematian Mia turut muncul di kepalanya bak roller film, menambah ketakutan dan kecemasan di kepala. “Arra. Hey! Bangunlah!” Sekali lagi dia tepuk pipi putih itu namun wanita itu tak memberi respon apa-apa, hanya diam dengan mata terpejam. Kalau saja dadanya tidak bergerak naik turun, Andrew akan berpikir Arra sudah tak bernyawa, persis seperti ketika dia menemukan Mia-nya, enam bulan yang lalu. ‘Arkh ... Shit! Jangan bodoh, Andrew. Come on! Dia bukan Mia, kau tidak perlu khawatir berlebihan.’ Menggelengkan kepala, Andrew mencoba mengusir segala pikiran buruk yang seketika membuatnya tak bisa konsentrasi untuk mengambil tindakan. “Ini, minum dulu, Tuan.” Bi
BAB 16 Andrew dan Arra kompak bangkit dari sofa mendengar ada tamu dari kota yang sudah menunggunya di gerbang. Ekspresi Arra langsung ketakutan, dan Andrew sigap menenangkannya. “Kalau pun yang datang adalah mereka, kau jangan takut. Tidak akan ada yang bisa membawamu tanpa ijinku!” Arra mengangguk, walau jujur jantungnya berdebar begitu kencang. Napasnya bahkan seolah tersangkut di tenggorokan. Dia yakin sekali tamu yang datang itu pasti Eiden dan anak buahnya. Pria gila mengerikan yang baru saja dia ketahui identitasnya sudah berada begitu dekat dengan dia. “Tolong antar Arra ke kamarnya, Bi. Nyalakan televisi dan siapkan bak perendam kaki agar dia rileks.” Sekarang Andrew memberi perintah pada Bi Mery yang segera dia laksanakan yakni membawa Arra ke atas. Tepat setelah tv di kamar menyala dan bak perendam kaki mulai hangat airnya, Arra duduk di sofa sembari kakinya masuk ke dalam bak tersebut. Semenit, dua menit dan masuk di menit kelima, Arra sudah tidak tahan
BAB 15Hilang seketika senyum sandiwara Arra. Andrew sudah terang-terangan memperlihatkan bahwa pria itu memang ingin menjadikannya tahanan yang tak diketahui siapapun. “K-kenapa?” Tak bisa lagi ditahan, akhirnya meluncur juga pertanyaan itu dari bibir Arra. Diremasnya tangannya kuat-kuat, takut kalau Andrew menunjukkan sisi aslinya. Andrew menatap Arra dalam, dan di detik yang sama, pria itu menarik napas dengan pandangan yang masih tertuju kepada wanita itu. “Mungkin sebaiknya kita bahas ini di dalam.” Tak menunggu persetujuan Arra, Andrew lebih dulu masuk, disusul wanita itu di belakangnya. Duduk di sofa, keduanya mulai mengobrol dengan lebih serius, bahkan bagi Arra atmosfer di sekitar mereka seolah berubah mencekam. “Maaf sebelumnya karena saat kau pingsan di rumah sakit, aku menyelidiki semua tentangmu, Arra.” Mengernyit, Arra tak mengerti dengan perkataan Andrew.“M-maksudnya?” “Begini, sebelum kau cerita bahwa ayah anakmu hendak membunuhmu, aku sudah menyelidiki itu leb
BAB 14 Arra sudah selesai sarapan sejak tadi, tapi Andrew belum juga pulang. Padahal tadi Bi Merry mengatakan bahwa Andrew sudah dalam perjalanan. Bosan menunggu di ruang tengah, wanita itu pun berjalan untuk keluar, dia akan menunggu Andrew di teras, sembari melihat jalanan desa yang sepi dengan pemandangan sawah hijau di sampingnya. Namun tiba-tiba Bi Merry datang dan membuat Arra tak jadi untuk keluar. "Nona, anda mau kemana?" "Aku ingin menunggu Andrew di teras. Tiga hari ada di rumah ini, aku tidak pernah sekalipun keluar." Arra sesungguhnya ingin pergi keluar, melihat-lihat kampung halaman ibunya yang sudah lama ia tinggalkan. Kendati bukan di rumah Nenek Shopia, tapi tetap saja dia berada di lingkungan desa yang merupakan kampung ibunya. Sayangnya Arra tak punya keberanian untuk itu, dia takut anak buah Eiden atau bahkan pria itu menemukan keberadaannya. Mau tak mau, Arra hanya bisa berdiam di rumah tanpa sekalipun ada niat untuk keluar sekedar mencari angin. "T-ta