Bab 1
“Oh, my God!” Arra terbangun dan mendapati dirinya berada di sebuah kamar hotel yang mewah. Gadis itu kebingungan, bertanya-tanya kenapa dia bisa berada di tempat itu. Tak hanya tempat, ternyata yang lebih membingungkan lagi adalah dia tak mengenakan sehelai pun pakaian. Tubuhnya hanya tertutup oleh selimut putih kamar hotel. Arra langsung terbelalak menyadari keadaannya. Dia hendak bangkit dari ranjang, tapi gerakannya terhenti, saat seseorang membuka pintu kamar mandi. Sungguh mengejutkan! seorang pria dengan dada bidang dan body sixpack keluar hanya memakai handuk di pinggang. Melihat itu, Arra reflek menutup wajahnya dan menundukkan kepala. Melihat tingkah Arra, pria itu malah tersenyum. “Sekarang baru ditutup, padahal tadi malam kau tidak hanya melihat tapi juga menikmatinya,” oloknya, dengan santai dia duduk di sisi Arra masih tanpa mengenakan pakaian. Mendengar dia bicara, Arra memberanikan diri mengangkat wajah untuk memandang pria di sampingnya. “A-apa maksud ucapannya ....” Kilas balik hal semalam terlintas di ingatan Arra. “Oh, God ... Shit! Gara-gara memikirkan hutang ayah, aku terlalu banyak minum semalam. Tapi bagaimana bisa aku dan pria ini ada di dalam kamar hotel?! Yang aku ingat, aku sedang minum, bukan yang lain.” Arra memaksa kepalanya yang masih berdenyut untuk berpikir, dan nyatanya dia tak bisa ingat apa-apa selain adegan panas semalam. Entah bagaimana caranya dia dan pria itu bisa berakhir di ranjang. “Bodoh!” Arra memaki dirinya dalam hati. Pria itu lantas menarik lembut dagu Arra. Dia tersenyum memandang wajah imut Arra yang tampak bingung campur frustasi di hadapannya itu, terlihat lucu. “Meskipun ciumanmu kaku dan tidak ahli, tapi aku cukup puas dengan pelayananmu. Apalagi aku tahu, aku adalah pria pertamamu.” Arra hendak protes, sebab walau bagaimanapun dia mabuk semalam. Tidak sepantasnya pria ini mengambil kesempatan untuk mengajaknya bercinta. Tapi tiba-tiba pria itu bangkit, berdiri membelakangi Arra lalu melepaskan handuk di depannya. Melihat itu Arra dengan cepat menutup wajahnya kembali dengan selimut. “Apa-apaan kelakuannya?! Dasar gila! Tidak tahu malu! Seenaknya saja dia membuka handuk dan mengenakan pakaian di depanku. Sekalipun membelakangiku, tetap saja kelakuannya itu tidak sopan!” Arra mengoceh geram dalam hati. Tidak habis pikir dengan kelakuan pria itu. “Aku tahu, kau pasti senang karena pria pertamamu memiliki nilai di atas rata-rata sepertiku. Dan aku jamin, kau tidak akan bertemu pria lain yang mampu menandingi aku,” ucap pria itu penuh percaya diri. Dia sudah memakai baju tapi masih membelakangi Arra. “Dan karena moodku sedang bagus, aku akan memberitahu siapa namaku. Dengarkan baik-baik.” Pria itu kini berbalik dengan baju yang sudah rapi menutupi tubuh atletisnya. “Namaku Eiden Woods, mulai sekarang kamu adalah milikku. Aku tidak mengijinkanmu menemui pria manapun selain aku,” ucap Pria itu sembari berjalan dan kembali duduk di sisi Arra. “A-apa?!” pekik Arra seraya menggigit bibirnya menahan kesal. Sungguh, demi apapun, dia sangat terkejut sekaligus marah mendengar kalimat kepemilikan sepihak yang dicetuskan oleh pria bernama Eiden barusan. “Seenaknya saja! Aku bukan milik siapa-siapa! Aku adalah milikku sendiri. Kau tidak punya hak mengatur ataupun membatasi aku bertemu dengan siapa!” Arra menjawab dengan geraman yang tak tertahankan walau hanya setengah berbisik. Rasanya dia ingin sekali berteriak mengutarakan, tapi entah kenapa mulutnya seperti terkunci. Kepalanya juga masih berdenyut, pengaruh alkohol semalam belum sepenuhnya hilang dari dirinya. “Kau bilang apa tadi?” tanya Eiden dan Arra hanya menggeleng tanpa menjawab sama sekali. Melihat tingkah Arra, Eiden hanya tersenyum tipis dan mengambil rolex yang ada di nakas lalu memakainya. “Aku harus pergi karena ada meeting yang sangat penting pagi ini, sekretarisku akan menghubungimu untuk pertemuan kita selanjutnya.” Pria itu bicara setelah melihat rolex yang melingkar di pergelangan tangannya. Dia bangkit tapi kemudian dia berbalik dan duduk kembali. Dia menarik dagu Arra lalu menciumnya dengan manis. Bodohnya Arra tak menolak diperlakukan begitu. Eiden tersenyum smirk, selama ini memang tak ada satupun wanita yang luput dari pesonanya. Dia kemudian melangkah keluar, dan begitu tiba di lobi, dia menelepon seseorang. “Siapkan cek kosong lalu berikan padanya. Ingat! Kali ini, kamu harus menunggunya keluar dan jangan berani-berani masuk ke dalam.” Kalimat perintah dengan nada ancaman keluar dari bibir Eiden. Sementara yang diberi perintah menyanggupi dengan patuh. Sang asisten bernama Hardy sudah hapal dengan kebiasaan Tuan mudanya. Setiap selesai menghabiskan malam dengan wanita, Hardy selalu mendapat tugas memberi bayaran pada wanita-wanita itu. Namun, ada yang berbeda kali ini, bossnya melarangnya masuk, padahal biasanya Hardy diberi kebebasan untuk langsung masuk dan memberikan bayaran tanpa ada aturan khusus. “Tapi, Tuan ....” Hardy hendak protes, sebab lima menit lagi dia harus pergi ke mansion Javier Woods, ayah Eiden. “Hardy, aku tidak suka dibantah. Jangan lupa tentang itu.” Eiden memotong ucapan Hardy. Dan tepat setelah ia menyelesaikan kalimatnya sendiri, Eiden langsung mematikan sambungan teleponnya. Hardy mau tak mau menghubungi asisten Tuan besar Javier, mengatakan bahwa dia masih ada urusan dan akan datang terlambat. Sesuai perintah, Hardy berdiri di depan pintu, menunggu entah sampai berapa lama. Sementara di dalam kamar hotel, Arra terhuyung-huyung melangkah ke kamar mandi. Gadis itu mengguyur kepalanya yang serasa berputar-putar. Barulah perlahan-lahan dia menyadari kebodohannya. Arra memukul-mukul kepalanya, sebab sejak tadi dia tak sedikitpun bicara dan bahkan dia diam saja saat pria itu menciumnya. “Dasar bodoh! Kenapa malah diam seolah semua yang dia ucapkan benar!” maki Arra pada dirinya sendiri. Harusnya Arra bilang bahwa semalam dia mabuk berat. Dia bukan perempuan murahan yang suka tidur dengan pria manapun. Arra menghela napas, kini dia ingat semalam dia terlalu banyak minum akibat frustasi memikirkan hutang ayahnya yang tidak kunjung lunas. Bunganya yang besar membuat dia sulit untuk melunasinya dengan gajinya yang tak seberapa. Penagih hutang meneleponnya kemaren, mereka mengancam jika Arra tak segera membayar, ayahnya akan dibunuh. Itulah kenapa Arra minum sampai mabuk. Dia betul-betul tak punya uang sekarang, semua tabungannya sudah dipakai untuk membayar bunga bulan kemaren dan membayar sewa apartemen. Dan hari ini masalahnya bertambah. Hutang belum terbayar, dia justru kehilangan keperawanannya dengan percuma. Ah ... kalau saja Arra tahu nasibnya akan jadi begini, dia akan cari pria kaya untuk dijadikan pacar, sehingga meskipun dia kehilangan keperawanannya, tidak akan terlalu rugi. Dari pada diambil pria asing yang setelah menyetubuhinya langsung pergi begitu saja, sungguh malang nasibnya. “Hiks ... ibu, ayah ....” Arra teringat kedua orang tuanya yang ada di kampung. Dulu saat Arra akan pergi merantau, mereka berpesan bahwa sesulit apapun masalah, jangan sampai Arra menjual diri. Namun yang terjadi malah jauh lebih buruk dari sekedar menjual diri. Arra menangis sejadi-jadinya di kamar mandi. Keperawanannya lenyap dalam semalam dengan sia-sia. Barulah setelah dia merasa puas menangis, Arra keluar. Menangis tidak menyelesaikan masalah. Mau tak mau dia harus menghadapinya. “Oh Tuhan ... seandainya saja aku punya waktu untuk diriku sendiri, aku ingin tidur seharian di unitku hari ini tanpa memikirkan hutang ayah.” Terpikir oleh Arra untuk izin bekerja, badannya serasa kaku seolah habis kerja rodi. Tapi mana mungkin dia tak pergi bekerja, perkara hutang itu membuatnya wajib pergi sekalipun tidak ingin. Arra memungut pakaiannya dan bersiap untuk pergi. “Fighting, Arra! Kamu harus bisa! Kamu harus kuat! Nasib ayah dan ibumu ada di tanganmu.” Arra menyemangati dirinya sendiri sembari melangkah dan membuka pintu. “Selamat pagi, Nona. Akhirnya anda keluar juga.”BAB 30 "Arra, bolehkah aku memelukmu?" Arra merasakan dejavu saat Andrew berbisik di telinganya dari arah belakang. Bukan tanpa alasan Andrew melakukan itu, semua perlakuan manisnya sejak tadi adalah ide Dokter Cindy yang menyuruh agar lebih memperhatikan Arra. "Kalau bisa, berperan lah sebagai ayah untuk anak itu, karena sesungguhnya aku tidak bisa menjamin bayi itu sehat jika ibunya tidak bisa mengelola emosi." Kalimat Dokter Cindy terngiang di telinga Andrew. Pria itu tak ingin Arra terluka hatinya. Beberapa hari bersama dengan Arra, di balik kemarahan dan dendamnya, wanita itu adalah gadis baik yang jika dia kehilangan bayinya, pasti akan sedih dan terguncang. 'Ahhh aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.' Lalu beginilah yang terjadi, tidak hanya mengusap punggung Arra, Andrew juga memeluk wanita hamil itu seolah dia adalah bapak dari anak yang ada di dalam kandungannya. "Andrew, aku-" "Sstt ... Sudah, jangan banyak bicara, ayo cepat tidur, aku tidak akan berbu
BAB 29 Di kediaman Storm. Arra tak kunjung bisa tidur. Dia sudah mencoba berbagai posisi untuk bisa membuatnya segera pergi ke dalam mimpi. Namun hal itu, sama sekali tak membuahkan hasil. Dan pada akhirnya, wanita itu memilih untuk keluar dari kamar. Berjalan menuju lantai bawah lalu kemudian ke teras. Duduk di kursi depan, Arra melihat suasana kampung yang gelap sebab dia depan sana adalah hamparan sawah yang luas. "Hei ... Kenapa belum tidur?" Andrew berdiri di sisinya, mengusap puncak kepala gadis itu layaknya adik yang paling dia sayang. "Eh ... Dokter, kau belum tidur?!" Bukannya menjawab pertanyaan Andrew, Arra justru berbalik memberi pertanyaan. Pria itu tersenyum kecil, lalu mengambil tempat di seberang meja, bersebalahan dengan kursi Arra. Sama-sama memandangi persawahan warga yang gelap, keduanya terdiam dengan isi kepala yang berbeda. "Tumben kau tidak ke rumah sakit, Dokter." Arra yang membuka pembicaraan, wanita itu tak bisa terlalu lama saling diam se
BAB 28 Eiden memejamkan mata, perutnya lapar sejak tadi, dia sudah mencoba untuk makan di beberapa restoran saat dalam perjalanan pulang dari desa Werdho. Namun begitulah ... Tak satupun dari menu yang dia pesan bisa masuk dengan aman ke lambungnya. Semuanya dia muntahkan baru dalam suapan pertama. "Ini makanan yang anda minta, Tuan." Bi Hana sangat cekatan untuk soal makanan. Dia bisa memasak tiga kali lebih cepat dari orang pada umumnya. Selain karena dibantu oleh dua orang bawahannya, Bi Hana memang memiliki keterampilan khusus dalam mengolah sebuah masakan agar lebih cepat. Membuka mata, Eiden memperbaiki posisi duduknya. Melihat asap mengepul dari kuah sop yang Bi Hana bawa, Eiden merasa pasti aromanya akan penuh satu ruangan. "Kenapa kau membawanya ke sini?" Seketika pria itu menutupi hidungnya yang sudah memakai masker dengan tangannya. Trauma betul Eiden dengan masakan yang baru matang sebab aromanya selalu membuatnya ingin muntah. "Bukankah biasanya makanan an
BAB 27 Mobil sudah tiba di rumah sakit, namun begitu Andrew akan turun, rupanya wanita yang ada di sampingnya sedang tertidur pulas. Sibuk berkirim pesan dengan Dokter Mulan, Andrew lupa mengajak Arra mengobrol dan bahkan pria itu juga tak sadar bahwa Arra tertidur dengan kepala miring ke jendela. Membenarkan posisi kepala Arra, Andrew lantas menatap wajah yang terlelap itu. 'Kasihan kamu.' Menyelipkan anak rambut Arra ke telinga, Andrew tak tega jika harus membangunkan wanita itu. "Kembali ke rumah," ucapnya pada sopir. Tak lupa dia mengirim pesan pada Dokter Mulan, mengabari bahwa dia tak jadi ke rumah sakit. Selesai memberitahu Dokter Mulan, Andrew meletakkan kembali ponselnya. Dan saat dia menoleh ke samping, rupanya kepala Arra sudah miring lagi ke kaca. "Sebenarnya sudah berapa banyak hal yang kamu lewati? Bahkan dengan posisi begitu pun kau bisa tidur dengan nyenyak." Melihat kepala Arra yang miring dan bergerak akibat guncangan mobil, membuat Andrew merasa b
Arra 26 "Dokter, kau sekarang melamun." Kembali memberi pukulan, Arra sungguh gemas dengan Andrew yang sejak tadi bertingkah aneh dan menyebalkan. Entah sejak kapan, tapi sebelumnya pria ini tidak begitu. Lupakan kebodohan Andrew saat masuk kamar Arra dan melihatnya telanjang. "Oh astagaa ... Aku tidak melamun, Arra." Mengusap lengan yang tadi dipukul Arra. Sungguh! Mulai sekarang, Andrew harus mempekerjakan orang baru yang ahli mengurut badan di rumah. Bisa kaku otot-otot lengannya kalau Arra terus-terusan memukulnya seperti ini. "Kau melamun tadi," berkeras Arra. Jelas-jelas dia melihat Andrew tersenyum, meskipun samar dan singkat, tapi Arra melihatnya sekilas. "Iya, Arra sayang .., aku melamun. Maaf ya." Lagi dan lagi, Andrew seolah menjadi si pembuat onar yang setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyalah permintaan maaf akibat perbuatannya. 'Sayang? Dia memanggil sayang?' Arra memerah wajahnya. Namun karena tak ingin ketahuan oleh pria itu, dia buru-buru berbalik dan
Bab 25Sigap, sang dokter tampan berusaha menangkap tubuh Arra yang hampir terjatuh. Tapi respon cepatnya justru tak memperkirakan keseimbangannya sendiri. Alhasil keduanya jatuh dengan Arra yang menimpa tubuh Dokter Andrew.“Kau tidak apa-apa?” khawatir Andrew, matanya menatap Arra yang berada tepat di atasnya. 'Astaga, pose apa ini? dan kenapa pula jantungku jadi berisik? semoga Arra tidak mendengarnya.' Bukannya menjawab, Arra justru jadi salah tingkah. Langsung dia bangkit dan membelakangi sang dokter.‘Aataga! Bodohnya ... Kenapa aku bisa menimpa dia?!’ Arra menyesali kecerobohannya sendiri.“Arra, kau tidak apa-apa kan?” Sekarang Andrew sudah berdiri tepat di belakang Arra. Dia sungguh-sungguh khawatir dengan wanita itu. Maksud hati ingin membuat Arra bahagia, malah terjadi kecelakaan seperti ini.“Perutmu sakit? Atau ada bagian lain yang sakit?” tanya Andrew lagi.Namun Arra masih malu. Kecelakaan tadi sungguh membuat dia salah tingkah, menimpa tubuh Andrew yang artinya dada