BAB 6
"T-tidak mungkin!" Arra bergumam sendiri. Seketika bayangan seminggu yang lalu terekam ulang dalam ingatannya. Bagaimana dia mabuk sampai menghabiskan malam panas bersama Eiden. Pria itu sungguh biadab! Setelah tidur dengan Arra, dia lalu membunuh orang tua Arra. Dan sekarang, bisa-bisanya Arra hamil anaknya ... “Sebenarnya apa salahku padamu???” Arkh ... Rasanya Arra mau gila memikirkan ini. Selama seminggu Arra tinggal di mansion Eiden, pria itu bersikap sangat baik, bahkan teramat baik. Memberikannya kejutan setiap malam, entah itu dengan candle light dinner atau sekedar hadiah kecil. Maka saat mengingat perlakuan manis itu, rasanya Arra ingin kembali untuk memberitahukan kehamilannya. Tapi bayangan kematian sang ibu yang ditembak tepat di depan mata kepalanya, membuat Arra tak sudi walau hanya memikirkan pria jahat itu. Arra duduk di ranjang rumah sakit, meraba perutnya yang masih rata. "Baiklah, aku akan merawatmu. Tapi sebagai gantinya, kau harus membalas dendam pada orang yang sudah membunuh nenekmu!" Wajah Eiden yang Arra ingat saat mengatakan itu. "Nona ... Kau baik-baik saja?" Dokter tampan di hadapan Arra mengalihkan perhatiannya. Arra mengangguk, mulutnya masih tak bisa berkata-kata. Dia masih sangat terkejut dengan kenyataan yang menimpa hidupnya. Hamil anak dari pembunuh orang tuanya, sungguh tidak main-main Tuhan mengatur scenario hidupnya. "Maaf sebelumnya, tapi melihat reaksimu sekarang, sepertinya kau tak menginginkan kehamilanmu. Apa orang tuamu tidak tahu soal ini?" Dokter tampan itu mengambil kursi. Duduk dia di depan Arra, memandang prihatin. "Orang tuaku tidak tahu, karena ibuku sudah meninggal dan ayahku ... Aku tak tahu dia di mana sekarang." Ekspresi Arra sekarang, mengingatkan sang dokter pada Mia, adik kecilnya yang sudah lama meninggal. Wajah syok, sedih dan marah muncul di saat bersamaan. "Aku akan membantumu, Nona. Jangan berpikir untuk mengakhiri hidupmu karena masalahmu ini." Tak ragu sang dokter mengatakan hal itu. Arra yang semula duduk memandangi perutnya, seketika menatap dokter itu. "Mengakhiri hidup? Bunuh diri maksudnya?" Dokter itu mengangguk, tapi kemudian menggeleng. “Jangan lakukan itu! Bunuh diri bukan solusi, tapi justru awal dari penderitaan.” Arra mengangguk. “Ya, kau benar, dokter. Aku yang menderita, sementara pelakunya tertawa menikmati hidup. Sialan!” Tapi maksud dari kalimat sang dokter bukan seperti itu. Awal dari penderitaan adalah bagi orang-orang yang ditinggalkan, bukan yang meninggalkan. Sang dokter tampak paham tentang itu. “Kalau pun harus mati, aku tidak akan mati sendirian,” lanjut Arra lagi. "Maksudnya?" "Tentu saja aku harus mengajak ayah anak ini mati bersamaku, baru aku akan tenang." Mata Arra berkilat penuh dendam, sementara tangannya tak henti mengusap perut ratanya dengan seringai mengerikan. Wajah sedih yang semula mendominasi kini raib tak berbekas. **** "Ku harap kau betah tinggal di sini." Dokter tampan yang mengaku bernama Andrew itu mengajak Arra ke rumahnya. Bagaimana tidak, saat ditanya Arra akan pulang ke mana, dia menjawab tidak punya tujuan. Dia juga mengatakan bahwa nyawanya sedang dalam bahaya. Ayah dari anak dalam kandungannya berniat membunuhnya. Dokter Andrew jadi kasihan. Kondisi Arra sungguh mengingatkannya pada Mia. "Ada banyak kamar yang kosong di sini, kau bisa pilih mau yang mana." Membawakan barang-barang milik Arra, Dokter Andrew masuk ke dalam rumahnya yang besar dan megah. Tak hanya rumahnya yang besar tapi dia juga memiliki banyak bodyguard yang memberi hormat saat dia dan Arra datang. "Hm ... Terima kasih, Dokter. Kurasa aku tak kan bisa membalas budi baikmu ini." Dibalik setumpuk derita yang sedang Arra alami, ternyata Tuhan masih menyelipkan keberuntungan besar. Arra diberi tempat tinggal sekaligus keamanan yang ketat. Sungguh, rumah Dokter Andrew adalah persembunyian yang sangat tepat. Arra akan aman untuk sementara. Baik Eiden maupun anak buahnya, tak akan bisa mengendus keberadaannya. "Kau ini bicara apa? Sudah kubilang, kau seperti adikku." Dokter Andrew mengusap lembut kepala Arra. Dia benar-benar mirip dengan Mia. Bahkan cara bicaranya pun hampir sama, lembut, penuh kasih tapi juga bisa berapi-api saat sedang marah. Arra tersenyum. "Terima kasih, Dokter." "Sudah tiga kali kau mengucapkan itu sejak tadi." Satu kali di mobil, dan dua kali setelah tiba di rumahnya. Arra lagi-lagi hanya tersenyum, tak tahu harus bicara apa pada Dokter Andrew yang bak malaikat penolong. Baru bertemu tapi memperlakukan Arra dengan sangat baik. "Bibi Mery ...." Dokter Andrew memanggil pelayan kepercayaannya. "Ya, Tuan." Seorang wanita paruh baya datang dengan celemek di tubuhnya. "Tolong antar Arra ke atas, bantu dia untuk pilih kamar." "N-nona Mia ...." Terperangah wanita itu melihat wajah Arra. Tak persis sama tapi, entah dari sudut mana Arra sungguh seperti Mia. Dokter Andrew tersenyum. Tak hanya dia, Bibi Mery pun berpikir sama. "Bukan, Bi. Dia Arra,” ucap sang dokter. Mengangguk dan langsung menarik tangan Arra. "Ayo, Nona. Bibi antarkan ke atas." Pembantu sekaligus pengasuh Mia saat kecil itu menyambut hangat kedatangan Arra. Dia merasa menemukan tempat untuk melepaskan rindu pada Nona mudanya. "Kalau Nona bersedia, Nona bisa pilih kamar yang dahulu ditempati mendiang Nona Mia. Ini kamarnya." Bibi Mery membawa Arra ke kamar paling ujung, pintu berwana pink yang berbeda dari pintu kamar yang lain. Arra menggeleng cepat. "Tidak, Bi. Aku bukan Nona di rumah ini, aku hanya numpang. Tak pantas rasanya kalau aku pakai kamar ini." Bibi Mery tertawa kecil. "Tuan Andrew justru selalu menawarkan kamar ini pada teman wanita yang menginap di rumahnya. Katanya, agar tidak terlalu lama kosong." Mendengar itu, membuat penilaian Arra mengenai Dokter Andrew berubah seketika. Bukan apa-apa, hanya saja setelah ditipu mentah-mentah oleh si biadab Eiden, Arra menjadi was-was dan mudah curiga, termasuk pada Dokter Andrew. 'Apa Dokter Andrew ini tak sebaik yang aku kira?’BAB 30 "Arra, bolehkah aku memelukmu?" Arra merasakan dejavu saat Andrew berbisik di telinganya dari arah belakang. Bukan tanpa alasan Andrew melakukan itu, semua perlakuan manisnya sejak tadi adalah ide Dokter Cindy yang menyuruh agar lebih memperhatikan Arra. "Kalau bisa, berperan lah sebagai ayah untuk anak itu, karena sesungguhnya aku tidak bisa menjamin bayi itu sehat jika ibunya tidak bisa mengelola emosi." Kalimat Dokter Cindy terngiang di telinga Andrew. Pria itu tak ingin Arra terluka hatinya. Beberapa hari bersama dengan Arra, di balik kemarahan dan dendamnya, wanita itu adalah gadis baik yang jika dia kehilangan bayinya, pasti akan sedih dan terguncang. 'Ahhh aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.' Lalu beginilah yang terjadi, tidak hanya mengusap punggung Arra, Andrew juga memeluk wanita hamil itu seolah dia adalah bapak dari anak yang ada di dalam kandungannya. "Andrew, aku-" "Sstt ... Sudah, jangan banyak bicara, ayo cepat tidur, aku tidak akan berbu
BAB 29 Di kediaman Storm. Arra tak kunjung bisa tidur. Dia sudah mencoba berbagai posisi untuk bisa membuatnya segera pergi ke dalam mimpi. Namun hal itu, sama sekali tak membuahkan hasil. Dan pada akhirnya, wanita itu memilih untuk keluar dari kamar. Berjalan menuju lantai bawah lalu kemudian ke teras. Duduk di kursi depan, Arra melihat suasana kampung yang gelap sebab dia depan sana adalah hamparan sawah yang luas. "Hei ... Kenapa belum tidur?" Andrew berdiri di sisinya, mengusap puncak kepala gadis itu layaknya adik yang paling dia sayang. "Eh ... Dokter, kau belum tidur?!" Bukannya menjawab pertanyaan Andrew, Arra justru berbalik memberi pertanyaan. Pria itu tersenyum kecil, lalu mengambil tempat di seberang meja, bersebalahan dengan kursi Arra. Sama-sama memandangi persawahan warga yang gelap, keduanya terdiam dengan isi kepala yang berbeda. "Tumben kau tidak ke rumah sakit, Dokter." Arra yang membuka pembicaraan, wanita itu tak bisa terlalu lama saling diam se
BAB 28 Eiden memejamkan mata, perutnya lapar sejak tadi, dia sudah mencoba untuk makan di beberapa restoran saat dalam perjalanan pulang dari desa Werdho. Namun begitulah ... Tak satupun dari menu yang dia pesan bisa masuk dengan aman ke lambungnya. Semuanya dia muntahkan baru dalam suapan pertama. "Ini makanan yang anda minta, Tuan." Bi Hana sangat cekatan untuk soal makanan. Dia bisa memasak tiga kali lebih cepat dari orang pada umumnya. Selain karena dibantu oleh dua orang bawahannya, Bi Hana memang memiliki keterampilan khusus dalam mengolah sebuah masakan agar lebih cepat. Membuka mata, Eiden memperbaiki posisi duduknya. Melihat asap mengepul dari kuah sop yang Bi Hana bawa, Eiden merasa pasti aromanya akan penuh satu ruangan. "Kenapa kau membawanya ke sini?" Seketika pria itu menutupi hidungnya yang sudah memakai masker dengan tangannya. Trauma betul Eiden dengan masakan yang baru matang sebab aromanya selalu membuatnya ingin muntah. "Bukankah biasanya makanan an
BAB 27 Mobil sudah tiba di rumah sakit, namun begitu Andrew akan turun, rupanya wanita yang ada di sampingnya sedang tertidur pulas. Sibuk berkirim pesan dengan Dokter Mulan, Andrew lupa mengajak Arra mengobrol dan bahkan pria itu juga tak sadar bahwa Arra tertidur dengan kepala miring ke jendela. Membenarkan posisi kepala Arra, Andrew lantas menatap wajah yang terlelap itu. 'Kasihan kamu.' Menyelipkan anak rambut Arra ke telinga, Andrew tak tega jika harus membangunkan wanita itu. "Kembali ke rumah," ucapnya pada sopir. Tak lupa dia mengirim pesan pada Dokter Mulan, mengabari bahwa dia tak jadi ke rumah sakit. Selesai memberitahu Dokter Mulan, Andrew meletakkan kembali ponselnya. Dan saat dia menoleh ke samping, rupanya kepala Arra sudah miring lagi ke kaca. "Sebenarnya sudah berapa banyak hal yang kamu lewati? Bahkan dengan posisi begitu pun kau bisa tidur dengan nyenyak." Melihat kepala Arra yang miring dan bergerak akibat guncangan mobil, membuat Andrew merasa b
Arra 26 "Dokter, kau sekarang melamun." Kembali memberi pukulan, Arra sungguh gemas dengan Andrew yang sejak tadi bertingkah aneh dan menyebalkan. Entah sejak kapan, tapi sebelumnya pria ini tidak begitu. Lupakan kebodohan Andrew saat masuk kamar Arra dan melihatnya telanjang. "Oh astagaa ... Aku tidak melamun, Arra." Mengusap lengan yang tadi dipukul Arra. Sungguh! Mulai sekarang, Andrew harus mempekerjakan orang baru yang ahli mengurut badan di rumah. Bisa kaku otot-otot lengannya kalau Arra terus-terusan memukulnya seperti ini. "Kau melamun tadi," berkeras Arra. Jelas-jelas dia melihat Andrew tersenyum, meskipun samar dan singkat, tapi Arra melihatnya sekilas. "Iya, Arra sayang .., aku melamun. Maaf ya." Lagi dan lagi, Andrew seolah menjadi si pembuat onar yang setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyalah permintaan maaf akibat perbuatannya. 'Sayang? Dia memanggil sayang?' Arra memerah wajahnya. Namun karena tak ingin ketahuan oleh pria itu, dia buru-buru berbalik dan
Bab 25Sigap, sang dokter tampan berusaha menangkap tubuh Arra yang hampir terjatuh. Tapi respon cepatnya justru tak memperkirakan keseimbangannya sendiri. Alhasil keduanya jatuh dengan Arra yang menimpa tubuh Dokter Andrew.“Kau tidak apa-apa?” khawatir Andrew, matanya menatap Arra yang berada tepat di atasnya. 'Astaga, pose apa ini? dan kenapa pula jantungku jadi berisik? semoga Arra tidak mendengarnya.' Bukannya menjawab, Arra justru jadi salah tingkah. Langsung dia bangkit dan membelakangi sang dokter.‘Aataga! Bodohnya ... Kenapa aku bisa menimpa dia?!’ Arra menyesali kecerobohannya sendiri.“Arra, kau tidak apa-apa kan?” Sekarang Andrew sudah berdiri tepat di belakang Arra. Dia sungguh-sungguh khawatir dengan wanita itu. Maksud hati ingin membuat Arra bahagia, malah terjadi kecelakaan seperti ini.“Perutmu sakit? Atau ada bagian lain yang sakit?” tanya Andrew lagi.Namun Arra masih malu. Kecelakaan tadi sungguh membuat dia salah tingkah, menimpa tubuh Andrew yang artinya dada