BAB 7
‘Ah, sekalipun dia bukan pria baik, sepertinya dia hanya gila wanita. Bukan biadab yang tega membunuh orang seperti pria gila itu.' Arra bergumam dalam hati. Pria gila yang dia maksud tentu saja Eiden. Seseorang yang hampir membuatnya jatuh cinta namun seketika berubah menjadi benci. Bahkan teramat benci. Sebab menarik Arra ke dalam derita luar biasa dalam hidupnya. Arra menghela napas panjang, merasa sangat bodoh! Entah kenapa di setiap situasi, dia justru selalu membawa nama Eiden di pikirannya. Walau hanya sebatas membandingkan, tapi terus Arra mengingat pria itu tanpa dia sadari. "Bi ... Jangan paksa dia, biarkan Arra yang memilih sendiri. Lagipula, selama ini tak ada siapapun yang mau pakai kamar itu karena bekas orang mati." Tiba-tiba Andrew muncul, wajahnya terlihat sendu. "Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa tidak pantas memakai kamar ini, karena aku bukan Mia, gadis kecil yang kalian sayang." Arra menunduk, dia tak berani menatap Andrew maupun Bi Mery. "Ayo masuk dulu, kau lihat ke dalam seperti apa wajah Nona Mia." Bibi Mery membawa Arra masuk ke kamar itu setelah dia membukanya. Andrew menatap dalam diam kemudian berlalu setelah punggung Arra hilang bersama dengan Bibi Mery. Arra dibuat takjub dengan dekorasi kamar dengan nuansa pink itu. Pandangannya jatuh pada foto dengan bingkai yang juga berwarna pink di atas nakas. "I-ini?" Arra takjub melihat wajah di foto itu. Dia seperti melihat dirinya sendiri dengan warna dan model rambut yang berbeda. "Ya. Ini foto Nona Mia dan yang di sebelahnya adalah kekasihnya. Tuan Andrew selalu menyalahkan dirinya atas kematian adiknya. Itu sebabnya, dia jarang pulang ke rumah ini." Bibi Mery menyentuh wajah Mia yang tersenyum lebar dalam foto itu. Gadis itu mengenakan dress berwana pink dengan rambut hitamnya yang pendek sebahu. "Kenapa?" Arra menatap Bi Mery yang wajahnya berubah mendung. "Karena Nona Mia mengakhiri hidupnya dengan memotong urat nadi di pergelangan tangannya di rumah ini. Dia meninggalkan catatan di ponselnya, agar setelah kematiannya, Tuan Andrew tetap harus melanjutkan hidupnya dengan baik. Tapi begitulah! Tuan Andrew memang melanjutkan hidup, namun hidupnya dia dedikasikan untuk membantu orang-orang." Bibi Mery mulai bercerita. "Termasuk aku?" Arra meletakkan figura itu di tempatnya semula. Bibi Mery mengangguk, matanya penuh dengan genangan bening yang sekali berkedip akan langsung jatuh. "Tuan Andrew jarang pulang, karena setiap dia masuk ke rumah ini, tepatnya di kamar ini, dia teringat adiknya yang bersimbah darah dan sudah tak bernyawa." "Tuan Andrew selalu bermalam di rumah sakit. Sekalinya pulang, dia hanya tidur di sofa bawah.” "Berarti mereka sangat dekat, ya, Bi?" tanya Arra. "Ya, mereka sangat amat dekat. Dan hampir setiap hari, meja makan selalu ramai meski hanya ada mereka berdua." Bibi Mery tersenyum, mengenang kebersamaan antara Tuan Andrew dan Nona mudanya, Mia. "Ketika Nona Mia akan kuliah, Tuan pasti menyempatkan mengantarkannya. Kalau Nona Mia tidak mau, Tuan Andrew akan memaksa," cerita Bibi Mery disertai kekehan. Arra turut tersenyum, seolah bisa merasakan kehangatan hubungan kakak beradik itu. "Sebenarnya ... Seminggu sebelum meninggal, Nona Mia selalu merengek agar Tuan Andrew pulang, tapi Tuan Andrew sangat sibuk. Saat itu, bangunan di bagian belakang rumah sakit runtuh, banyak pasien yang menjadi korban dan meninggal, bahkan beberapa tim medis juga. Rumah sakit sangat kacau, Tuan Andrew mengurus itu. Dia bolak balik dari rumah sakit ke pengadilan karena ada keluarga korban yang menuntut atas kecelakaan itu." Kembali mata Bibi Mery berkaca-kaca. "Lalu Mia?" Arra kini penasaran kenapa Mia sampai mengakhiri hidupnya. "Apakah karena diabaikan oleh kakaknya, dia bunuh diri?" desak Arra. "Tidak! Bukan itu! Alasan Nona bunuh diri yang menjadikan Tuan Andrew selalu menyalahkan dirinya." Jatuh sudah air mata Bibi Mery sekarang. Arra diam, menunggu kelanjutan ceritanya kendati dia tidak sabar. "Nona Mia hamil, dan Tuan Andrew tahu itu setelah jasad adiknya dikubur. Dia menemukan tespek di tempat sampah di kamar ini." Kaget, Arra sampai menutup mulutnya. Ucapan Dokter Andrew saat di rumah sakit tadi seketika terngiang di telinganya. ("Aku akan membantumu, Nona. Jangan berpikir untuk mengakhiri hidupmu karena masalah ini. Bunuh diri bukan solusi, tapi justru awal dari penderitaan.”) “Pantas tadi dia bicara begitu. Ternyata yang menderita justru adalah dia ... Orang yang ditinggalkan.” Kini Arra mengerti, kenapa saat di rumah sakit tadi Dokter Andrew bersikukuh mengajaknya tinggal di rumahnya. Pria itu juga berulang kali mengatakan akan membantu Arra dan tak akan membiarkan Arra sendirian. "Oh Tuhan ... Kasihan sekali Mia." Berkaca mata Arra sekarang. Kalau saja dia punya keberanian seperti gadis itu, Arra juga ingin memilih untuk meninggalkan dunia ini. Tapi dia terlalu pengecut meski dia yakin tak akan ada seorang pun yang akan menderita selepas kepergiannya. "Bi ... Bisa tolong tinggalkan aku sendiri? Aku ingin mandi." Arra tiba-tiba bangkit dari duduknya. "Tentu, Nona. Bibi akan siapkan makan malam untuk Nona dan Tuan Andrew." Bibi Mery menyeka air matanya. Jika bercerita tentang Mia, dia tak pernah bisa menahan air mata. **** "Bi ... Bagaimana Arra? Jadi ambil kamar itu?" Andrew langsung memberondong Bi Mery dengan pertanyaan saat melihat asisten rumah tangganya itu turun dari lantai atas. "Iya. Sekarang Nona Arra ingin sendiri, katanya mau mandi," jawab Bibi Mery. Tapi jawaban itu, justru membuat ponsel Andrew terjatuh dari tangannya. Pria itu bergegas lari menaiki tangga. Dia langsung membuka pintu kamar Arra dan masuk ke dalam. "Arra!" Melotot pria itu saat melihat Arra di dalam sana.BAB 30 "Arra, bolehkah aku memelukmu?" Arra merasakan dejavu saat Andrew berbisik di telinganya dari arah belakang. Bukan tanpa alasan Andrew melakukan itu, semua perlakuan manisnya sejak tadi adalah ide Dokter Cindy yang menyuruh agar lebih memperhatikan Arra. "Kalau bisa, berperan lah sebagai ayah untuk anak itu, karena sesungguhnya aku tidak bisa menjamin bayi itu sehat jika ibunya tidak bisa mengelola emosi." Kalimat Dokter Cindy terngiang di telinga Andrew. Pria itu tak ingin Arra terluka hatinya. Beberapa hari bersama dengan Arra, di balik kemarahan dan dendamnya, wanita itu adalah gadis baik yang jika dia kehilangan bayinya, pasti akan sedih dan terguncang. 'Ahhh aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.' Lalu beginilah yang terjadi, tidak hanya mengusap punggung Arra, Andrew juga memeluk wanita hamil itu seolah dia adalah bapak dari anak yang ada di dalam kandungannya. "Andrew, aku-" "Sstt ... Sudah, jangan banyak bicara, ayo cepat tidur, aku tidak akan berbu
BAB 29 Di kediaman Storm. Arra tak kunjung bisa tidur. Dia sudah mencoba berbagai posisi untuk bisa membuatnya segera pergi ke dalam mimpi. Namun hal itu, sama sekali tak membuahkan hasil. Dan pada akhirnya, wanita itu memilih untuk keluar dari kamar. Berjalan menuju lantai bawah lalu kemudian ke teras. Duduk di kursi depan, Arra melihat suasana kampung yang gelap sebab dia depan sana adalah hamparan sawah yang luas. "Hei ... Kenapa belum tidur?" Andrew berdiri di sisinya, mengusap puncak kepala gadis itu layaknya adik yang paling dia sayang. "Eh ... Dokter, kau belum tidur?!" Bukannya menjawab pertanyaan Andrew, Arra justru berbalik memberi pertanyaan. Pria itu tersenyum kecil, lalu mengambil tempat di seberang meja, bersebalahan dengan kursi Arra. Sama-sama memandangi persawahan warga yang gelap, keduanya terdiam dengan isi kepala yang berbeda. "Tumben kau tidak ke rumah sakit, Dokter." Arra yang membuka pembicaraan, wanita itu tak bisa terlalu lama saling diam se
BAB 28 Eiden memejamkan mata, perutnya lapar sejak tadi, dia sudah mencoba untuk makan di beberapa restoran saat dalam perjalanan pulang dari desa Werdho. Namun begitulah ... Tak satupun dari menu yang dia pesan bisa masuk dengan aman ke lambungnya. Semuanya dia muntahkan baru dalam suapan pertama. "Ini makanan yang anda minta, Tuan." Bi Hana sangat cekatan untuk soal makanan. Dia bisa memasak tiga kali lebih cepat dari orang pada umumnya. Selain karena dibantu oleh dua orang bawahannya, Bi Hana memang memiliki keterampilan khusus dalam mengolah sebuah masakan agar lebih cepat. Membuka mata, Eiden memperbaiki posisi duduknya. Melihat asap mengepul dari kuah sop yang Bi Hana bawa, Eiden merasa pasti aromanya akan penuh satu ruangan. "Kenapa kau membawanya ke sini?" Seketika pria itu menutupi hidungnya yang sudah memakai masker dengan tangannya. Trauma betul Eiden dengan masakan yang baru matang sebab aromanya selalu membuatnya ingin muntah. "Bukankah biasanya makanan an
BAB 27 Mobil sudah tiba di rumah sakit, namun begitu Andrew akan turun, rupanya wanita yang ada di sampingnya sedang tertidur pulas. Sibuk berkirim pesan dengan Dokter Mulan, Andrew lupa mengajak Arra mengobrol dan bahkan pria itu juga tak sadar bahwa Arra tertidur dengan kepala miring ke jendela. Membenarkan posisi kepala Arra, Andrew lantas menatap wajah yang terlelap itu. 'Kasihan kamu.' Menyelipkan anak rambut Arra ke telinga, Andrew tak tega jika harus membangunkan wanita itu. "Kembali ke rumah," ucapnya pada sopir. Tak lupa dia mengirim pesan pada Dokter Mulan, mengabari bahwa dia tak jadi ke rumah sakit. Selesai memberitahu Dokter Mulan, Andrew meletakkan kembali ponselnya. Dan saat dia menoleh ke samping, rupanya kepala Arra sudah miring lagi ke kaca. "Sebenarnya sudah berapa banyak hal yang kamu lewati? Bahkan dengan posisi begitu pun kau bisa tidur dengan nyenyak." Melihat kepala Arra yang miring dan bergerak akibat guncangan mobil, membuat Andrew merasa b
Arra 26 "Dokter, kau sekarang melamun." Kembali memberi pukulan, Arra sungguh gemas dengan Andrew yang sejak tadi bertingkah aneh dan menyebalkan. Entah sejak kapan, tapi sebelumnya pria ini tidak begitu. Lupakan kebodohan Andrew saat masuk kamar Arra dan melihatnya telanjang. "Oh astagaa ... Aku tidak melamun, Arra." Mengusap lengan yang tadi dipukul Arra. Sungguh! Mulai sekarang, Andrew harus mempekerjakan orang baru yang ahli mengurut badan di rumah. Bisa kaku otot-otot lengannya kalau Arra terus-terusan memukulnya seperti ini. "Kau melamun tadi," berkeras Arra. Jelas-jelas dia melihat Andrew tersenyum, meskipun samar dan singkat, tapi Arra melihatnya sekilas. "Iya, Arra sayang .., aku melamun. Maaf ya." Lagi dan lagi, Andrew seolah menjadi si pembuat onar yang setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyalah permintaan maaf akibat perbuatannya. 'Sayang? Dia memanggil sayang?' Arra memerah wajahnya. Namun karena tak ingin ketahuan oleh pria itu, dia buru-buru berbalik dan
Bab 25Sigap, sang dokter tampan berusaha menangkap tubuh Arra yang hampir terjatuh. Tapi respon cepatnya justru tak memperkirakan keseimbangannya sendiri. Alhasil keduanya jatuh dengan Arra yang menimpa tubuh Dokter Andrew.“Kau tidak apa-apa?” khawatir Andrew, matanya menatap Arra yang berada tepat di atasnya. 'Astaga, pose apa ini? dan kenapa pula jantungku jadi berisik? semoga Arra tidak mendengarnya.' Bukannya menjawab, Arra justru jadi salah tingkah. Langsung dia bangkit dan membelakangi sang dokter.‘Aataga! Bodohnya ... Kenapa aku bisa menimpa dia?!’ Arra menyesali kecerobohannya sendiri.“Arra, kau tidak apa-apa kan?” Sekarang Andrew sudah berdiri tepat di belakang Arra. Dia sungguh-sungguh khawatir dengan wanita itu. Maksud hati ingin membuat Arra bahagia, malah terjadi kecelakaan seperti ini.“Perutmu sakit? Atau ada bagian lain yang sakit?” tanya Andrew lagi.Namun Arra masih malu. Kecelakaan tadi sungguh membuat dia salah tingkah, menimpa tubuh Andrew yang artinya dada