BAB 5
Merasa hidupnya terancam, wanita itu buru-buru keluar dari kamar. Tidak hanya keluar kamar, Arra bertekad untuk pergi dari mansion detik ini juga. Marah ... Tentu saja Arra marah bahkan teramat, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Arra masih lebih sayang nyawanya untuk melakukan balas dendam sekarang. Arra berniat untuk mengumpulkan uang yang banyak, lalu pada akhirnya saat dirinya sudah memiliki kuasa dan uang, ia akan datang lagi menuntut balas akan kematian orang tuanya. “Nona mau kemana?” Security yang melihat Arra hendak keluar gerbang, menghampiri. “Aku ingin membeli beberapa camilan, bisa tolong bukakan pintu gerbangnya?” Arra sebisa mungkin bersikap normal. Kesedihan, kemarahan dan kekecewaannya dia tutupi dengan senyuman. Melihat keraguan di wajah security itu, Arra langsung bicara lagi, “Eiden sudah memberi izin, justru kau akan dapat masalah jika tidak membuka gerbangnya. Bosmu sedang banyak pekerjaan, jadi dia tidak bisa mengantarku seperti biasa.” Security itu pun dengan segera membuka gerbang, tak ingin mendapat masalah seperti yang Arra bilang. Tiba di luar, Arra berjalan ke arah supermarket yang memang tidak jauh dari sana, namun setibanya di depan supermarket, Arra bukan masuk ke dalam, dia justru menyetop taksi dan pergi dari sana. “Shit ... Aku baru sadar bahwa dia melarangku pergi dari mansionnya hanya agar dia lebih mudah mengawasiku. Dan betapa bodohnya, aku baru menyadari itu sekarang.” “Mau ke mana, Nona?” Sopir taksi mengembalikan atensinya yang mengembara pada seminggu yang sudah Arra lalui di mansion Eiden. Arra menyebutkan nama apartemennya. Dia kembali ke sana bukan untuk tinggal, melainkan hanya untuk mengambil beberapa baju agar bisa pergi jauh dari kota ini sebelum Eiden menyadari bahwa dia sudah kabur dari mansionnya. Arra harus bergerak cepat sebelum orang suruhan Eiden berhasil menyusulnya seperti waktu lalu. Belajar dari pengalaman saat dia kabur setelah menghabiskan malam bersama pria jahat itu, Arra berhasil ditemukan dan dibawa ke mansion pria itu. Arra merasa bahwa ia tak bisa tetap tinggal di kota yang sama dengan orang yang mengincar nyawanya. Terlebih, sampai saat ini Arra belum tahu bagaimana nasib sang ayah yang jasadnya tak juga ditemukan. Entah ayahnya juga sudah tiada, atau justru disekap oleh pria jahat itu. Tak ada lagi penilaian baik dari Arra untuk Eiden. Kendati selama seminggu ini pria itu memperlakukannya dengan sangat istimewa, tapi Arra kini menyadari semua itu semata-mata untuk menutupi kejahatannya. Selesai berkemas, Arra lantas memesan taksi, menggunakan sisa uang yang dia punya, Arra pergi ke stasiun. Dengan menggunakan kereta, dia meninggalkan kota tersebut. Arra akan pulang ke kampung halaman ibunya di pedesaan. “Maafkan aku, Bu. Aku terpaksa pergi.” “Aku yakin ibu mengerti kondisiku sekarang. Jika ibu masih hidup, ibu pasti sudah menyuruhku untuk pergi demi keselamatanku, kan?” Air mata Arra jatuh terlebih saat dia sadar bahwa setelah ini, dia tak kan bisa mengunjungi makam ibunya lagi. Sepanjang perjalanan, Arra hanya terus menangis, dia tak peduli dengan tatapan beberapa penumpang kereta lain yang diam-diam melirik padanya. Sekarang kereta tiba di stasiun, Arra hanya perlu naik taksi ke alamat rumah neneknya. Namun baru tiba di gang yang menuju ke rumah sang nenek, ia melihat banyak orang berkumpul dan beberapa orang berjalan tergesa-gesa menuju ke rumah neneknya. Arra lantas menghentikan salah seorang yang baru lewat di sampingnya. “Maaf ... Itu di sana ada apa? Kenapa ramai sekali?” “Nenek Shopia ditemukan meninggal di dalam rumahnya. Sekarang masih dievakuasi oleh petugas. Sayangnya anak satu-satunya yang berada di kota tidak bisa dihubungi,” ucap orang itu. Arra merasa tubuhnya kembali lemas, namun ia berusaha untuk tidak menunjukkannya. Jelas anaknya Nenek Shopia tidak bisa dihubungi, sebab ia sudah meninggal seminggu yang lalu. “Tuhan ... Bahkan nenek pun tidak luput dari kekejian mereka.” Arra kini berbalik. Dia rasa kampung halaman neneknya bukanlah tempat yang tepat untuk dijadikan persembunyiannya, sebab orang-orang suruhan Eiden rupanya sudah mengetahui semua tentang dirinya. Arra terpaksa berbalik pergi, dia khawatir keberadaannya diketahui oleh orang-orang suruhan Eiden atau bahkan oleh pria itu. Arra berjalan dengan menarik koper besar di tangannya, dia tak punya tujuan sekarang. Sampai tiba-tiba ponselnya berdering dan rupanya itu adalah rekan kerjanya yang menanyakan kemana dia satu Minggu ini tidak pernah masuk kerja? Arra mengatakan bahwa dia memiliki urusan keluarga di kampung, dan kemungkinan ia tak kan bisa bekerja lagi sebab dia akan menetap di kampung. Obrolan singkat itu berakhir setelah temannya mengatakan bahwa dia akan membantu Arra jika wanita itu memiliki masalah. Arra tentu saja berterima kasih untuk itu, namun dia tidak mengatakan masalahnya yang sebenarnya. Arra tidak tahu sudah berapa lama ia berjalan, dia juga tak memerhatikan sudah berapa jauh dia melangkah, dia benar-benar tak memiliki tujuan. Saat merasa kakinya cukup pegal dan perutnya terasa keroncongan, dia memutuskan untuk berhenti di sebuah bangku taman yang di pinggir taman itu ada banyak orang berjualan makanan. Arra melihat penjual pirozhki yang berada tak jauh dari tempat duduknya, ia teringat ibunya membuatkan makanan itu terakhir kali saat dia berkunjung. Arra lantas memesan itu untuk mengganjal perutnya yang sejak kabur dari mansion Eiden, belum diisi sama sekali. “Terimakasih,” ucapnya ramah saat pedagang yang sudah cukup tua itu mengantarkan pesanannya. Arra mengamati bentuk pirozhki di tangannya, seketika wajah ibunya yang sedang tersenyum berkelebat dalam ingatannya. Arra lantas memotong roti itu menjadi dua bagian, menampakkan isian dari pirozhki yang begitu penuh dan menggugah selera. Terlebih aroma daging bercampur dengan bumbu di dalamnya yang semakin menguar saat roti itu dibuka. “Hmmppp ....” Arra lekas menutup mulutnya saat dia tiba-tiba merasa ingin muntah begitu mencium aroma makanan itu. Arra juga merasa kepalanya tiba-tiba pusing, aroma daging giling, kentang tumbuk, jamur, dengan daun bawang yang seharusnya membuat selera makannya bertambah justru kini membuat perutnya ingin muntah. Arra pun segera membayar makanan itu dan lekas pergi dari sana. Namun baru beberapa langkah ia keluar meninggalkan taman, tubuhnya limbung dan Arra jatuh pingsan. **** Arra terbangun dalam kamar bernuansa putih dan berbau obat-obatan. Dia sangat hapal dengan aroma ini, ini adalah rumah sakit. Arra melihat sekitar, tidak ada siapapun yang di sekitarnya. Arra takut Eiden atau anak buahnya akan mengetahui keberadaannya, jadi dia harus segera pergi dari rumah sakit ini. Namun baru saja dia turun dari ranjang, seseorang datang dan menyapanya. “Akhirnya kau siuman juga.” Arra menoleh dan mendapati pria berseragam dokter berjalan ke arahnya. “Ya, aku sudah sehat dan harus segera pergi. Terima kasih anda sudah menolongku.” Arra tak mau terlalu lama berada di rumah sakit. Sekali lagi dia takut kalau sampai Eiden berhasil menemukannya. Dokter yang wajahnya terlihat tampan itu, tersenyum pada Arra. “Kau memang tidak sedang sakit, tapi kurasa kau perlu vitamin agar bayimu tumbuh sehat.” Arra yang semula sibuk memegangi tasnya, seketika berhenti mendengar ucapan sang dokter. “A-apa?! Bayi?” Arra berbalik, tercetak jelas keterkejutan di wajahnya. “Ya. Selamat! Kau akan jadi ibu, Nona. Usia kehamilanmu baru satu minggu.”BAB 30 "Arra, bolehkah aku memelukmu?" Arra merasakan dejavu saat Andrew berbisik di telinganya dari arah belakang. Bukan tanpa alasan Andrew melakukan itu, semua perlakuan manisnya sejak tadi adalah ide Dokter Cindy yang menyuruh agar lebih memperhatikan Arra. "Kalau bisa, berperan lah sebagai ayah untuk anak itu, karena sesungguhnya aku tidak bisa menjamin bayi itu sehat jika ibunya tidak bisa mengelola emosi." Kalimat Dokter Cindy terngiang di telinga Andrew. Pria itu tak ingin Arra terluka hatinya. Beberapa hari bersama dengan Arra, di balik kemarahan dan dendamnya, wanita itu adalah gadis baik yang jika dia kehilangan bayinya, pasti akan sedih dan terguncang. 'Ahhh aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.' Lalu beginilah yang terjadi, tidak hanya mengusap punggung Arra, Andrew juga memeluk wanita hamil itu seolah dia adalah bapak dari anak yang ada di dalam kandungannya. "Andrew, aku-" "Sstt ... Sudah, jangan banyak bicara, ayo cepat tidur, aku tidak akan berbu
BAB 29 Di kediaman Storm. Arra tak kunjung bisa tidur. Dia sudah mencoba berbagai posisi untuk bisa membuatnya segera pergi ke dalam mimpi. Namun hal itu, sama sekali tak membuahkan hasil. Dan pada akhirnya, wanita itu memilih untuk keluar dari kamar. Berjalan menuju lantai bawah lalu kemudian ke teras. Duduk di kursi depan, Arra melihat suasana kampung yang gelap sebab dia depan sana adalah hamparan sawah yang luas. "Hei ... Kenapa belum tidur?" Andrew berdiri di sisinya, mengusap puncak kepala gadis itu layaknya adik yang paling dia sayang. "Eh ... Dokter, kau belum tidur?!" Bukannya menjawab pertanyaan Andrew, Arra justru berbalik memberi pertanyaan. Pria itu tersenyum kecil, lalu mengambil tempat di seberang meja, bersebalahan dengan kursi Arra. Sama-sama memandangi persawahan warga yang gelap, keduanya terdiam dengan isi kepala yang berbeda. "Tumben kau tidak ke rumah sakit, Dokter." Arra yang membuka pembicaraan, wanita itu tak bisa terlalu lama saling diam se
BAB 28 Eiden memejamkan mata, perutnya lapar sejak tadi, dia sudah mencoba untuk makan di beberapa restoran saat dalam perjalanan pulang dari desa Werdho. Namun begitulah ... Tak satupun dari menu yang dia pesan bisa masuk dengan aman ke lambungnya. Semuanya dia muntahkan baru dalam suapan pertama. "Ini makanan yang anda minta, Tuan." Bi Hana sangat cekatan untuk soal makanan. Dia bisa memasak tiga kali lebih cepat dari orang pada umumnya. Selain karena dibantu oleh dua orang bawahannya, Bi Hana memang memiliki keterampilan khusus dalam mengolah sebuah masakan agar lebih cepat. Membuka mata, Eiden memperbaiki posisi duduknya. Melihat asap mengepul dari kuah sop yang Bi Hana bawa, Eiden merasa pasti aromanya akan penuh satu ruangan. "Kenapa kau membawanya ke sini?" Seketika pria itu menutupi hidungnya yang sudah memakai masker dengan tangannya. Trauma betul Eiden dengan masakan yang baru matang sebab aromanya selalu membuatnya ingin muntah. "Bukankah biasanya makanan an
BAB 27 Mobil sudah tiba di rumah sakit, namun begitu Andrew akan turun, rupanya wanita yang ada di sampingnya sedang tertidur pulas. Sibuk berkirim pesan dengan Dokter Mulan, Andrew lupa mengajak Arra mengobrol dan bahkan pria itu juga tak sadar bahwa Arra tertidur dengan kepala miring ke jendela. Membenarkan posisi kepala Arra, Andrew lantas menatap wajah yang terlelap itu. 'Kasihan kamu.' Menyelipkan anak rambut Arra ke telinga, Andrew tak tega jika harus membangunkan wanita itu. "Kembali ke rumah," ucapnya pada sopir. Tak lupa dia mengirim pesan pada Dokter Mulan, mengabari bahwa dia tak jadi ke rumah sakit. Selesai memberitahu Dokter Mulan, Andrew meletakkan kembali ponselnya. Dan saat dia menoleh ke samping, rupanya kepala Arra sudah miring lagi ke kaca. "Sebenarnya sudah berapa banyak hal yang kamu lewati? Bahkan dengan posisi begitu pun kau bisa tidur dengan nyenyak." Melihat kepala Arra yang miring dan bergerak akibat guncangan mobil, membuat Andrew merasa b
Arra 26 "Dokter, kau sekarang melamun." Kembali memberi pukulan, Arra sungguh gemas dengan Andrew yang sejak tadi bertingkah aneh dan menyebalkan. Entah sejak kapan, tapi sebelumnya pria ini tidak begitu. Lupakan kebodohan Andrew saat masuk kamar Arra dan melihatnya telanjang. "Oh astagaa ... Aku tidak melamun, Arra." Mengusap lengan yang tadi dipukul Arra. Sungguh! Mulai sekarang, Andrew harus mempekerjakan orang baru yang ahli mengurut badan di rumah. Bisa kaku otot-otot lengannya kalau Arra terus-terusan memukulnya seperti ini. "Kau melamun tadi," berkeras Arra. Jelas-jelas dia melihat Andrew tersenyum, meskipun samar dan singkat, tapi Arra melihatnya sekilas. "Iya, Arra sayang .., aku melamun. Maaf ya." Lagi dan lagi, Andrew seolah menjadi si pembuat onar yang setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyalah permintaan maaf akibat perbuatannya. 'Sayang? Dia memanggil sayang?' Arra memerah wajahnya. Namun karena tak ingin ketahuan oleh pria itu, dia buru-buru berbalik dan
Bab 25Sigap, sang dokter tampan berusaha menangkap tubuh Arra yang hampir terjatuh. Tapi respon cepatnya justru tak memperkirakan keseimbangannya sendiri. Alhasil keduanya jatuh dengan Arra yang menimpa tubuh Dokter Andrew.“Kau tidak apa-apa?” khawatir Andrew, matanya menatap Arra yang berada tepat di atasnya. 'Astaga, pose apa ini? dan kenapa pula jantungku jadi berisik? semoga Arra tidak mendengarnya.' Bukannya menjawab, Arra justru jadi salah tingkah. Langsung dia bangkit dan membelakangi sang dokter.‘Aataga! Bodohnya ... Kenapa aku bisa menimpa dia?!’ Arra menyesali kecerobohannya sendiri.“Arra, kau tidak apa-apa kan?” Sekarang Andrew sudah berdiri tepat di belakang Arra. Dia sungguh-sungguh khawatir dengan wanita itu. Maksud hati ingin membuat Arra bahagia, malah terjadi kecelakaan seperti ini.“Perutmu sakit? Atau ada bagian lain yang sakit?” tanya Andrew lagi.Namun Arra masih malu. Kecelakaan tadi sungguh membuat dia salah tingkah, menimpa tubuh Andrew yang artinya dada