Carol datang ke kantor Harold Times untuk bertemu dengan adik tirinya. Sejak ayahnya meninggal, hanya dia yang bersedia mengelola perusahaan peninggalan keluarga Dustin itu. Perusahaan penerbitan surat kabar yang telah hampir satu abad berdiri di kota Amberfest.
Ruangan adik tiri Carol cukup nyaman. Nuansa merah maroon bercampur dengan hijau muda seperti warna natal menjadi interior yang hangat. Berbanding terbalik dengan misi perusahaan yang mencari berita panas setiap harinya tanpa mengenal takut. Ia menyusuri setiap sudut ruangan mewah itu, mencari sesuatu yang bisa ditelusurinya. Tak ada, tak banyak harapan lagi. "Ah, kau datang kemari? Ada apa?" Erik Dustin, pemilik ruangan sekaligus adik tiri Carol masuk dan menyapanya. "Aku, sedang ingin saja ke sini." Carol berbalik menuju kursi kebesaran Erik di dekat jendela besar sana. Ia duduk setelah dipersilakan oleh pria itu. "Aku ingin bercerita padamu." Erik mengerutkan dahinya membiarkan wanita cantik di depannya ini memulai pembicaraan lebih dulu. Carol terlihat lelah. Kantung mata dan kerutan di pipinya sangat jelas terlihat. Mungkinkah ini ada kaitannya dengan isu kedekatan Henry dan sekretarisnya? "Tentang? Ini, masalah pribadimu?" Carol mengangguk. Ia dengan santainya mengibas rambut panjang hitamnya yang cantik. "Ceritakan saja." "Aku telah resmi bercerai. Tadi pagi Henry mendaftarkan perceraian itu dan aku menerimanya siang ini." Carol memamerkan sebuah map yang diyakini Erik sebagai salinan surat perceraian miliknya. "Aku pindah ke apartemen pemberian ayah, lalu aku mengundurkan diri dari Deluxe corp hari ini. Aku—" "Kau membutuhkan pekerjaan?" Carol menganggukkan kepalanya. "Aku bisa membantumu. Kau masih punya bagian di perusahaan ini. Ah, atau kau mau aku rekomendasikan bekerja di perusahaan yang sama dengan milik suamimu?" "Maksudmu?" Carol mencebikkan bibirnya. "Kau kan biasa bekerja di perusahaan kontraktor, aku mau merekomendasikanmu bekerja di Genius group. Mereka memiliki banyak anak perusahaan. Itupun kalau kau mau. Kalau tidak, aku akan memberikan sebuah jabatan padamu. Kebetulan aku membutuhkan sekretaris tambahan. Bagaimana?" tawar Erik. Penawaran yang diberikan Erik cukup menarik. Carol menyukainya. Baginya, ada pekerjaan sudah cukup untuk meneruskan hidupnya. Carol mengangguk. Tak masalah ia ditempatkan di bagian manapun. "Tidak masalah. Aku mau jadi sekretarismu," ujar Carol diakhiri dengan senyuman manisnya. "Baiklah, kau boleh bekerja mulai besok. Aku akan siapkan meja kerja untukmu." Carol berdiri dari duduknya. Ia mengucapkan terima kasih pada Erik lalu berpamitan pergi karena ingin pulang dan istirahat di apartemennya hari ini. Erik diam-diam menghubungi seseorang yang telah menunggu status resmi dari Carol. "Dia telah bercerai." *** Carol itu wanita sederhana. Ia hanya ingin bekerja, memiliki karir sendiri tanpa menggantungkan hidupnya pada seorang pria. Jadi, ketika ia diceraikan oleh Henry, Carol tak menangis. Ia hanya tak suka dengan caranya mencampakkan dirinya. Memangnya dia wanita jalanan? Duduk sendirian di apartemen besar dan mewah miliknya tak membuat hati Carol bahagia. Kemewahan yang hanya bisa dimiliki olehnya, bukan hatinya. Ponsel Carol bergetar. Nama Erik tertera jelas di layarnya. "Halo." Carol menjawabnya. [Kau datanglah besok pagi. Jangan sampai telat. Besok akan ada rapat bulanan pemegang saham. Kau harus ikut karena memiliki saham di Harold.] "Baiklah. Aku akan datang pagi. Ada lagi?" [Bersiaplah, malam ini aku akan menjemputmu ke sebuah pesta. Akan ku kenalkan kau dengan seseorang. Pakailah gaun pesta yang cantik] "Uhm, baiklah. Aku menunggumu." Setelah mendapat informasi dari Erik, Carol bergegas ke kamarnya. Ia membuka koper besar yang dibawanya dari rumah besar Henry. Ia pun membereskan pakaiannya dan memasukkannya ke dalam lemari besar di kamar itu. "Tak terlalu buruk. Aku membenci perselingkuhan, aku tak akan biarkan pria itu bahagia setelah menghancurkanku. Saatnya membalas dendam." *** Henry membawa Lucy, wanita yang diketahui tengah dekat dengan dirinya ke sebuah pesta pertemuan dengan para pengusaha sukses yang menguasai negara ini. Henry harus mendekati mereka agar perusahaan yang telah susah payah dibangunnya tak akan menjadi sia-sia. Dulu, sewaktu Henry masih memiliki Carol di sisinya, ia tak pernah membawa wanita itu bersamanya mengunjungi pesta. Henry tak ingin wanita itu lebih tinggi darinya. Sudah jadi bahan perbincangan dimanapun jika Deluxe corp memiliki seorang konsultan hebat yang pandai bernegosiasi dengan siapapun. Yang paling sulit adalah Damian Easton. "Lihat itu." Henry menunjuk ke arah pria berjas biru tua. "Itu adalah tuan Domsley. Dia adalah pemilik perusahaan telekomunikasi terbesar di Amberfest." "Kau ingin mendekatinya?" Henry menyunggingkan senyum misterius. Lucy menggelengkan kepalanya. "Sepertinya sulit. Dia selalu pilih-pilih teman bicara." Lucy pesimis bisa mendekatinya. Tuan Domsley adalah pengusaha berdarah bangsawan yang terkenal di kota Amberfest. Dia sangat terhormat. Tak banyak orang bisa berinteraksi dengannya kecuali orang-orang penting yang mempunyai banyak keuntungan. Suasana pesta semakin meriah. Menjelang acara utama, pintu ruangan kembali terbuka. Pertanda seseorang akan memasuki gedung pertemuan ini. Henry dan Lucy menoleh bersamaan, penasaran dengan sosok tamu yang datang. "Astaga, itu tuan Damian yang tersohor," pekik gadis-gadis yang sengaja hadir di pesta itu. Semua mata memandang ke arah Damian tanpa berkedip sedikitpun. Pujaan para wanita masa kini. "Damian Easton?" gumam Henry. "Tidak biasanya dia datang ke pesta seperti ini." "Mungkin dia ingin merasakan suasana berbeda," bisik Lucy. Tak lama kemudian di belakangnya menyusul Erik Dustin beserta seorang wanita cantik yang sepertinya tak asing. Dia memakai gaun hitam dengan belahan kaki dan punggung yang indah dipandang. Henry tak sadar sebelumnya hingga Lucy menepuk bahunya lalu berbisik, "Itu Carol." "Carol? Datang ke pesta pertemuan pengusaha?" Henry bicara pada dirinya sendiri. Ia tak percaya jika wanita yang dilihatnya itu adalah mantan istrinya yang baru saja diceraikan siang tadi. "Kau terpesona?" tanya Lucy sinis. "Tidak, aku hanya—" "Damian Easton, selamat datang. Ah, kau Erik Dustin? Apa kabar?" teriakan tuan Domsley terdengar jelas hingga memenuhi ruangan pesta. Henry menggeram. Tadi dirinya mencoba untuk mendekati tuan Domsley tapi dia menjaga jarak. Ternyata dia cukup dekat dengan Erik Dustin yang tak seberapa itu. 'Dia coba mempermainkanku.'Carol merasa aura ketegangan tercipta di ruangan Damian saat suaminya itu tengah berdiskusi dengan asistennya. Mereka membicarakan tentang projek untuk membuat para pemimpin cabang melaksanakan perintah pusat. Ada juga rencana untuk menurunkan Marco dari jabatannya setelah semua berkas selesai dikumpulkan. Istri Damian itu berdiri lalu duduk dipangkuan Damian. Suaminya yang gila kerja itu tak menolak sama sekali. Ia malah mengeratkan pelukan di pinggang sang istri. Sesekali tangannya dikecup hanya sekedar untuk memberinya semangat. "Strategi itu kurang menarik. Damian, kalau aku boleh usul, kau bisa gunakan salah satu bawahanmu untuk menekannya. Aku ingat, salah satu pimpinan cabang di Yelva. Dia punya banyak ide brilian untuk dipakai. Rekrut dia ke sini, jadikan dia sebagai pengganti aku," usul Carol diakhiri dengan senyuman manisnya. Ken menganggukkan kepalanya. Istri bosnya ini ternyata lebih teliti dalam bertindak. Mereka setara. Pantas saja sangatl
Damian kembali bekerja setelah dua hari berada di rumah sakit menemani istrinya. Pekerjaannya semakin menumpuk dan sepertinya malam ini dirinya harus lembur untuk menyelesaikannya. Selain pekerjaan yang menumpuk, Damian juga harus siap mendengar rumor yang kembali bertebaran di kantornya. Sebenarnya ini bukan rumor, hanya sebuah bisikan kecil betapa romantisnya sang atasan saat bersama dengan istrinya. "Aku tak menyangka tuan Damian begitu romantis. Dia bahkan tak segan mencium pipi nyonya Carol kemarin.""Dia memang romantis. Beruntung nyonya Carol dicintai olehnya." Begitulah. Banyak sekali yang mengatakan jika Damian adalah pria romantis. Di balik sikap dinginnya, dia menyimpan sejuta pesona yang membuat jantung para wanita menggila. "Ken, naikkan gaji staf yang memujiku tadi," ujar Damian sambil tersenyum lebar saat berjalan di lobby kantornya. Ken yang mengikuti dari samping sedikit terseok-seok mengimbangi langkah bos besarnya i
BrughHenry menghempas tangan Lucy dengan kasar hingga istrinya itu terjatuh. Bunyi debuman cukup kencang terdengar. Lutut Lucy berbenturan dengan lantai hingga membuatnya memar. Lucy meringis kesakitan. Ia menekuk lututnya sembari mengusap air matanya memelas. "Kau senang suamimu diperlakukan buruk di depan orang banyak?" dengus Henry. Tangannya menunjuk Lucy yang masih menangis di lantai dengan tangan gemetar. "Ini semua karena ulahmu yang terlalu manja." "Aku hanya memintamu untuk melihat acara tarian tadi, tidak ada yang lain. Kenapa kau begitu kasar?" balas Lucy dengan teriakan. Ia kembali menangis lagi. Lututnya sangatlah sakit. Ditambah dengan luka hatinya karena telah dituduh membuatnya dibenci oleh orang lain. "Kau berani membantah? Aku benci wanita yang senang membantah suami!" Henry menarik lengan Lucy lalu menjatuhkannya di dekat pintu kamar mandi. Lucy mundur ke belakang hingga punggungnya menyentuh pintu yang terbuka. "Masuk!" Hen
Henry menarik tangan Lucy menjauh dari kerumunan. Hatinya panas melihat pesaing bisnisnya tertawa bahagia di depan sana bersama mantan istrinya. Isi kepalanya sangatlah kacau. Ia ingin memuntahkan semua yang melintas terutama pada Damian. "Henry, kita akan kemana?" Lucy terseok-seok mengikuti langkah Henry yang semakin cepat. Semua orang memandang pasangan itu dengan dahi berkerut. Lucy hampir saja jatuh andai saja tak ada orang yang membantunya berdiri. "Hei bung, istrimu jatuh. Kau kasar sekali pada wanita." Lucy menundukkan wajahnya. Ia sungguh malu karena menjadi tontonan banyak orang sekarang. Pria yang tadi menolongnya berjalan mendekati Henry yang menghentikan langkahnya. "Pria yang menyakiti wanita adalah pecundang." Ucapan pria tadi menyulut kemarahan Henry. Ia melepas pegangan tangannya pada Lucy lalu menyingsingkan lengan kemejanya. Pria tadi merasa ada sesuatu yang salah dari Henry. Naluri kewaspadaannya muncul ketika Henry siap melayangkan
Pertunjukan air mancur akan berlangsung malam nanti. Bersamaan dengan diluncurkannya sebuah wahana baru di taman seni Amberfest. Rencananya, wahana baru itu akan digunakan untuk para artis pendatang baru yang ingin melakukan debut aktingnya di drama atau film terbaru di semua agensi terkenal di Amberfest. Kota Amberfest adalah surganya para penggiat dunia hiburan. Selain Ilba, Amberfest terkenal dengan pusat agensi berkelas internasional di negara bagian Ambroxia. Tak mengherankan, banyak artis pendatang baru akan berbondong-bondong datang ke kota ini. Setidaknya, ada dua atau tiga agensi aktor berdiri tiap tahunnya yang menjadi magnet untuk mereka. "Wah, itu gedung untuk wahana yang baru?" tanya Carol menunjuk sebuah gedung berwarna biru terang yang tampak mewah di matanya. Walau gedung itu hanya berisi tiga lantai, tapi nuansanya terlihat sangat elegan. "Ya, itu adalah gedung yang dirancang oleh Billy dan Mr Zuck. Sebenarnya, gedung itu suda
Nyonya Emma tertawa senang mendengar keberhasilan Henry. Berdasarkan informasi yang mata-matanya dapatkan, nyonya Carmen berhasil mendapatkan suara dari Damian untuk memilih Henry dalam pemilihan pemimpin Harold Times yang diadakan tiga bulan lagi. Bibirnya terus tersenyum membayangkan Carol menangis di bawah kakinya saat mereka menguasai satu-satunya harta peninggalan ayahnya. Nyonya Emma teringat suatu kejadian di mana dirinya bertengkar hebat dengan nyonya Ivana Dustin, ibu kandung Carol. Nyonya Emma meminta pertolongannya untuk memberikan bantuan modal kepada suaminya. Namun dirinya ditolak mentah-mentah oleh nyonya Ivana. "Aku tidak sudi membantu keluarga Parker dalam hal apapun. Aku membenci kalian semua," ujar nyonya Ivana saat itu. Kalimat yang terucap mengandung kata-kata penuh amarah. "Ivana, aku tak menyangka kau begitu angkuh. Hanya karena Freddy tak memilihmu, kau jadi seperti ini. Ingat Ivana, aku yang pernah menolongmu di saat kau sedang