Share

Bab 7

Penulis: Merry
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-31 23:18:02

Aku benci keramaian, tapi aku lebih benci lagi saat Rina, sahabatku, mengubah keramaian menjadi panggung teater pribadinya. Hari tersebut, di pelataran utama kampus yang ramai oleh mahasiswa yang mencari angin sepulang kelas, kami persis sedang melakukan hal tersebut.

“Lihat, lihat, Tar! Predator sedang mengunci targetnya.”

Aku mendengus, menyeruput es tehku yang mulai kehilangan dinginnya di bawah terik matahari sore. “Bahasamu, Rin. Seperti nonton dokumenter alam liar saja.”

“Memang alam liar, kok! Kampus adalah hutan beton. Dan di puncak rantai makanan, ada Azlan Sharim. Di bawahnya, para betina pemangsa yang saling sikut. Nah, lihat! Salah satu yang paling berani sedang mendekat.”

Mau tak mau, mataku mengikuti arah dagunya. Di sana, berjalan dengan langkah yang dibuat seanggun mungkin, adalah Clara. Dengan rambut bergelombang sempurna, tas bermerek yang harganya mungkin setara dengan biaya hidupku selama setahun, dan senyum yang dipoles sedemikian rupa, ia mendekati bangku taman tempat Azlan duduk sendirian. Seperti biasa, pria tersebut tampak menyendiri, membaca buku dengan sampul hitam tebal, seolah membangun dinding tak kasat mata di sekelilingnya.

Rina mencondongkan tubuhnya ke depan, sikunya bertumpu di meja besi bundar kami. Matanya berbinar penuh antisipasi. “Ayo, kita dengarkan. Ini bakal jadi sejarah.”

“Mendengarkan obrolan orang lain? Tidak, terima kasih.”

“Ayolah! Jarak kita nggak jauh. Anggap saja belajar psikologi sosial secara langsung.”

Aku memutar bola mata, tapi tidak beranjak. Sejujurnya, ada secuil rasa penasaran dalam diriku. Rasa penasaran yang sama saat kau melihat mobil melaju terlalu kencang di jalanan licin; kau tahu sesuatu yang buruk akan terjadi, tapi kau tidak bisa berpaling.

Kami bisa mendengar suara hak sepatu Clara yang beradu dengan paving block saat ia berhenti tepat di depan Azlan.

“Hai, Azlan, kan?”

Suaranya dibuat semanis madu. Azlan tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya perlahan, tatapannya kosong, seolah baru saja dibangunkan dari mimpi yang sangat jauh. Ia menatap Clara selama beberapa detik yang terasa menyiksa bahkan bagiku yang hanya menonton.

“Kita satu jurusan. Aku Clara.”

Azlan hanya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, matanya sudah kembali tertuju pada bukunya. Penolakan tanpa kata yang begitu brutal.

Rina menutup mulutnya dengan tangan, menahan pekikan. “Ya Tuhan, dingin sekali.”

Clara, tampaknya, tidak terbiasa dengan penolakan. Wajahnya sedikit menegang, tapi senyumnya belum luntur. Ia tertawa kecil, suara yang terdengar sedikit dipaksakan.

“Haha, wajar sih kalau kamu tidak ingat, kelasnya kan besar. Aku cuma mau tanya, mungkin kapan-kapan kita bisa minum kopi bareng? Untuk bahas materi kuliah, tentu saja.”

Alasan klise yang pernah kudengar. Aku hampir tersedak es tehku. Dari sudut mataku, aku bisa melihat beberapa mahasiswa lain juga mulai memperhatikan drama yang sedang berlangsung. Sebuah pertunjukan gratis.

Azlan akhirnya menutup bukunya. Bukan dengan perlahan, tapi dengan satu gerakan cepat yang menghasilkan bunyi ‘blam!’ pelan. Suara tersebut cukup untuk membuat Clara sedikit terlonjak. Azlan berdiri, menjulang di hadapan gadis populer tersebut.

“Tidak.”

Satu kata. Singkat, padat, dan tajam seperti pecahan kaca. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada basa-basi. Hanya penolakan mentah.

Wajah Clara memucat pasi. Senyumnya yang tadi merekah kini membeku, lalu luruh seperti kelopak bunga layu. Ia tampak kehilangan kata-kata.

“Permisi.”

Azlan melangkah melewatinya begitu saja, seolah Clara hanyalah patung pajangan yang menghalangi jalannya. Ia berjalan menjauh, punggungnya tegap, tanpa menoleh sedikit pun.

Pelataran yang tadinya sedikit riuh mendadak hening. Semua mata kini tertuju pada Clara yang masih membeku di tempatnya. Beberapa orang mulai berbisik, ada yang menahan tawa, dan ada pula yang memandangnya dengan iba. Keheningan pecah saat Clara, dengan wajah merah padam karena menahan malu dan amarah, berbalik dan melangkah pergi dengan cepat, nyaris berlari, diikuti oleh teman-temannya yang tergopoh-gopoh.

Rina akhirnya melepaskan napas yang ditahannya. “Wow. Baru kali ini aku melihat seorang Clara dipermalukan seperti itu di depan umum. Azlan benar-benar … bukan main.”

“Tuh, kan. Sudah kubilang,” kataku, merasa semua prasangka buruk ku terbukti benar. “Orang sepertinya hanya membawa masalah. Angkuh, tidak punya perasaan. Dia pikir dunia ini milik keluarganya?”

“Tapi keren juga, sih,” gumam Rina, matanya masih menatap ke arah Azlan menghilang. “Dia nggak peduli status sosial. Clara itu putri anggota dewan, lho. Semua pria di kampus berusaha mendekatinya.”

“Bukan tidak peduli,” sanggahku cepat, “tapi terlalu sombong untuk peduli. Baginya, semua orang mungkin sama saja. Sama-sama tidak penting.”

Belum lima menit berlalu, ponsel Rina bergetar tanpa henti. Ia melirik layarnya dan matanya membelalak.

“Sudah masuk grup gosip kampus, Tar! Cepat sekali!”

Ia menunjukkan layar ponselnya kepadaku. Sebuah utas percakapan dengan judul ‘Pangeran Es Mematahkan Hati Ratu Kampus’. Di dalamnya, cerita penolakan Azlan sudah dibumbui berbagai macam drama.

‘Gila, tadi gue liat langsung! Azlan bahkan nggak mau liat muka Clara!’

‘Temen gue bilang, katanya Azlan bilang ke Clara kalau dia bukan tipenya sama sekali.’

‘Bukan! Katanya Azlan bilang Clara terlalu banyak omong dan mengganggu konsentrasinya!’

“Lihat,” kataku sambil menggelengkan kepala. “Satu kejadian kecil, dan rumornya sudah menyebar seperti wabah. Inilah yang aku hindari, Rin. Drama tidak penting seperti ini hanya membuang waktu dan energi.”

“Tapi ini seru, Tar! Berarti resmi sudah. Azlan Sharim adalah benteng yang nggak tertembus. Dia jadi tantangan terbesar bagi semua gadis di kampus.”

“Bagi mereka mungkin tantangan. Bagiku, dia adalah rambu lalu lintas dengan tulisan besar: ‘BAHAYA, MENJAUH’.”

Aku menghabiskan sisa es tehku dalam sekali teguk, lalu berdiri. “Aku harus ke perpustakaan. Ada tugas yang harus ku selesaikan.”

“Yaah, padahal gosipnya lagi panas-panasnya.”

“Selamat menikmati,” kataku sambil menyampirkan ranselku ke bahu. “Jangan lupa kabari aku kalau sudah ada yang berhasil menaklukkan ‘benteng’ tersebut. Mungkin saat kita wisuda nanti.”

Aku meninggalkan Rina yang masih asyik dengan ponselnya. Aku berjalan melintasi koridor, berusaha menghapus bayangan wajah angkuh Azlan dan wajah penuh amarah Clara dari pikiranku. Mereka adalah dua dunia yang berbeda dariku, dua kutub magnet yang ku tolak dengan segenap kekuatanku. Aku punya tujuan yang jelas, dan tujuanku tidak menyisakan ruang untuk drama percintaan ala mahasiswa kaya.

Langkahku terhenti di depan kedai kopi kecil di dalam gedung fakultas. Aroma biji kopi yang baru digiling menyergap indra penciumanku, membuatku sadar betapa mengantuknya diriku. Mungkin secangkir kopi hitam pekat bisa membantuku fokus malam nanti.

Aku mengantre, memesan, dan menunggu pesananku disiapkan. Saat barista menyerahkan cangkir kertas yang hangat, aku berbalik untuk mencari jalan keluar.

Dan saat itulah aku melihatnya.

Di salah satu meja sudut, Clara duduk bersama gerombolannya. Matanya yang tajam menatap lurus ke arahku. Bukan tatapan biasa, melainkan tatapan penuh kebencian. Seolah aku telah melakukan kesalahan besar padanya. Jantungku berdebar sedikit lebih cepat. Kenapa dia menatapku seperti itu? Aku kan hanya penonton.

Aku memutuskan untuk mengabaikannya. Ini bukan urusanku. Aku hanya perlu berjalan lurus, keluar dari kedai, dan semua akan baik-baik saja. Aku menunduk, memegang cangkir kopiku erat-erat, dan mulai melangkah.

Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah.

BRUK!

Aku menabrak sesuatu—atau seseorang—yang berdiri kokoh seperti tembok. Cangkir di tanganku terlepas, dan cairan hitam panas itu menyebar, membasahi kemeja putih orang yang ku tabrak dan sebagian tumpah ke tanganku sendiri. Rasa panas yang menyengat membuatku meringis.

“Maaf, maafkan aku! Aku tidak lihat .…”

Aku mendongak untuk meminta maaf dengan benar, sambil meniup tanganku yang memerah.

Dan napas ku tercekat di tenggorokan.

Di hadapanku, dengan noda kopi besar yang merusak kemeja putih mahalnya, berdiri pria yang menjadi sumber semua kekacauan hari tersebut.

Dari sudut mataku, aku bisa melihat senyum sinis yang terukir di wajah Clara.

Di antara aku dan tatapan benci Clara, di antara rasa panas di tanganku dan aroma kopi yang menguar tajam, berdirilah Azlan Sharim, menatapku dengan sepasang mata paling dingin di kampus.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penguasa Hati   Bab 33

    Ada semacam keajaiban dalam keheningan yang kami bagi di bangku taman sore itu. Udara terasa sejuk, membawa aroma tanah basah sisa gerimis sore yang baru saja reda—aroma yang selalu kusebut sebagai petrichor, dan Azlan selalu tersenyum setiap kali aku mengucapkannya. Lampu-lampu taman baru saja menyala, memantulkan cahaya keemasan di atas dedaunan yang basah, menciptakan permadani berkelip di sekeliling kami. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, merasakan tekstur kain kemejanya yang lembut di pipiku. Napasnya teratur, dalam, sebuah melodi damai yang beberapa tahun lalu hanyalah sebuah angan-angan baginya. “Kamu tahu,” suaraku memecah keheningan, lebih pelan dari bisikan. “Aku masih ingat betul bagaimana canggungnya momen pertama kita di bawah payung, tidak jauh dari tempat kita duduk sekarang.” Azlan terkekeh pelan, getaran di dadanya menjalar ke seluruh tubuhku. “Canggung? Menurutku kamu lebih terlihat seperti kucing liar yang siap mencakar siapa pun yang mendekat.” Aku mencubi

  • Penguasa Hati   Bab 32

    Hari itu, semuanya terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang dulu kupikir terlalu muluk untuk digapai, kini terbentang nyata di depan mata. Jubah toga hitam itu terasa berat namun memancarkan kebanggaan, lencana cum laude di dadaku berkilau di bawah lampu aula. Aku berdiri di panggung, menatap lautan wajah bangga di depanku, mencari-cari mereka. "Lihat, Tara! Orang tua kita!" Rina berbisik di sampingku, suaranya tercekat. Ia meraih lenganku, menguatkan ku. Aku mengangguk, mataku berkaca-kaca. Tangan Ibu melambai, senyumnya begitu lebar hingga matanya menyipit. Ayah tersenyum kecil, namun di matanya terpancar keharuan yang tak terhingga. Orang tua Rina juga ada di sana. Di samping mereka, Azlan berdiri tegak, tatapannya lekat padaku. Senyum tipisnya adalah sebuah janji, sebuah dukungan yang tak pernah goyah. Setelah upacara, keramaian memenuhi lobi. Aku nyaris tenggelam dalam pelukan Ibu yang erat. "Anak Ibu pintar sekali," bisiknya, suaranya bergetar. "Terima kasih, Nak. Terima k

  • Penguasa Hati   Bab 31

    Aku ingat dengan jelas bagaimana deru mesin sedan mewah yang Azlan kendarai perlahan meredup, digantikan oleh orkestra alam yang selama bertahun-tahun menjadi lagu pengantarku. Suara jangkrik, gemericik air dari selokan kecil, dan desau angin yang menyapu pucuk-pucuk padi. Perjalanan berjam-jam dari gemerlap kota berakhir di sebuah jalan setapak yang hanya muat untuk satu mobil. Di sinilah duniaku dimulai, dan aku gemetar memikirkan bagaimana dunia Azlan akan bertabrakan dengannya. “Kita sudah sampai,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. Azlan mematikan mesin. Hening sejenak. Aku melihatnya menatap lurus ke depan, ke hamparan sawah hijau yang membentang seperti permadani raksasa di bawah langit sore. Aroma tanah basah sehabis hujan kemarin sore merembes masuk ke dalam mobil, aroma yang bagiku adalah rumah. Aku bertanya-tanya, aroma apa yang tercium olehnya? Asing? Atau menenangkan? “Jadi … tempat magis-mu ada di sini?” suaranya memecah keheningan, lembut dan penuh kekaguman. A

  • Penguasa Hati   Bab 30

    Aku ingat hari itu sejelas kristal. Udara di perpustakaan terasa pekat dengan aroma kertas tua dan janji masa depan, sebuah kontras yang ironis dengan awan gelap yang selama berbulan-bulan menggantung di atasku. Kami duduk di sudut terpencil, hanya diterangi oleh lampu baca berwarna kuning hangat yang membuat wajah Azlan terlihat lembut. "Sudah selesai." Suaranya memecah keheningan yang nyaman di antara kami. Aku mendongak dari buku yang bahkan tidak ku baca. "Selesai? Apanya yang selesai?" "Clara. Dan semua masalahnya." Aku meletakkan buku. Seluruh tubuhku menegang. "Apa maksudmu?" "Aku sudah melaporkannya ke komite disiplin. Dengan semua bukti yang ku kumpulkan. Insiden laboratorium, kesaksian beberapa mahasiswa yang melihatnya, rekaman cctv yang menangkap apa yang terjadi di gudang, semuanya." Napas yang tak kusadari ku tahan, akhirnya terlepas dalam satu embusan panjang. Rasanya seperti beban berat yang selama ini menekan pundakku akhirnya terangkat. Tapi ada rasa lain yang

  • Penguasa Hati   Bab 29

    Ponselku bergetar di atas tumpukan buku catatan, memecah keheningan kamar kos yang selama berbulan-bulan menjadi salah satu tempat ternyaman ku. Sebuah notifikasi singkat dari nomor yang kini kusimpan dengan nama aslinya, bukan lagi ‘Pria Misterius’ atau ‘Pengganggu’. [Azlan: Kencan?] Satu kata. Hanya satu kata tanpa basa-basi, namun cukup untuk membuat jantungku melakukan maraton di dalam rongga dada. Aku menatap layar, membaca ulang kata sederhana tersebut seolah mengandung sandi rahasia. Setelah semua kebenaran yang terungkap, setelah permintaan maaf dan pengampunan yang hening di taman kampus hari sebelumnya, kami berdiri di titik nol. Dan kata tersebut adalah langkah pertama. [Aku: Kencan seperti apa?] Balasanku terasa kaku, pragmatis. Bagian diriku yang lama masih berusaha mengambil alih, menuntut kejelasan dan rencana yang logis. [Azlan: Seperti yang kamu mau. Aturannya, kamu yang tentukan tempatnya. Aku hanya akan mengikuti.] Aku tersenyum tipis. Dia menyerahkan kendal

  • Penguasa Hati   Bab 28

    Dengan napas tersengal, aku berlari. Bukan lagi lari dari Azlan, tapi lari menuju dirinya. Koridor kampus yang ramai terasa sunyi, suara tawa mahasiswa lain terdengar seperti dengungan jauh. Hanya ada derap langkahku dan detak jantungku yang memukul-mukul tulang rusuk, menuntut sebuah pertanggungjawaban. Aku tidak tahu di mana harus mencarinya, tapi kakiku seolah punya pikiran sendiri. Mereka membawaku melewati gedung fakultas, melintasi pelataran, menuju satu-satunya tempat di kampus yang menawarkan sedikit kedamaian: taman di tepi danau. Dan di sanalah ia. Duduk sendirian di bangku kayu yang menghadap ke air yang tenang. Dari belakang, punggungnya terlihat tegap namun sarat akan kesepian. Bahunya yang lebar tampak menanggung beban yang tak seharusnya. Beban pencarian selama tiga tahun. Beban penolakan demi penolakan dariku. Aku berhenti beberapa meter di belakangnya, mencoba mengatur napas yang tak mau diatur. Suara apa yang harus ku keluarkan? Kata apa yang pantas untuk memulai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status