Home / Romansa / Penjara Hati Bos Arogan / BAB 4, Kabar Buruk

Share

BAB 4, Kabar Buruk

Author: Wijaya Kusuma
last update Last Updated: 2024-03-15 12:33:46

Alya merasa lemas seketika, saat harus menyadari panggilan untuk datang ke sekolah Safa, adiknya. 

Selain tak bisa mengabaikan masalah biaya yang harus ia dapatkan untuk pengobatan ibunya. Alya juga tidak bisa membiarkan Safa mengalami kesulitan di ujung kelulusan yang sudah di depan mata.

Ternyata seperti ini rasanya sekolah di swasta. Semua harus serba dengan uang. Bahkan, saat harus mengikuti ujian akhir pun. Uang masih harus menjadi prioritas yang harus diselesaikan. 

“Ada apa lagi?” Tanya Mbak Vira pada Alya. 

Alya menoleh pada sang teman, menghela nafas beratnya, sebelum akhirnya membuangnya dengan perlahan.

Dia menatap pada Vira sekilas, sebelum akhirnya mengalihkan tatapan pada jalanan menuju ke ruang kerja mereka.

“Panggilan dari sekolah Safa, Mbak. Sebentar lagi Safa akan ujian akhir, wali kelasnya meminta Alya untuk datang ke sekolah mengenai perihal uang akhir tahun Safa yang belum terbayar lunas.” 

Alya sama sekali tidak menutupi gambar yang baru saja ia dapatkan dari wali kelas adiknya tersebut. Lagi-lagi dianya harus berbagi beban kepada Vira atas kesulitan yang dihadapinya.

Vira yang mendengar kabar dari Alya itu kembali menatap sendu. Dia turut prihatin dengan segala kesulitan yang dialami oleh gadis tangguh yang dia kenal.

“Memangnya berapa uang akhir tahun Safa?” tanya Vira, wanita itu kembali ingin tahu jumlah uang yang Alya butuhkan untuk kebutuhan sekolah adiknya. 

Dia yang sangat tahu, kerja keras yang Alya lakukan pada keluarganya itu tidak pernah sungkan untuk membagikan sedikit rezeki yang didapatkannya ketika mendapat uang lebih saat mereka melakukan lembur bersama.

“Tidak terlalu besar sih, Mbak. Sebelumnya sudah Alya bayar separuhnya lebih dahulu, tetap masih kurang sekitar 3,5 juta lagi yang harus dibayarkan sampai Safa bisa mengikuti ujian akhir nya.” Alya memberitahukan kekurangan uang yang harus dibayarkan untuk sekolah adiknya. 

Vira mengangguk mengerti, dia mengulas senyum pada Alya dengan merangkul pundak wanita yang melangkah bersama menuju ke ruangan mereka. 

“Jangan sedih ya. Setiap kesulitan yang kau alami pasti akan ada kemudahan di depan sana.” 

Vira memberikan dukungan semangatnya kepada Alya agar tidak bersedih. Alya mengulas Senyum Dan beranjak semangat menuju ke ruang kerjanya untuk memulai sisa harinya sebelum akhirnya dia harus kembali pulang dan datang ke rumah sakit untuk bertemu dokter yang menangani ibunya.

“Pasti itu Mbak. Di saat seperti ini aku tidak boleh sedih dan lemah. Jika aku sedih dan lemah, Lalu siapa lagi yang bisa diandalkan. Kalau bukan Alya, Mbak.” 

Gadis 20 tahun itu menyemangati dirinya sendiri agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan yang terjadi dalam dirinya. Dia tidak ingin membuat Vira semakin menaruh rasa empatinya kepada dirinya. Maka Alya, tidak boleh menunjukkan sisi lemah yang selalu ia simpan rapat dari orang lain. 

“Mbak tahu, kamu memang gadis yang kuat. Makanya Allah juga tidak akan salah, memberikan ujian kepada siapapun hambanya yang dianggapnya mampu untuk melewatinya.”

Vira mengulas senyumnya, dia kembali melanjutkan kalimatnya kepada Alya.

“Pulang kerja nanti apa kamu mau ke rumah sakit? Jika Iya, Mbak mau ikut.  Mbak mau lihat keadaan ibumu juga,” kata Vira. 

“Oke, Mbak. Nanti kita ke rumah sakit bareng ya.”

Setelah keduanya masuk ke ruang kerjanya. Mereka kembali menyibukkan diri dengan desain rancangan masing-masing yang sedang mereka kerjakan. Bukan hanya mengerjakan permintaan dalam negeri, melainkan perusahaan yang bergerak dalam bidang fashion  itu pun melakukan pengiriman berbagai pakaian ke luar negeri. 

Jika hasil rancangan yang mereka lakukan itu mampu menembus pacar internasional dan mendapatkan penawaran tinggi. Tak jarang, Mereka pun mendapatkan bayaran tambahan atas kerja keras yang mereka lakukan dalam mencari ide fashion yang harus mereka tawarkan terlebih dahulu pada sang atasan.

Waktu pun bergulir begitu cepat, Hingga jam pulang kerja mengalihkan perhatian Vira yang mengingatkan pada Alya jika sudah jam pulang kantor.

“Sudah sore, ayo pulang,” ajak Mbak Vira pada Alya. 

Alya mengalihkan tatapan dari lembar sketsa yang ada di hadapannya itu pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Saking sibuknya ia berputar pada desain yang ia buat, sampai-sampai dia lupakan jam pulang kantor. 

“Alya sampai nggak tahu kalau udah jam pulang loh, Mbak.” 

Wanita itu terkekeh, dengan cepat Dia merapikan meja kerjanya karena tak sabar untuk segera pergi ke rumah sakit memastikan keadaan ibunya.

 Setiba di depan pintu yang akan membawa keduanya turun menuju lantai satu gedung berlantai empat itu. Bersamaan dengan kehadiran seorang pria yang yang bertemu dengan Alya pagi tadi  bersama Heru, atasan mereka ikut bergabung menunggu pintu lift terbuka. 

Dia adalah Evan. Vira mengangguk dan menyapa sangat sopan pada pria yang mereka kenal sebagai anak sulung dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. 

“Selamat sore, Pak Evan,” sapa Vira ramah. 

Berbeda dengan Alya, yang sama sekali tidak menunjukkan keramahan yang biasa ia lakukan kepada karyawan lain di tempatnya bekerja. 

Hingga sebuah senggolan pada lengan, Alya rasakan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Vira yang mencoba menyadarkan Alya untuk menyapa anak dari pemilik perusahaan.

“Pak Evan. Sapa dia,” bisik wanita itu mengingatkan Alya. 

“Kalian sudah mau pulang?” Tanya Pak Heru yang sudah berada di antara mereka. 

“Iya, Pak. Kita tidak ada lembur juga hari ini. Makanya kami memutuskan untuk pulang cepat. Saya mau ikut Alya ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya yang sedang dirawat.” 

Bukan Alya yang menjawab, melainkan Vira yang menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Heru, supervisor mereka.

Alya bergeming, rasanya dia benar-benar malas harus bertemu dengan pria yang sama sekali tidak memiliki belas kasih untuknya bisa mendapatkan pinjaman dari perusahaan.

Padahal, dia sudah begitu yakin jika perusahaan akan memberikan pinjaman untuknya. Meski dia masih karyawan kontrak, tetapi karya yang sudah Alya berikan pada perusahaan tempatnya ini bekerja terbilang cukup baik.

Beberapa kali hasil desain rancangan yang Alya buat sudah menembus pasar internasional. Bahkan tahun ini dia mendapatkan penghargaan sebagai desainer yang memiliki karya terbanyak yang diproduksi oleh pabrik tempatnya bekerja.

Evan sama sekali tidak tertarik dengan basa-basi yang dilakukan oleh bawahan tersebut. Setelah pintu lift terbuka, dengan segera dia masuk meninggalkan orang-orang di belakangnya. 

Heru menyusul segera atasannya yang lebih dulu masuk ke dalam lift. Begitu juga dengan Vira yang tidak ingin ketinggalan untuk turun dan melakukan absensi.

Alya masih bergeming, entah mengapa dia malas bergabung ke dalam lift yang ada Evan di dalamnya.

“Al, Ayo,” ajak Alya. 

Wanita itu menarik paksa Alya dan masuk bersama untuk segera turun. 

“Kamu jangan tunjukkan sikapmu yang tidak suka dengan Pak Evan,” bisik Vira, dia cukup tahu dengan situasi yang terjadi saat ini. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
gk boleh gitu Alya. masak gara gara gk dikasih pinjaman kamu jadi lupa sopan santun sama atasanmu.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 116. Kembali Merajut

    Alya kembali ke kamarnya. Niat hati ingin menenangkan diri, tapi justru ia kembali dibuat berdebar dengan setiap kalimat pernyataan yang Evan beri pada kedua orang tuanya. Nada dering pesan masuk membuatnya menoleh cepat ke arah meja rias, tempat ponselnya diletakkan. Sebuah pesan dari Vira.Vira: Lihat ini sekarang. Kamu harus tahu.Tautan video menyertai pesan singkat itu. Tanpa pikir panjang, Alya mengetuk layar. Jantungnya hampir berhenti ketika wajah Evan muncul dalam video. Konferensi pers. Mikrofon berjejer di hadapan pria yang pernah ia cintai begitu dalam, dan kini...“Nama saya Evan Ibrahim Sanders,” suara Evan terdengar tegas, namun ada getaran kecil dalam intonasinya. “Saya berdiri di sini bukan sebagai CEO perusahaan keluarga saya, tapi sebagai seorang pria... yang selama ini menyembunyikan bagian terpenting dalam hidupnya. Saya telah menikah. Lima tahun lalu.”Gemetar tangan Alya menggenggam ponselnya. Ia mundur selangkah, lalu terduduk di tepi ranjang.“Nama istri saya

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 115. Ketegangan Ayah dan Anak

    Suasana rumah itu sunyi, terlalu tenang untuk pagi yang seharusnya ramai oleh hiruk pikuk aktivitas. Udara dingin yang merembes dari celah jendela membuat ruangan tampak membeku, seolah waktu ikut berhenti menunggu ledakan yang akan segera terjadi.“Rumahmu terlalu sepi untuk orang yang sedang merayakan kemenangan besar,” suara itu dalam, tegas, dan penuh nada ejekan samar.Evan menoleh pelan. Pria yang berdiri di ambang pintu itu tinggi, dengan jas hitam rapi dan sepatu mengilap. Wajahnya menua, tapi masih menyimpan pesona yang dulu membuat banyak orang tunduk di dunia bisnis. Ibrahim.Ayahnya.“Kalau datang untuk memuji diri sendiri atas kemenangan perusahaan, kau bisa pulang sekarang,” kata Evan datar, lalu menyesap kopinya.Ibrahim tersenyum kecil dan duduk di sofa panjang tanpa diminta. Ia mengambil sikap seperti seseorang yang memiliki tempat itu.“Tidak, aku datang bukan untuk membahas perusahaan. Kita sudah lewat fase itu.”“Ayah bangga. Kamu bisa selesaikan masalah besar deng

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 114. Kehadiran Ibrahim, Ayah Evan

    Matahari pagi menyelinap pelan dari balik tirai jendela ruang makan yang luas dan penuh cahaya hangat. Aroma roti panggang dan telur orak-arik menggoda indra penciuman, menyatu dengan wangi lembut dari teh melati yang mengepul dalam cangkir porselen di atas meja.Alya duduk di salah satu sisi meja panjang, mengenakan blus putih santai dan celana linen abu-abu. Pasmina santai menghias wajah cantiknya, meski sederhana tetap membingkai indah wajahnya. Wajahnya masih menyisakan rona merah muda yang tak bisa ia sembunyikan, terutama saat matanya melirik ke arah pintu kamar yang tertutup rapat di lantai atas. Di sampingnya, duduk seorang anak laki-laki yang begitu ia sayang, dengan rambut ikal cokelat gelap dan mata besar penuh rasa ingin tahu."Mommy... Ayah Evan belum pulang, ya?" tanya Cale pelan, sembari menggigit roti panggangnya yang dioles mentega keju kesukaannya.Alya sedikit terkejut. Tangannya yang hendak meraih sendok berhenti di udara. Ia mengalihkan pandangan ke arah putranya

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 113. Teh Jahe Hangat

    Langkah-langkah pelan Alya menyusuri lorong rumah besar itu, sunyi diiringi suara detak jarum jam dinding yang bergema lembut. Di tangannya, sebuah cangkir keramik putih berisi teh jahe hangat beraroma kuat yang baru saja ia buat di dapur. Aroma rempahnya semerbak, seolah ingin menyembuhkan udara yang tegang beberapa waktu lalu.Sesampainya di depan pintu kamar Evan, Alya mengetuk pelan."Evan?" panggilnya, suaranya lirih.Tak ada jawaban.Ia mengetuk sekali lagi, sedikit lebih keras. "Aku hanya membawakan teh jahe. Untukmu."Masih sunyi. Tak ada sahutan dari dalam.Alya menghela napas kecil. Dalam hatinya, ia ragu. Tapi udara dingin malam yang masih menggantung dan bayangan wajah lelah Evan saat baru datang tadi membuatnya mantap untuk masuk. Ia mendorong pintu perlahan, memastikan tidak membuat suara gaduh.Saat pintu terbuka sepenuhnya, pemandangan yang menyambutnya membuat detak jantung Alya seketika melonjak.Evan baru saja keluar dari walk-in closetnya. Tubuh tegapnya terbuka ta

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 112. Usaha Evan

    Di rumah Evan, Alya sudah seminggu kembali dari rumah ibunya, suasana mencekam. Alya duduk di depan TV, menatap layar dengan wajah pucat. Vira ada di sampingnya, menggenggam tangan sahabatnya erat.“Kenapa mereka sejahat itu, Mbak? Aku… aku tidak pernah minta apa pun. Tidak pernah cari sensasi…” suara Alya gemetar. Jujur, ia tak pernah berpikir hingga sejauh ini sebab kembali masuk ke kehidupan Evan yang bahkan tidak ia inginkan. “Kamu harus tenang. Jangan berpikir macam-macam. Pak Evan pasti tidak akan tinggal diam.” Vira meyakinkan Alya dan menguatkan jika Evan pasti akan selalu berada di pihaknya. “Aku tak yakin, Mbak. Yang dihadapinya bukan hanya keluarga wanita itu. Tapi keluarganya juga.” Alya sungguh putus asa dan bingung di situasi seperti ini. “Pak Evan sudah berjanji. Dan dia tidak akan mengingkari. Kamu yakin itu,” tegas Vira meyakinkan Alya yang lemah saat ini. Ponsel Alya bergetar. Nama Evan muncul.“Alya…” suara Evan terdengar berat. “Aku minta maaf. Aku tidak bisa m

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 111. Konflik Bisnis dan Cinta

    Langit sore itu menggantung kelabu di atas gedung yang menujlang tinggi di ibu kota. Dari balik jendela lantai ruangan presdir yang berkuasa. Evan Mahardika memandangi awan yang mulai menebal, seakan menjadi pertanda akan datangnya badai. Namun badai itu bukan hanya milik langit—ia telah memasuki ruang kantornya lebih dulu.Pintu ruang direktur utama terbuka perlahan. Sosok tinggi tegap masuk dengan langkah pasti. Ibrahim Sandres, ayah Evan sekaligus pendiri bisnis yang kini Evan kendalikan, membawa serta aura tekanan yang membuat ruangan seketika mencekam. Setelan jasnya rapi, rambut peraknya disisir ke belakang, dan matanya—dingin dan tajam seperti belati."Kita perlu bicara," ujar Ibrahim tanpa basa-basi saat memasuki ruangan mewah sang pemimpin yang tak lain adalah anaknya sendiri. Evan berdiri dari balik mejanya. “Silakan, Ayah. Duduklah.”Namun Ibrahim tak duduk. Ia berdiri tegak, menatap Evan dari seberang meja seperti seorang hakim menatap terdakwa. Tatapan yang menghujam bak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status