/ Romansa / Penjara Hati Bos Arogan / BAB 3. Kabar dari Sekolah

공유

BAB 3. Kabar dari Sekolah

작가: Wijaya Kusuma
last update 최신 업데이트: 2024-03-15 12:31:50

 “Maaf.” 

Vira yang sebelumnya terlihat antusias mendengar keluhan dari Alya itu tiba-tiba meminta maaf pada temannya. 

Dia menatap sendu pada Alya, setelah mendengar cerita yang disampaikan oleh rekan kerjanya tersebut. Vira tidak mampu berbuat banyak. Sebagai teman yang baik dia hanya mampu mendoakan semoga kalian bisa melewati ujian hidup yang terjadi pada dirinya dan keluarganya tersebut.

“Kenapa Mbak minta maaf. Mbak ga salah apa pun loh,” kata Alya. 

Wanita yang semula sudah bersiap menumpahkan cairan kristal di balik kelopak matanya itu tiba-tiba terkekeh pelan. Dia mengulas senyum cantiknya, menatap pada sang teman karena Vira yang sama sekali tidak melakukan kesalahan malah meminta maaf kepadanya.

“Al.” 

Wanita yang menetap sendu kepada Alya itu bukan suara,  masih dengan tatapan nanarnya. Dia berucap, “mbak minta maaf. Kali ini habis tidak bisa membantu lebih untukmu dan keluargamu. Jujur saja Mbak juga habis memberikan pinjaman kepada Mas Emir untuk biaya pendidikannya. Jadi, Mbak tidak bisa membantumu lebih banyak selain hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu dan juga ibumu, “ terang wanita yang begitu baik di mata Alya. 

Alya mengulas Senyum manisnya, tatapan sendu yang semula menghias wajahnya itu berubah menjadi wajah yang ceria. 

“Mbak, Alya nggak minta mbak buat kasih pinjem sama Alya. Kan mbak sendiri yang minta pada Alya untuk menceritakan sebab Alya menjadi sedih.” 

Dalam keadaan sedang bersedih, gadis yang terbiasa ceria itu masih mampu menghibur Vira. Alhasil, wanita yang jauh lebih dewasa dari Alya itu mengulas senyumnya. 

“Kamu yang sabar ya. Allah pasti sudah siapkan rencana terbaik untukmu dan keluargamu. Mbak hanya bisa mendoakan semoga ada keajaiban yang bisa membantumu mendapatkan jalan keluar.” 

Vira mendoakan sang teman, dia menggenggam erat tangan Alya. Menyalurkan kekuatan pada sang teman agar bersabar menghadapi kesulitan ujian hidupnya. 

“Aamin, Mbak. Terima kasih ya,” jawab Alya.

“Jangan ngobrol mulu. Bagian cutting sudah minta desain yang harus mereka potong,” sela Heru, kepala bagian Yang menaungi bagian desain pabrik tekstil tempat mereka bekerja. 

Ruangan yang semula hanya ada Alya dan Vira itu tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran Heru yang menjadi atasan mereka. Pria itu menatap heran ke arah Alya dan Vira secara bergantian. Tentu saja, dia penasaran dengan mata sembab yang terjadi pada salah satu bawahannya itu. 

“Kau kenapa?” Tanya Heru pada Alya. 

“Tidak. Aku tidak apa-apa, Pak. Aku akan segera antar pola ke bagian cutting sekarang. Bapak tenang saja, semua desain sudah kami selesaikan kok,” kata Alya, meski terlihat sedih dia tetap menunjukkan senyum manisnya. 

Dengan begitu cekatan, gadis itu bangkit dari duduknya bersama dengan Vira. Dengan cepat, Perubahan wajahnya pun berganti menjadi lebih energik. Hal itu membuat Vira yang tahu sebab Alya dalam kesulitan mampu bernafas lega.

Heru yang mendapati ada sesuatu yang terjadi pada bawahannya itu menatap penuh tanya kepada Vira. Namun bukan jawaban yang didapatinya melainkan wanita tersebut hanya mengedikkan bahunya sebagai jawaban yang dia berikan.

“Nanti saja saya ceritakan, jika keadaan Alya sudah lebih baik. Ini tentang ibunya,” kata Vira sekilas pada sang atasan. 

Wanita itu pun ikut berlalu menyusul Alya yang sudah lebih dulu meninggalkan ruang desain itu menuju ke bagian cutting. Mereka harus menjelaskan langkah-langkah pemotongan agar tidak terjadi kesalahan. Sedikit saja kesalahan itu terjadi, akan berakibat fatal atas model baju yang akan dijahit di bagian produksi nanti.

Waktu terus bergilir menuju siang. Hingga jam istirahat tiba, Alya bisa melupakan sejenak kesulitan yang sedang dihadapinya.

Sang ibu sudah berada di rumah sakit. Tentu saja terjadi tidak bisa menemani di sana, maka Adiknya lah rela tidak masuk sekolah dan menunggu ibunya di sana.

Alya yang sedang membutuhkan banyak uang tentu saja tidak bisa meminta izin untuk tidak bekerja. Yang ada jadinya akan mendapatkan potongan, dan dia tidak ingin itu terjadi. 

Gaji yang Alya dapatkan dari perusahaan itu cukup lumayan dibanding karyawan lain di bagian lapangan. Selain dia bisa menunjang kebutuhan ekonomi keluarganya dia pun bisa membantu membayar biaya sekolah adik dan biaya kursus desain yang sengaja diambil untuk menambah skill dalam bidang desainernya.

Alya hanya lulus SMK dari kejuruan tata busana. Tentu saja Dia memiliki keahlian dalam bidang tersebut. Ingin sekali melanjutkan pendidikan di bidang fashion, tentu saja ekonomi menjadi penghalang untuknya untuk menambah skill yang dia miliki. 

Saat Alya menyelesaikan makan siang bersama Vira. Ponsel Android keluaran terbaru yang ia dapatkan sebagai fasilitas dari Heru, atasannya itu berbunyi. 

Alya menjadi panik, berpikir jika panggilan yang masuk ke dalam ponselnya itu berasal dari rumah sakit. Tentu saja Ayah menjadi khawatir dan segera mengambil ponsel dari saku celana bahan yang ia kenakan.

“Dari sekolah Safa?” Gumam Alya pelan, saat mendapati dari wali kelas adiknya.

Tidak menunggu lama, gadis yang mendapat panggilan dari wali kelas sang adik itu pun segera menggeser tombol berwarna hijau pada benda pipih yang ada di tangannya.

“Assalamualaikum, Bu.” Alya menyapa dengan ramah dan sopan. Dalam hatinya, ia pun dibuat cemas dengan panggilan yang ia yakin ada sesuatu hal yang penting hingga sampai wali kelas sang adik menghubunginya. 

“Waalaikumsalam, Mbak Alya. Ini Bu Rahma, wali kelas Safa.” Wanita yang ada dalam seberang panggilan Alya itu pun memperkenalkan diri.

“Iya, Bu. Saya tahu. Ada apa ya Ibu menghubungi saya? Bukankah Safa sudah meminta izin itu tidak masuk sekolah terlebih dulu karena sedang menjaga ibu saya yang saat ini masih dirawat di rumah sakit? Saya harap Ibu bisa mengerti karena kondisi saya yang harus tetap bekerja dan tidak bisa ditinggalkan.”

Alya yang sedang cemas jika wali kelas Alya akan menunggu adiknya karena tak masuk sekolah itu pun memberikan penjelasannya kembali. Karena kemarin dia sudah mengirimkan pesan kepada wanita tersebut untuk meminta izin agar tidak masuk sekolah dan sudah mendapatkannya. 

Lalu, hal apa yang membuat wanita itu menghubunginya sekarang? Melihat waktu yang tertera di pergelangan tangannya, Alya tahu jika itu masih jam sekolah. 

“Iya, Mbak Alya. Saya tahu. Saya menghubungi Mbak Alya  bukan karena masalah ketidakhadiran Safa ke sekolah.  Ada hal lain yang berhubungan dengan kegiatan akhir tahun Safa di sekolah yang harus dipenuhi.” 

Wanita itu memberitahukan niatnya menghubungi Alya. 

Alya mengerti, Ke mana arah pembicaraan wanita tersebut.

“Oh, soal itu ya, Bu. Saya minta maaf, Bu. Saya belum bisa melunasi tunggakan yang seharusnya sudah saya lakukan. Kejadian ini benar-benar di luar kendali kami. Bahkan saat ini saya juga sedang bingung.” 

Alya mencoba memberitahukan kesulitan yang sedang ia hadapi kepada wanita tersebut. Dia sangat berharap pihak Sekolah di mana Safa belajar, akan memberikan keringanan kepada adiknya supaya Safa tetap bisa mengikuti kegiatan akhirnya.

“Saya tahu, Mbak Alya. Oleh karena itu, saya berharap mbak Alya bisa datang dan menemui pihak administrasi sekolah terlebih dahulu,” kata wanita di ujung panggilan yang dia lakukan kepada Alya.

Setelah panggilan yang dilakukan keduanya itu berakhir, Alya kembali dibuat lemas oleh masalah yang sepertinya datang silih berganti dalam hidupnya ini. 

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
댓글 (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
kasihan Alya. masih puyeng urusan uang ibunya eh diingetin buat uang sekolah adiknya.
댓글 모두 보기

최신 챕터

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 112. Usaha Evan

    Di rumah Evan, Alya sudah seminggu kembali dari rumah ibunya, suasana mencekam. Alya duduk di depan TV, menatap layar dengan wajah pucat. Vira ada di sampingnya, menggenggam tangan sahabatnya erat.“Kenapa mereka sejahat itu, Mbak? Aku… aku tidak pernah minta apa pun. Tidak pernah cari sensasi…” suara Alya gemetar. Jujur, ia tak pernah berpikir hingga sejauh ini sebab kembali masuk ke kehidupan Evan yang bahkan tidak ia inginkan. “Kamu harus tenang. Jangan berpikir macam-macam. Pak Evan pasti tidak akan tinggal diam.” Vira meyakinkan Alya dan menguatkan jika Evan pasti akan selalu berada di pihaknya. “Aku tak yakin, Mbak. Yang dihadapinya bukan hanya keluarga wanita itu. Tapi keluarganya juga.” Alya sungguh putus asa dan bingung di situasi seperti ini. “Pak Evan sudah berjanji. Dan dia tidak akan mengingkari. Kamu yakin itu,” tegas Vira meyakinkan Alya yang lemah saat ini. Ponsel Alya bergetar. Nama Evan muncul.“Alya…” suara Evan terdengar berat. “Aku minta maaf. Aku tidak bisa m

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 111. Konflik Bisnis dan Cinta

    Langit sore itu menggantung kelabu di atas gedung yang menujlang tinggi di ibu kota. Dari balik jendela lantai ruangan presdir yang berkuasa. Evan Mahardika memandangi awan yang mulai menebal, seakan menjadi pertanda akan datangnya badai. Namun badai itu bukan hanya milik langit—ia telah memasuki ruang kantornya lebih dulu.Pintu ruang direktur utama terbuka perlahan. Sosok tinggi tegap masuk dengan langkah pasti. Ibrahim Sandres, ayah Evan sekaligus pendiri bisnis yang kini Evan kendalikan, membawa serta aura tekanan yang membuat ruangan seketika mencekam. Setelan jasnya rapi, rambut peraknya disisir ke belakang, dan matanya—dingin dan tajam seperti belati."Kita perlu bicara," ujar Ibrahim tanpa basa-basi saat memasuki ruangan mewah sang pemimpin yang tak lain adalah anaknya sendiri. Evan berdiri dari balik mejanya. “Silakan, Ayah. Duduklah.”Namun Ibrahim tak duduk. Ia berdiri tegak, menatap Evan dari seberang meja seperti seorang hakim menatap terdakwa. Tatapan yang menghujam bak

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 110. Harus Kembali

    Evan menyalakan mesin mobil, jendela setengah terbuka. Dari kaca spion, ia bisa melihat Alya memeluk Cale, berdiri di tepi jalan makam. Mereka melambai pelan, dan Evan membalasnya sebelum akhirnya melajukan mobil keluar dari kompleks pemakaman.Di dalam mobil, Evan menghela nafas panjang. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Ada desakan tanggung jawab di Jakarta, ada rasa bersalah karena meninggalkan Alya di saat seperti ini. Tapi lebih dari itu, ada kekhawatiran yang tak bisa ia tolak—tentang bagaimana kelanjutan hubungan mereka.Perjalanan kembali ke ibu kota terasa lebih panjang dari biasanya. Angin yang meniupkan kenangan, suara isak Alya, tatapan kosong Cale… semuanya melekat di pikirannya.Sementara itu, di rumah duka, Alya menutup pintu kamar ibunya dengan pelan. Ia baru saja merapikan barang-barang pribadi ibunya. Sepotong syal coklat muda yang masih tersimpan rapi, surat-surat lama, dan sebuah album foto yang sudah menguning di sudut halaman.Ia membuka album itu, sa

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 109. Di Antara Hening dan Perpisahan

    Langit Kota Bogor memayungi bumi dengan awan-awan kelabu. Hujan belum turun, tetapi aroma tanah basah yang menggantung di udara seakan menjadi pengantar duka yang tak terucap. Angin berhembus pelan, menyusup di antara pohon-pohon kamboja yang berdiri bisu di kompleks pemakaman itu.Langkah kaki menyusuri tanah merah yang baru tergali. Di antara para pelayat berpakaian hitam dan putih, Alya berdiri paling depan, tubuhnya gemetar dalam balutan kebaya hitam sederhana. Kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, menahan segala perasaan yang nyaris meledak sejak semalam.Di sebelahnya, Evan berdiri dalam diam. Matanya tertuju pada liang lahat yang sudah menelan peti kayu coklat tua, tempat peristirahatan terakhir ibu Alya, wanita yang telah mempertemukan kembali takdir mereka. Pria itu mengenakan jas hitam, dasinya berwarna abu gelap, senada dengan duka yang mengelilingi mereka.Doa-doa mengalun lirih. Suara pengajian dari ustaz yang memimpin prosesi terdengar lembut namun dalam. Setia

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 108. Kehilangan

    Evan menatap sosok lemah di balik dinding kaca ICU dengan mata yang dipenuhi keraguan. Tangannya mengepal, kemudian mengendur ketika ia melirik ke arah Alya yang tengah duduk bersandar di bangku lorong rumah sakit, memangku Cale yang sudah tertidur.Safa berdiri tak jauh dari mereka, matanya mengamati situasi dengan kewaspadaan dan keresahan yang sama dengan sang kakak. Evan melangkah mendekat. Detik itu juga, Alya membuka mata, seperti bisa merasakan kehadirannya. Ia melihat Evan sudah berdiri tak jauh darinya. "Alya," panggil Evan pelan.Alya menatapnya lelah, namun tetap tegar."Boleh aku bicara sebentar dengan Ibu?" tanyanya dengan nada hati-hati, menahan emosi yang bergulat di dadanya.Alya mengerutkan kening. “Untuk apa?” Tentu saja Alya tak tahu apa yang hendak dilakukan oleh pria pada sang ibunya d dalam sana. “Bukan untuk hal yang membuatmu tak nyaman. Aku hanya ingin... meminta maaf padanya. Atas semua yang terjadi padamu dan Cale selama ini. Terutama denganmu,” jawab Eva

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 107. Permintaan Terakhir

    Udara pagi masih menyisakan embun di kaca-kaca rumah sakit. Aroma antiseptik menguar tajam saat pintu utama terbuka, menyambut kedatangan Evan yang menggendong Cale dalam dekapan eratnya. Anak kecil itu masih mengenakan jaket tebal berwarna biru laut, kepalanya bersandar di bahu sang ayah, sesekali menguap kecil, menggosok matanya yang masih mengantuk.Evan melangkah cepat menyusuri koridor menuju lantai tiga, tempat Alya menunggunya. Wajah pria itu penuh ketegasan, namun sorot matanya menunjukkan kekhawatiran. Ia menatap layar ponsel sekali lagi, membaca pesan terakhir dari Alya."Tolong bawa Cale ke rumah sakit, Evan. Ibu ingin melihatnya. Mungkin... ini bisa jadi pertemuan terakhir mereka."Ia menghela nafas panjang, dada sesak oleh kemungkinan-kemungkinan buruk yang belum sempat ia cerna sepenuhnya.Saat lift terbuka, Alya sudah berdiri di sana, menunggu mereka dengan mata sembab dan raut lelah. Tatapannya langsung jatuh pada putranya yang kini sudah terlelap di pelukan Evan.“Mom

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status