“Maaf.”
Vira yang sebelumnya terlihat antusias mendengar keluhan dari Alya itu tiba-tiba meminta maaf pada temannya.
Dia menatap sendu pada Alya, setelah mendengar cerita yang disampaikan oleh rekan kerjanya tersebut. Vira tidak mampu berbuat banyak. Sebagai teman yang baik dia hanya mampu mendoakan semoga kalian bisa melewati ujian hidup yang terjadi pada dirinya dan keluarganya tersebut.
“Kenapa Mbak minta maaf. Mbak ga salah apa pun loh,” kata Alya.
Wanita yang semula sudah bersiap menumpahkan cairan kristal di balik kelopak matanya itu tiba-tiba terkekeh pelan. Dia mengulas senyum cantiknya, menatap pada sang teman karena Vira yang sama sekali tidak melakukan kesalahan malah meminta maaf kepadanya.
“Al.”
Wanita yang menetap sendu kepada Alya itu bukan suara, masih dengan tatapan nanarnya. Dia berucap, “mbak minta maaf. Kali ini habis tidak bisa membantu lebih untukmu dan keluargamu. Jujur saja Mbak juga habis memberikan pinjaman kepada Mas Emir untuk biaya pendidikannya. Jadi, Mbak tidak bisa membantumu lebih banyak selain hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu dan juga ibumu, “ terang wanita yang begitu baik di mata Alya.
Alya mengulas Senyum manisnya, tatapan sendu yang semula menghias wajahnya itu berubah menjadi wajah yang ceria.
“Mbak, Alya nggak minta mbak buat kasih pinjem sama Alya. Kan mbak sendiri yang minta pada Alya untuk menceritakan sebab Alya menjadi sedih.”
Dalam keadaan sedang bersedih, gadis yang terbiasa ceria itu masih mampu menghibur Vira. Alhasil, wanita yang jauh lebih dewasa dari Alya itu mengulas senyumnya.
“Kamu yang sabar ya. Allah pasti sudah siapkan rencana terbaik untukmu dan keluargamu. Mbak hanya bisa mendoakan semoga ada keajaiban yang bisa membantumu mendapatkan jalan keluar.”
Vira mendoakan sang teman, dia menggenggam erat tangan Alya. Menyalurkan kekuatan pada sang teman agar bersabar menghadapi kesulitan ujian hidupnya.
“Aamin, Mbak. Terima kasih ya,” jawab Alya.
“Jangan ngobrol mulu. Bagian cutting sudah minta desain yang harus mereka potong,” sela Heru, kepala bagian Yang menaungi bagian desain pabrik tekstil tempat mereka bekerja.
Ruangan yang semula hanya ada Alya dan Vira itu tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran Heru yang menjadi atasan mereka. Pria itu menatap heran ke arah Alya dan Vira secara bergantian. Tentu saja, dia penasaran dengan mata sembab yang terjadi pada salah satu bawahannya itu.
“Kau kenapa?” Tanya Heru pada Alya.
“Tidak. Aku tidak apa-apa, Pak. Aku akan segera antar pola ke bagian cutting sekarang. Bapak tenang saja, semua desain sudah kami selesaikan kok,” kata Alya, meski terlihat sedih dia tetap menunjukkan senyum manisnya.
Dengan begitu cekatan, gadis itu bangkit dari duduknya bersama dengan Vira. Dengan cepat, Perubahan wajahnya pun berganti menjadi lebih energik. Hal itu membuat Vira yang tahu sebab Alya dalam kesulitan mampu bernafas lega.
Heru yang mendapati ada sesuatu yang terjadi pada bawahannya itu menatap penuh tanya kepada Vira. Namun bukan jawaban yang didapatinya melainkan wanita tersebut hanya mengedikkan bahunya sebagai jawaban yang dia berikan.
“Nanti saja saya ceritakan, jika keadaan Alya sudah lebih baik. Ini tentang ibunya,” kata Vira sekilas pada sang atasan.
Wanita itu pun ikut berlalu menyusul Alya yang sudah lebih dulu meninggalkan ruang desain itu menuju ke bagian cutting. Mereka harus menjelaskan langkah-langkah pemotongan agar tidak terjadi kesalahan. Sedikit saja kesalahan itu terjadi, akan berakibat fatal atas model baju yang akan dijahit di bagian produksi nanti.
Waktu terus bergilir menuju siang. Hingga jam istirahat tiba, Alya bisa melupakan sejenak kesulitan yang sedang dihadapinya.
Sang ibu sudah berada di rumah sakit. Tentu saja terjadi tidak bisa menemani di sana, maka Adiknya lah rela tidak masuk sekolah dan menunggu ibunya di sana.
Alya yang sedang membutuhkan banyak uang tentu saja tidak bisa meminta izin untuk tidak bekerja. Yang ada jadinya akan mendapatkan potongan, dan dia tidak ingin itu terjadi.
Gaji yang Alya dapatkan dari perusahaan itu cukup lumayan dibanding karyawan lain di bagian lapangan. Selain dia bisa menunjang kebutuhan ekonomi keluarganya dia pun bisa membantu membayar biaya sekolah adik dan biaya kursus desain yang sengaja diambil untuk menambah skill dalam bidang desainernya.
Alya hanya lulus SMK dari kejuruan tata busana. Tentu saja Dia memiliki keahlian dalam bidang tersebut. Ingin sekali melanjutkan pendidikan di bidang fashion, tentu saja ekonomi menjadi penghalang untuknya untuk menambah skill yang dia miliki.
Saat Alya menyelesaikan makan siang bersama Vira. Ponsel Android keluaran terbaru yang ia dapatkan sebagai fasilitas dari Heru, atasannya itu berbunyi.
Alya menjadi panik, berpikir jika panggilan yang masuk ke dalam ponselnya itu berasal dari rumah sakit. Tentu saja Ayah menjadi khawatir dan segera mengambil ponsel dari saku celana bahan yang ia kenakan.
“Dari sekolah Safa?” Gumam Alya pelan, saat mendapati dari wali kelas adiknya.
Tidak menunggu lama, gadis yang mendapat panggilan dari wali kelas sang adik itu pun segera menggeser tombol berwarna hijau pada benda pipih yang ada di tangannya.
“Assalamualaikum, Bu.” Alya menyapa dengan ramah dan sopan. Dalam hatinya, ia pun dibuat cemas dengan panggilan yang ia yakin ada sesuatu hal yang penting hingga sampai wali kelas sang adik menghubunginya.
“Waalaikumsalam, Mbak Alya. Ini Bu Rahma, wali kelas Safa.” Wanita yang ada dalam seberang panggilan Alya itu pun memperkenalkan diri.
“Iya, Bu. Saya tahu. Ada apa ya Ibu menghubungi saya? Bukankah Safa sudah meminta izin itu tidak masuk sekolah terlebih dulu karena sedang menjaga ibu saya yang saat ini masih dirawat di rumah sakit? Saya harap Ibu bisa mengerti karena kondisi saya yang harus tetap bekerja dan tidak bisa ditinggalkan.”
Alya yang sedang cemas jika wali kelas Alya akan menunggu adiknya karena tak masuk sekolah itu pun memberikan penjelasannya kembali. Karena kemarin dia sudah mengirimkan pesan kepada wanita tersebut untuk meminta izin agar tidak masuk sekolah dan sudah mendapatkannya.
Lalu, hal apa yang membuat wanita itu menghubunginya sekarang? Melihat waktu yang tertera di pergelangan tangannya, Alya tahu jika itu masih jam sekolah.
“Iya, Mbak Alya. Saya tahu. Saya menghubungi Mbak Alya bukan karena masalah ketidakhadiran Safa ke sekolah. Ada hal lain yang berhubungan dengan kegiatan akhir tahun Safa di sekolah yang harus dipenuhi.”
Wanita itu memberitahukan niatnya menghubungi Alya.
Alya mengerti, Ke mana arah pembicaraan wanita tersebut.
“Oh, soal itu ya, Bu. Saya minta maaf, Bu. Saya belum bisa melunasi tunggakan yang seharusnya sudah saya lakukan. Kejadian ini benar-benar di luar kendali kami. Bahkan saat ini saya juga sedang bingung.”
Alya mencoba memberitahukan kesulitan yang sedang ia hadapi kepada wanita tersebut. Dia sangat berharap pihak Sekolah di mana Safa belajar, akan memberikan keringanan kepada adiknya supaya Safa tetap bisa mengikuti kegiatan akhirnya.
“Saya tahu, Mbak Alya. Oleh karena itu, saya berharap mbak Alya bisa datang dan menemui pihak administrasi sekolah terlebih dahulu,” kata wanita di ujung panggilan yang dia lakukan kepada Alya.
Setelah panggilan yang dilakukan keduanya itu berakhir, Alya kembali dibuat lemas oleh masalah yang sepertinya datang silih berganti dalam hidupnya ini.
Alya merasa lemas seketika, saat harus menyadari panggilan untuk datang ke sekolah Safa, adiknya. Selain tak bisa mengabaikan masalah biaya yang harus ia dapatkan untuk pengobatan ibunya. Alya juga tidak bisa membiarkan Safa mengalami kesulitan di ujung kelulusan yang sudah di depan mata.Ternyata seperti ini rasanya sekolah di swasta. Semua harus serba dengan uang. Bahkan, saat harus mengikuti ujian akhir pun. Uang masih harus menjadi prioritas yang harus diselesaikan. “Ada apa lagi?” Tanya Mbak Vira pada Alya. Alya menoleh pada sang teman, menghela nafas beratnya, sebelum akhirnya membuangnya dengan perlahan.Dia menatap pada Vira sekilas, sebelum akhirnya mengalihkan tatapan pada jalanan menuju ke ruang kerja mereka.“Panggilan dari sekolah Safa, Mbak. Sebentar lagi Safa akan ujian akhir, wali kelasnya meminta Alya untuk datang ke sekolah mengenai perihal uang akhir tahun Safa yang belum terbayar lunas.” Alya sama sekali tidak menutupi gambar yang baru saja ia dapatkan dari wal
“Woi! Lo bisa nggak naik motor!” Teriak seorang pejalan kaki yang hampir saja tertabrak oleh Alya yang tidak menyadari lampu merah menyala di perempatan jalan yang sedang dilaluinya.“Maaf, maaf. Saya tidak sengaja. Saya kurang berhati-hati,” ujar Alya yang hampir saja menabrak pejalan kaki yang hendak menyerang jalan yang ia lalui untuk kembali pulang menuju ke rumah sakit. “Al. Kamu tidak apa-apa kan? Kamu harus hati-hati mengendarai sepeda motor. Kamu pasti sedang ngelamun, makanya hampir saja menabrak orang.” Alya menoleh, dia mengangguk pelan. Membenarkan kalimat Mbak Vira akan fakta yang terjadi pada dirinya. “Iya, Mbak. Alya minta maaf,” jawab Alya. “Apa ganti mbak saja yang bawa motornya?” Tawar Mbak Vira untuk berganti membawa sepeda motornya. Alya menggeleng, “Tidak perlu Mbak. Alya akan lebih berhati-hati lagi.” Tanpa mereka sadari, kejadian yang baru saja mereka alami tersebut tak luput dari sepasang mata yang memperhatikan mereka dari dalam mobil mewah yang dikendar
Mendadak detak jantung Aliya berhenti seketika, saat harus mendapatkan penawaran yang semula ia pikir berupa angin segar untuknya itu nyatanya salah. Harapan yang semula ia pikir jika Evan akan berubah pikiran dan akan membantunya dengan sukarela untuk meminjamkan uang perusahaan padanya itu salah. Melainkan yang Alya dapatkan adalah sebuah penawaran gila yang tak akan pernah dia lakukan sebagai seorang wanita yang memegang penuh prinsip untuk selalu menjaga harga diri dan mahkota berharga yang dia miliki sebagai seorang wanita. Di zaman yang sudah sangat maju, dengan banyaknya kebebasan yang sering dilihatnya di depan mata. Alya semakin tidak ingin mengikuti pergaulan bebas yang terjadi di kehidupan yang ada di sekitarnya. Biarlah, dia dianggap norak dengan tidak pernah memiliki seorang kekasih. Dari pada harus kehilangan mahkota berharga yang selalu menjadi kebanggaan seorang wanita yang dia punya. Tidak mengapa bagi Alya harus miskin harta. Tetapi dia tidak akan miskin h
Langkah kaki Alya yang sudah sangat siap meninggalkan ruang kerja Evan itu kembali terhenti. Kalimat yang baru dia dengar dari Evan berhasil mengusir indera pendengarannya. Dan apa yang dimaksudkan oleh pria itu, tentu berhasil membuat hati Alya sangat tersinggung oleh setiap kalimat yang berhasil menyentil hati nuraninya sebagai seorang anak. Alya membalikkan tubuhnya, menatap datar ke arah pria yang sudah berhasil mengusik perasaannya tentang bakti seorang anak yang baru saja dikatakan oleh pria yang saat ini masih memberikan tatapan sinis ke arahnya. “Apa yang anda bilang? Anda mengingatkanku untuk bakti dengan orang tua,” kata Alya dengan perasaan yang sangat geram. Tetapi gadis itu berusaha menahan diri agar tidak meledakkan emosi yang saat ini tengah dia tahan. Setelah berkata hal demikian pada Evan, pria argina menurutnya itu. Dia pun kembali membuka suara. “Justru karena saya sangat berbakti pada wanita yang sangat berjasa bagi saya itu saya rela melakukan apa pun untu
“Kamu baik-baik saja?” tanya salah satu karyawan pria yang wajahnya cukup familiar bagi Alya. Tapi Alya lupa, siapa pria yang saat ini tengah menyapanya.Alya dengan mata sembabnya itu pun berusaha memberikan senyum terbaiknya pada pria yang ia tahu adalah karyawan pabrik juga sama seperti dengannya. Ya, itu yang Alya bisa pikirkan saat ini. “Saya baik-baik saja,” jawab Alya berusaha ramah, meski hatinya masih merasakan sesak.Pria yang berusia beberapa tahun lebih tua dari Alya itu pun memberikan anggukan pada Alya. Tetapi, dia masih berusaha menelisik sesuatu yang terjadi kepada wanita yang baru keluar dari dalam toilet tersebut.“Bagaimana kabar ibumu, sayadengar beliau masuk ke rumah sakit?” Tanya pria yang bahkan namanya pun Alya tidak mengetahuinya.Tetapi pria yang ada di hadapannya itu bisa tahu, jika ibunya masuk ke rumah sakit.Alya yang mendapati pertanyaan itu pun terdiam, dia berusaha mengingat siapa pria yang ada di hadapannya tersebut. Alya merasa familiar dengan waj
Mata sembab yang terjadi pada ayat Antum menarik perhatian bagi siapa saja yang menatap gadis yang tampak terlihat lesu dalam melangkah menuju ke ruang kerjanya tersebut.Putus sudah harapan yang Alya miliki, entah bagaimana caranya lagi dia harus mendapatkan uang untuk membiayai ibunya lagi. “Kamu kenapa lagi, Al? Apa kamu dari ruang Pak Evan lagi? Apa kamu berusaha membujuk beliau lagi, untuk bisa mendapatkan uang pinjaman?” Pertanyaan beruntun itu pun Vira berikan kepada Alya kembali saat mendapati gadis yang baru tiba di ruang kerjanya itu tampak terlihat lesu dan sembab pada kedua matanya. Dia yang sudah tiba lebih dulu, karena tahu jika Alya semalam menginap di rumah sakit itu sebelumnya berpikir jika rekan kerjanya itu kurang beristirahat saat berjaga. Tetapi setelah diamati olehnya, dia yakin jika mata sembab yang terjadi pada ayah itu bukan karena kurang beristirahat melainkan habis menangis.Alya membalas tatapan sendu dari wanita yang sedang mencecar dirinya pertanyaan b
Memang, bantuan yang Alya dapatkan dari open donasi yang dilakukan oleh anak bagian produksi tidaklah bisa mengcover biaya operasi yang ingin Alya lakukan untuk sang ibu. Tetapi, bagi Alya ketulusan yang dilakukan oleh mereka itu sangat berarti sekali. Dia bahagia dan senang melihat rasa simpati yang ditunjukkan oleh karyawan bagian lapangan atas musibah yang sedang dialaminya saat ini.Perasaan Alya siang ini tidak seperti saat pagi dia menghabiskan waktu dengan menyibukkan diri dengan bergelut dalam pekerjaannya.Perasaannya jauh lebih baik dari sebelumnya, meski pikirannya masih jauh melayang dengan cara yang harus ditempuhnya untuk bisa mencari tambahan biaya yang bahkan barang berharga yang dia punya dijual pun tidak akan mencukupinya.“Al, pulang kerja kamu nanti langsung ke rumah sakit?” Tanya Vira, yang batu masuk ke dalam membawa berkas sketsa yang ada di tangannya.Vira baru keluar dari ruangan Heru, supervisor mereka. Alya yang biasa berkonsultasi seorang diri kepada sang
Alya yang mendapati panggilan tiba-tiba dari Evan itu pun terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka jika pria arogan itu akan memanggilnya. Untuk apa Evan panggil dirinya? Apa pria itu berubah pikiran, menurutnya. Tapi, Alya tidak ingin terlalu berharap. Bahkan hal sebelumnya saat harapan itu di depan mata pun kembali Alya harus menelan kegagalan dan kecewa yang dia dapatkan. Alya menatap ke arah Vira yang saat itu tengah menatapnya pula. Saling bertanya lewat sorot mata, untuk hal apa Evan memanggilnya. “Ada apa ya, Pak?” Tanya Alya dalam rasa penasarannya. Pak Heru yang mendapat pertanyaan dari Alya hanya mampu mengedikkan bahunya. Karena dia pun tidak tahu menahu sebab Evan meminta Alya untuk datang di ruang kerjanya sepulang jam kantornya. “Entah. Aku juga tidak tahu. Datang saja nanti ke ruangannya. Mungkin beliau berubah pikiran, dan mengabulkan permintaan yang sudah kamu ajukan kepada perusahaan, “ kata Pak Heru pada Alya. “Semoga saja ya, Al. Semoga saja yang dibilang P