Mata sembab yang terjadi pada ayat Antum menarik perhatian bagi siapa saja yang menatap gadis yang tampak terlihat lesu dalam melangkah menuju ke ruang kerjanya tersebut.Putus sudah harapan yang Alya miliki, entah bagaimana caranya lagi dia harus mendapatkan uang untuk membiayai ibunya lagi. “Kamu kenapa lagi, Al? Apa kamu dari ruang Pak Evan lagi? Apa kamu berusaha membujuk beliau lagi, untuk bisa mendapatkan uang pinjaman?” Pertanyaan beruntun itu pun Vira berikan kepada Alya kembali saat mendapati gadis yang baru tiba di ruang kerjanya itu tampak terlihat lesu dan sembab pada kedua matanya. Dia yang sudah tiba lebih dulu, karena tahu jika Alya semalam menginap di rumah sakit itu sebelumnya berpikir jika rekan kerjanya itu kurang beristirahat saat berjaga. Tetapi setelah diamati olehnya, dia yakin jika mata sembab yang terjadi pada ayah itu bukan karena kurang beristirahat melainkan habis menangis.Alya membalas tatapan sendu dari wanita yang sedang mencecar dirinya pertanyaan b
Memang, bantuan yang Alya dapatkan dari open donasi yang dilakukan oleh anak bagian produksi tidaklah bisa mengcover biaya operasi yang ingin Alya lakukan untuk sang ibu. Tetapi, bagi Alya ketulusan yang dilakukan oleh mereka itu sangat berarti sekali. Dia bahagia dan senang melihat rasa simpati yang ditunjukkan oleh karyawan bagian lapangan atas musibah yang sedang dialaminya saat ini.Perasaan Alya siang ini tidak seperti saat pagi dia menghabiskan waktu dengan menyibukkan diri dengan bergelut dalam pekerjaannya.Perasaannya jauh lebih baik dari sebelumnya, meski pikirannya masih jauh melayang dengan cara yang harus ditempuhnya untuk bisa mencari tambahan biaya yang bahkan barang berharga yang dia punya dijual pun tidak akan mencukupinya.“Al, pulang kerja kamu nanti langsung ke rumah sakit?” Tanya Vira, yang batu masuk ke dalam membawa berkas sketsa yang ada di tangannya.Vira baru keluar dari ruangan Heru, supervisor mereka. Alya yang biasa berkonsultasi seorang diri kepada sang
Alya yang mendapati panggilan tiba-tiba dari Evan itu pun terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka jika pria arogan itu akan memanggilnya. Untuk apa Evan panggil dirinya? Apa pria itu berubah pikiran, menurutnya. Tapi, Alya tidak ingin terlalu berharap. Bahkan hal sebelumnya saat harapan itu di depan mata pun kembali Alya harus menelan kegagalan dan kecewa yang dia dapatkan. Alya menatap ke arah Vira yang saat itu tengah menatapnya pula. Saling bertanya lewat sorot mata, untuk hal apa Evan memanggilnya. “Ada apa ya, Pak?” Tanya Alya dalam rasa penasarannya. Pak Heru yang mendapat pertanyaan dari Alya hanya mampu mengedikkan bahunya. Karena dia pun tidak tahu menahu sebab Evan meminta Alya untuk datang di ruang kerjanya sepulang jam kantornya. “Entah. Aku juga tidak tahu. Datang saja nanti ke ruangannya. Mungkin beliau berubah pikiran, dan mengabulkan permintaan yang sudah kamu ajukan kepada perusahaan, “ kata Pak Heru pada Alya. “Semoga saja ya, Al. Semoga saja yang dibilang P
Alya dan Evan kini berada dalam ruang yang sama satu sama lain. Alya masih bergeming di tempatnya saat Rafi meninggalkan ruang kerja sang atasan. Evan menatap datar ke arah Alya, seolah sedang menilai diri Alya yang saat ini berada dalam ruang kerjanya atas panggilan yang telah ia minta pada Heru, bawahannya. Alya yang mendapati tatapan seperti itu dari Evan itu berusaha menetralisir rasa gugup yang tengah dia rasakan. Bukan Alya tak berani justru dia semakin grogi saat seperti ini dia seperti orang yang sedang dikuliti. Seperti orang yang hendak melakukan interview kerja saja, itu yang terlintas dalam pikiran Alya saat ini. Dan dia pun teringat saat melakukan wawancara kerja untuk pertama kalinya di perusahaan ini. “Selamat sore, Pak. Pak Heru bilang, Bapak panggil saya,” ucap Alya setelah beberapa saat mengurai rasa tak nyaman sebab Evan terus menatap ke arahnya. Alya memulai untuk membuka kata terlebih dulu, setelah beberapa saat tak ada perbincangan yang terjadi saat dir
Alya berjalan dengan sangat lemas, seakan tak bertenaga sama sekali. Mendapati kenyataan jika Evan sudah mengabulkan permintaan yang sebelumnya ia berikan karena dalam keadaan terjepit itu membuat Alya merasa dalam dilema sendiri. Alya sedang berpikir keras tentang dirinya sendiri. Apakah tindakan yang dilakukan olehnya itu sudah benar atau sebuah kesalahan. Tetapi Kini dia tidak bisa melangkah mundur sekalipun.Yang Alya lakukan saat ini hanya bisa menatap ke depan. Menerima segala konsekuensi atas tindakan yang sudah Evan lakukan. Bahkan dia sendiri sama sekali tidak tahu menahu, jika Evan sudah melakukan tindakan terlalu jauh untuk ibunya. Apa memang seperti itu pengaruh seseorang yang memiliki banyak uang? Jika uang sudah bicara, maka apa pun itu menjadi lebih mudah. Alya tidak langsung pulang. Memang, dia ingin sekali tahu segera kondisi ibunya. Alya lebih memilih menuju ke sebuah mushola untuk melaksanakan ibadah ashar yang belum ia tunaikan. Alya ingin menenangkan diri seje
Alya sedang menunggu ibunya dengan perasaan yang sangat gelisah. Selain dirinya yang saat ini gelisah menghadapi ibunya yang harus mendapat serangkaian pemeriksaan kembali. Dia pun sedang gelisah, saat harus menghadapi kenyataan esok yang tengah menunggunya. Bisakah Alya meminta waktu untuk mempersiapkan dirinya terlebih dahulu. Tetapi, dia di sini hanya orang asing yang harus menurut dengan takdir yang tengah menunggunya di depan mata. “Safa ke toilet dulu ya, Mbak,” pamit Safa pada Alya yang tengah duduk gelisah menunggu ibunya di luar ruang bedah tersebut. “Iya, Dek,” jawab Alya. Membiarkan adiknya itu berlalu dari hadapannya, dan dia setia menunggumu bahkan melupakan makan malamnya yang sudah terlewat karena padatnya serangkaian Dokter Adam dan seorang dokter yang usianya terlihat lebih muda dari Dokter Adam itu melangkah mendekat ke arah ruang operasi di mana sang ibu sudah di dalam dengan seorang perawat di dalam. Alya yang melihatnya pun berdiri, menyambut dengan cemas ak
Alya yang mendapati pria asing dengan berseragam serba hitam itu puunn menautkan kedua keningnya. Menatap bingung siapa orang yang sedang menghampirinya. “Saya diminta Pak Evan untuk menjemput anda, Nona,” kata pria berpakaian serba hitam itu kembali. Safa yang mendapati pria asing menghampiri kakaknya itu pun menatap penuh tanya ke pada Alya. Siapa lelaki itu, karena baru pertama kalinya pun dia melihatnya.Alya yang mendengar jika pria yang di hadapannya itu adalah orang suruhan Evan pun membeku. Sama sekali dia tak menyangka, Evan benar-benar menagih janji Alya untuknya.“Mbak, siapa?” Tanya Safa setengah berbisik. Dia mendekat ke arah kakaknya atas rasa penasaran yang terjadi. Alya menoleh pada Safa, menatap kaku pada adiknya tersebut.“Bukan siapa-siapa. Mbak minta izin bicara dulu sama dia sebentar ya,” ujar Alya berpamitan pada Safa.Safa yang sedang dilanda oleh rasa penasaran itu pun terpaksa mengangguk. Membiarkan kakaknya pergi untuk bicara pada pria yang menghampiri m
Sejak masuk ke dalam lift, Alya semakin dibuat cemas. Jari jemarinya pun saling meremas satu sama lain. Dia menggigit bibir bawahnya, tetap saja rasa cemas itu tak mampu terelakkan dari dirinya. Alya lebih memilih diam, karena dia pun tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan selain menurut dengan mengikuti orang suruhan Evan. Berulang kali Alya menarik nafas dalam-dalam, kemudian dia kembali menghembuskan secara perlahan. Tetap saja usaha yang dilakukannya itu tidak mampu membuahkan rasa lega dalam dada yang begitu menyiksa. “Apa anda baik-baik saja, Nona?” Tanya pria yang saat ini bersama Alya di dalam lift hanya berdua saja itu. “Eh, i-iya. Saya baik-baik saja, Pak,” jawab Alya sedikit terkejut. Mungkin ketegangan yang terjadi pada diri Alya itu begitu nampak jelas di mata pria yang saat ini sedang bersamanya. Dia pun terpaksa mengulas senyum palsu yang diberikan kepada pria yang Bertanya kepadanya itu. “Ehm. Apa Pak Evan saat ini di apartemennya seorang diri?” Cicit Alya