Share

Bab 4. Melepas rindu

Penulis: Miarosa
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-05 23:02:03

Tubuh yang dibalut pakaian dari merk terkenal itu menjadi pusat perhatian orang, namun hal itu tidak terasa mengganggu bagi Prita. Sudah biasa bagi Prita menjadi perhatian termasuk gadis yang baru saja meliriknya sekilas yang ada dipikirannya saat ini adalah secepatnya bertemu dengan Akarsana.

Setelah memastikan ruang rawat sudah benar, Prita langsung menekan pegangan pintu dan mendorongnya pelan. Dia bisa melihat Akarsana yang terlihat begitu lemah dengan jarum infus di tangan kanan.

Prita melangkah perlahan memastikan suara ketukan heels yang dikenakan tidak mengganggu istirahat Akarsana. Sayang, harapannya tidak terkabul saat melihat Akarsana perlahan membuka mata.

Oh Tuhan, hati Prita bergetar melihat tatapan lemah Akarsana.

“Nak, bagaimana keadaan kamu? Masih ada yang sakit?” tanya Prita seraya mengusap puncak kepala Akarsana dengan lembut.

“Ma … Na, Naomi di mana?” tanya Akarsana dengan suara lemah. "Aku mau bertemu dengan dia, Ma. Aku mau tanya kenapa di pergi begitu saja."

Raut wajah Prita yang semula khawatir berubah menjadi kesal. Dia tidak suka Akarsana menanyakan wanita yang berani meninggalkan anaknya di hari pernikahan tanpa alasan yang jelas.

Kurang apa Akarsana sampai Naomi pergi begitu saja? Sungguh sebagai seorang ibu hatinya begitu kesal sekaligus marah. Anaknya dipermainkan dan keluarganya dipermalukan. 

“Jangan bertanya tentang Naomi lagi, Nak!” Prita berbicara begitu tegas. “Wanita itu, wanita itu tidak tahu diri, karena sudah mempermainkan kamu dan mempermalukan keluarga kita. Wanita itu tidak pantas untuk kamu!”

“Ma, tap–”

“Tidak ada, Sayang! Tidak ada tapi-tapian dan perlu kamu ingat lagi, Naomi itu sudah menjadi mantan tunangan kamu. Sudah tidak ada lagi hubungan yang mengikat kalian!”

"Ma, tapi aku perlu tahu alasan Naomi pergi begitu saja." Akarsana memejamkan mata. "Kalau dia tahu aku sakit pasti Naomi akan datang ke sini. "Percaya, Ma, dia mencintai aku. Tidak seperti yang Mama pikirkan.

"Sekali tidak, ya Tidak! Jangan membantah Mama, Akarsana!"

Akarsana hanya bisa memejamkan mata mendengar Prita yang terdengar sangat marah. Tenaganya masih belum pulih hanya sekadar membalas. Biarlah Prita berkata apapun untuk saat ini.

Prita menghela nafas nafas dan kembali menatap Akarsana yang kembali memejamkan mata. "Lebih baik kamu istirahat saja, Nak. Jangan memikirkan apapun terlebih dahulu. Yang paling penting adalah kesehatan kamu."

"Iya, Ma."

***

Di lain sisi, Pelangi berjalan dengan senyum mengembang. Tujuannya adalah tempat Ayahnya di rawat. Dia ingin melihat bagaimana keadaan sang Ayah setelah terkena serangan jantung.

"Pelangi," panggil sang Ayah saat melihat Pelangi membuka pintu.

Pelangi langsung berlari kecil dan memeluk sang Ayah. Jujur saja Pelangi sangat lega melihat keadaan ayahnya yang semakin membaik.

"Kangen sama Ayah," ucap Pelangi begitu manja.

"Ayah juga rindu sama kamu dan adik."

Keduanya langsung melepas rindu dengan mengobrol santai. Pelangi juga tidak ragu menceritakan bahwa dirinya tengah tertarik dengan seorang pria. Saat ditanya sang Ayah, Pelangi mengelak bahwa mereka tidak ada hubungan apapun.

"Kenalin sama Ayah," pinta Ayah yang membuat Pelangi bersemu merah.

"Ayah, Pelangi cuma mengagumi saja. Sebatas itu."

"Lebih juga tidak apa, Sayang. Ayah lebih tenang kalau sudah ada laki-laki yang berhasil memikat hati kamu. Setidaknya kalau ayah me—"

"Ayah, Pelangi tidak suka ayah berbicara seperti itu. Ayah akan sehat-sehat saja. Tidak akan terjadi apapun pada Ayah." Mata Pelangi berkaca-kaca mendengar ucapan sang Ayah. Dia tidak akan sanggup jika terjadi sesuatu padanya. Bagi Pelangi, keberadaan  ayahnya sangat penting.

"Sudah, jangan menangis," ucap ayah sambil terkekeh, merasa lucu dengan reaksi Pelangi yang sampai berkaca-kaca.

"Ayah hanya bercanda, Sayang. Jangan menangis!" ucap ayah yang merasa bersalah, karena telah membuat keadaan sang Anak sedih hingga berkaca-kaca.

"Pelangi tidak suka ayah berbicara seperti itu. Ayah akan sehat, menemani aku sama adik."

Pelangi langsung memeluk ayahnya sambil berlinang air mata. Perlahan tangisnya mereda saat merasakan usapan penuh halus nan menenangkan yang diberikan oleh ayahnya.

"Jangan nangis ya, Sayang! Malu sama pacar kamu."

"Ayah," rengek Pelangi yang kembali digoda oleh Ayah. "Pelangi hanya sebatas mengagumi, Yah. Tidak lebih."

"Lebih juga tidak apa, Sayang."

Percakapan itu berakhir dengan godaan yang terus dilontarkan Ayah pada Pelangi. Setelah memastikan sendiri kondisi sang Ayah baik-baik saja, Pelangi memutuskan untuk kembali ke rumah.

Ah iya. Tujuanku tadi untuk menjenguk laki-laki itu, kan?" ucapnya dalam hati.

Langkah Pelangi berubah. Tujuannya sekarang ruangan rawat inap laki-laki yang ia kenali sebagai Akarsana. Dia ingin memastikan apakah Akarsana benar-benar sudah siuman seperti kata Ardian atau tidak.

Kepala Pelangi menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang disekitarnya. Pelangi tidak ingin dicurigai sebagai penguntit yang memiliki rencana buruk. 

"Aman," ucap Pelangi saat situasi di sekeliling aman.

Matanya menatap laki-laki yang tengah memejamkan mata dan menghadap jendela dengan hembusan napas begitu teratur.  Melihat dari tidak banyak alat-alat yang menempel di tubuh seperti kemarin, Pelangi yakin jika kondisinya jauh lebih baik dan stabil.

Dari tempatnya berdiri saat ini, Pelangi tidak yakin apakah laki-laki itu tidur atau tidak. Berulang kali tangannya menggantung di udara. Hatinya seolah mendorong untuk masuk dan melihat dari jarak dekat, namun logika membuat Pelangi berpikir rasional. Dia tidak ingin ketahuan dan mengganggu istirahat orang sakit.

"Semoga kamu cepat sembuh," doa Pelangi dengan tangan mengusap kaca seolah tengah mengusap wajah Akarsana.

Cukup lama berada di depan pintu, Pelangi akhirnya memutuskan untuk pulang. Sudah cukup rasanya memandang wajah itu dan memastikan sendiri bagaimana keadaannya. Setidaknya, Ardian tidak berbohong.

Di dalam ruang rawat itu berulang kali Akarsana memejamkan mata mungkin hanya halusinasinya saja, namun itu wanita dan berambut ikal.

"Naomi," gumam Akarsana.

"Naomi!" teriak Akarsana sambil berusaha bangun dari brankar saat melihat orang itu pergi dari depan pintu.

"Naomi, tunggu!"

Akarsana semakin histeris. Saat orang itu tidak terlihat lagi, bahkan Akarsana nekad mencabut jarum infus secara paksa hingga menimbulkan luka berdarah.

"Akarsana, kamu kenapa?!"

Teriakan itu membuat Akarsana yang terjatuh lantas menengadahkan kepala. Tangan laki-laki itu menunjuk arah pintu.

"Ma, aku tadi melihat Naomi di sana." Akarsana memaksakan dirinya untuk bangun dan mengejar seorang wanita yang ia kira Naomi.

"Naomi siapa? Mama tidak melihat siapa-siapa, Nak," ucap Prita sembari membantu Arkana berdiri.

"Ma, tadi aku lihat Naomi berdiri di sana."

Tanpa mendengar ucapan Akarsana, Prita lantas menekan tombol nurse call. Tangannya tidak henti memberikan usapan pada puncak kepala Akarsana berharap usapan itu membuat sang Anak menjadi lebih tenang.

"Ma, tadi aku beneran lihat Na—"

"Sudah cukup, Akarsana! Tidak ada Naomi. Ingat! Wanita itu sudah pergi meninggalkan kamu. Lupakan dia!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 121. Janji di bawah cahaya bintang. TAMAT.

    Malam itu, suasana rumah masih dipenuhi ketegangan setelah pengakuan Sofia. Pelangi duduk di sofa dengan ekspresi kosong, sementara Akarsana mondar-mandir, pikirannya kacau."Aku masih tidak percaya " gumam Akarsana, suaranya nyaris berbisik.Sofia menunduk, matanya memerah menahan air mata. "Aku juga tidak ingin mempercayainya. Aku menyesal karena tidak melakukan sesuatu sejak dulu, jika aku berani melawan, mungkin Tante Kayla masih hidup."Pelangi menarik napas dalam-dalam. "Kebenaran akhirnya terungkap. Tapi, lalu apa? Apa kita akan membiarkan ini berlalu begitu saja?"Akarsana menatap adiknya dengan mata berkilat. "Tidak, kita tidak bisa membiarkannya. Apa pun yang terjadi, Ibu harus bertanggung jawab."Sofia menggigit bibirnya, lalu menggeleng. "Tapi Akarsana, Ibu kita... dia bahkan sudah tidak waras sekarang. Dia sudah hidup dalam ketakutan selama enam bulan terakhir. Apa yang bisa kita lakukan selain menyerahkannya pada perawatan?"Akarsana mengepalkan tangannya. Ia marah, kece

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 120. Kepingan kenyataan

    Ruangan itu menjadi sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar, seakan menegaskan bahwa ketakutan Prita masih ada, masih mengintai, dan belum benar-benar pergi.Prita masih tersungkur di lantai dengan tubuh gemetar. Air matanya mengalir deras, napasnya tersengal, sementara kedua tangannya mencengkeram kepalanya seolah berusaha menepis suara-suara yang hanya bisa ia dengar."Maafkan aku,Kayla! Maafkan aku!" gumamnya berulang kali, suaranya penuh ketakutan.Akarsana, Sofia, dan Pelangi masih berusaha menenangkannya, tetapi tiba-tiba, suara Prita berubah menjadi jeritan histeris."Aku tidak bermaksud membunuhmu!"Hening.Ketiga orang di ruangan itu membeku, tatapan mereka terpaku pada Prita yang masih terisak. Kata-kata itu menggema di kepala mereka, memenuhi ruangan dengan ketegangan yang mencekam.Akarsana menelan ludah, dadanya berdegup kencang. "Ibu,apa maksudmu?" tanyanya pelan, tetapi suaranya tegas.Prita tidak menjawab. Ia terus meracau, tubuhnya masih bergetar hebat. Seolah kat

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 119. Langkah pertama menuju kedamaian

    Pelangi berdiri di sana, berdampingan dengan seorang pria yang Sofia kenal baik—Akarsana. Namun, perhatiannya langsung terfokus pada Pelangi. Sofia nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pelangi, yang dulu selalu tampak sederhana dan jauh dari kesan feminin, kini berubah. Gaun lembut membalut tubuhnya dengan anggun, rambut panjangnya tergerai dengan rapi, dan ada kehangatan baru dalam sorot matanya. Ia tampak begitu cantik, begitu berbeda. Namun, bukan hanya perubahan penampilan Pelangi yang mengejutkan Sofia. Tangannya yang digenggam erat oleh Akarsana seolah menegaskan sesuatu. Sofia mengangkat pandangannya, melihat ekspresi kakaknya—wajah itu, yang selama ini redup dan penuh beban, kini berseri. Akarsana terlihat seperti dirinya yang dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Sofia menelan ludah, masih belum bisa mencerna semuanya. "K-Kak Pelangi?" suaranya bergetar. Pelangi tersenyum lembut. "Hai, Sofia!"" Sofia mengalihkan tatapannya ke Akarsana, mencari jawaban.

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 118. Tatapan yang saling bertaut

    Diana masih berdiri di tempatnya, dadanya naik-turun seiring napasnya yang tidak beraturan. Tatapan Damar yang begitu dalam tadi masih terbayang di benaknya, mengusik perasaannya yang bahkan belum ia sadari sepenuhnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mengabaikan semuanya, lalu menghembuskan napas panjang. Saat itu juga, suara musik dan tawa dari para tamu pesta kembali menyadarkannya akan kenyataan. Malam ini adalah malam pertunangan Pelangi dan Akarsana. Diana melangkah masuk ke dalam ruangan, tepat saat Ardiyanto menaiki podium kecil di tengah aula, mengambil mikrofon dan mengetuknya pelan. Semua tamu segera menghentikan obrolan mereka dan mengalihkan perhatian ke pria tua itu. "Ladies and gentlemen," Ardiyanto memulai dengan suara penuh wibawa. "Terima kasih telah menghadiri acara malam ini. Malam ini adalah malam yang istimewa bagi keluarga kami, karena cucu saya, Pelangi, akan bertunangan dengan pria yang telah mendapatkan hatinya kembali, Akarsana." Tepuk tangan menggema di

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 117. Kebimbangan di hati Diana

    Pelangi mencoba kembali menenangkan pikirannya setelah pertemuannya dengan Akarsana. Hatinya masih berdebar tidak menentu, tapi kali ini bukan karena keraguan, melainkan karena keputusan besar yang sudah ia buat.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat, disusul suara yang penuh amarah."Pelangi!" suara Diana menggema di ruangan, membuat Pelangi dan Ardiyanto menoleh.Diana berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh kemarahan dan di belakangnya, Danurdara—ayahnya—menyusul dengan tatapan yang lebih tenang tapi tak kalah tegas."Kau serius, Pelangi?!" Diana mendekat dengan cepat. "Kau lebih memilih pria yang sudah menghancurkanmu, yang sudah membuatmu menangis selama ini, daripada Damar yang jelas-jelas pria baik?"Pelangi menghela napas. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Diana, dengarkan aku—""Tidak!" Diana memotong dengan suara penuh emosi. "Aku tidak bisa diam saja melihatmu kembali ke dalam lingkaran yang sama! Apa kau tidak takut akan terluka lagi? Apa kau tidak ingat bagaima

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 116. Hati yang terikat

    "Kalian berdua," suara Damar terdengar datar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Pelangi merasa bersalah. Akarsana tidak mundur. Ia justru menatap Damar dengan pandangan penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyerah," kata Akarsana tegas. "Aku mencintai Pelangi, dan aku yakin dia masih mencintaiku." Pelangi mengerjapkan mata, dadanya berdebar kencang. Damar menatap Pelangi. "Apa yang dikatakannya benar?" Pelangi tercekat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pelangi menatapnya, perasaan bersalah semakin menyesakkan dadanya. "Damar, aku...." Damar mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Pelangi. "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri." Pelangi menatap Damar dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, pria ini benar-benar baik. Damar tersenyum lembut. "Jangan memaksakan diri, Pelangi. Aku ingin kau bahagia, dengan atau tanpa aku." Pelangi terisak pelan. Damar menghela napas panjang lalu menatap Akarsana. "Aku harap kau tidak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status