“Sudah yakin, Bos?” suara Davin, asisten pribadinya, terdengar dari belakang. Pria itu bersandar di pintu, menatap Adrian seolah sedang menilai keputusan yang terlalu berani.
Adrian memutar kartu itu di antara jarinya. “Kalau aku terus di sini, aku hanya akan jadi bayangan ayahku. Aku ingin tahu rasanya jadi manusia biasa, Davin.”
“Manusia biasa tidak tidur di penthouse dan berangkat kerja pakai mobil dinas,” sahut Davin, sarkastik seperti biasa. Tapi nada bicaranya berubah serius. “Kau tahu, turun ke cabang tanpa identitas sebagai CEO... itu gila.”
Adrian menoleh. Tatapannya dingin, tapi di balik itu tersimpan sesuatu yang lebih dalam — kelelahan. “Aku sudah kehilangan ibuku karena ambisi. Aku tak mau kehilangan diriku juga.”
Davin terdiam. Hening melingkupi ruangan itu, hanya suara hujan yang menetes di balik kaca.
Akhirnya, Davin menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi kalau nanti ada yang mengenalimu, aku tidak mau ikut diseret.”
Adrian tersenyum tipis. “Kalau itu terjadi, aku anggap misiku gagal.”
Ia mengenakan jaket abu-abu polos — tanpa jas, tanpa dasi, tanpa simbol kebesaran Tanaka Group. Saat berjalan melewati lobi megah yang biasa tunduk padanya, untuk pertama kalinya, tak ada seorang pun yang menunduk memberi hormat. Rasanya asing... tapi juga membebaskan.
Truk proyek lewat meninggalkan debu di sepanjang jalan masuk cabang Timur. Udara di sana kasar, penuh aroma semen dan logam panas. Adrian — atau kini Ardi Santoso — menarik napas dalam-dalam. Dunia yang selama ini hanya ia lihat lewat laporan kini terasa nyata di hadapannya: panas, bising, dan hidup.
Seorang pria berjaket proyek datang menghampirinya. “Kamu staf baru, ya?” tanyanya.
“Iya, Pak. Nama saya Ardi,” jawabnya sopan.
“Bagus. Saya Darto, kepala proyek di sini. Hari ini kamu ikut tim lapangan, bantu Maya dan Risa di pengecekan struktur.”
Ardi mengangguk. Nama itu — Maya — terasa asing di telinganya, tapi entah kenapa membuat dadanya sedikit hangat.
Tiga jam berlalu. Ardi sudah berpeluh, kausnya basah oleh debu dan panas. Ia menyeka keningnya, berusaha mengingat cara memegang meteran yang benar.
“Eh, hati-hati!”
Sebuah suara lembut namun tegas terdengar di belakangnya. Seorang wanita berambut panjang menarik tangannya sebelum balok besi yang tergelincir menimpa kaki Ardi.
Ardi terpaku sesaat. Wajah wanita itu hanya berjarak sejengkal. Ada sorot mata tajam namun hangat di sana.
“Kamu baru ya?” katanya sambil menahan senyum. “Biasanya staf baru nggak langsung pegang alat kayak gitu.”
Ardi terkekeh kecil. “Iya, sepertinya aku memang belum terbiasa.”
Wanita itu menatapnya heran. “Kamu lulusan teknik?”
Ardi menahan diri untuk tidak menjawab jujur. “Bisa dibilang… sedikit tahu teori, kurang di praktik.”
Wanita itu mengulurkan tangan. “Maya. Karyawan kontrak di sini.”
“Ardi,” balasnya, menjabat tangan itu dengan sopan.
Di kejauhan, seorang pria berkacamata hitam memperhatikan mereka. Andra Putra — project manager cabang Timur. Tatapannya tajam, seperti sedang membaca sesuatu yang janggal dari cara bicara dan gestur Ardi.
Sore menjelang. Ardi berdiri di tepi proyek, menatap matahari yang hampir tenggelam di balik crane. Tangannya penuh kapalan baru, bajunya kotor. Tapi ada sesuatu yang berbeda di wajahnya — semacam kelegaan yang belum pernah ia rasakan bahkan setelah menandatangani kontrak bernilai miliaran.
“Capek juga ya?” suara Maya terdengar di sampingnya.
Ardi menoleh. Maya duduk di tumpukan semen, membuka kotak makan siangnya. Aroma nasi goreng buatan rumah menguar di udara.
“Kamu nggak bawa bekal?” tanyanya.
Ardi menggeleng. “Belum sempat masak.”
Maya tersenyum kecil, lalu menyodorkan sendok. “Ambil aja sedikit. Nggak enak kalau kerja perut kosong.”
Ardi sempat ingin menolak, tapi tatapan Maya terlalu tulus. Ia mengambil satu sendok kecil, dan entah kenapa rasanya jauh lebih lezat daripada hidangan hotel bintang lima mana pun.
“Terima kasih,” katanya pelan.
“Lain kali bawa bekal sendiri,” sahut Maya sambil tersenyum, lalu beranjak pergi.
Ardi menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Ada sesuatu di sana — ketulusan yang langka di dunia yang penuh ambisi seperti miliknya.
Malam itu, Ardi duduk di kamar kos kecilnya. Dindingnya tipis, suara televisi dari kamar sebelah terdengar jelas. Di meja, ia menulis beberapa kalimat di buku catatannya:
“Hari pertama. Dunia ini keras, tapi jujur.
Mereka bekerja bukan karena ambisi, tapi karena hidup.
Aku baru sadar... mungkin selama ini aku hanya memerintah tanpa benar-benar memahami.”
Ponselnya bergetar. Nama Davin muncul di layar.
“Gimana, Bos? Udah betah di dunia manusia biasa?” suara Davin menggoda.
“Belum tentu. Tapi... aku belajar sesuatu hari ini.”
“Oh? Tentang apa?”
Ardi tersenyum samar. “Tentang seseorang yang masih bisa tersenyum meski hidupnya berat.”
“Hmm... kamu jangan sampai baper di lapangan, ya. Ingat, itu cuma penyamaran, bukan perjalanan spiritual.”
“Aku tahu, Davin.”
“Tapi kalau ketahuan—”
“Semuanya berakhir,” potong Ardi tenang. “Aku siap risikonya.”
Tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu kosnya. Ardi menoleh, keningnya berkerut.
“Siapa?”
Tak ada jawaban. Hanya suara langkah cepat menjauh.
Ia membuka pintu perlahan — menemukan amplop berwarna cokelat di lantai. Di depannya, tak ada siapa pun.
Dengan hati-hati, ia mengambil amplop itu dan membukanya. Di dalamnya, hanya ada selembar kertas dengan tulisan tangan:
“Berhenti menyamar sebelum semuanya terlambat.
Kami tahu siapa kamu sebenarnya.”
Ardi menatap kertas itu, jantungnya berdetak cepat. Hujan mulai turun di luar jendela, deras, seolah menelan suara dunia.
“Tidak selalu. Kadang aku juga ingin berteriak.”Maya menatapnya. “Tapi kau tidak melakukannya.”“Karena aku belajar bahwa marah tidak membuat dunia mendengarkan. Kadang, bertahan jauh lebih keras daripada membalas.”Maya menarik napas panjang, lalu memeluk lututnya. “Aku tidak salah kali ini, Ardi. Aku tahu datanya benar. Tapi kenapa rasanya... seperti semua orang senang kalau aku disalahkan?”“Karena mereka butuh seseorang untuk menanggung kesalahan,” jawab Ardi lembut. “Dalam dunia yang berisik seperti ini, orang sering mencari kambing hitam, bukan kebenaran.”Ia membuka botol air dan menyerahkannya pada Maya. “Minumlah dulu.”Maya menerimanya pelan. Tangan mereka bersentuhan sekilas — dingin air berpadu dengan hangat kulit manusia.Ardi melanjutkan dengan suara rendah, seolah takut merusak keheningan.“Dulu aku pernah membuat keputusan yang salah di tempat kerja. Aku pikir itu keputusan terbaik karena semua orang menekan waktu. Tapi akhirnya banyak orang yang menanggung akibatnya,
Ardi tersenyum, menunduk. “Mungkin aku hanya pernah salah menilai apa artinya tanggung jawab.”Hening mengisi ruang di antara mereka.Lalu Maya berkata pelan, “Terima kasih, Ardi. Aku tahu kau tidak suka sorotan, tapi aku ingin kau tahu — bantuanku kemarin menyelamatkan proyek ini.”“Tidak perlu berterima kasih,” jawab Ardi lembut. “Kau yang berani bicara duluan.”Sore harinya, kabar uji material menyebar. Vendor dipanggil ulang ke lokasi, dan kali ini, bukti hasil laboratorium membuat mereka tak bisa mengelak.Pak Darto bahkan memuji Maya di depan semua staf karena “ketelitian administrasinya.”Maya hanya tersenyum samar, sementara matanya secara refleks mencari seseorang di antara kerumunan.Ardi berdiri di belakang, tidak banyak bicara. Hanya mengangguk kecil ketika tatapan mereka bertemu.Maya membalasnya dengan senyum tipis — senyum yang mengandung ucapan terima kasih yang tak perlu diucapkan.Malam tiba, dan proyek kembali sunyi.Maya duduk di ruang administrasi sendirian, menat
Pagi itu udara terasa lebih berat dari biasanya. Langit mendung, tapi bukan karena hujan — melainkan suasana di area proyek yang mendadak tegang.Maya berdiri di depan meja vendor, berhadapan dengan pria berjaket hitam yang menatapnya dengan ekspresi menantang.“Jadi intinya, kami tidak bisa ganti rugi,” kata pria itu dengan nada ketus.“Tapi material yang kalian kirim tidak sesuai spesifikasi. Itu melanggar kontrak.”“Kontrak itu bisa ditafsirkan. Kami sudah kirim sesuai yang disepakati lewat telepon.”“Yang disepakati tertulis, bukan lewat kata-kata!” suara Maya meninggi tanpa bisa ditahan.Beberapa pekerja yang lewat berhenti sejenak, pura-pura sibuk tapi jelas memperhatikan.Pria vendor itu bersedekap. “Kalau tidak suka, silakan komplain ke kantor pusat. Tapi sampai surat resmi keluar, kami tidak akan mengganti satu pun.”Maya menggigit bibir. Ia tahu jalur resmi akan memakan waktu, sementara deadline pengecoran sudah di depan mata. Beton butuh pasir dan semen dengan kadar tertent
Matanya sedikit perih, tapi semangatnya masih menyala.Entah kenapa, pikirannya sempat terlintas pada seseorang — Ardi, rekan barunya yang diam-diam menjadi alasan kenapa hari-hari di proyek terasa lebih ringan.Ia ingat bagaimana pria itu memperbaiki sistem laporan tanpa diminta, membantu tanpa pamrih, mendengarkan tanpa menghakimi.Mungkin karena itu, ia percaya padanya. Mungkin karena itu juga, ia tidak tahu bahwa kepercayaannya sedang menempel pada kebohongan yang besar.Di kamar kosnya, Adrian membuka buku catatan hitam yang sudah mulai penuh dengan coretan observasi, pikiran, dan refleksi kecil yang ia tulis setiap malam.Halaman terakhir bertuliskan:Hari ini aku sadar, penyamaran ini bukan lagi tentang menyelidiki sistem, tapi tentang menyelami manusia. Aku belajar bahwa bekerja keras bukan selalu soal ambisi — kadang, itu soal bertahan.Ia menatap kalimat itu lama, kemudian menambahkan baris baru:Aku pikir aku turun untuk memperbaiki mereka. Tapi ternyata, akulah yang diperb
Adrian berhenti sejenak dan melanjutkan kata-katanya.“Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa jujur — meski semua ini adalah kebohongan.”Setelah panggilan berakhir, Adrian menatap layar ponselnya lama. Lalu, perlahan ia menutup laptopnya, mematikan lampu, dan duduk di tepi ranjang.Dalam kegelapan kamar, pikirannya melayang pada dua dunia yang kini sama-sama memanggilnya.Di satu sisi, dunia lamanya — ruang rapat beraroma kopi mahal, suara sepatu mengilap di lantai marmer, laporan laba rugi yang tumbuh tanpa wajah manusia di baliknya.Di sisi lain, dunia yang kini ia tempati — barak kayu dengan lampu redup, tawa para pekerja yang sederhana, dan seorang perempuan bernama Maya yang bekerja bukan demi ambisi, tapi demi bertahan hidup.Ia memejamkan mata, dan dua dunia itu seolah berdiri berdampingan di pikirannya — tinggi dan rendah, bersih dan berdebu, dingin dan hangat.Kontrasnya begitu nyata, tapi anehnya, justru membuatnya ingin menjembatani keduanya.Keesokan harinya
Malam turun perlahan di langit Timur.Proyek sudah sepi, hanya suara serangga dan mesin pendingin barak yang berputar malas. Di kamar kos sempit yang ia sewa di dekat lokasi proyek, Ardi — atau lebih tepatnya, Adrian Tanaka — duduk di tepi ranjang dengan laptop terbuka dan layar ponsel menyala redup.Cahaya lampu pijar membuat bayangan wajahnya tampak samar. Tidak ada jas mahal, tidak ada ruang rapat kaca dengan panorama kota — hanya pria biasa dengan kemeja kusut, wajah letih, dan tangan yang masih berdebu sisa siang tadi.Ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar: Davin Haryono.Asisten pribadinya.Satu-satunya orang yang tahu siapa dia sebenarnya.Adrian menarik napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu.“Davin.”Suara di seberang terdengar pelan, tapi penuh ketegangan. “Akhirnya kau menjawab. Aku sudah menelepon tiga kali.”“Maaf, sinyal di sini buruk.”“Sinyal buruk atau memang kau sengaja menghindar?”Adrian tersenyum samar. “Kau masih sama, Davin. Selalu menuduh dulu s