Orang tua Dejan kembali dari bandara tak lama setelah Kintan pergi dari sana. Lelaki itu lega karena mereka tidak sempat bertemu. Dia pun mengingatkan Mbok Darmi sekali lagi agar tidak membberitahukan kedatangan Kintan kepada siapa pun.
"Dek, habis ada tamu? Kok ada gelas di depan?" tanya Bu Dian.
"Oh, itu ... Tadi Dejan yang minum, Ma. Seger aja gitu minum es sambil baca berita." Dejan makin lihai mencari alasan.
Bu Dian manggut-manggut lalu berlalu menuju kamar. Sementara itu, Dejan mengajak ayahnya untuk mengobrol di gazebo belakang karena ada sesuatu yang ingin dia tanyakan. Dia membawa kue dari Kintan untuk dimakan bersama sambil menyesap kopi.
"Pa, jadi sebenarnya hubungan Devan sama Kintan itu kayak gimana, sih?" tanya Dejan tanpa basa-basi. Dia belum mengatakan bahwa Kintan baru saja berkunjung ke sana.
"Tumben kamu kepo sama urusan orang. Biasanya yang kamu pikirin cuma kerja, kerja, dan kerja."
Dejan hanya terkekeh dan beralasan bahwa dia juga ingin tahu permasalahan saudara kembarnya karena Devan tidak pernah mau terbuka.
Setelah lulus dari kuliahnya di jurusan Teknik Industri, Dejan merintis usaha di bidang ekspor rempah-rempah. Semuanya berawal dari satu kardus paket bumbu masak untuk beberapa teman yang dia kenal saat mengikuti pertukaran pelajar ke Belanda. Karena menemukan celah bisnis, Dejan akhirnya bisa mengirim produknya dengan kontainer khusus dan bekerja sama dengan beberapa perusahaan dan rumah makan di Eropa.
Selama berbisnis, Dejan jarang pulang ke rumah. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di Singapura, mengawasi proses logistik sekaligus belajar ilmu bisnis. Dejan menyukai hidup yang penuh tantangan. Karenanya, Dejan tidak mau melamar sebagai pegawai kantoran seperti yang Devan lakukan. Karena itu jugalah, Dejan tidak tahu menahu hubungan asmara Devan. Tidak pernah dikenalkan dengan kekasihnya juga ketika sedang berada di Indonesia.
Lalu, mengalirlah cerita dari sudut pandang Pak Doni. Pada dasarnya, Pak Doni setuju-setuju saja dengan hubungan mereka. Menurutnya, Devan harus bersanding dengan wanita baik-baik untuk menjinakkan buaya di dalam dirinya. Dan Kintan adalah pilihan yang tepat. Dia cantik, mapan, serta berasal dari keluarga terhormat.
"Bakal calon mantu kesayangan, nih, kayaknya," sindir Dejan sambil senyum-senyum.
"Makanya kamu juga cepat cari gandengan. Heran Papa, punya dua anak ganteng-ganteng gini nikahnya pada telat semua."
"Baru mau tiga puluh, Pa. Santai aja. Dejan lagi fokus ekspansi ke pasar Turki. Belakangan ini wisata mereka lagi naik daun. Banyak yang mau investasi untuk buka restoran makanan Indonesia."
"Bagus itu. Tapi jangan lupa, orang tuamu ini juga makin sepuh. Papa, kan, juga pengin nimang cucu. Devan yang playboy saja sudah mau melamar pacarnya. Kamu kapan?"
"Sebenarnya Dejan agak kaget waktu dengar Devan mau lamaran. Pacarannya aja enggak tahu kapan. Selama ini dia juga gonta-ganti pasangan."
"Sudah setahun. Papa awalnya juga ragu, tapi mereka berdua sepertinya memang sama-sama serius."
"Terus Mama gimana? Dejan cuma malas kalau ada drama menantu dan mertua kayak di sinetron."
Pak Doni pun kemudian bercerita bahwa tadinya Bu Dian juga setuju-setuju saja. Namun, semua itu berubah saat istrinya mengadakan arisan di rumah. Saat itu, dia memesan kue dan makanan suguhan dari toko Kintan. Gadis itu pun meluangkan waktu untuk hadir demi menghormati calon mertuanya.
Bagaikan peribahasa malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, kesalahpahaman terjadi saat Kintan menemui para tamu arisan. Teman-teman Bu Dian tersenyum ke arahnya, tetapi gadis itu tidak menyadari dan tetap diam saja. Para penderita buta wajah tidak akan sadar saat orang lain tersenyum, kecuali orang itu menyapa langsung atau melambaikan tangan.
Bu Dian menyenggol lengan Kintan berkali-kali dan berbisik agar gadis itu bersikap ramah kepada tamu. Namun, sudah terlambat. Kejadian itu telanjur jadi bahan gunjingan di kelompok arisan. Bu Dian yang awalnya tidak mempermasalahkan kelainan Kintan, mendadak meminta kekasih anaknya itu agar segera pulang.
Dejan mendengarkan semua itu dengan tenang kemudian mengemukakan pendapat. "Kekhawatiran Mama masuk akal sih, Pa."
Pak Doni berdecak. "Kamu sok tahu. Memangnya kamu pernah ketemu Kintan? Lihat dulu, baru komentar."
Hampir saja Dejan keceplosan, tetapi dia bisa mengendalikan diri. Niatnya menggali informasi adalah untuk mengetahui cara memperlakukan Kintan saat makan malam nanti. Jiwa petualangnya sungguh penasaran dengan sosok Kintan.
***
Kintan tampil berbeda dari biasanya. Jika dalam keseharian dia lebih banyak tampil casual dengan celana kulot dan kaus lengan panjang, sore itu dia tampak anggun dalam balutan rok dan blus. Wajahnya juga dipulas sedemikian rupa. Wajahnya semringah karena setelah sekian lama, Devan akhirnya mengajaknya dinner lagi.
Kintan juga mengemban misi khusus hari itu. Orang tuanya sudah mendesak agar rencana lamaran mereka segera direalisasikan. Pilihannya hanya dua: maju atau putus sekalian. Mereka tidak ingin anaknya digantung terlalu lama. Selama ini, Kintan sudah terlalu di-ghosting lelaki karena kekurangannya.Sambil menunggu dijemput, Kintan merapikan vas berisi bunga lily merah muda di ruang kerja pribadinya. Kintan membelai kelopak bunga yang warnanya seperti pipi merona. Perasaannya campur aduk mengingat perlakuan Devan yang sering berubah-ubah selama dinas lapang.Dia jadi teringat unggahan Devan di I*******m saat masih berdinas di Jambi. Unggahan kafe dengan komentar menggelitik dari Talita masih ada di urutan terdepan.
Jempol Kintan tidak sengaja mengeklik profil akun Talita. Ada foto sayap pesawat dengan latar awan yang baru diunggah beberapa menit. Di bagian bawah foto, Talita menuliskan keterangan, "Bye Jakarta. See you next year!"Gadis itu tidak punya pikiran macam-macam. Dia memang sempat cemburu dan curiga kepada Talita. Namun, jika asisten kekasihnya itu pergi, itu artinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kintan percaya kepada Devan dan akan selalu berusaha seperti itu untuk menjaga kelanggengan.Kintan menutup aplikasi dan meletakkan ponsel. Azan magrib berkumandang dari masjid besar di seberang jalan raya. Dia menutup gorden dan mematikan pendingin ruangan, juga memadamkam lampu dan mengunci pintu. Kata Devan, dia akan tiba di toko setelah Magrib.Ponsel Kintan bergetar saat gadis itu selesai shalat. Dia segera mengangkat begitu tahu nama Devan yang terpampang di layar."Aku sebentar lagi sampai. Baru selesai salat di masjid depan toko," katanya."Ya, Mas. Tunggu di parkiran saja. Sampai ketemu!""Kintan, sebentar ...." Laki-laki itu setengah berteriak saat Kintan hendak menutup telepon."Aku pakai mobil lain. Nanti aku berdiri di luar aja biar kamu enggak perlu nyari-nyari."Gadis itu mengernyit. Devan pernah bilang sangat menyayangi mobilnya karena itu adalah kendaraan pertama yang bisa dia beli dengan uang sendiri. Mungkin saja mobilnya sedang di bengkel. Kintan bisa menanyakan saat mereka bertemu.Kintan bergegas memakai flat shoes dan pergi ke toilet untuk memperbaiki riasan wajah. Dia sudah membawa bekal bedak, lipstik, maskara, hingga eyeliner dari rumah. Dia tidak boleh mempermalukan Devan dengan berpenampilan lusuh dan kumal.Angin sepoi-sepoi membelai kerudung saat Kintan keluar dari toko. Hanya ada satu mobil yang berhenti di tempat parkir. Seorang laki-laki terlihat sedang bercakap-cakap di telepon sambil berdiri membelakanginya. Saat itu, Kintan merasakan gelenyar aneh dalam dada. Meski sudah melihat Devan, rindunya seperti membuncah tak ada habisnya.Samar suara bariton mulai terdengar. Kintan sedikit bingung dengan apa yang dibicarakan. Biasanya dia mengetahui topik pekerjaan yang dibahas Devan karena kekasihnya itu sering menerima telepon saat sedang bersama. Namun, malam itu Devan bicara serius tentang kargo pengiriman internasional.Kintan berjalan mendekat. Dejan tergagap saat menyadari Kintan sudah berdiri di sebelahnya. Dia buru-buru menyudahi obrolan dan memasukkan ponsel ke saku celana."Kenapa, Mas?" Kintan mengangkat alis dan memiringkan kepala. Kerudungnya kembali tertiup angin dan sekejap menutup sebagian wajah.Bukannya menjawab, lidah Dejan justru kelu karena melihat pemandangan di hadapannya. Kintan yang ditemuinya malam itu tampak berbeda dengan Kintan di pagi hari. Meski sama-sama cantik, Dejan tidak mengelak jika saat itu Kintan lebih menarik."Mau berangkat sekarang?" tanya Kintan lagi.Mata Dejan mengerjap-ngerjap seperti baru tersadar dari mimpi."Kamu kelihatannya bahagia banget." Kata-kata itu meluncur begitu saja. Kintan tersipu-sipu setelah Dejan mengatakannya."Jelas banget, ya? Padahal aku udah berusaha buat nutupin."Kintan menggosok-gosok hidung karena salah tingkah. Dejan tersenyum kecil karena tingkah gadis itu memang sangat natural. Kentara senangnya, kentara juga malunya.Berhadapan dengan Kintan membuat jantung Dejan tidak terkendali. Oleh karena itu, dia segera mengambil langkah lebar menuju pintu kursi penumpang dan membukakannya untuk Kintan."Ayo, masuk!"Gadis itu menurut. Dejan berlari kecil mengitari bagian depan mobil lalu duduk di balik kemudi. Sebelum berangkat, dia memberikan kejutan yang Kintan tidak sangka-sangka. Seikat kecil bunga daisy putih dibalut dengan plastik khusus buket dan tali pita membuatnya tampak sangat cantik."Jadi, kita mau makan di mana?" tanya Dejan sambil memasang sabuk pengaman."Sebenarnya aku belum ada ide, sih. Ke tempat biasa juga boleh, Mas."Muka Dejan mendadak tegang. Mana dia tahu tempat biasanya mereka itu di mana?Sebuah rumah minimalis di pinggiran Singapore sudah menunjukkan geliat aktivitas sejak pagi. Setelah salat Subuh, penghuninya bergegas ke dapur sambil bersenandung riang. Tangannya terampil menyiapkan beberapa bahan serta alat masak. Di Indonesia ataupun negara lain sama saja, masak dan membuat kue adalah kegemarannya.Aroma kombinasi keju, coklat, dan kopi menggelitik indra penciuman hingga membuat sang suami penasaran untuk menghampiri sumbernya. Ia keluar dari kamar setelah selesai mengenakan setelan jas. Di dapur, ada pemandangan yang selalu membuatnya bahagia dan bersyukur setiap hari. Seorang perempuan cantik mengenakan celemek sedang sibuk menata tiramisu dalam piring-piring kecil."Istriku rajin sekali."Merasa disanjung, sang istri tersenyum lebar sambil mengangkat salah satu piring, memamerkan hasil karyanya."Mau ada tamu, Sayang?"Perempuan yang tak lain adalah Kintan itu mengiakan. "Dinda bilang sedang mengidam kue buatanku.""Oh, ya? Dia liburan ke sini?"Kintan mengangg
Di antara lalu lalang penumpang di terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Dejan mengunci pandangannya pada seorang gadis yang sedang menggeret sebuah koper besar. Gadis itu tampak kerepotan menjinjing tas yang sepertinya penuh dengan oleh-oleh serta merapikan anak rambut yang menyembul di balik pashmina. Untuk sesaat, Dejan melupakan tujuannya pulang ke Indonesia. Gadis itu, wajah itu, mengingatkannya akan kenangan manis setahun silam.Dejan berjalan mendekat, memastikan bahwa wajah itu bukan sekadar ilusi dan matanya masih berfungsi dengan normal. Semakin jarak mereka terpangkas, Dejan dapat merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Mau saya bantu?" Akhirnya keluar suara dari bibirnya.Gadis yang mengenakan sweater putih itu menoleh. Dia memeriksa lelaki berjas hitam di hadapannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Alisnya berkerut, merasa tidak asing dengan sosok di hadapannya, tetapi tidak ingat siapa pastinya."Mau saya bantu bawakan tasnya sebentar? Sepertinya kamu kerepotan,"
Kintan menikmati akhir pekan dengan berjalan-jalan di Rue de I'Abreuvoir. Jalanan terkenal di kawasan Montmartre, Paris itu tampak menawan dengan pemandangan bunga wisteria yang bermekaran. Matahari musim panas bersinar cerah, membuat rumah warna-warni di sepanjang jalan lebih semarak."Kintan, Carrot, let's take a selfie!" ajak Yujin dengan aksen Korea yang medok.Ajakan itu pun disambut antusias. Carrot, gadis tinggi semampai asal Thailand, buru-buru mengeluarkan ponsel dan mengarahkan kamera depan ke wajah mereka.Berbagai macam gaya seperti peace, manyun, mengedipkan sebelah mata, dan lainnya mulai memenuhi galeri Carrot. Untuk urusan dokumentasi, gadis itu memang paling bisa diandalkan. Tangannya yang panjang membuat jangkauan tampilan foto selfie mereka lebih luas.Mereka berkenalan di hari pertama sekolah memasak dimulai. Sebagai sesama orang Asia di antara murid Eropa dan Amerika, kedekatan mereka terjalin begitu saja lewat obrolan dan makanan. Kepada mereka jugalah Kintan akh
Pernikahan Devan dan Talita awalnya terasa begitu indah. Mereka menggelar resepsi mewah dan mampu mengundang penyanyi favorit Talita sebagai bintang tamu. Bulan madunya pun tidak main-main, paket perjalanan ke lima negara Eropa selama 10 hari. Semua tampak baik-baik saja hingga kemudian badai menerpa di usia pernikahan yang masih seumur jagung.Pernikahan yang semula terasa manis dan indah, berubah menjadi hari-hari penuh pertengkaran. Curiga, cemburu, dan miskomunikasi adalah makanan sehari-hari. Rumah yang masih dalam cicilan itu menjadi saksi bisu terbongkarnya kebusukan Talita satu demi satu.Di usia kehamilan Talita yang menginjak 7 bulan, Devan harus menjalani serangkaian proses pemeriksaan di kantor. Divisi keuangan melaporkan adanya tindak penggelapan uang proyek pada audit tahunan. Tersangkanya adalah Talita selama mereka bertugas di Jambi.Perusahaan ditaksir mengalami kerugian hingga 200 juta rupiah. Tim Legal awalnya ingin melaporkan kasus tersebut ke polisi, tetapi Devan
"Besok aku akan bicara dengan Om dan Tante, Bu. Nggak usah takut, kita nggak salah. Dzolim sekali kalau mereka menuntut warisan sementara Ayah memiliki istri dan anak yang masih hidup!" ucap Kintan tegas.Kintan geram sebab kerabatnya sudah kelewat batas. Warisan yang ditinggalkan Pak Surya memang cukup banyak, meliputi tabungan, rumah, tanah, dan toko kue. Namun, bukan berarti mereka bisa meminta seenaknya. Itu tidak sesuai dengan hukum perdata maupun hukum Islam."Tadi Ibu sudah berusaha menyampaikan pendapat, tapi mereka masih kekeh. Om Yudi merasa berhak mendapatkan bagi hasil toko kue karena dulu ikut menyumbang material. Tante Ira juga merasa berhak dapat warisan tanah karena pembagian dari kakek kamu dulu tidak sama banyak. Ibu sudah capek, Tan.""Mana bisa begitu? Kalau niat awalnya bantu ya bantu. Urusan pembagian warisan dari Kakek juga bukan tanggung jawab kita. Udah, pokoknya Ibu istirahat ya, jangan mikirin hal-hal nggak penting kayak gitu. Sekarang aku yang akan pasang b
Dinda menemui Kintan dan Bu Ranti. Dia harus menjelaskan perihal chef kiriman Dejan sebelum mereka salah paham. Lagi pula, tambahan bantuan itu juga sangat berarti di tengah sibuknya persiapan acara doa bersama. "Jadi, maksud kamu, Mas Dejan sengaja mengirim chef pribadi ke sini untuk menyiapkan konsumsi selama tiga hari ke depan?" Kintan mengulang informasi yang didengarnya. Dinda mengangguk mengiakan. "Kintan, Tante, sebelumnya aku minta maaf kalau terkesan lancang. Tolong jangan menolak dan menyalahartikan niat baiknya. Dejan benar-benar tulus ingin membantu." Dinda menunduk dalam. Dia siap dengan segala konsekuensi yang mungkin akan diterima. "Tapi buat apa, Din?" Intonasi Kintan meninggi. "Aku nggak pernah minta! Bayar chef pribadi itu mahal, apalagi sampai tiga hari. Terus aku harus diam menikmati semua bantuannya dan berpikir dia nggak punya niat tersembunyi? Mana bisa begitu!" "Kintan, pelankan suaramu, Nak. Ada banyak kerabat di luar," tegur Bu Ranti. Dia pun sebenarn