Home / Romansa / Penyamaran Saudara Kembar / Kebohongan Demi Kebohongan

Share

Kebohongan Demi Kebohongan

Author: DV Dandelion
last update Last Updated: 2023-09-16 03:00:33

Dejan tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Kehadiran Kintan saat Devan sudah berangkat ke bandara menjadi bukti bahwa perempuan itu sama sekali belum mengetahui kabar kepindahan Devan. Gadis itu ada di hadapannya, berdiri sambil tersenyum manis hingga membuat jantungnya berdebar kencang.

Kintan mengerutkan kening. "Suara Mas Devan agak beda. Mas lagi sakit?"

Kintan yang buta wajah sama sekali tidak menyadari bahwa laki-laki di hadapannya bukanlah Devan. Memang dari segi perawakan, mereka sangat mirip. Namun, nada suara Devan lebih renyah sedangkan suara Dejan cenderung lembut.

"Em, iya, kecapekan aja mungkin," jawab Dejan sekenanya. Dalam hati dia merutuk, mengapa harus berbohong dan pura-pura menjadi Devan.

"Silakan masuk, Tan." Dejan mematikan keran dan berjalan terlebih dahulu memasuki rumah.

Kintan memasuki halaman dan memperhatikan sekeliling. "Sejak kapan Mas Devan suka berkebun?"

Dejan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iseng aja, lagi gabut."

"Bagus, deh, kalau gitu. Kapan-kapan kita bisa pergi ke toko perlengkapan berkebun bareng. Selama ini, kan, Mas Devan cuma nunggu di mobil aja."

"Ya, boleh, kapan-kapan kita beli bunga yang kamu suka."

Lagi-lagi gadis itu tersenyum ke arah Dejan. Wajahnya memancarkan rona kebahagiaan. Dejan bisa melihat, tatapan gadis itu penuh cinta. Seketika jiwa jomblonya meronta-ronta.

"Lucu, ya, lihat Mas Devan pakai celana panjang sama hoodie di rumah. Jadi kayak oppa-oppa Korea. Biasanya pakai celana pendek sama kaus oblong aja."

Tawa Dejan ingin meledak saat itu juga. Apa Kintan bilang? Oppa-oppa Korea? Bagaimana bisa kulitnya yang cenderung cokelat itu disamakan dengan selebritas Negeri Gingseng yang putih tanpa cela? Wah, selera Devan unik juga.

Kintan mematung di teras dan celingukan seperti sedang mencari seseorang. "Tante Dian mana, Mas? Aku ke sini karena mau kasih kue buat beliau."

Dejan gelagapan lagi mencari-cari alasan. "Oh, Mama lagi pergi sama Papa. Ada urusan."

"Yah ... Tahu gitu aku ke sininya agak siangan. Mas Devan, sih, nomornya enggak bisa dihubungi." Gadis itu duduk di kursi dan meletakkan kotak kuenya di meja kaca.

Dejan mengepalkan kedua tangan di belakang badan. Dia sungguh kesal kepada Devan. Bisa-bisanya laki-laki itu pergi ke Jambi tanpa memberi kabar apa pun kepada perempuan yang dijanjikan akan dinikahinya. Dia jadi paham kenapa Devan membeli nomor baru.

"Maaf, kartunya bermasalah dan sementara ganti nomor dulu. Kamu enggak mau masuk?" tanyanya canggung.

"Mas Devan hari ini kenapa, sih?" Tawanya terdengar renyah. "Aku, kan, biasanya memang duduk di luar kalau di rumah enggak ada siapa-siapa."

Untuk sepersekian detik, Dejan terperangah dengan jawaban Kintan. Dia tidak menyangka, kembarannya yang berengsek itu bisa punya hubungan spesial dengan perempuan sopan. Bodohnya, Devan justru terlena dengan tipu muslihat perempuan lain. Rasa bersalah akibat mengaku-aku menjadi Devan perlahan mulai terkikis.

Dia jadi mengerti mengapa papanya sangat menyukai Kintan. Selain cantik dan sukses, gadis itu juga sopan dan tidak neko-neko. Bodoh saja jika Devan tidak mau memperjuangkan restu hanya karena Kintan menderita buta wajah.

"Omong-omong ini kue apa?" tanya Dejan mengalihkan pembicaraan. Dia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Tidak sekali pun Dejan pernah melihat bagaimana Devan bersikap di depan Kintan. Yang dia tahu, Devan selalu romantis saat masih bersama mantan-mantannya.

"Mas Devan ingat tidak kemarin aku tanya apa kue kesukaan Tante Dian? Nah, sesuai saran Mas Devan, aku bawakan tiramisu. Ini bikinanku sendiri, lho!"

Dejan ingat, papanya pernah bercerita bahwa Kintan mempunyai toko kue. Ternyata itu bukan hanya isapan jempol.

Tanpa disuruh, Kintan pelan-pelan membuka ikatan pita dan menunjukkan kue yang dimaksud. Sekotak kue dengan lapisan berwarna selang-seling cokelat dan putih terlihat cantik dengan taburan bubuk coklat di atasnya.

Lagi-lagi Dejan mengumpat dalam hati. "Devan kurang ajar! Padahal Mama paling enggak bisa makan tiramisu karena alergi krim keju."

Dejan berasumsi, Devan sengaja melakukan itu agar Kintan terlihat makin buruk di mata mamanya. Dengan begitu, lamaran mereka bisa dibatalkan dan mereka berpisah seolah-olah karena kesalahan Kintan.

Iseng, telunjuk Dejan mencolek pinggiran kue. Kintan spontan menepuk punggung tangannya.

"Mas jorok banget, sih! Tadi, kan, habis pegang-pegang selang."

Dejan menyengir dan cuek saja menjilati kue di telunjuknya. Kombinasi rasa manis, pahit, dan gurih berpadu dengan sempurna di mulutnya. "Habisnya kelihatan enak, sih."

Kintan tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dejan tercenung memperhatikan wajah polos di hadapannya. Entah mengapa, hatinya justru tergerak untuk terus berpura-pura menjadi Devan agar gadis itu tidak terluka. Dejan sangat tahu betapa sakitnya dikhianati oleh seseorang yang sangat dicinta.

"Oh, ya, kamu mau minum apa?"

"Seperti biasa aja, Mas."

Gawat! Dejan sama sekali tidak mengerti istilah 'seperti biasa' itu merujuk pada minuman apa. Dia pun memutar otak dan teringat ada Mbok Darmi di belakang. Barangkali perempuan itu tahu apa minuman kesukaan Kintan.

"Oke, tunggu sebentar. Saya, em, maksudnya aku ambilkan dulu."

Dejan menggerak-gerakkan kakinya karena gelisah. Jelas-jelas Kintan terlihat kebingungan sejak dia datang. Gadis itu terus mengamati gerak-gerik Dejan. Jika laki-laki itu ketahuan berbohong, tamat sudah riwayatnya.

"Mbok, tahu Kintan, kan?"

"Tahu. Pacarnya Mas Devan, kan?"

"Biasanya dia minum apa kalau ke sini?"

"Lho, Mbak Kintan ke sini? Saya kira ikut ke bandara."

Dejan mengangguk cepat. "Panjang ceritanya. Pokoknya sekarang tolong bikinin minuman yang biasa disuguhkan."

Perempuan kurus itu melongo. Dia ingin bertanya lebih jauh, tetapi Dejan kembali menyuruhnya untuk bergegas. Dengan tergopoh-gopoh, Mbok Darmi menuju kulkas dan menuang sari jeruk ke dalam gelas di atas nampan.

"Makasih, Mbok. Satu lagi, selama dia di depan, Mbok Darmi jangan nemuin dia!" bisik Dejan.

Setelah beberapa langkah, Dejan teringat sesuatu dan kembali mendekati Mbok Darmi. "Jangan bilang-bilang Papa sama Mama kalau Kintan ke sini!"

Laki-laki jangkung itu berjalan dengan hati-hati. Dia tidak terbiasa membawa nampan. Namun, menyuruh Mbok Darmi menyajikannya juga bukan pilihan yang tepat. Salah-salah, asisten yang sudah puluhan tahun bekerja di rumahnya itu kelepasan menyebut nama Dejan.

Kintan memperhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepala saat Dejan meletakkan minuman di meja. Tatapan matanya penuh curiga. Dejan kikuk karena diperhatikan sedemikian rupa oleh orang yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya.

"Mas beli parfum baru? Biasanya enggak kayak gini wanginya."

"Oh, itu, anu ... Kemarin Dejan kasih oleh-oleh dari Paris. Ya, benar, dari Dejan."

"Terus Mas Dejannya ke mana sekarang? Kami belum pernah ketemu. Aku jadi penasaran, apa Mas Dejan beneran segalak yang Mas Devan bilang?"

Jika Devan ada di depannya saat itu, Dejan ingin sekali menonjoknya.

"Dejan sudah berangkat lagi ke Singapura."

Melihat gelagatnya, Kintan seperti akan lama berada di sana. Dejan pun mencari alasan agar Kintan segera pulang. Mulutnya sudah seperti rem blong saat mengatakan kebohongan demi kebohongan.

"Ehm, Tan, sepertinya Papa sama Mama sebentar lagi pulang. Apa enggak sebaiknya kamu pergi sebelum mereka datang? Kuenya nanti biar saya, eh, aku yang sampaikan."

"Kenapa begitu, Mas?"

"Sepertinya Mama masih agak sensitif. Kemarin saya, eh, aku ribut sama Mama."

"Mas kenapa, sih, dari tadi aneh banget. Ngomongnya juga salah-salah begitu." Alis Kintan bertaut.

"Ma, maaf. Bukan begitu, Sayang." Hati Dejan sontak berdesir saat mengucapkan panggilan itu. "Aku lagi kurang fokus, mungkin karena capek. Kita dekati Mama pelan-pelan, ya? Kue ini beneran akan aku sampaikan, tapi sebaiknya kalian jangan ketemu dulu. Kita tunggu sampai suasana hati Mama membaik."

Dejan merasa sudah gila! Dia tidak bisa membayangkan permainan itu akan berlangsung sejauh apa. Dia membenci Devan karena telah membohongi Kintan. Akan tetapi, di saat bersamaan, dia juga melakukan hal serupa.

"Please, sekarang pulang dulu, ya? Nanti malam kita dinner. Kamu bebas pilih tempatnya."

"Ya sudah, aku pergi dulu. Nanti Mas jemput di toko aja." Kintan mengalah. Dia mengambil tas selempangnya lalu berjalan menuju mobil dengan langkah gontai.

"Kintan, tunggu!" Dejan menahan gerakan Kintan yang sedang membuka pintu mobil. "Mana HP kamu?"

Gadis itu mengambil ponselnya dan menyerahkan kepada Dejan. Laki-laki itu mengetik kombinasi dua belas angka lalu menekan tombol panggilan.

"Ini nomor baruku. Nomor yang lama blokir aja, khawatir disalahgunakan sama orang lain."

Kintan mengangguk pelan lalu mengucap salam dan menaiki mobilnya. Dejan hanya memandangi mobil itu menghilang di belokan. Kepala dan dadanya serasa mau meledak. Dia tidak bisa membayangkan lagi, makan malam seperti apa yang akan dia lakukan bersama kekasih kembarannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
EstrianaTamsir
Dejan suka Kintan ya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Penyamaran Saudara Kembar   Belahan Jiwa (End)

    Sebuah rumah minimalis di pinggiran Singapore sudah menunjukkan geliat aktivitas sejak pagi. Setelah salat Subuh, penghuninya bergegas ke dapur sambil bersenandung riang. Tangannya terampil menyiapkan beberapa bahan serta alat masak. Di Indonesia ataupun negara lain sama saja, masak dan membuat kue adalah kegemarannya.Aroma kombinasi keju, coklat, dan kopi menggelitik indra penciuman hingga membuat sang suami penasaran untuk menghampiri sumbernya. Ia keluar dari kamar setelah selesai mengenakan setelan jas. Di dapur, ada pemandangan yang selalu membuatnya bahagia dan bersyukur setiap hari. Seorang perempuan cantik mengenakan celemek sedang sibuk menata tiramisu dalam piring-piring kecil."Istriku rajin sekali."Merasa disanjung, sang istri tersenyum lebar sambil mengangkat salah satu piring, memamerkan hasil karyanya."Mau ada tamu, Sayang?"Perempuan yang tak lain adalah Kintan itu mengiakan. "Dinda bilang sedang mengidam kue buatanku.""Oh, ya? Dia liburan ke sini?"Kintan mengangg

  • Penyamaran Saudara Kembar   Pertemuan Kembali

    Di antara lalu lalang penumpang di terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Dejan mengunci pandangannya pada seorang gadis yang sedang menggeret sebuah koper besar. Gadis itu tampak kerepotan menjinjing tas yang sepertinya penuh dengan oleh-oleh serta merapikan anak rambut yang menyembul di balik pashmina. Untuk sesaat, Dejan melupakan tujuannya pulang ke Indonesia. Gadis itu, wajah itu, mengingatkannya akan kenangan manis setahun silam.Dejan berjalan mendekat, memastikan bahwa wajah itu bukan sekadar ilusi dan matanya masih berfungsi dengan normal. Semakin jarak mereka terpangkas, Dejan dapat merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Mau saya bantu?" Akhirnya keluar suara dari bibirnya.Gadis yang mengenakan sweater putih itu menoleh. Dia memeriksa lelaki berjas hitam di hadapannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Alisnya berkerut, merasa tidak asing dengan sosok di hadapannya, tetapi tidak ingat siapa pastinya."Mau saya bantu bawakan tasnya sebentar? Sepertinya kamu kerepotan,"

  • Penyamaran Saudara Kembar   Roda Berputar

    Kintan menikmati akhir pekan dengan berjalan-jalan di Rue de I'Abreuvoir. Jalanan terkenal di kawasan Montmartre, Paris itu tampak menawan dengan pemandangan bunga wisteria yang bermekaran. Matahari musim panas bersinar cerah, membuat rumah warna-warni di sepanjang jalan lebih semarak."Kintan, Carrot, let's take a selfie!" ajak Yujin dengan aksen Korea yang medok.Ajakan itu pun disambut antusias. Carrot, gadis tinggi semampai asal Thailand, buru-buru mengeluarkan ponsel dan mengarahkan kamera depan ke wajah mereka.Berbagai macam gaya seperti peace, manyun, mengedipkan sebelah mata, dan lainnya mulai memenuhi galeri Carrot. Untuk urusan dokumentasi, gadis itu memang paling bisa diandalkan. Tangannya yang panjang membuat jangkauan tampilan foto selfie mereka lebih luas.Mereka berkenalan di hari pertama sekolah memasak dimulai. Sebagai sesama orang Asia di antara murid Eropa dan Amerika, kedekatan mereka terjalin begitu saja lewat obrolan dan makanan. Kepada mereka jugalah Kintan akh

  • Penyamaran Saudara Kembar   Hukum Tabur Tuai

    Pernikahan Devan dan Talita awalnya terasa begitu indah. Mereka menggelar resepsi mewah dan mampu mengundang penyanyi favorit Talita sebagai bintang tamu. Bulan madunya pun tidak main-main, paket perjalanan ke lima negara Eropa selama 10 hari. Semua tampak baik-baik saja hingga kemudian badai menerpa di usia pernikahan yang masih seumur jagung.Pernikahan yang semula terasa manis dan indah, berubah menjadi hari-hari penuh pertengkaran. Curiga, cemburu, dan miskomunikasi adalah makanan sehari-hari. Rumah yang masih dalam cicilan itu menjadi saksi bisu terbongkarnya kebusukan Talita satu demi satu.Di usia kehamilan Talita yang menginjak 7 bulan, Devan harus menjalani serangkaian proses pemeriksaan di kantor. Divisi keuangan melaporkan adanya tindak penggelapan uang proyek pada audit tahunan. Tersangkanya adalah Talita selama mereka bertugas di Jambi.Perusahaan ditaksir mengalami kerugian hingga 200 juta rupiah. Tim Legal awalnya ingin melaporkan kasus tersebut ke polisi, tetapi Devan

  • Penyamaran Saudara Kembar   Awal yang Baru

    "Besok aku akan bicara dengan Om dan Tante, Bu. Nggak usah takut, kita nggak salah. Dzolim sekali kalau mereka menuntut warisan sementara Ayah memiliki istri dan anak yang masih hidup!" ucap Kintan tegas.Kintan geram sebab kerabatnya sudah kelewat batas. Warisan yang ditinggalkan Pak Surya memang cukup banyak, meliputi tabungan, rumah, tanah, dan toko kue. Namun, bukan berarti mereka bisa meminta seenaknya. Itu tidak sesuai dengan hukum perdata maupun hukum Islam."Tadi Ibu sudah berusaha menyampaikan pendapat, tapi mereka masih kekeh. Om Yudi merasa berhak mendapatkan bagi hasil toko kue karena dulu ikut menyumbang material. Tante Ira juga merasa berhak dapat warisan tanah karena pembagian dari kakek kamu dulu tidak sama banyak. Ibu sudah capek, Tan.""Mana bisa begitu? Kalau niat awalnya bantu ya bantu. Urusan pembagian warisan dari Kakek juga bukan tanggung jawab kita. Udah, pokoknya Ibu istirahat ya, jangan mikirin hal-hal nggak penting kayak gitu. Sekarang aku yang akan pasang b

  • Penyamaran Saudara Kembar   Setelah Ayah Pergi

    Dinda menemui Kintan dan Bu Ranti. Dia harus menjelaskan perihal chef kiriman Dejan sebelum mereka salah paham. Lagi pula, tambahan bantuan itu juga sangat berarti di tengah sibuknya persiapan acara doa bersama. "Jadi, maksud kamu, Mas Dejan sengaja mengirim chef pribadi ke sini untuk menyiapkan konsumsi selama tiga hari ke depan?" Kintan mengulang informasi yang didengarnya. Dinda mengangguk mengiakan. "Kintan, Tante, sebelumnya aku minta maaf kalau terkesan lancang. Tolong jangan menolak dan menyalahartikan niat baiknya. Dejan benar-benar tulus ingin membantu." Dinda menunduk dalam. Dia siap dengan segala konsekuensi yang mungkin akan diterima. "Tapi buat apa, Din?" Intonasi Kintan meninggi. "Aku nggak pernah minta! Bayar chef pribadi itu mahal, apalagi sampai tiga hari. Terus aku harus diam menikmati semua bantuannya dan berpikir dia nggak punya niat tersembunyi? Mana bisa begitu!" "Kintan, pelankan suaramu, Nak. Ada banyak kerabat di luar," tegur Bu Ranti. Dia pun sebenarn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status