Share

Kebohongan Demi Kebohongan

Dejan tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Kehadiran Kintan saat Devan sudah berangkat ke bandara menjadi bukti bahwa perempuan itu sama sekali belum mengetahui kabar kepindahan Devan. Gadis itu ada di hadapannya, berdiri sambil tersenyum manis hingga membuat jantungnya berdebar kencang.

Kintan mengerutkan kening. "Suara Mas Devan agak beda. Mas lagi sakit?"

Kintan yang buta wajah sama sekali tidak menyadari bahwa laki-laki di hadapannya bukanlah Devan. Memang dari segi perawakan, mereka sangat mirip. Namun, nada suara Devan lebih renyah sedangkan suara Dejan cenderung lembut.

"Em, iya, kecapekan aja mungkin," jawab Dejan sekenanya. Dalam hati dia merutuk, mengapa harus berbohong dan pura-pura menjadi Devan.

"Silakan masuk, Tan." Dejan mematikan keran dan berjalan terlebih dahulu memasuki rumah.

Kintan memasuki halaman dan memperhatikan sekeliling. "Sejak kapan Mas Devan suka berkebun?"

Dejan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iseng aja, lagi gabut."

"Bagus, deh, kalau gitu. Kapan-kapan kita bisa pergi ke toko perlengkapan berkebun bareng. Selama ini, kan, Mas Devan cuma nunggu di mobil aja."

"Ya, boleh, kapan-kapan kita beli bunga yang kamu suka."

Lagi-lagi gadis itu tersenyum ke arah Dejan. Wajahnya memancarkan rona kebahagiaan. Dejan bisa melihat, tatapan gadis itu penuh cinta. Seketika jiwa jomblonya meronta-ronta.

"Lucu, ya, lihat Mas Devan pakai celana panjang sama hoodie di rumah. Jadi kayak oppa-oppa Korea. Biasanya pakai celana pendek sama kaus oblong aja."

Tawa Dejan ingin meledak saat itu juga. Apa Kintan bilang? Oppa-oppa Korea? Bagaimana bisa kulitnya yang cenderung cokelat itu disamakan dengan selebritas Negeri Gingseng yang putih tanpa cela? Wah, selera Devan unik juga.

Kintan mematung di teras dan celingukan seperti sedang mencari seseorang. "Tante Dian mana, Mas? Aku ke sini karena mau kasih kue buat beliau."

Dejan gelagapan lagi mencari-cari alasan. "Oh, Mama lagi pergi sama Papa. Ada urusan."

"Yah ... Tahu gitu aku ke sininya agak siangan. Mas Devan, sih, nomornya enggak bisa dihubungi." Gadis itu duduk di kursi dan meletakkan kotak kuenya di meja kaca.

Dejan mengepalkan kedua tangan di belakang badan. Dia sungguh kesal kepada Devan. Bisa-bisanya laki-laki itu pergi ke Jambi tanpa memberi kabar apa pun kepada perempuan yang dijanjikan akan dinikahinya. Dia jadi paham kenapa Devan membeli nomor baru.

"Maaf, kartunya bermasalah dan sementara ganti nomor dulu. Kamu enggak mau masuk?" tanyanya canggung.

"Mas Devan hari ini kenapa, sih?" Tawanya terdengar renyah. "Aku, kan, biasanya memang duduk di luar kalau di rumah enggak ada siapa-siapa."

Untuk sepersekian detik, Dejan terperangah dengan jawaban Kintan. Dia tidak menyangka, kembarannya yang berengsek itu bisa punya hubungan spesial dengan perempuan sopan. Bodohnya, Devan justru terlena dengan tipu muslihat perempuan lain. Rasa bersalah akibat mengaku-aku menjadi Devan perlahan mulai terkikis.

Dia jadi mengerti mengapa papanya sangat menyukai Kintan. Selain cantik dan sukses, gadis itu juga sopan dan tidak neko-neko. Bodoh saja jika Devan tidak mau memperjuangkan restu hanya karena Kintan menderita buta wajah.

"Omong-omong ini kue apa?" tanya Dejan mengalihkan pembicaraan. Dia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Tidak sekali pun Dejan pernah melihat bagaimana Devan bersikap di depan Kintan. Yang dia tahu, Devan selalu romantis saat masih bersama mantan-mantannya.

"Mas Devan ingat tidak kemarin aku tanya apa kue kesukaan Tante Dian? Nah, sesuai saran Mas Devan, aku bawakan tiramisu. Ini bikinanku sendiri, lho!"

Dejan ingat, papanya pernah bercerita bahwa Kintan mempunyai toko kue. Ternyata itu bukan hanya isapan jempol.

Tanpa disuruh, Kintan pelan-pelan membuka ikatan pita dan menunjukkan kue yang dimaksud. Sekotak kue dengan lapisan berwarna selang-seling cokelat dan putih terlihat cantik dengan taburan bubuk coklat di atasnya.

Lagi-lagi Dejan mengumpat dalam hati. "Devan kurang ajar! Padahal Mama paling enggak bisa makan tiramisu karena alergi krim keju."

Dejan berasumsi, Devan sengaja melakukan itu agar Kintan terlihat makin buruk di mata mamanya. Dengan begitu, lamaran mereka bisa dibatalkan dan mereka berpisah seolah-olah karena kesalahan Kintan.

Iseng, telunjuk Dejan mencolek pinggiran kue. Kintan spontan menepuk punggung tangannya.

"Mas jorok banget, sih! Tadi, kan, habis pegang-pegang selang."

Dejan menyengir dan cuek saja menjilati kue di telunjuknya. Kombinasi rasa manis, pahit, dan gurih berpadu dengan sempurna di mulutnya. "Habisnya kelihatan enak, sih."

Kintan tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dejan tercenung memperhatikan wajah polos di hadapannya. Entah mengapa, hatinya justru tergerak untuk terus berpura-pura menjadi Devan agar gadis itu tidak terluka. Dejan sangat tahu betapa sakitnya dikhianati oleh seseorang yang sangat dicinta.

"Oh, ya, kamu mau minum apa?"

"Seperti biasa aja, Mas."

Gawat! Dejan sama sekali tidak mengerti istilah 'seperti biasa' itu merujuk pada minuman apa. Dia pun memutar otak dan teringat ada Mbok Darmi di belakang. Barangkali perempuan itu tahu apa minuman kesukaan Kintan.

"Oke, tunggu sebentar. Saya, em, maksudnya aku ambilkan dulu."

Dejan menggerak-gerakkan kakinya karena gelisah. Jelas-jelas Kintan terlihat kebingungan sejak dia datang. Gadis itu terus mengamati gerak-gerik Dejan. Jika laki-laki itu ketahuan berbohong, tamat sudah riwayatnya.

"Mbok, tahu Kintan, kan?"

"Tahu. Pacarnya Mas Devan, kan?"

"Biasanya dia minum apa kalau ke sini?"

"Lho, Mbak Kintan ke sini? Saya kira ikut ke bandara."

Dejan mengangguk cepat. "Panjang ceritanya. Pokoknya sekarang tolong bikinin minuman yang biasa disuguhkan."

Perempuan kurus itu melongo. Dia ingin bertanya lebih jauh, tetapi Dejan kembali menyuruhnya untuk bergegas. Dengan tergopoh-gopoh, Mbok Darmi menuju kulkas dan menuang sari jeruk ke dalam gelas di atas nampan.

"Makasih, Mbok. Satu lagi, selama dia di depan, Mbok Darmi jangan nemuin dia!" bisik Dejan.

Setelah beberapa langkah, Dejan teringat sesuatu dan kembali mendekati Mbok Darmi. "Jangan bilang-bilang Papa sama Mama kalau Kintan ke sini!"

Laki-laki jangkung itu berjalan dengan hati-hati. Dia tidak terbiasa membawa nampan. Namun, menyuruh Mbok Darmi menyajikannya juga bukan pilihan yang tepat. Salah-salah, asisten yang sudah puluhan tahun bekerja di rumahnya itu kelepasan menyebut nama Dejan.

Kintan memperhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepala saat Dejan meletakkan minuman di meja. Tatapan matanya penuh curiga. Dejan kikuk karena diperhatikan sedemikian rupa oleh orang yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya.

"Mas beli parfum baru? Biasanya enggak kayak gini wanginya."

"Oh, itu, anu ... Kemarin Dejan kasih oleh-oleh dari Paris. Ya, benar, dari Dejan."

"Terus Mas Dejannya ke mana sekarang? Kami belum pernah ketemu. Aku jadi penasaran, apa Mas Dejan beneran segalak yang Mas Devan bilang?"

Jika Devan ada di depannya saat itu, Dejan ingin sekali menonjoknya.

"Dejan sudah berangkat lagi ke Singapura."

Melihat gelagatnya, Kintan seperti akan lama berada di sana. Dejan pun mencari alasan agar Kintan segera pulang. Mulutnya sudah seperti rem blong saat mengatakan kebohongan demi kebohongan.

"Ehm, Tan, sepertinya Papa sama Mama sebentar lagi pulang. Apa enggak sebaiknya kamu pergi sebelum mereka datang? Kuenya nanti biar saya, eh, aku yang sampaikan."

"Kenapa begitu, Mas?"

"Sepertinya Mama masih agak sensitif. Kemarin saya, eh, aku ribut sama Mama."

"Mas kenapa, sih, dari tadi aneh banget. Ngomongnya juga salah-salah begitu." Alis Kintan bertaut.

"Ma, maaf. Bukan begitu, Sayang." Hati Dejan sontak berdesir saat mengucapkan panggilan itu. "Aku lagi kurang fokus, mungkin karena capek. Kita dekati Mama pelan-pelan, ya? Kue ini beneran akan aku sampaikan, tapi sebaiknya kalian jangan ketemu dulu. Kita tunggu sampai suasana hati Mama membaik."

Dejan merasa sudah gila! Dia tidak bisa membayangkan permainan itu akan berlangsung sejauh apa. Dia membenci Devan karena telah membohongi Kintan. Akan tetapi, di saat bersamaan, dia juga melakukan hal serupa.

"Please, sekarang pulang dulu, ya? Nanti malam kita dinner. Kamu bebas pilih tempatnya."

"Ya sudah, aku pergi dulu. Nanti Mas jemput di toko aja." Kintan mengalah. Dia mengambil tas selempangnya lalu berjalan menuju mobil dengan langkah gontai.

"Kintan, tunggu!" Dejan menahan gerakan Kintan yang sedang membuka pintu mobil. "Mana HP kamu?"

Gadis itu mengambil ponselnya dan menyerahkan kepada Dejan. Laki-laki itu mengetik kombinasi dua belas angka lalu menekan tombol panggilan.

"Ini nomor baruku. Nomor yang lama blokir aja, khawatir disalahgunakan sama orang lain."

Kintan mengangguk pelan lalu mengucap salam dan menaiki mobilnya. Dejan hanya memandangi mobil itu menghilang di belokan. Kepala dan dadanya serasa mau meledak. Dia tidak bisa membayangkan lagi, makan malam seperti apa yang akan dia lakukan bersama kekasih kembarannya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
EstrianaTamsir
Dejan suka Kintan ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status