"Jadi, kita mau makan di mana?" tanya Dejan sambil memasang sabuk pengaman.
"Sebenarnya aku belum ada ide, sih. Ke tempat biasa juga boleh, Mas."
Muka Dejan mendadak tegang. Mana dia tahu tempat biasanya mereka itu di mana?
"Gimana kalau ganti suasana? Biar enggak bosan aja," usul Dejan. Dia benar-benar cerdik menghindari bahaya.
"Ikut ke mana Mas Devan suka aja, deh, kalau begitu."
Dejan menyalakan mesin kemudian mobil itu mundur perlahan. Jalanan saat itu dipadati oleh berbagai jenis kendaraan. Kerlip lampu di sana-sini. Kintan tersenyum tak henti-henti.
Sepanjang perjalanan, Kintan banyak bercerita tentang rencana pembukaan cabang baru. Sudah ada dua investor besar yang membidik pasar Bogor dan Bandung. Selain itu, ada tiga calon investor lain yang ingin membuka outlet di wilayah Jabodetabek.
"Tan, menurutku, jangan langsung serentak kalau mau membuka cabang. Punya banyak cabang itu kelihatannya memang keren dan menguntungkan. Tapi jangan lupa mempertimbangkan kemungkinan terburuk."
Kintan mencerna usul Dejan--yang dikiranya Devan. Benar juga, ada banyak toko kue besar yang sudah lebih dahulu punya nama. Jika membuka banyak cabang sekaligus dan akhirnya sepi pembeli, itu tidak baik untuk keuangan Key and Cake. Ada banyak bahan pokok yang tidak bisa dibeli dalam jumlah eceran. Dia perlu membeli dalam jumlah besar jika ingin menekan biaya produksi dan memaksimalkan margin keuntungan.
"Mas Devan kapan ada waktu luang? Kapan-kapan temani aku ketemu calon investor, yuk!"
"Emm, nanti aku cek jadwal dulu. Sepertinya pekan depan bisa."
Mobil mereka menepi di depan sebuah rumah makan kecil. Area parkirnya tidak terlalu luas, tetapi tempatnya terlihat bersih. Para pelayan memakai tutup kepala dan sarung tangan. Tamu yang baru datang disambut dengan sapaan hangat oleh seorang laki-laki di pintu depan.
"Wah, ada angin apa ini? Lama enggak ketemu, sekalinya ketemu sudah ganti gandengan." Laki-laki itu terkekeh saat melihat kehadiran Dejan.
Mereka bersalaman dan saling berpelukan. Dejan tidak menanggapi omongan kenalannya itu dan memilih untuk bertanya kabar. Setelah berbasa-basi sebentar, laki-laki yang ternyata adalah pemilik rumah makan itu mempersilakan mereka duduk di kursi dekat jendela.
"Masih suka duduk di sana, kan?" tanyanya jahil.
Dejan meninju lengan laki-laki itu lalu menggandeng Kintan. Hal itu dilakukan secara spontan. Saat sadar jari mereka telah bertaut, kaki Dejan justru mendadak gemetaran.
"Kayaknya tempat ini punya banyak kenangan buat Mas Devan."
Jelas sekali bahwa Kintan sedang cemburu. Dia menanyakan hal itu tanpa mau menatap Dejan.
"Ah, nggak juga. Biasalah, jokes cowok."
Namun, Kintan tidak percaya begitu saja. Gadis itu tetap berwajah masam hingga sampai di meja yang dituju. Dia cukup kaget ketika Dejan memundurkan kursi dan memintanya duduk di sana. Sebenarnya, dia sudah kaget sejak Dejan membukakan pintu mobil dan menghadiahkan buket bunga untuknya. Selama ini, bahasa cinta Devan adalah kata-kata manis nan memabukkan, bukan melalui perbuatan.
"Makasih ya, Mas," ucapnya tulus. Kesalnya sirna sudah.
Kintan menimang buket bunga pemberian Dejan. Dia mulai berkhayal, buket itu adalah bunga yang akan dia bawa di hari pernikahan. Bersama Devan-nya, mereka akan berbalik badan dan melempar bunga. Salah seorang seorang tamu undangan yang beruntung akan menangkap buket pengantin miliknya.
Kata orang, pernikahan adalah awal hidup baru. Namun, tidak demikian bagi Kintan. Pernikahan adalah akhir pencarian cinta bersama seseorang yang bisa menemani hingga tutup usia. Pernikahan adalah mimpi paling mewah bagi gadis tidak sempurna seperti dirinya.
"Kamu ngelamun?" tanya Dejan.
Kintan tersentak dan kesadarannya kembali. "Maaf, Mas, aku cuma lagi kepikiran sesuatu."
"Kepikiran apa, hmm?" Suara Dejan yang lembut terdengar menenangkan. Kintan pun akhirnya memberanikan diri untuk bercerita.
"Waktu aku bilang mau dinner sama Mas Devan, Bapak sama Ibu titip pesan supaya kita membahas tanggal lamaran."
Dejan tersedak lemon tea. Jangankan tanggal lamaran, nama panjang Kintan saja dia tidak tahu. Lelaki itu pun mencoba berkilah agar penyamarannya tidak terbongkar.
"Sayang, kamu sepakat, kan, salah satu kunci kebahagiaan dalam pernikahan itu adalah restu kedua orang tua?" tanya Dejan pelan-pelan.
Kintan menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengaduk strawberry milkshake lalu menatap Dejan dalam-dalam.
"Kedua orang tuaku sudah setuju, Mas. Bagaimana dengan orang tuamu?"
"Untuk sekarang, aku minta kamu beri pengertian lagi kepada kedua orang tuamu. Maaf, lamaran kita harus ditunda dulu."
Ada rasa bersalah yang menjalari urat nadi Dejan. Siapalah dirinya berhak memberi jawaban demikian? Awalnya dia tidak tega jika Kintan harus sakit hati karena dicampakkan begitu saja oleh saudara kembarnya. Akan tetapi, situasi justru membawanya terjerumus lebih dalam pada permasalahan mereka berdua.
Nafsu makan Kintan seketika hilang. Meski perutnya belum terisi lagi sejak siang, dia sama sekali tidak tertarik dengan sepiring spaghetti yang baru saja tersaji di meja makan.
"Menurut Mas Devan, aku harus gimana supaya Tante Dian kasih lampu hijau?"
"Beli lampu sendiri aja. Kayaknya lampu hijau Mama lagi rusak."
Mata Kintan mendelik, tetapi akhirnya dia tersenyum tipis.
"Sorry, sorry ... Aku cuma bercanda. Doakan yang terbaik aja, ya. Mending kita obrolin yang lain. Kenapa kamu bisa secantik ini, misalnya."
Kintan tersenyum lagi, kali ini lebih lebar disertai rona merah di pipi. Gelaknya serupa candu yang membuat Dejan ingin melihatnya lagi dan lagi. Malam itu, Kintan terlihat benar-benar bahagia. Makin dilihat, makin Dejan tak tega untuk mengaku jika Devan sudah meninggalkannya.
Gadis itu menyeka matanya yang berair karena terlalu lama tertawa. Ada bekas maskara yang menempel di tisu. Kintan mengedipkan matanya beberapa kali seperti kelilipan sesuatu.
"Omong-omong, kalau make up itu mengganggu, kenapa enggak dandan biasa aja kayak pas ke rumah tadi pagi?"
Kintan terdiam beberapa saat, merasa aneh dengan pertanyaan Dejan.
"Dulu, kan, Mas Devan sendiri yang minta."
Ah, Dejan sudah menduga. Sejak dahulu, Devan memang lebih tertarik kepada perempuan yang trendi dan bergaya. Makanya Dejan aneh ketika papanya bilang pacar terakhir Devan adalah sosok yang sederhana.
"Mulai besok dan seterusnya, berdandanlah sesuai keinginanmu. Pakai baju dan make up yang membuatmu nyaman. Maaf kalau selama ini tuntutan itu membebanimu."
Dejan tidak bisa mengendalikan perasaannya. Candaannya, pujiannya, bahagianya, semuanya datang dari hati yang tulus. Pria itu seperti naik ke awang-awang bertabur bintang. Di sana hanya ada mereka. Berdua saja. Menikmati malam lewat tatapan syahdu dan rekah senyum tulus yang sudah lama tidak pernah Dejan rasakan.
"Tan, misal nih, ya ... Misalnya aja, orang yang sangat kamu percayai suatu saat berbohong sama kamu, apa yang akan kamu lakukan?" Tiba-tiba terbersit pertanyaan itu di benak Dejan.
Kintan menatapnya penuh rasa ingin tahu. Alisnya berkerut dalam sedangkan tatapannya menyiratkan kecurigaan.
"Kenapa nanya kayak gitu? Mas nggak lagi bohong, kan, sama aku?"
Dejan tidak bergeming. Hanya telinganya sendiri yang bisa mendengar pengakuan jujur dari lubuk hati.
Sebuah rumah minimalis di pinggiran Singapore sudah menunjukkan geliat aktivitas sejak pagi. Setelah salat Subuh, penghuninya bergegas ke dapur sambil bersenandung riang. Tangannya terampil menyiapkan beberapa bahan serta alat masak. Di Indonesia ataupun negara lain sama saja, masak dan membuat kue adalah kegemarannya.Aroma kombinasi keju, coklat, dan kopi menggelitik indra penciuman hingga membuat sang suami penasaran untuk menghampiri sumbernya. Ia keluar dari kamar setelah selesai mengenakan setelan jas. Di dapur, ada pemandangan yang selalu membuatnya bahagia dan bersyukur setiap hari. Seorang perempuan cantik mengenakan celemek sedang sibuk menata tiramisu dalam piring-piring kecil."Istriku rajin sekali."Merasa disanjung, sang istri tersenyum lebar sambil mengangkat salah satu piring, memamerkan hasil karyanya."Mau ada tamu, Sayang?"Perempuan yang tak lain adalah Kintan itu mengiakan. "Dinda bilang sedang mengidam kue buatanku.""Oh, ya? Dia liburan ke sini?"Kintan mengangg
Di antara lalu lalang penumpang di terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Dejan mengunci pandangannya pada seorang gadis yang sedang menggeret sebuah koper besar. Gadis itu tampak kerepotan menjinjing tas yang sepertinya penuh dengan oleh-oleh serta merapikan anak rambut yang menyembul di balik pashmina. Untuk sesaat, Dejan melupakan tujuannya pulang ke Indonesia. Gadis itu, wajah itu, mengingatkannya akan kenangan manis setahun silam.Dejan berjalan mendekat, memastikan bahwa wajah itu bukan sekadar ilusi dan matanya masih berfungsi dengan normal. Semakin jarak mereka terpangkas, Dejan dapat merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Mau saya bantu?" Akhirnya keluar suara dari bibirnya.Gadis yang mengenakan sweater putih itu menoleh. Dia memeriksa lelaki berjas hitam di hadapannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Alisnya berkerut, merasa tidak asing dengan sosok di hadapannya, tetapi tidak ingat siapa pastinya."Mau saya bantu bawakan tasnya sebentar? Sepertinya kamu kerepotan,"
Kintan menikmati akhir pekan dengan berjalan-jalan di Rue de I'Abreuvoir. Jalanan terkenal di kawasan Montmartre, Paris itu tampak menawan dengan pemandangan bunga wisteria yang bermekaran. Matahari musim panas bersinar cerah, membuat rumah warna-warni di sepanjang jalan lebih semarak."Kintan, Carrot, let's take a selfie!" ajak Yujin dengan aksen Korea yang medok.Ajakan itu pun disambut antusias. Carrot, gadis tinggi semampai asal Thailand, buru-buru mengeluarkan ponsel dan mengarahkan kamera depan ke wajah mereka.Berbagai macam gaya seperti peace, manyun, mengedipkan sebelah mata, dan lainnya mulai memenuhi galeri Carrot. Untuk urusan dokumentasi, gadis itu memang paling bisa diandalkan. Tangannya yang panjang membuat jangkauan tampilan foto selfie mereka lebih luas.Mereka berkenalan di hari pertama sekolah memasak dimulai. Sebagai sesama orang Asia di antara murid Eropa dan Amerika, kedekatan mereka terjalin begitu saja lewat obrolan dan makanan. Kepada mereka jugalah Kintan akh
Pernikahan Devan dan Talita awalnya terasa begitu indah. Mereka menggelar resepsi mewah dan mampu mengundang penyanyi favorit Talita sebagai bintang tamu. Bulan madunya pun tidak main-main, paket perjalanan ke lima negara Eropa selama 10 hari. Semua tampak baik-baik saja hingga kemudian badai menerpa di usia pernikahan yang masih seumur jagung.Pernikahan yang semula terasa manis dan indah, berubah menjadi hari-hari penuh pertengkaran. Curiga, cemburu, dan miskomunikasi adalah makanan sehari-hari. Rumah yang masih dalam cicilan itu menjadi saksi bisu terbongkarnya kebusukan Talita satu demi satu.Di usia kehamilan Talita yang menginjak 7 bulan, Devan harus menjalani serangkaian proses pemeriksaan di kantor. Divisi keuangan melaporkan adanya tindak penggelapan uang proyek pada audit tahunan. Tersangkanya adalah Talita selama mereka bertugas di Jambi.Perusahaan ditaksir mengalami kerugian hingga 200 juta rupiah. Tim Legal awalnya ingin melaporkan kasus tersebut ke polisi, tetapi Devan
"Besok aku akan bicara dengan Om dan Tante, Bu. Nggak usah takut, kita nggak salah. Dzolim sekali kalau mereka menuntut warisan sementara Ayah memiliki istri dan anak yang masih hidup!" ucap Kintan tegas.Kintan geram sebab kerabatnya sudah kelewat batas. Warisan yang ditinggalkan Pak Surya memang cukup banyak, meliputi tabungan, rumah, tanah, dan toko kue. Namun, bukan berarti mereka bisa meminta seenaknya. Itu tidak sesuai dengan hukum perdata maupun hukum Islam."Tadi Ibu sudah berusaha menyampaikan pendapat, tapi mereka masih kekeh. Om Yudi merasa berhak mendapatkan bagi hasil toko kue karena dulu ikut menyumbang material. Tante Ira juga merasa berhak dapat warisan tanah karena pembagian dari kakek kamu dulu tidak sama banyak. Ibu sudah capek, Tan.""Mana bisa begitu? Kalau niat awalnya bantu ya bantu. Urusan pembagian warisan dari Kakek juga bukan tanggung jawab kita. Udah, pokoknya Ibu istirahat ya, jangan mikirin hal-hal nggak penting kayak gitu. Sekarang aku yang akan pasang b
Dinda menemui Kintan dan Bu Ranti. Dia harus menjelaskan perihal chef kiriman Dejan sebelum mereka salah paham. Lagi pula, tambahan bantuan itu juga sangat berarti di tengah sibuknya persiapan acara doa bersama. "Jadi, maksud kamu, Mas Dejan sengaja mengirim chef pribadi ke sini untuk menyiapkan konsumsi selama tiga hari ke depan?" Kintan mengulang informasi yang didengarnya. Dinda mengangguk mengiakan. "Kintan, Tante, sebelumnya aku minta maaf kalau terkesan lancang. Tolong jangan menolak dan menyalahartikan niat baiknya. Dejan benar-benar tulus ingin membantu." Dinda menunduk dalam. Dia siap dengan segala konsekuensi yang mungkin akan diterima. "Tapi buat apa, Din?" Intonasi Kintan meninggi. "Aku nggak pernah minta! Bayar chef pribadi itu mahal, apalagi sampai tiga hari. Terus aku harus diam menikmati semua bantuannya dan berpikir dia nggak punya niat tersembunyi? Mana bisa begitu!" "Kintan, pelankan suaramu, Nak. Ada banyak kerabat di luar," tegur Bu Ranti. Dia pun sebenarn