"Mas, kamu yakin mau menikah dengan Kintan?" tanya Talita, seorang asisten cantik dengan bulu mata lentik.
Devan, seorang manager dengan karir gemilang sekaligus atasan Talita itu tampak berpikir sejenak.
"Kurasa begitu. Kintan baik dan pengertian. Dia berusaha memahami pekerjaanku yang harus sering kunjungan lapang seperti sekarang."
Devan bergeser karena Talita duduk di sebelahnya tanpa menyisakan jarak. Aroma parfum vanila mengusik indra penciuman Devan dan membuat debaran jantungnya tidak beraturan.
"Meskipun Kintan penyakitan?"
Talita mengucapkan itu lirih sambil mencondongkan tubuhnya. Bulu kuduk Devan meremang karena dia dapat merasakan embusan napas Talita di telinganya.
"Kintan tidak penyakitan. Dia hanya ... Hanya tidak bisa mengenali wajah orang lain," jawab Devan agak terbata-bata.
"Lalu apa yang bisa Mas Devan harapkan dari perempuan seperti itu?" Talita mulai gusar. "Aku tahu Kintan pintar dan mandiri, tapi coba bayangkan suatu saat nanti dia harus ketemu keluarga besar atau kolega Mas Devan. Pikirkan juga perasaan orang tua. Apa mereka tidak malu punya menantu yang tidak bisa mengenal wajah mertua sendiri?"
Devan meneguk kopi untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering. Rasanya pahit, sama seperti pernyataan yang Talita sampaikan. Bagaimanapun, fakta itu memang tidak bisa diabaikan. Istri seorang manajer ternyata tidak bisa membedakan wajah sang suami dengan orang lain. Apa kata dunia?
Adalah prosopagnosia alias buta wajah, kelainan yang diderita Kintan sejak kecil. Menurut dokter, hanya 2% orang di dunia yang mengalami kelainan sistem saraf tersebut. Dia bisa melihat dengan jelas, tetapi tidak mampu mengenali dan membedakan wajah orang lain. Semua wajah tampak samar dan buram seperti gambar usang. Kintan hanya mengenali orang lain lewat suara, gaya berpakaian, atau kebiasaan khusus yang acap kali mereka lakukan.
Ingatan Devan memutar kembali pertemuan pertama mereka. Saat itu, kantor Devan sedang mengadakan acara syukuran dan memesan kue dari Key and Cake, toko roti milik Kintan. Gadis berkulit putih itu tampak kebingungan saat bertanya kepada satpam di lobi gedung. Usut punya usut, ternyata dia ingin menemui penanggung jawab acara. Akan tetapi, satpam hanya menjelaskan ciri-ciri wajah orang tersebut dan Kintan tidak bisa memahaminya.
"Mas, kok malah bengong?" Talita memasang wajah cemberut. Devan berdeham dan memperbaiki posisi duduknya tanpa menjawab pertanyaan sang asisten.
"Malam ini aku numpang menginap, ya? AC kamarku kurang dingin."
Talita menggelung rambut bergelombangnya dengan gerakan gemulai. Wajah Devan memerah saat melihat leher Talita yang jenjang dan bersih.
"Saya buat keluhan ke pihak hotel saja, kalau begitu. Nanti biar diperbaiki sama teknisi."
"Kita masih harus lembur, lho, Mas. Presentasi final kita belum selesai. Kalau proyek kita gol, kan, kita juga yang dapat bonus gede," kata Talita sambil mengedipkan sebelah mata.
Memang benar kata orang: kucing tidak akan menolak jika disodori ikan. Bagaimanapun Devan adalah laki-laki normal. Sifatnya yang mantan seorang playboy belum sepenuhnya hilang. Maka ketika Talita berusaha mendekati, Devan juga tengah mati-matian menahan gejolak di hatinya.
"Dia sudah tahu kalau Mas harus pindah tugas ke Jambi selama setahun?" bisik Talita. Dia sengaja menyentuhkan sedikit bibirnya ke telinga Devan hingga pria itu menelan ludah.
"Be-belum ...."
Talita tertawa. "Ngaku aja. Mas itu sebenarnya belum yakin, kan? Buktinya, Mas menyembunyikan fakta itu dari dia."
Devan tidak menjawab, tetapi Talita jelas tahu kelemahannya.
***
Pagi-pagi sekali, Pak Doni sudah sibuk menata barang bawaan Devan ke dalam mobil. Bu Dian juga membawakan berbagai macam bekal makanan. Supaya Devan tidak makan mie instan terus, katanya. Padahal di rumah tugasnya, ada asisten rumah tangga yang mengurus berbagai keperluan Devan.
Devan membeli nomor ponsel baru. Dia sudah membagikan nomor itu kepada kedua orang tuanya. Kata Devan, sinyal dari kartu yang dipakai saat itu kurang bagus selama dipakai di Jambi. Oleh karena itu, selama bertugas di sana, Devan menggunakan dua nomor telepon.
Dejan--saudara kembar Devan--tampak tidak terlalu peduli. Sejak pagi, dia asyik membaca berita di ruang tamu. Dia berlangganan koran digital sejak setahun belakangan. Baginya, membaca berita adalah salah satu amunisi dalam berbisnis. Dia biasa meluangkan waktu satu jam untuk menekuni tablet dan membaca tulisan-tulisan di rubrik ekonomi.
Pukul delapan pagi, Devan dan kedua orang tuanya berangkat ke bandara. Dejan tidak ikut serta karena ada rapat daring dengan klien dari Singapura. Lagipula pergi setahun bukanlah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Dejan sudah lebih dulu melanglang buana sejak lulus kuliah.
Dejan mencari kegiatan lain sembari menunggu rapat yang dimulai pukul sepuluh. Dia menyiram berbagai macam tanaman hias yang tumbuh subur memenuhi pekarangan. Anggrek warna-warni juga mekar bersamaan. Sejenak Dejan teringat Malia. Mantan pacarnya yang keturunan Belanda itu sangat menyukai anggrek bulan.
Malia adalah cinta pertama sekaligus luka lama. Berbeda dengan Devan yang sejak dahulu sering gonta-ganti pasangan, Dejan cenderung setia dan tidak mudah memulai hubungan. Sayangnya, mereka harus putus karena tidak juga mendapatkan titik temu saat bicara tentang pernikahan. Selain perbedaan agama, Malia juga tidak bisa pindah mengikuti Dejan ke Indonesia.
Lamunan tentang Malia buyar ketika sebuah mobil hitam metalik menepi dan berhenti tepat di depan pagar. Seorang perempuan berjilbab hitam turun dari mobil sambil membawa kotak coklat berhias pita. Untuk sejenak, Dejan seperti tersihir oleh penampilannya yang bersahaja. Bajunya sopan tertutup dan cocok dengan warna kulitnya yang putih bersih.
Gadis itu tersenyum menampakkan deretan giginya yang rapi. Hidungnya seperti perosotan saat dilihat dari samping. Dia melambaikan tangan dan berseru senang ke arah Dejan.
"Assalamu'alaikum, Mas Devan!"
"Wa'alaikumsalam," jawab Dejan pelan.
Satu detik, dua detik, tiga detik ... Dejan merasa familier dengan wajah itu, tetapi dia hanya mematung karena tidak ingat namanya.
"Mas, kok, malah bengong!" Matanya yang bulat seperti boneka terus berkedip setiap kali dia berbicara.
Air yang keluar dari selang sudah luber entah ke mana. Dejan terpaku seolah-olah waktu sedang berhenti berputar. Senyum gadis itu tidak juga luntur meski Dejan seperti orang gagu karena tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya.
"Mas Devan enggak mau mempersilakan aku masuk, nih?" kata gadis itu lagi.
Dejan tergagap menjawab, "Kin ... Tan?"
Ya, dia baru ingat kalau sosok yang berdiri di hadapannya saat itu adalah Kintan! Dejan pernah melihat fotonya di kamar Devan saat hendak meminjam headset. Itulah kali pertama mereka bertatap muka.
Ternyata aslinya lebih cantik daripada di foto. Masalahnya, gadis itu menyangka dirinya adalah Devan. Karena Devan sudah berangkat ke Jambi, apakah Dejan harus berpura-pura menjadi kembarannya?
Dejan tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Kehadiran Kintan saat Devan sudah berangkat ke bandara menjadi bukti bahwa perempuan itu sama sekali belum mengetahui kabar kepindahan Devan. Gadis itu ada di hadapannya, berdiri sambil tersenyum manis hingga membuat jantungnya berdebar kencang.Kintan mengerutkan kening. "Suara Mas Devan agak beda. Mas lagi sakit?"Kintan yang buta wajah sama sekali tidak menyadari bahwa laki-laki di hadapannya bukanlah Devan. Memang dari segi perawakan, mereka sangat mirip. Namun, nada suara Devan lebih renyah sedangkan suara Dejan cenderung lembut."Em, iya, kecapekan aja mungkin," jawab Dejan sekenanya. Dalam hati dia merutuk, mengapa harus berbohong dan pura-pura menjadi Devan."Silakan masuk, Tan." Dejan mematikan keran dan berjalan terlebih dahulu memasuki rumah.Kintan memasuki halaman dan memperhatikan sekeliling. "Sejak kapan Mas Devan suka berkebun?"Dejan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iseng aja, lagi gabut.""Bagus, deh, kalau gitu. Ka
Orang tua Dejan kembali dari bandara tak lama setelah Kintan pergi dari sana. Lelaki itu lega karena mereka tidak sempat bertemu. Dia pun mengingatkan Mbok Darmi sekali lagi agar tidak membberitahukan kedatangan Kintan kepada siapa pun."Dek, habis ada tamu? Kok ada gelas di depan?" tanya Bu Dian."Oh, itu ... Tadi Dejan yang minum, Ma. Seger aja gitu minum es sambil baca berita." Dejan makin lihai mencari alasan.Bu Dian manggut-manggut lalu berlalu menuju kamar. Sementara itu, Dejan mengajak ayahnya untuk mengobrol di gazebo belakang karena ada sesuatu yang ingin dia tanyakan. Dia membawa kue dari Kintan untuk dimakan bersama sambil menyesap kopi."Pa, jadi sebenarnya hubungan Devan sama Kintan itu kayak gimana, sih?" tanya Dejan tanpa basa-basi. Dia belum mengatakan bahwa Kintan baru saja berkunjung ke sana."Tumben kamu kepo sama urusan orang. Biasanya yang kamu pikirin cuma kerja, kerja, dan kerja."Dejan hanya terkekeh dan beralasan bahwa dia juga ingin tahu permasalahan saudara
"Jadi, kita mau makan di mana?" tanya Dejan sambil memasang sabuk pengaman."Sebenarnya aku belum ada ide, sih. Ke tempat biasa juga boleh, Mas."Muka Dejan mendadak tegang. Mana dia tahu tempat biasanya mereka itu di mana?"Gimana kalau ganti suasana? Biar enggak bosan aja," usul Dejan. Dia benar-benar cerdik menghindari bahaya."Ikut ke mana Mas Devan suka aja, deh, kalau begitu."Dejan menyalakan mesin kemudian mobil itu mundur perlahan. Jalanan saat itu dipadati oleh berbagai jenis kendaraan. Kerlip lampu di sana-sini. Kintan tersenyum tak henti-henti.Sepanjang perjalanan, Kintan banyak bercerita tentang rencana pembukaan cabang baru. Sudah ada dua investor besar yang membidik pasar Bogor dan Bandung. Selain itu, ada tiga calon investor lain yang ingin membuka outlet di wilayah Jabodetabek."Tan, menurutku, jangan langsung serentak kalau mau membuka cabang. Punya banyak cabang itu kelihatannya memang keren dan menguntungkan. Tapi jangan lupa mempertimbangkan kemungkinan terburuk.
Matahari Jambi sedang terik-teriknya ketika ponsel Devan berdering. Devan sebenarnya malas mengangkat telepon dari mamanya. Selain karena sedang banyak pekerjaan, dia juga bosan ditanya dengan pertanyaan yang selalu sama. Namun, Bu Dian bisa menerornya dengan telepon tak henti-henti sepanjang hari jika lelaki itu sampai tidak menjawab panggilan.Setiap kali menelepon, Bu Dian hanya menanyakan kegiatan, berpesan agar tidak lupa makan, juga berharap agar dirinya segera pulang. Aktivitasnya sehari-hari relatif sama. Jam makannya pun tidak berubah. Apa lagi yang perlu diceritakan? Tubuhnya sudah lelah karena tuntutan pekerjaan.Hari itu pun, Devan menjawab telepon dengan malas-malasan. Matanya masih mengantuk karena hari sebelumnya pulang larut malam. Beruntung, Talita datang ke rumahnya pagi-pagi dan dengan sukarela memijit punggungnya."Kak, hubungan kamu sama Kintan gimana?" tanya Bu Dian tiba-tiba.Mata Devan terbuka lebar dan kantuknya mendadak hilang. Dia menengok kalender yang terp
Wangi kayu manis memenuhi dapur produksi Key and Cake. Bel berbunyi saat tombol pengatur pada oven menunjukkan bahwa waktu pemanggangan telah selesai. Seorang gadis bercelemek membuka penutup kaca dan mengeluarkan rak panggang berisi cinnamon rolls."Sari, jangan lupa cek kematangannya dulu, ya! Kalau bagian dalam masih kurang matang, kamu panggang sebentar lagi," saran Kintan. Dia mengenali karyawan barunya itu dari gelang kaki.Sari mengangguk kemudian memotong salah satu kue dengan pisau khusus. Warnanya yang cokelat keemasan itu terlihat cantik dan menggugah selera. Setelah memastikan bahwa kue buatan Sari sudah matang sempurna, Kintan beranjak dari dapur. Dia menuju ruangan display dan duduk di salah satu kursi yang menghadap ke jalan raya.Jam dinding di toko menunjukkan pukul empat sore. Biasanya, sebentar lagi toko itu akan ramai diserbu pelanggan yang baru pulang dari kantor. Sejak Key and Cake menangani pesanan dari kantor Devan, toko itu mengalami perkembangan yang cukup pe
"Tan, aku lihat Devan jalan sama cewek!" kata Dinda setengah berteriak.Kintan sampai harus menjauhkan ponsel karena sahabatnya itu langsung menyerocos sampai lupa mengucap salam."Jangan bercanda, dong, Din. Jam segini tuh Mas Devan masih kerja." Kintan menyangkal. Arlojinya baru menujukkan pukul empat sore. Devan biasanya baru keluar kantor pukul lima."Tapi suer, Tan, cowok itu mirip banget sama Devan. Dia lagi makan sama cewek di kafe dekat salonku. bajunya juga santai banget, bukan setelan celana bahan sama kemeja kayak orang kantoran."Kintan menggigit bibir. Ragu mulai mendera. Satu sisi hatinya tidak percaya karena hubungannya dengan Devan sedang sangat baik. Namun, Dinda juga bukan sahabat yang suka membual."Apa perlu aku samperin, Tan?""Coba kamu perhatikan lagi, gimana ciri-ciri cewek itu?""Hmm, kayaknya dia blasteran. Hidungnya mancung, kulitnya putih, terus ....""Din, please!" sela Kintan.Dinda garuk-garuk kepala karena lupa bahwa Kintan tidak akan mengerti ciri-ciri
Sari—karyawan baru Key and Cake—mendekati Ratri, salah seorang karyawan senior toko. Gadis lulusan SMK itu tidak tahan untuk tidak bergosip saat melihat sang bos berdandan cantik."Kak, Bu Kintan mau diapelin Ayang, ya?" tanyanya sambil bisik-bisik."Hush! Sembarangan nyebut Pak Devan pakai ayang-ayangan. Mereka itu calon pengantin."Kelopak mata Sari melebar. Dia mendekap kain lap yang sebelumnya dipakai untuk membersihkan meja adonan."Tinggal di bumi berasa ngontrak. Kenapa, sih, semua orang lancar bener jalannya buat dapat ayang? Kayaknya cuma aku yang jomblo sejak embrio." Bibir Sari manyun seolah-olah dia yang paling tidak laku sedunia.Ratri menoyor kepala Sari. "Si paling menderita. Noh, jadian sama Bambang kalau mau!"Bambang yang dimaksud adalah seorang office boy toko roti yang usianya terpaut dua tahun dari Sari. Kalau ada yang harus mendapat predikat paling menderita di sana, Bambang lah yang lebih tepat mendapatkannya.Tidak ada yang salah dengan wajah Bambang. Meskipun
Suara serak muazin saat mengumandangkan azan Subuh membangunkan Kintan dari tidur lelap. Gadis itu mengucek matanya beberapa kali kemudian bangun dan mengikat rambut. Matanya memicing karena sorot cahaya dari ponsel terlalu terang. Jam di layar menunjukkan pukul setengah lima pagi."Bangun, Mas."Kintan mengirim pesan itu ke nomor Dejan kemudian menaruh ponsel di nakas. Dia duduk sebentar di tepian ranjang sambil melamun. Setelah kesadarannya benar-benar terkumpul, dia baru menjejakkan kaki ke lantai dan melangkah menuju kamar mandi.Segarnya air wudu membasuh wajah, menyapu sisa-sisa kantuk yang masih bergelayut di pucuk mata. Kintan melaksanakan salat dan membaca Al-Qur'an setelahnya. Itu adalah rutinitas pagi yang sedang dia disiplinkan sejak enam bulan belakangan.Sejak rutin salat Subuh di awal waktu, Kintan merasa hajat hidupnya dipermudah. Hatinya lebih tenang, emosinya tidak mudah tersulut, dan usaha kuenya juga berkembang pesat. Bangun lebih pagi juga secara tidak langsung me