"Jadi, Ayah kambuh gara-gara Mas Devan dan Talita datang ke rumah?" Kintan menarik kesimpulan setelah ibunya selesai menceritakan kronologi kambuhnya Pak Surya."Kamu tahu soal perempuan itu?" Bu Ranti balik bertanya dengan nada geram. Matanya menyipit dan tatapannya tajam.Mau tak mau Kintan mengangguk. Tidak ada lagi celah untuk menutupi fakta."Tega-teganya kamu membiarkan kami mendengarnya dari mulut orang lain, Tan!" Bu Ranti memalingkan wajah.Setetes air mata kembali jatuh ke pipinya. Sakit karena mengetahui kabar itu dari orang lain tidaklah seberapa. Bu Ranti nelangsa karena anak perempuan satu-satunya ternyata dicampakkan dengan cara yang tidak beretika. Awalnya beralasan ibunya tidak setuju, tapi kemudian membawa wanita lain yang sedang mengandung. Kurang sakit apa? Kondisi Pak Surya cukuplah menjadi bukti bahwa Devan bukanlah pria yang baik. Kelak di kemudian hari, seandainya lelaki itu meminta maaf hingga tersungkur di kakinya, Bu Ranti tidak akan memberi restu agar mer
Dejan bangun pagi itu dengan kepala berdenyut hebat. Dia terhuyung-huyung bangkit dari tempat tidur. Pandangan matanya semula gelap, tetapi kemudian berangsur normal. Meski begitu, nyeri di kepalanya tak kunjung membaik setelah dia hanya berdiam diri sekitar 10 menit. Pria itu mengambil botol minum di atas nakas samping tempat tidur. Dia memang terbiasa menyiapkan air putih di sekitar ranjang agar dapat dengan mudah meminumnya ketika terbangun tengah malam. Setelah memijit kepala sebentar, Dejan berdiri dan melakukan peregangan. Otot-otot tubuh, terutama di bagian bahu dan pinggang terasa tertarik. Sekujur badannya pegal dan kurang bertenaga. Setelah diingat-ingat, dia memang belum beristirahat dengan baik sepulang dari Eropa. Bayangkan ... Sekembalinya ke Indonesia--dan dibututi oleh Malia--Dejan justru memergoki Devan yang mengantar Talita ke dokter kandungan. Mereka terlibat perkelahian di rumah sakit sehingga harus membayar ganti rugi dilarang berobat ke sana lagi. Selain itu,
"Nasi sudah menjadi bubur. Meminta maaf sekarang tidak akan mengubah apa pun. Silakan pulang saja!" hardik Bu Ranti. Suaranya bergetar karena menahan tangis. Kintan memegangi bahu ibunya. Di satu sisi, dia tidak sampai hati mengusir keluarga Devan. Namun, di sisi lain, dia juga sangat memahami dan menghormati pilihan sang ibu. Memang tidak mudah membukakan pintu maaf kepada seseorang yang pernah merugikan kita. Apalagi dalam hal ini, nyawa taruhannya. Bu Dian masih belum beranjak. Dia tetap bersimpuh di hadapan Bu Ranti meski wanita itu berkali-kali menyingkirkan tangannya.Dejan memandang Kintan dengan wajah memelas. Melalui isyarat, dia meminta Kintan menjauh untuk membicarakan sesuatu. Dejan berjalan dahulu menuju koridor di sisi kanan ruang operasi. Kintan menyusul setelah terlebih dahulu mohon permisi kepada Bu Dian."Ada apa, Mas?" tanyanya setelah berhadapan dengan Dejan. Mereka leluasa bercakap-cakap karena di lorong itu minim lalu lalang orang lewat."Seperti janjiku kemar
Devan menarik paksa lengan Talita. Matanya nyalang penuh amarah. Sebenarnya Talita kesakitan karena cengkeraman lelaki itu sangat kuat, tetapi dia tidak berani protes atau meronta. Jantungnya bertalu-talu, menanti kiranya hukuman apa yang akan diberikan Devan atas keributan tersebut. Di satu sisi, dia menyesal karena telah melanggar larangan Devan. Jelas, setelah ini, mereka berdua akan mendapat hukuman dari kantor. Namun, di sisi lain, Talita juga tidak terima dibicarakan di belakang seperti itu. Devan melepas cengkeraman dan bersegera menutup pintu begitu tiba di ruangannya. Dengan kasar, dia setengah mendorong Talita agar duduk di salah satu kursi. "Kamu sudah gila? Hah?!" bentak Devan. Dia mati-matian mengecilkan volume suara agar tidak terdengar dari luar. Devan tahu, pegawai lain pasti sedang berkumpul di depan ruangannya untuk menguping. "Baru kemarin aku tekankan supaya kamu sembunyikan kehamilan dulu. Baru kemarin, Tal. Kamu segitunya butuh pengakuan? Kamu takut aku lari
"Mas, kamu yakin mau menikah dengan Kintan?" tanya Talita, seorang asisten cantik dengan bulu mata lentik.Devan, seorang manager dengan karir gemilang sekaligus atasan Talita itu tampak berpikir sejenak."Kurasa begitu. Kintan baik dan pengertian. Dia berusaha memahami pekerjaanku yang harus sering kunjungan lapang seperti sekarang."Devan bergeser karena Talita duduk di sebelahnya tanpa menyisakan jarak. Aroma parfum vanila mengusik indra penciuman Devan dan membuat debaran jantungnya tidak beraturan."Meskipun Kintan penyakitan?"Talita mengucapkan itu lirih sambil mencondongkan tubuhnya. Bulu kuduk Devan meremang karena dia dapat merasakan embusan napas Talita di telinganya."Kintan tidak penyakitan. Dia hanya ... Hanya tidak bisa mengenali wajah orang lain," jawab Devan agak terbata-bata."Lalu apa yang bisa Mas Devan harapkan dari perempuan seperti itu?" Talita mulai gusar. "Aku tahu Kintan pintar dan mandiri, tapi coba bayangkan suatu saat nanti dia harus ketemu keluarga besar
Dejan tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Kehadiran Kintan saat Devan sudah berangkat ke bandara menjadi bukti bahwa perempuan itu sama sekali belum mengetahui kabar kepindahan Devan. Gadis itu ada di hadapannya, berdiri sambil tersenyum manis hingga membuat jantungnya berdebar kencang.Kintan mengerutkan kening. "Suara Mas Devan agak beda. Mas lagi sakit?"Kintan yang buta wajah sama sekali tidak menyadari bahwa laki-laki di hadapannya bukanlah Devan. Memang dari segi perawakan, mereka sangat mirip. Namun, nada suara Devan lebih renyah sedangkan suara Dejan cenderung lembut."Em, iya, kecapekan aja mungkin," jawab Dejan sekenanya. Dalam hati dia merutuk, mengapa harus berbohong dan pura-pura menjadi Devan."Silakan masuk, Tan." Dejan mematikan keran dan berjalan terlebih dahulu memasuki rumah.Kintan memasuki halaman dan memperhatikan sekeliling. "Sejak kapan Mas Devan suka berkebun?"Dejan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iseng aja, lagi gabut.""Bagus, deh, kalau gitu. Ka
Orang tua Dejan kembali dari bandara tak lama setelah Kintan pergi dari sana. Lelaki itu lega karena mereka tidak sempat bertemu. Dia pun mengingatkan Mbok Darmi sekali lagi agar tidak membberitahukan kedatangan Kintan kepada siapa pun."Dek, habis ada tamu? Kok ada gelas di depan?" tanya Bu Dian."Oh, itu ... Tadi Dejan yang minum, Ma. Seger aja gitu minum es sambil baca berita." Dejan makin lihai mencari alasan.Bu Dian manggut-manggut lalu berlalu menuju kamar. Sementara itu, Dejan mengajak ayahnya untuk mengobrol di gazebo belakang karena ada sesuatu yang ingin dia tanyakan. Dia membawa kue dari Kintan untuk dimakan bersama sambil menyesap kopi."Pa, jadi sebenarnya hubungan Devan sama Kintan itu kayak gimana, sih?" tanya Dejan tanpa basa-basi. Dia belum mengatakan bahwa Kintan baru saja berkunjung ke sana."Tumben kamu kepo sama urusan orang. Biasanya yang kamu pikirin cuma kerja, kerja, dan kerja."Dejan hanya terkekeh dan beralasan bahwa dia juga ingin tahu permasalahan saudara
"Jadi, kita mau makan di mana?" tanya Dejan sambil memasang sabuk pengaman."Sebenarnya aku belum ada ide, sih. Ke tempat biasa juga boleh, Mas."Muka Dejan mendadak tegang. Mana dia tahu tempat biasanya mereka itu di mana?"Gimana kalau ganti suasana? Biar enggak bosan aja," usul Dejan. Dia benar-benar cerdik menghindari bahaya."Ikut ke mana Mas Devan suka aja, deh, kalau begitu."Dejan menyalakan mesin kemudian mobil itu mundur perlahan. Jalanan saat itu dipadati oleh berbagai jenis kendaraan. Kerlip lampu di sana-sini. Kintan tersenyum tak henti-henti.Sepanjang perjalanan, Kintan banyak bercerita tentang rencana pembukaan cabang baru. Sudah ada dua investor besar yang membidik pasar Bogor dan Bandung. Selain itu, ada tiga calon investor lain yang ingin membuka outlet di wilayah Jabodetabek."Tan, menurutku, jangan langsung serentak kalau mau membuka cabang. Punya banyak cabang itu kelihatannya memang keren dan menguntungkan. Tapi jangan lupa mempertimbangkan kemungkinan terburuk.