“Apa? Sa-saya mandul, Dok?” Biyan terbelalak tidak percaya. “Ta-tapi itu tidak mungkin.”
Melati segera meraih tangan Biyan. Berusaha menenangkan sang suami dengan mengusap-usap penuh sayang. Lelaki itu menoleh kepada Melati, lalu menggeleng kuat-kuat.
“Enggak, enggak, aku enggak mungkin mandul, Mel. Pasti semua ini salah. Pasti ini bukan hasil pemeriksaanku. Pasti ini tertukar, ini tertukar… iya kan, Dok?”
Mata Biyan bergerak-gerak cepat. Antara memindai kertas yang tengah dibacanya, lalu melihat ke arah Melati, kemudian kepada sang dokter yang duduk di hadapan mereka. Bibir Biyan kentara bergetar hebat.
“Bisa jadi ini tertukar kan, Dok?” Biyan mengacungkan kertas hasil pemeriksaan, yang baru beberapa detik lalu dia terima dari sang dokter.
Melati menahan tangis. Dia mengangguk-angguk seakan mengiyakan semua perkataan Biyan. Perempuan itu paham, lelaki mana pun tidak akan sanggup mendengar vonis seperti ini.
“Mohon maaf Pak Biyan, itu adalah hasil yang sebenarnya—“
“TIDAK MUNGKIN!” Biyan melengking seraya berdiri. Diremasnya kertas itu, lalu dibanting dengan kekuatan penuh.
Melati dan dokter pun spontan ikut berdiri.
“Mas, sabarlah … sabar …,” ujar Melati kembali mengusap suaminya lagi. Kali ini pundak Biyan yang dia usap.
Melati menatap dokter yang tampak siaga di balik meja kerjanya. Mungkin Pak Dokter berjaga-jaga jika Biyan terus tidak terima dan mengamuk.
“Ini hasil ngawur, tidak mungkin begini.”
“Sudah, Mas. Sudah.”
Melati membungkuk sekilas, lalu memaksa Biyan keluar dari ruang praktek itu.
“Dokter, kami permisi, terima kasih … dan maafkan kami atas kejadian ini.” Melati menyeret paksa lengan suaminya. “Ayo, kita pulang, Mas. Ayo!”
Sampai di luar Biyan kembali menangis. Lelaki itu terduduk lesu di sebuah kursi tidak jauh dari ruang praktek dokter, dia menangis tergugu sampai mengeluarkan suara tangisan seperti anak kecil. Sama sekali tidak peduli beberapa orang sekitar menatap dengan pandangan menyelidik kepadanya.
Melati hanya bisa memeluk dan ikut menangis dalam diam. Sungguh perempuan itu juga tidak menyangka hasilnya akan begini. Dia dan Biyan adalah sama-sama anak tunggal, untuk itu pernikahan yang baru akan menginjak satu tahun pada bulan depan, dirasa terlalu lama untuk menunggu kehadiran buah hati di rahim Melati. Oleh karenanya mereka bermaksud untuk melakukan program kehamilan, tetapi baru saja menjalani pemeriksaan awal … harapan sudah terasa sirna.
“Ayo, Mas, kita pulang. Besok kita akan coba dokter lain, mungkin yang ini salah,” ujar Melati menghibur. Diusapnya air mata Biyan yang berlelehan membasahi pipi dan leher lelaki itu.
“Aku yakin seribu persen ini salah, Mel. Salah,” lirih Biyan di sela-sela isak.
“Iya, Mas. Ayo kita pulang. Biar aku saja yang menyetir ya.”
Biyan mengangguk.
Perjalanan pulang menjadi terasa sangat panjang. Melati masih mendengar Biyan terus menyusut isak dan air mata. Entah sudah berapa tisu dia cabut dari tempatnya untuk mengeringkan sudut mata lelaki dua puluh enam tahun itu.
“Mel, gimana hasilnya?” Dewi, ibu kandung Biyan menyambut kedatangan mereka berdua. Senyumnya yang tadi terkembang sumringah mendadak sirna saat melihat wajah anak lelakinya porak poranda.
“Ya, Alloh … kenapa, Mel? Kenapa, Bi?” Dewi menjadi panik.
Tangis Biyan kembali pecah di pangkuan Dewi. Kini dia menangis meraung-raung tanpa malu. Mak Tarwih, asisten rumah tangga mereka sampai kebingungan melihat itu semua.
“Mak tolong bikinin teh anget ya,” bisik Melati.
“Buat semua, Mbak?” tanya Mak Tarwih masih dalam nada bingung.
Melati mengangguk. Kemudian dia duduk di sebelah sang mertua yang masih terlihat kerepotan menenangkan Biyan.
“Sebenarnya ini ada apa, Mel? Kalian jangan membuat Ibu bingung,” ucap Dewi menahan tangis. Setitik air juga sudah mengambang di sudut matanya. “Ibu sengaja belum buka warung, ke sini dulu untuk tau hasil pemeriksaan dokter. Apa kalian enggak jadi ke dokter?”
Pertanyaan Dewi bertubi-tubi masih dengan nada panik campur ketakutan.
Melati mengusap wajahnya sendiri dengan kasar. Dia terlupa meninggalkan kertas hasil pemeriksaan yang tadi sudah diremas Biyan. Jadi, mau tidak mau dia harus menjelaskan kepada ibu mertuanya menggunakan kata-katanya sendiri.
Melati menghela napas panjang, lalu menjawab, “Bu, Mas Biyan dinyatakan … mandul.”
“APA?”
Teriakan Dewi spontan menggerungkan tangis Biyan lebih kencang lagi. Mak Tarwih sampai tergopoh-gopoh keluar dari dapur. Matanya membola liar ke arah Melati, seakan-akan dia pun menuntut penjelasan. Perempuan yang sudah mengabdi pada keluarga Melati bertahun-tahun itu baru mundur ketika Melati menggeleng sedih.
“Ta-tapi itu enggak mungkin, Mel. Itu pasti salah,” sangkal Dewi. Nadanya persis dengan Biyan saat pertama kali merespon vonis dokter tersebut.
Melati menunduk. Hatinya berdenyut nyeri. Sesungguhnya dia pun sakit menerima kenyataan ini. Membayangkan bahwa pada akhirnya mereka benar-benar tidak dapat memiliki anak kandung. Padahal semalam dia dan Biyan sudah sepakat, seandainya memang Melati tidak bisa hamil secara alami, mereka sudah bertekad untuk mencoba bayi tabung. Namun malah ….
“Mel, pasti dokternya salah. Kalian harus coba ke dokter lain. Hasil itu sudah pasti salah,” racau Dewi. Sedang Biyan yang masih bersimpuh di depan ibunya mengangguk-angguk. Membenarkan kalimat sang ibu.
Melati menelan ludah. Memang sangat pahit dan berat untuk menerima kenyataan ini.
“Ya, Bu … kita besok akan coba ke rumah sakit lain,” tutur Melati pada akhirnya.
Dewi tersenyum. Tidak sepenuhnya lepas, tetapi sinar matanya memancar harapan. “Ibu sangat yakin hasil pemeriksaan itu salah, Mel.”
Kali ini Melati mengangguk, dia rebahkan diri ke pundak sang mertua. Dewi adalah satu-satunya orang tuanya kini.
“Biyan tidak mungkin mandul, tidak mungkin. Kalian pasti bisa punya anak banyak, anak-anak yang manis,” kata Dewi. Dia membalas pelukan Melati. “Sebab Biyan dulu pernah menghamili seorang gadis … eh, maksud Ibu ….”
Spontan Melati menegakkan tubuhnya. Mata perempuan itu terbelalak, sedang Dewi terlihat pias. Dia menutup mulutnya dan memandang Melati dengan sorot ketakutan.
Malam kian larut.Biyan menggigil kedinginan. Tadi gerimis sempat mendera bumi beberapa menit, tetapi sudah cukup untuk membuat bajunya basah. Perutnya sudah lapar lagi, sebab dia terlalu banyak menggunakan tenaga. Berjalan cepat tanpa henti sedari tadi. Lelaki itu membuka dompetnya, tinggal uang receh, mungkin tidak sampai seratus ribu.Dia tidak terlalu sering membawa uang tunai. Lagi pula semua kebutuhannya selama ini sudah disediakan Melati. Biyan hanya mengantongi uang untuk membayar parkir. ATM yang dia pegang ini sudah tidak bisa digunakan, pasti Melati telah memblokirnya. Sedang ATM yang lain dipegang Aneta.‘Ah, di mana Aneta sekarang berada?’ keluh Biyan dalam hati. ‘Tega banget ninggalin aku begini. Padahal semua ini adalah rancangannya. Aku dan Ibu sudah berkorban untuk mewujudkan impiannya, akhirnya malah begini.’Biyan melenguh, dia teringat nasib ibunya. ‘Semoga Melati tidak tega menghukum Ibu
Dewi tetap bersikukuh pada pendiriannya, bahwa dia tidak tahu menahu soal sertifikat dan perhiasan yang dituduhkan oleh Melati. Di depan polisi dia terus bersumpah tentang hal yang sama.Ibu kandung Biyan itu menangis meraung-raung saat seorang polwan membawanya untuk dikurung. Dewi memang terpaksa menghuni sel sebab dikuatirkan berpotensi kabur, seperti terlapor lainnya. Yaitu Aneta dan Biyan.Pulang dari kantor polisi, Melati bersama Yanuar pergi ke rumah Bu Ana alias Mbok Yul.Perempuan yang sedang makan bakso di teras rumah bersama anaknya itu terkejut bukan main melihat kedatangan mereka.“Halo, Bu Ana, masih ingat saya enggak?” sapa Melati dengan suara dibuat meledek. “Kalau saya masih ingat loh sama Bu Ana, meski sekarang bajunya bagus dan agak gemukan sedikit ya. Bu Ana, eh apa harus kupanggil Mbok Yul?”Ana dan Keisya, anaknya, saling melirik. Raut wajah mereka sama sekali tidak bisa disembunyikan lagi. Luar biasa m
Aneta baru menginjak semester dua, saat mendengar ada program magang di sebuah toko grosir yang lumayan besar. Terdesak kebutuhan ekonomi, gadis itu pun ikut mendaftar. Dia dipanggil untuk mengikuti tes tidak lama setelah memasukkan lamaran.Tes tidak begitu sulit, hanya ilmu logika dasar dan hitungan matematika sederhana. Tengah dia mengerjakan tes, melintaslah seorang perempuan yang dia kenal. Dia adalah Melati, kakak tingkat di kampusnya, yang sedang menjadi gunjingan. Minggu kemarin perempuan itu melabrak pacarnya yang ternyata punya kekasih lain, setelah perempuan itu habis-habisan memberi banyak uang dan benda kepada si pacar.“Hm … katanya dia kaya, kenapa ikut daftar kerja di sini?” batin Aneta mencibir.Cibiran Aneta menjadi mentah ketika akhirnya dia tahu bahwa Melati bekerja di toko itu bukan sebagai karyawan magang, melainkan karena dia merupakan anak si empunya toko. Yang berarti adalah ahli waris, pemilik toko masa depan.
“Loh, ini siapa, Nur? Kenapa mereka dibawa ke sini?” bisik Melati pada Nuri. Tak urung perempuan itu berdiri, bersikap menyambut dua orang yang berjalan di belakang keponakan Mak Tarwih tersebut.“Bu Melati, ini Pak RT tempat Bu Dewi tinggal, dan beliau istrinya. Tadi sebelum saya menggeledah rumah Bu Dewi saya minta bantuan beliau berdua untuk menjadi saksi, takut nanti saya diteriakin maling kan bahaya,” sahut Nuri seraya mengeluarkan tawa kecil.Gadis itu memang diperintah oleh Melati untuk pergi ke rumah Dewi, mencari sertifikat dan perhiasan yang hilang. Melati curiga jika barang-barang tersebut telah disimpan di sana, meskipun saat Dewi diinterogasi, Dewi bersumpah-sumpah tidak menyimpannya.“Oh, terus gimana? Nemu?” Melati tersenyum sumringah. Dalam hatinya memuji kecerdasan Nuri.Gadis itu menggeleng. “Enggak ada, Bu.”“Udah kamu cari di semua ruang?” nada suara Melati
Melati susah payah duduk di sandaran tempat tidurnya. Makanan yang Nuri bawakan hanya bisa masuk ke tenggorokannya sekitar tiga suap saja. Mau dipaksakan juga tetap tidak bisa. Yang ada justru perutnya bergolak, seperti meninju-ninju untuk memaksa makanan itu keluar lagi.“Saya buatkan jus apel saja ya, Bu?” usul Nuri.Dia benar-benar tidak tega melihat Melati begini. Seumur hidupnya, dia belum pernah kenal dengan lelaki, jadi dia tidak begitu tahu bagaimana rasa sakit yang ditanggung majikannya.Melati menggeleng. “Nanti aja, Nur, tunggu sebentar lagi ya. Saya perlu menenangkan diri dulu.”“Baik, Bu. Saya keluar dulu kalau begitu.”Nuri keluar membawa bubur nasi yang masih tampak utuh, hanya sedikit koyak pada pinggir-pinggir piring saja.Begitu pintu ditutup, Melati menangis lagi. Hatinya begitu hancur. Sebelum Nuri masuk tadi, dia baru saja menerima pesan dari Yanuar. Ternyata buku nikahnya palsu.
Nuri menemukan Melati tengah menangis terisak-isak di atas bantalnya sendiri.“Bu, untung sekali Ibu sudah pulang, selisih dari sedikit menit, yah mungkin malah cuma beberapa detik saja pas Ibu masuk kamar, Bu Dewi datang,” bisik Nuri sembari merapikan selimut yang dipakai Melati.Perempuan yang tengah menahan tangis itu tidak menjawab. Dia memandang Nuri sekilas, lalu menenggelamkan kepalanya lebih dalam kepada bantalnya yang empuk.“Ibu tenanglah, saya akan bantu Ibu untuk membuat mereka bertiga kapok,” Nuri bicara lagi. Tangan kecilnya dengan berani mengusap rambut majikannya. Hati Nuri menjadi sangat trenyuh, mengingat Melati sebenarnya sudah sebatang kara. Mak Tarwih sempat bercerita beberapa perkara mengenai hidup dari anak satu-satunya almarhum Bapak Ruli ini.“Nur, kamu tau enggak kalau ternyata—““Mel, kamu udah baikan?”Sapaan Dewi yang dibarengi ketukan jarinya di pintu k