Kirana menerima baju-baju itu dengan tangan yang sudah terbiasa lembut. Ia menatap Elina, lalu tersenyum hangat sebelum mulai membantu gadis kecil itu berganti pakaian.
Kemeja kecil bermotif bunga-bunga lembut dan rok katun putih segera menggantikan piyama tipis yang masih menyimpan aroma tidur malam.
Saat Cempaka menyarankan untuk menemani Elina ke kamar mandi, si kecil menggeleng pelan. Matanya yang besar dan lembab memandang Kirana tanpa ragu.
“Nona Alesha saja yang temani aku, ya?” bisiknya, seperti rahasia kecil yang hanya ingin dibagi pada satu orang.
Cempaka mengangguk pelan, memahami tanpa bertanya lebih lanjut. Senyum kecil terbit di wajahnya sebelum ia mundur, memberikan ruang bagi Kirana dan Elina.
Kirana menggenggam tangan mungil itu, hangat dan sedikit lembap karena baru bangun tidur. Ia menuntunnya melewati lorong yang masih dibalut cahaya pagi—lembut dan keemasan, menari-nari di lantai kayu dan menyingkap bayangan samar di sepanjang
Keluar dari taman, langkah Kirana dan anak-anak terayun cepat menuju mobil hitam yang telah menunggu di tepi jalan berkerikil.Sinar mentari sore menyusup di sela-sela daun trembesi yang melambai lembut, menciptakan bayangan acak di atas kap mobil.Aroma rerumputan basah masih menempel di udara, mengantar keheningan yang belum sempat pecah.Zayyan, sopir pribadi Raka, sudah duduk tegap di kursi depan, tangannya terlatih menyentuh tombol starter begitu semua penumpang masuk.Mesin menderu halus. Mobil meluncur meninggalkan taman, menjauh dari tawa anak-anak yang masih berserakan di udara.Mahira memilih tinggal, entah karena alasan praktis atau emosi yang tak terucap.Di dalam kabin yang sejuk oleh embusan AC, Raka mulai berbicara. Suaranya rendah, seakan tak ingin mengusik suasana yang sudah berat.Ia menjelaskan kondisi Elina—singkat, tapi cukup untuk menusuk."Sejak kejadian itu," katanya, tanpa menjelaskan kejadian mana, "re
Raka mengikutinya dari belakang, langkahnya terjaga namun gelisah, seolah takut suara sepatunya mengusik kesunyian yang tersisa dalam pikirannya.Di depannya, Kirana melangkah cepat, tapi jejak panik masih membekas pada setiap gerakannya.Pintu keluar rumah hantu itu sebenarnya tak sulit ditemukan. Namun dalam gemuruh cahaya strobo, jeritan rekayasa, dan kabut tebal buatan yang menyerupai pelukan hantu masa lalu, Kirana sempat kehilangan arah.Nafasnya memburu, pandangannya kabur oleh kecemasan yang menjelma nyata. Ketakutan bukan hanya datang dari efek visual atau suara, tapi dari sesuatu yang jauh lebih dalam—sebuah kenyataan yang baru saja ia dengar dari mulut Raka, dengan nada lirih yang mengguncang.Saat akhirnya ia berhasil menenangkan dirinya, Kirana seperti tersadar dari mimpi buruk yang terlalu nyata.Langkahnya menuntunnya pada pintu kayu bercat hitam yang menggembok dunia ilusi itu dari dunia luar.Ia menyibak tirai tebal yang men
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benak Kirana, berputar-putar tanpa henti seperti daun-daun gugur yang terseret pusaran angin.Tapi bibirnya tetap terkatup rapat. Ada sesuatu yang menahannya—mungkin rasa takut, atau mungkin luka lama yang enggan dibuka lagi.Sorot matanya buram oleh kebimbangan.“Ibu!”Suara nyaring itu menusuk keheningan seperti panah melesat di udara. Dua sosok kecil berlari menembus kegelapan, langkah mereka cepat dan tergesa.Di wajah Aidan dan Bayu terpancar kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Nafas mereka memburu, mata mereka liar mencari sosok yang paling mereka kenal dan cintai.“Akhirnya kami nemu Ibu! Ibu nggak apa-apa, kan?”Tanpa ragu, mereka mendekat dan langsung berdiri di sisi Kirana—yang saat itu masih digenggam erat oleh Raka.Kontak mata singkat antara dua bersaudara itu, cukup untuk saling memahami: bahaya sedang mengintai.Bayu segera melangkah ke depan, dadanya membusung
Kirana menarik napas panjang, lambat, seolah udara malam yang lembap bisa meredakan badai kecil yang berputar di dalam dadanya.Suaranya lembut tapi mengandung getar yang sulit disembunyikan. “Aku hargai itu, Raka. Tapi kamu tahu... aku butuh lebih dari sekadar ucapan untuk bisa percaya.”Dari seberang, suara Raka terdengar berat, penuh muatan perasaan yang ia tahan-tahan. “Aku paham.”Hening sesaat. Hanya desahan napas dan suara malam yang merambat di antara mereka.“Aku bersedia melakukan apa pun, Kirana. Aku peduli pada Aidan dan Bayu. Aku ingin mereka tumbuh dalam rumah yang penuh tawa, bukan trauma... tempat yang bisa mereka sebut ‘rumah’ tanpa merasa tercekik.”Kirana menunduk. Rambutnya yang bergelombang jatuh ke pipi, sedikit menutupi ekspresi wajah yang tak sepenuhnya bisa ia kontrol.Matanya terpejam sejenak, mencoba menjinakkan gemuruh emosi yang datang bergelombang. Rasa marah, lelah, ragu, dan harapan—semuanya bertumpuk tak bera
Raka mengangguk, perlahan, nyaris seperti gerakan seorang pria yang sedang menelan beban berton-ton di dadanya.Matanya tetap terpaku pada Kirana, seolah ingin mengukir wajah itu dalam ingatannya."Kau pegang kata-kataku, Kirana. Aku nggak akan mengecewakanmu."Nada suaranya dalam, berat, namun bukan tanpa kelembutan. Di balik setiap kata, ada semacam ketulusan yang terasa gamang—seperti orang yang sedang memanjat tebing dengan kaki gemetar tapi tak mau berhenti.Kirana hanya diam sesaat sebelum memutar tubuhnya. Langkahnya mantap meninggalkan halaman sekolah kecil di Dago itu, tempat yang kini mulai lengang, hanya menyisakan desir angin sore yang menggugurkan daun-daun ketapang ke tanah berpasir.Suara sepatunya beradu dengan kerikil, menjadi satu-satunya musik pengiring kepergiannya. Di belakang, Raka tetap berdiri mematung, membatu seperti patung taman yang ditinggalkan waktu.Pikirannya terus berkecamuk, mengaduk-aduk masa lalu
Ia berhenti sejenak. Suaranya berubah—lebih padat, lebih berat, seolah setiap kata membawa beban yang sudah lama dipendam.“Memang,” ucapnya akhirnya. “Aku sempat bicara pada kepala TK waktu tahu Aidan dan Bayu satu sekolah dengan Ellie. Tapi setelah kejadian itu—yang, kau tahu, cukup menghebohkan—aku janji pada diriku sendiri nggak akan campur tangan lagi. Demi Ellie.”Raka menunduk sejenak, jemarinya mengepal di sisi sofa seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak.“Tapi semua ini... berawal dari Zelina. Dia lihat Aidan dan Bayu di halaman sekolah waktu nganterin Ellie pagi-pagi. Dan, seperti yang bisa kau tebak, dia langsung menemui kepala sekolah, minta mereka dikeluarkan. Aku baru tahu kejadian itu setelah kamu datang ke rumah.”Kirana tertawa pelan. Tapi tidak ada kehangatan di sana, hanya nada getir yang menggantung di udara seperti kabut dingin.Senyum sinis menyelip di sudut bibirnya, dan matanya—yang biasa lembut saat menatap anak-anaknya