Raka mengernyit, garis halus di dahinya menajam, menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar jengkel.
Tatapannya menyapu cepat ke sekeliling lobi kantor yang sunyi dan luas, namun sorot matanya tetap gelisah, seolah ada sesuatu yang mengendap di balik pandangannya—sesuatu yang tak terkatakan, namun terasa nyata.
Apa aku melihatnya lagi? Pertanyaan itu mengendap dalam pikirannya, nyaris seperti bisikan yang tak ingin ia dengar, tapi tetap hadir, menuntut perhatian. Raka mencoba mengabaikannya, menepis kemungkinan bahwa dirinya tengah berhalusinasi.
Namun, dua hari berturut-turut, bayangan itu kembali. Samar, mengambang di pinggiran pandangan—selalu di tempat yang berbeda, namun dengan pola yang mengganggu: muncul sekejap, seperti kabut yang ditiup angin, lalu hilang sebelum bisa dikenali benar.
Ia menarik napas pelan, lalu mendengus—sebuah ekspresi frustrasi yang tertahan. Pikirannya kalut, tapi ia berusaha keras menjaga wajah tetap tenan
Kirana mengepalkan tangannya, jari-jarinya menekan lembut permukaan kulit telapak, seolah menahan sesuatu yang ingin meledak.Ia menarik napas pendek, lalu menghembuskannya perlahan. Suaranya terdengar lebih hangat dari sebelumnya, tapi nadanya tak kehilangan ketegasan.“Kita ini nggak punya hubungan apa-apa, Pak Pradana,” ujarnya, menatap lurus pada pria yang duduk tak jauh darinya.“Jadi aku merasa nggak enak kamu jagain aku seperti ini. Malah bikin aku terbebani.”Kalimat itu meluncur tanpa jeda, namun ada pergolakan halus di balik sorot matanya. Tatapan Kirana tajam dan mantap, tapi ada sesuatu di baliknya, seperti selaput tipis yang menahan perasaan lain agar tak tumpah.Raka terdiam, sedikit mengernyit, nyaris tak percaya bahwa perhatian yang ia berikan justru berubah menjadi beban.Rahangnya mengeras sejenak, tetapi ia menahan diri. Tatapannya beralih ke lantai berubin putih yang memantulkan sedikit cahaya lamp
Tubuh Raka tetap tegap meski langkahnya sudah menempuh jarak yang lumayan jauh sambil menggendong Kirana.Aneh, tidak ada rasa pegal sedikit pun. Seolah perempuan itu bukan beban, hanya bayang samar yang dipeluk angin.Pikiran Raka melayang, menelisik diam-diam: Apa Kirana benar-benar merawat dirinya selama ini?Enam tahun berlalu, sendirian membesarkan dua anak, tanpa keluhan, tanpa jeda.Lampu temaram kamar rawat menyinari wajah Kirana yang kini mulai bergerak pelan. Matanya mengerjap beberapa kali, buram dan gamang.Ada jeda singkat sebelum kenyataan perlahan-lahan menepi ke tepian benaknya.Apa yang terjadi tadi cuma mimpi?Jantungnya berdebar pelan, ketika suara napas yang teratur membelah keheningan malam. Ia menoleh. Raka.Tertidur di kursi sempit di pojok ruangan. Posisi tubuhnya nyaris tidak berubah, seakan ia tak berani bergerak karena takut mengganggu.Kursi itu jelas bukan tempat istirahat y
Hujan belum turun, tapi angin malam mulai menggesek dedaunan dengan suara gemerisik yang serak dan dingin.Lampu teras rumah menyala temaram, menyinari tubuh Kirana yang nyaris limbung, berdiri tak seimbang seperti daun kering yang baru saja jatuh dari ranting.Matanya berkabut, keningnya mengilat karena demam, dan tubuhnya bergetar samar.Sebelum Kirana sempat mengucap sepatah kata pun, lengannya ditarik pelan, lalu tubuhnya melayang ringan dalam pelukan Raka.Pria itu mengangkatnya ke dalam gendongan, seperti seseorang yang sangat terbiasa membawa sesuatu yang berharga.Hangat tubuh Raka menyalur lewat kemejanya, sementara aroma khas sabun dan kulit lelaki itu membuat Kirana memejamkan mata sejenak, mengambang antara sadar dan tidak.Begitu ia mulai tersadar, tubuhnya memberontak, lemah namun tetap berusaha.“Turunkan aku,” gumamnya, suara serak dan penuh rintik protes, “aku bisa jalan sendiri.”Namun
Udara senja belum benar-benar reda ketika kabar itu menerobos masuk seperti angin dingin yang membelah dada.Tak ada yang menyangka hari itu akan berakhir dengan cemas dan diam yang berat.Elina berdiri di dekat ayahnya, matanya menyipit, seolah mencoba menangkap maksud dari kalimat-kalimat yang baru saja terucap.Ia menarik pelan lengan baju ayahnya, suaranya nyaris berbisik, “Bu Alesha…”Raka segera menangkap maksud lirih itu. Nada suaranya mengeras sedikit, penuh kekhawatiran yang coba disembunyikan, “Apa yang terjadi sama Bu Alesha?”Lisa, yang berdiri di dekat pintu dengan jaket setengah terbuka dan rambut sedikit berantakan, menjawab tanpa banyak pikir, “Semalam beliau udah kelihatan nggak enak badan. Saya kira cuma kecapekan. Tapi tadi siang pas saya cek, ternyata demam. Sekarang saya harus buru-buru pulang, jagain beliau.”Selesai bicara, ia menggamit tangan Aidan dan Bayu, dua anak yang lan
“Daa-daa, Bu Alesha,” ucap Elina dengan suara kecil yang mengambang di udara sore, menyerupai bisikan angin di antara daun-daun yang mulai menguning.Matanya masih terpaku pada sosok Kirana yang membungkuk lembut menjawab, “Sampai ketemu besok.”Kirana menggenggam erat tangan kedua putranya, menarik mereka perlahan menjauh dari gerbang TK yang mulai lengang.Langkah-langkah kecil mereka menyisakan jejak samar di tanah berdebu, menambah senyap suasana.Di sisi lain pagar, Raka berdiri mematung. Tatapannya mengikuti Kirana dan anak-anaknya hingga bayang mereka lenyap di balik tikungan.Sorot matanya sulit ditebak, datar tapi terasa seperti menyimpan sesuatu yang belum selesai. Keheningan menggantung di antara mereka, seperti potongan masa lalu yang belum dirapikan.Raka tidak bergerak sampai Elina, yang berdiri di sampingnya dengan kepala sedikit menengadah, menggamit tangannya perlahan.Sentuhan kecil itu menyad
Raka menarik napas panjang, lalu ucapnya lirih, “Ya sudah, Ayah tunggu di sini sama kalian.”Suaranya nyaris tenggelam di antara riuh rendah angin sore yang menyibak dedaunan kering. Ia melipat lengan, berdiri canggung di dekat bangku taman yang mulai sepi.Sejak Raka datang, suasana yang tadinya penuh tawa berubah beku. Aidan, Bayu, dan Elina hanya duduk diam, seperti tiga boneka kayu yang kehilangan tali kendali.Tak ada lagi permainan kejar-kejaran atau tawa renyah yang menggema. Mereka menunduk, sesekali saling melirik, tapi tak satu pun bicara.Langit perlahan beralih warna, dari biru cerah menjadi kelabu tua, pertanda hari mulai menua.Tapi Kirana belum juga datang.Raka melirik ponsel. Layar menyala, nama Kirana terpampang. Ia menekan panggilan, menunggu nada sambung… tidak diangkat.Ia mencoba lagi. Lalu lagi. Tetap sama.Mungkin dia masih di ruang operasi, batinnya, mencoba menenangkan keresahan yang