“Kalau Tante nyulik kami, kami pasti bisa pulang sendiri!”
Nada suara Aidan dan Bayu terdengar mantap, hampir seperti dua prajurit kecil yang siap berpetualang sendirian di tengah hutan.
Mahira terkekeh lirih, lalu menyentil dahi keduanya dengan ujung jari telunjuk. “Dasar anak-anak pinter, sama persis kayak ibunya.”
Ada kehangatan dalam caranya menyebut "ibunya", seperti menyentuh sesuatu yang rapuh namun berharga.
Mata kedua anak itu membulat, lalu serempak menggenggam tangan Mahira erat-erat. Jari-jari mungil mereka seperti ingin memastikan bahwa sosok di depan mereka tidak akan menghilang.
“Tapi kami juga bakal jagain Tante, kok! Tante Mahira itu orang terbaik kedua di dunia!” ucap Bayu penuh semangat.
Mahira hanya bisa mengerjap, lalu tertawa kecil, mencoba menelan haru yang menggelitik dadanya.
Dan Kirana, yang sejak tadi mengamati dalam diam, menunduk pelan, menahan senyum yang mulai melengku
Aidan dan Bayu duduk berdempetan di atas lantai ruang tamu, kaki-kaki kecil mereka terlipat rapi, dan mata berbinar menatap satu kotak hadiah yang dibungkus dengan kertas emas mengilap.Suasana ruangan masih dipenuhi aroma kue kering dan balon-balon lateks sisa pesta ulang tahun Elina sore tadi, menggantung malas di langit-langit seperti sedang menguping pembicaraan.Mereka mencoba terlihat serius, berusaha keras menahan senyum, tapi kilatan antusias dalam sorot mata keduanya sudah bicara lebih dulu.Bayu menggaruk tengkuknya, sedang Aidan melipat tangan di dada, pura-pura bijak."Itu mahal banget, Elina. Ibu pasti nggak bakal izinkan," ujar Aidan akhirnya, suaranya pelan tapi mantap, seperti seorang anak laki-laki yang baru saja memikul beban moral untuk seluruh umat.Elina yang berdiri di hadapan mereka langsung menghentikan gerakannya. Wajah mungil itu tampak terkejut, nyaris tak percaya.Tatapannya jatuh ke lantai, bibir mungilnya menger
“Kalau Tante nyulik kami, kami pasti bisa pulang sendiri!”Nada suara Aidan dan Bayu terdengar mantap, hampir seperti dua prajurit kecil yang siap berpetualang sendirian di tengah hutan.Mahira terkekeh lirih, lalu menyentil dahi keduanya dengan ujung jari telunjuk. “Dasar anak-anak pinter, sama persis kayak ibunya.”Ada kehangatan dalam caranya menyebut "ibunya", seperti menyentuh sesuatu yang rapuh namun berharga.Mata kedua anak itu membulat, lalu serempak menggenggam tangan Mahira erat-erat. Jari-jari mungil mereka seperti ingin memastikan bahwa sosok di depan mereka tidak akan menghilang.“Tapi kami juga bakal jagain Tante, kok! Tante Mahira itu orang terbaik kedua di dunia!” ucap Bayu penuh semangat.Mahira hanya bisa mengerjap, lalu tertawa kecil, mencoba menelan haru yang menggelitik dadanya.Dan Kirana, yang sejak tadi mengamati dalam diam, menunduk pelan, menahan senyum yang mulai melengku
Kirana tersentak kecil, seolah baru terbangun dari lamunan, lalu menoleh ke arah Lukman. Keningnya sedikit berkerut, raut wajahnya memancarkan kebingungan yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan.Sementara di luar jendela mobil, lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, menyiram jalanan yang lembap dengan cahaya kekuningan yang temaram.Melihat respons Kirana, Lukman hanya tersenyum samar. Matanya tak lepas menatap wajah wanita itu sebelum akhirnya membuka suara, nadanya pelan namun tak kehilangan ketegasan.“Kamu sadar gak, kalau Pak Pradana selalu memperlakukan kamu beda sama Bu Zelina?”Kirana diam, tapi pikirannya langsung mengembara, terseret paksa ke kenangan yang masih hangat. Ia teringat jelas bagaimana suasana malam di pesta ulang tahun Pak Arga beberapa waktu lalu.Balon-balon mengambang di langit-langit, kilau lampu kristal, denting gelas yang beradu… dan di tengah semua itu, Raka menggandeng tangannya, membawanya
Kirana tersenyum, tipis dan hangat seperti embun pagi yang menggantung di ujung dedaunan. “Terima kasih, Lukman,” ucapnya, suaranya lembut namun mantap.Ia melangkah pelan ke arah Lukman, seolah angin sore yang membawa kelegaan, namun langkah itu—tanpa ia sadari—menjadi pukulan bagi pria yang berdiri beberapa meter di belakangnya.Raka, yang sejak tadi diam memperhatikan dari sisi ruangan, mendadak bergerak. Langkahnya cepat, nadanya terpendam, dan tanpa banyak bicara, tangannya langsung meraih pergelangan Kirana.Genggamannya tidak keras, tapi cukup untuk menghentikan langkah dan mencuri perhatian.Kirana berbalik, tatapannya berubah. Senyum yang tadi menghiasi wajahnya sirna, digantikan ekspresi datar seperti kabut yang menutupi matahari.“Tuan Pradana, masih ada urusan apa lagi?”Tatapan mereka bertemu, namun Raka seperti menabrak dinding kaca—ia bisa melihat Kirana, tapi tak bisa menjangkaunya.
Begitu beban hangat selimut itu terangkat dari tubuhnya, Kirana hanya bisa diam. Ia tak berani membuka mata, meskipun kulitnya langsung digigit hawa dingin kabin.Hening menggantung, tegang, seakan waktu ikut menahan napas bersamanya.Ia tahu siapa yang duduk di sebelahnya. Bahkan tanpa melihat pun, ia bisa merasakan intensitas pandangan pria itu—tajam, dalam, dan penuh sesuatu yang tak sanggup ia uraikan.Raka.Ketika ranjang empuk pesawat sedikit bergoyang karena gerakan kecil pria itu, tubuh Kirana menegang refleks, seperti selembar daun yang kaget oleh angin.Ia tak tahu apa yang akan dilakukan Raka. Satu sentuhan saja bisa membuat sandiwara tidurnya runtuh total.Namun, yang datang bukan sentuhan yang kasar atau gegabah, melainkan aroma lembut yang begitu dikenalnya—kombinasi samar dari sabun kayu manis dan aroma kopi pagi hari yang selalu membuatnya nyaman.Raka. Tak berubah sedikit pun.Kirana menahan napas.
Sayangnya, tiket untuk penerbangan pertama itu sudah habis saat Zelina membuka situs maskapai.Matanya yang tadi berbinar penuh harap kini meredup. Ia menatap layar ponsel seperti menatap kenyataan pahit yang baru saja menampar wajahnya.Pelan, ia mengembuskan napas kasar, kemudian menjatuhkan tubuh ke kasur tanpa suara. Dengan gerakan cepat tapi frustrasi, ponselnya disimpan kembali ke dalam tas.Jari-jarinya mengepal, bibirnya mengatup rapat. Rasa kesal membubung, seperti asap dari cerobong kecil yang nyaris meledak.Suara klik dari arah pintu kamar menarik perhatian. Raka keluar, mengenakan kemeja yang masih belum sepenuhnya dikancingkan dan rambut yang sedikit basah, entah karena mandi atau hanya disiram waktu.Zelina hampir saja membuka mulut. Nama pria itu nyaris lolos dari lidahnya. Tapi langkah Raka tak melambat.Tatapannya melayang singkat ke arahnya, datar, dingin seperti kaca yang tak memantulkan apa-apa. Hanya satu detik, dan kem