Kirana buru-buru memalingkan wajah saat layar ponselnya menyala, menampilkan nama yang tak ingin ia lihat.
Matanya hanya sempat menangkap sekilas—cukup untuk membuat dadanya terasa sesak.
Nada dering terus berkumandang, menusuk heningnya ruangan seperti suara nyaring serangga malam di tengah sunyi.
Raka akhirnya berbalik, mengangkat telepon itu tanpa terburu-buru. Pandangannya sempat melirik Kirana, datar, nyaris tanpa ekspresi, sebelum ia melangkah ke arah jendela.
Cahaya lampu dari luar memantulkan siluet tubuhnya di kaca.
"Ada apa?" Suaranya tenang, tapi dingin.
Dari ujung sambungan, suara Zelina terdengar mengeluh, menyembunyikan emosi di balik nada bercanda yang dipaksakan.
"Aku dengar TK-nya Ellie ngadain acara tanam pohon. Kamu ikut dia ke sana?"
"Iya." Jawaban Raka tak memberi ruang untuk kehangatan, seperti udara tipis di pagi berkabut.
Zelina terdiam sejenak. Suaranya terdengar lebih pelan ketika melanjut
Cahaya yang semula mengisi mata Zelina, seperti kilau hangat dari sore yang indah, meredup seketika saat sosok itu muncul di ambang pintu.Bibirnya bergerak membentuk senyum, tetapi hanya sekilas, lebih mirip bayangan senyum yang dipaksakan."Ellie," gumamnya dengan nada yang nyaris tak terdengar.Langkah-langkah kecil Elina terdengar lembut di karpet kamar hotel, memeluk boneka kelinci lusuh di pelukannya.Sementara itu, Zelina berdiri terpaku di ambang pintu, tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah mencoba menyatu kembali dalam dunia yang terasa asing baginya.Rambutnya yang sempat tertata rapi kini berantakan, sedikit kusut oleh angin taman bunga yang tadi membelainya selama ia berjalan sendiri, menyusuri jalan setapak menuju hotel.Udara kamar beraroma pendingin ruangan dan parfum anak-anak, tapi ada ketegangan yang menggantung di antara ketiga orang di sana, seperti benang halus yang siap putus kapan saja.Raka duduk di tepi ra
Langkah Kirana nyaris tanpa suara saat ia menarik Aidan dan Bayu menjauh dari taman bunga yang mulai dingin tertiup angin malam.Jemarinya mencengkeram erat tangan dua bocah itu, seakan khawatir mereka akan tergelincir dari genggamannya seperti pasir.Tak ada satu kata pun ia lontarkan, hanya kilatan di matanya yang lebih lantang dari amarah. Wajah Raka mengeras, rahangnya mengatup kaku saat melihat punggung mereka menjauh.Tunangan? Pihak ketiga? Ucapan Kirana tadi terus menggema di kepalanya, menusuk lebih dalam ketimbang tatapan sinis siapa pun.Wanita itu memang tahu cara menusuk tepat di luka.Elina berdiri di tengah jalan setapak, tak bergerak. Cahaya lampu taman memantul samar di wajahnya yang basah oleh air mata, tapi ia tak menangis keras.Isaknya justru datang dalam diam, membuatnya terlihat lebih rapuh, seperti daun yang jatuh tak bersuara.Di sampingnya, Zelina mematung, pandangannya kosong, tak tahu harus memeluk
Sejenak, sorot mata Zelina berkabut oleh kecewa. Namun, seperti daun yang tersapu angin dan kembali ke tempatnya, ia buru-buru menarik senyum dan menyembunyikan perasaannya di balik anggukan tipis.Seolah berkata, “Tidak apa-apa,” meski jelas-jelas jiwanya tak sedang baik-baik saja.Begitu lonceng makan siang berbunyi, Raka dengan santai meraih tangan Elina, menggandengnya ke arah kantin sekolah yang penuh suara piring beradu dan tawa para orang tua.Aroma nasi hangat dan sup kaldu menguar di udara. Zelina menyusul di belakang, langkahnya sedikit ragu namun tetap berusaha tenang.Hari itu pertama kalinya ia ikut antre makan bersama para orang tua murid. Suasana ramai, penuh bisik-bisik dan sorotan mata yang tak henti menilai.Entah karena lengah atau terdorong, Zelina tiba-tiba saja terlempar ke barisan paling belakang.Ia panik, matanya sibuk mencari sosok Raka. Namun ketika hendak bergerak mendekat, beberapa ibu-ibu mencegat la
Kirana menoleh, pandangannya segera tertumbuk pada wajah Elina yang tampak tegang, hampir kaku seperti dahan muda yang tertiup angin dingin.Mata anak itu tidak menatap siapa-siapa, tapi sorotnya tajam, waspada, seolah mencium bahaya yang dulu pernah datang dalam wujud perempuan yang kini berdiri tak jauh darinya: Zelina.Kirana menghela napas pelan. Ingin rasanya ia menarik Elina ke belakang punggungnya, menjauhkan anak itu dari segala kemungkinan luka.Tapi ia sadar, kenyataan tidak sesederhana itu. Hubungannya dengan keluarga ini... nyaris tak punya nama.Ia menunduk, membiarkan kebimbangannya larut sejenak dalam desir angin yang membawa aroma tanah basah.Lalu, dengan suara tenang yang disisipi keikhlasan, ia berkata, "Kalau begitu, saya ikut saja, Pak Pradana."Raka hanya mengangguk. Gerak tubuhnya kembali pada cangkul di tangan, mengayunkannya dengan ritme yang mantap, menutup lubang tanam seolah tak terjadi apa-apa.Tapi bayang
“Tidak apa-apa. Saya hanya ingin meluruskan saja,” ucap Kirana, berusaha menambatkan senyum tipis di wajahnya.Tapi senyum itu terasa seperti kaca yang retak, nyaris patah. Matanya menunduk sesaat, menyembunyikan riak kecil di dalam dirinya.Panitia yang berdiri di hadapannya hanya mengangguk buru-buru, canggung. Gerak-geriknya seperti seseorang yang ingin menghilang begitu saja dari percakapan yang tak nyaman itu.Dari samping, Raka menatap Kirana. Sorot matanya suram, menyimpan sesuatu yang tak diucapkan.Seperti mendung yang menggantung, tapi belum juga turun hujan.Mereka baru saja menyelesaikan penanaman bibit pohon kedua. Tanah yang basah dan aroma rumput yang tercabik memenuhi udara.Kirana berdiri, menepuk-nepuk tanah dari telapak tangannya, lalu mengulurkan bibit ketiga kepada Raka.Namun sebelum bibit itu berpindah tangan, sebuah keributan kecil mencuri perhatian mereka.“Bu Pratama? Ngapain Ibu di s
Kirana langsung merasa gerah. Dadanya sesak oleh tatapan yang mendadak tertuju padanya, seolah cahaya matahari pagi yang tadi terasa hangat berubah jadi spotlight menyengat.Ia berdiri kaku di samping Elina, merasa seperti sedang dipajang di tengah panggung.Tentu aja enggak! pikirnya jengkel. Semua orang jadi ngelihatin cuma gara-gara dia berdiri di sebelahku! Aku enggak mau ribet kayak semalam lagi...Dari sudut matanya, Kirana melihat wajah Elina mulai meredup. Sorot ceria yang tadi menghiasi mata bulatnya meredup pelan, tergantikan bayangan kecewa yang membuat pipinya tampak makin pucat.Gadis kecil itu menggigit bibir, lalu melirik ke arah Kirana dengan suara nyaris berbisik.“Bu Alesha…”Ada jeda. Ringan, tapi menggantung. Kirana sempat tak menjawab, tapi detak hatinya melembut. Ia menarik napas, menunduk menatap Elina yang kini menunduk canggung, lalu mengangguk perlahan.&l