"Apakah Bu Kirana sedang mencariku sekarang?"
Suara itu melintas lirih dalam benak Elina, nyaris seperti doa yang menggantung di udara lembab sore itu.
Hatinya menyempit dalam rindu yang menusuk, mencuat di antara isakan yang tak kunjung reda.
“Ellie, itu kamu?”
Langkah Kirana terhenti. Suara tangis yang semula samar kini terdengar jelas, tak lagi bisa diabaikan sebagai bisikan angin atau gemerisik dedaunan.
Ada seberkas harapan yang meletup dalam dadanya, kecil, tapi cukup kuat untuk mendorongnya terus.
Elina mendongak perlahan, tubuhnya menggigil di dasar lubang sempit yang tersembunyi di balik semak belukar yang lebat.
“Bu… Bu Alesha?”
Suara itu, rapuh dan penuh luka, menembus jantung Kirana seperti serpih kaca. Ia menarik napas panjang, berusaha menguasai diri, lalu bergegas mengikuti arah suara.
Tapi langkahnya tertahan oleh tanah yang lembap dan licin. Sebelah kakinya terpeleset, tubu
Bayu memungut jaket yang tadi dilepas Kirana. Ujung kainnya dingin, menyerap embun yang menempel seperti rahasia malam. Saat hendak menggantungkannya di balik pintu, ia terhenti. Dari serat kain itu, sekelebat aroma menyeruak— samar, namun cukup kuat untuk membuat dadanya tercekat.Wangi tanah basah selepas hujan bercampur sabun cuci yang dulu selalu dipakai Ayah. Hangat, akrab, seperti pulang ke masa lalu.Ini… bau Ayah!Refleks, Bayu menoleh pada ibunya. Matanya menuntut penjelasan, meski bibirnya terkatup rapat. Kirana tidak menyadarinya. Ia berdiri di depan tangga, tubuhnya condong ke depan, seolah setiap anak tangga adalah beban yang harus dipikul.Senyum tipis tercetak di wajahnya, tapi rapuh, seperti kertas basah yang mudah koyak.“Maaf Ibu pulang telat,” suaranya nyaris selembar bisikan, letih dan ringkih. “Sudah malam, ayo naik dan istirahat.”Kata-kata yang ingin meledak dari dada Bayu
“Apa yang mau kamu lakukan?”Suara Kirana pecah di udara, tajam seperti bilah kaca, namun di ujungnya terselip getaran halus yang tak bisa ia sembunyikan. Matanya membidik lurus ke arah pria di depannya, seakan ingin menyingkap isi pikirannya, memaksa keluar rahasia yang bersembunyi di balik tatapannya.Raka berdiri hanya beberapa langkah darinya, tubuhnya tegak dengan aura yang nyaris menelan ruang. Ia tak langsung menjawab, hanya menarik sudut bibirnya dengan senyum tipis yang entah bagaimana terasa lebih berbahaya daripada ramah.Senyum itu bagaikan peringatan samar, tenang di permukaan tapi menyimpan sesuatu yang siap meledak kapan saja.“Saya hanya ingin memperkenalkan diri pada Anda, Nona Alesha,” ucapnya akhirnya. Suaranya rendah, tenang, tapi ada sengatan yang merambat di balik nada itu, semacam racun yang bekerja perlahan.Kirana mengerutkan kening, lalu menukas dingin, “Saya tidak mau mendengar! Dan saya juga
Begitu mendengar permintaan itu, wajah Bara langsung mengeras. Rahangnya menegang, otot-otot pipinya kaku seakan sedang menahan sesuatu yang hendak pecah. Tatapannya sesaat kosong, namun sorot matanya yang muram tak mampu menutupi gejolak dalam dadanya.Dalam hatinya, ia mengumpat lirih. Sial... rencana malam ini bisa berantakan.Udara di dalam mobil seperti mendadak menebal. Pendingin ruangan tetap berdengung, tapi hawa gelisah menyelusup di sela-sela. Sopir yang duduk di balik kemudi melirik Bara melalui kaca spion tengah, menunggu aba-aba.Dengan napas panjang yang lebih mirip erangan tertahan, Bara akhirnya berujar, “Nggak usah repot. Raka pasti belum jauh. Kita minta dia antar.”Nada suaranya terdengar ringan, bahkan santai, namun matanya tidak berbohong. Ada kilatan keras yang menyiratkan rencana lain di balik kalimat sederhana itu.Kirana, yang sejak tadi duduk di kursi belakang, mengernyit tipis. Alisnya bertaut, gerak
Bara mengangkat sebelah alis, senyumnya miring seolah menyembunyikan rahasia kecil, lalu dengan nada yang setengah menggoda setengah menantang, ia berujar pelan,“Sekarang memang kecil, tapi denganmu di sana… siapa yang tahu nanti akan berkembang sejauh apa?”Kalimat itu meluncur seperti percikan api di ruang yang terlalu hening. Ada bara yang samar, tidak benar-benar membakar, tetapi cukup untuk membuat udara di sekelilingnya berubah hangat.Kirana hanya merespons dengan senyum tipis, samar, bagaikan bayangan awan yang melintas di permukaan danau pada siang hari. Tidak menolak, tidak pula menerima—sekadar hadir, lalu lenyap begitu saja.Ia tak merasa perlu menanggapi. Pikirannya dipenuhi hal lain, rencana-rencana yang jauh lebih penting daripada sekadar optimisme yang Bara lemparkan seperti mainan ringan.“Bagaimana rencananya dengan kerja sama para pemasok herbal itu?” tanyanya kemudian, suaranya datar, namun
Kirana duduk di kursi kayu dengan punggung tegak, tapi jemarinya terus-menerus meremas ujung rok putihnya. Gerakannya berulang, gugup, seperti seseorang yang ingin melarikan diri tapi tak tahu ke mana.Di wajahnya, ketenangan yang biasanya ia kenakan sebagai dokter perlahan runtuh. Ada riak gelisah, seperti benang kusut yang tak henti ditarik tanpa pernah menemukan ujungnya.Di seberangnya, Sekar hanya diam. Mata perempuan itu tenang, dingin, tapi Kirana bisa merasakan bara yang bersembunyi di dalamnya. Bara yang siap menyambar bila ada celah.Ruang kerja itu hening, sunyi seperti menahan napas. Hanya detak jam dinding yang malas terdengar, tik… tak… tik… tak, seolah waktu pun enggan bergerak.Bara berdiri di depan jendela besar, punggungnya tegap, wajahnya setengah tersembunyi oleh pantulan kaca. Pandangannya jauh ke luar, ke jalanan sore yang perlahan disapu cahaya oranye. Ada ketenangan di sorot matanya, tapi bukan ketenangan biasa
Raka memejamkan mata sejenak, seakan mencoba meredam pusaran pikiran yang beradu di kepalanya. Ia tahu betul tabiat ibunya: Sekar Pradana bukan perempuan yang mudah dilawan. Kata-katanya selalu jadi hukum, dan siapa pun yang berani menentang akan segera dicap lawan.Membela Kirana terang-terangan sama saja menyeret perempuan itu ke jurang kebencian Sekar. Dan bila itu terjadi, Kirana tak akan punya ruang untuk membela diri.Tetapi bagaimana pun juga, itu tetap ibunya. Sosok yang melahirkannya, membesarkannya, dan menanamkan darah Pradana ke dalam tubuhnya. Hubungan itu tak bisa ia enyahkan begitu saja, meskipun di dadanya ada pertarungan lain yang tak kalah keras.Raka menarik napas panjang. Udara di ruang kerja itu dingin dan sunyi, sejuknya AC bercampur dengan wangi samar lavender dari diffuser elektrik. Aroma lembut itu menyelinap pelan, memberi ilusi bahwa persoalan rumit yang menjerat mereka bisa larut begitu saja.Bara, yang sejak tadi diam, akhirny