LOGINTak terasa, Kirana dan kedua putranya kini sudah berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Kirana menghela napas panjang, menarik dalam-dalam udara yang terasa lengket di kulit tapi juga memeluknya seperti selimut usang yang pernah lama ia tinggalkan.
Sudah enam tahun. Enam tahun yang tak pernah benar-benar mudah, dan kini ia kembali—dengan dua alasan hidup yang menggenggam erat tangannya.
Begitu kaki menjejak lorong bandara, Bayu tiba-tiba berhenti. Bocah itu menarik-narik ujung jaket denim Kirana, wajahnya merengut dengan ekspresi darurat.
“Bu... aku mau pipis!” serunya, matanya membelalak cemas.
Kirana terkikik kecil, mencoba menahan tawa sambil mengangguk. “Oke, ayo cepat.” Tangan hangatnya mengusap rambut Bayu yang mulai lembap oleh keringat perjalanan panjang.
“Jangan, Bu! Aku bisa ngompol!” Bayu nyaris menjerit, suaranya melengking, membuat beberapa orang di sekitar menoleh.
Aidan tertawa geli, lalu tanpa diminta, ia menggandeng tangan adiknya dan bersama-sama mereka berlari kecil menuju toilet, meninggalkan Kirana yang masih terkikik di belakang sambil menarik koper dan mengeluarkan ponselnya.
Ibu yang tangguh, tapi hari ini, wajahnya berseri seperti gadis belia.
Ia mulai mengetik pesan untuk Prof. Hari, jarinya masih lincah meski tubuhnya lelah.
Namun, di tengah keramaian manusia dan bunyi roda koper yang beradu dengan lantai granit, sebuah suara menyelinap masuk ke telinganya. Suara yang berat, dingin, dan menampar kenangan lama yang terkubur dalam.
“Bodoh sekali! Kalian cuma disuruh awasi satu anak perempuan, bahkan itu pun gagal. Apa gunanya kalian, hah?”
Nafas Kirana tertahan. Suara itu...
Suara itu.
Jarinya membeku di atas layar. Jantungnya berdegup tak beraturan, seperti drum perang yang dibunyikan mendadak di tengah sunyi.
Perlahan, hampir seperti gerakan dalam mimpi, Kirana menoleh. Sosok pria tegap berdiri tak jauh dari sana, menyudutkan dua pria berseragam dengan tatapan yang menusuk.
Ia mengenakan setelan hitam yang disetrika sempurna, rambutnya sedikit acak karena udara Jakarta, tapi wajah itu... wajah yang dulu menatapnya penuh tanya, penuh luka.
Raka.
Waktu tak banyak mengubahnya. Wajah itu masih tajam, nyaris kejam dalam ketampanannya. Sorot matanya menyapu ruangan dengan gelombang tekanan tak kasat mata. Dan meski orang-orang tak mengenalnya, mereka merasakannya—auranya.
Kirana nyaris tak bisa bernapas. Tubuhnya gemetar, meski ia tak menunjukkan apa pun di wajahnya selain ketenangan yang pura-pura.
Kenangan itu menampar kembali: kata-kata terakhir mereka, kepergiannya, luka yang belum pernah sembuh... dan dua anak yang kini harus ia lindungi dari segala kemungkinan.
“Bu, selesai!” seru Aidan dan Bayu serempak, berlari kecil ke arahnya dengan wajah riang.
Kirana tersentak seperti ditarik kembali ke bumi. Panik merayap seperti ular di tengkuknya. Mereka tidak boleh bertemu. Tidak hari ini. Tidak di sini. Tidak dengan Raka.
Raut wajah anak-anak itu... terlalu mirip.
Tanpa berpikir panjang, Kirana menunduk, menarik koper, dan menyentakkan kepala kecil mereka untuk segera ikut.
“Sudah? Ayo cepat. Ibu baptis kalian pasti sudah menunggu.”
Nada suaranya tegas, tapi langkahnya tergesa. Ia menembus lautan manusia tanpa menoleh lagi, hanya berharap suara langkah kaki dari belakang tidak mengejarnya.
Sementara itu, di seberang ruangan, suara perempuan itu menyeruak dari celah riuh rendah. Raka menoleh pelan.
Matanya menangkap sekilas sosok yang membeku dalam waktu. Tubuh ramping yang dulu ia peluk erat, rambut hitam yang selalu ia kecup diam-diam, dan sorot mata yang selalu menghindar.
Kirana Alesha.
Apa mungkin...?
Namun, ketika ia mencoba bergerak, mencoba menelusuri jejak itu—Kirana telah lenyap. Seperti bayangan yang menolak untuk disentuh, ia menghilang di antara wajah-wajah asing.
Raka berdiri kaku, rahangnya mengeras, matanya gelap. Tak ada ekspresi yang tersisa selain kebingungan yang menyakitkan.
Tidak mungkin. Perempuan itu pergi tanpa jejak. Meninggalkan... anak itu.
Ia tak mungkin kembali.
Namun di sisi lain gedung itu, Kirana berlari kecil sambil menggenggam tangan kedua putranya, melesat menuju pintu keluar. Udara Jakarta yang hangat dan padat menyambutnya seperti tekanan. Tapi ia tak peduli.
Setiap langkah terasa seperti pelarian, dan setiap langkah juga terasa seperti kembali.
Jantungnya masih berdetak terlalu cepat. Sesekali ia menoleh ke belakang. Tak ada Raka. Belum.
Tapi, ia tak boleh goyah.
Ia tak akan membiarkan masa lalu menghancurkan yang telah ia bangun dengan susah payah!
“Kamu nggak kayak ibu-ibu deh. Biasanya kan yang panik soal beginian justru ibunya,” Mahira menggoda sambil menepuk ringan bahu Kirana. Senyum nakalnya muncul, seolah ingin menguji reaksi sahabatnya.Kirana hanya terkekeh, tawa kecilnya seperti angin tipis yang menenangkan. Dari sudut mata, ia melirik Bara yang tengah sibuk mengganti pakaian bayi. Gerakannya kaku, tapi penuh kehati-hatian, seperti sedang memegang kaca rapuh.Sesekali ia mengernyit, kebingungan dengan kancing mungil yang seakan enggan masuk ke lubang. Kirana menahan senyum, enggan membuatnya makin gugup.Begitu selesai, Mahira cepat mengangkat ponselnya. Klik! Satu momen berharga terekam: Bara dengan mata berbinar menatap bayinya yang kini berbalut baju hangat. Ada kebanggaan dan kebahagiaan di wajah itu, meski pipinya tampak sedikit lelah.Mahira lalu duduk di samping Kirana, tubuhnya terjatuh ke sofa seakan ditarik gravitasi rindu. “Tadi malam aku mimpi ketemu dewi, Kir
Tak lama setelah Mahira melangkah masuk ke lorong rumah sakit, sebuah suara pecah dari balik pintu ruang bersalin. Tangisan bayi, nyaring sekaligus rapuh, bergema dan memantul di dinding putih. Getarnya menembus dada semua orang yang menunggu.Sesaat, waktu serasa berhenti.Hening menjerat.Lalu, seperti air yang tiba-tiba menemukan jalan keluar, wajah-wajah di lorong itu merekah. Senyum lebar, mata berkaca-kaca, doa yang terucap terbata.“Syukurlah! Semoga Kirana dan bayi-bayinya sehat,” bisik Sekar, suaranya lirih, seolah takut menyinggung udara.Bara, dengan tawa yang nyaris tak bisa ia kendalikan, menepuk bahu Raka. “Selamat, Raka. Sekarang kau resmi punya sepasang anak kembar lagi!”Raka tak menjawab. Bibirnya gemetar, matanya berkabut. Senyum yang ia bawa terasa begitu jujur, tulus, penuh syukur, seakan dunia telah mengganjar semua lelahnya.Anak-anaknya, yang sejak tadi duduk gelisah, meledak dalam sorak
Di sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, Kirana hanya duduk terpaku di kursi penumpang. Pandangannya kosong, seakan menembus kaca jendela mobil, namun tidak benar-benar melihat apa pun di luar sana.Bandung sore itu dipenuhi riuh kendaraan, suara klakson bersahutan, pedagang kaki lima sibuk menutup lapak, tapi semua itu terasa jauh baginya. Jemari halusnya meremas cincin perak di tangan kiri, menggenggamnya erat seakan cincin itu satu-satunya jangkar yang masih bisa ia pegang.“Ibu, Marsha sudah mati. Sekarang engkau bisa beristirahat dengan tenang.”Kata-kata itu hanya terucap lirih dalam hati, tapi terasa berat, menyesak, bercampur antara lega dan pilu.***Seminggu kemudian, langit Bandung begitu jernih. Awan tipis berarak, sinar matahari menimpa pucuk pohon mahoni tua yang menaungi lahan luas di TPU Cikutra. Kirana berdiri di sana, menatap tanah yang baru digali.Ia memilih lahan paling lapang, sekitar delapan puluh m
“Masih berani membela diri, Marsha? Beberapa hari lalu aku memang tak bisa berbuat apa-apa padamu. Tapi sekarang, aku punya cukup bukti bahwa kamu menggunakan Yosef untuk meracuni Ibu! Polisi sudah dalam perjalanan, jadi tunggu saja kehancuranmu!”Suara Kirana menggema di ruang keluarga yang besar namun pengap. Kata-katanya tegas, namun di balik ketegasan itu ada bara yang menggelegak, penuh kebencian yang menekan dadanya sejak lama.Raka, dengan wajah tanpa ekspresi, mengangkat ponselnya dan menekan tombol rekam. Jari-jarinya mantap, sorot matanya tajam, seolah ingin memastikan setiap detik pertukaran kata ini tercatat sebagai bukti yang tak terbantahkan.Yuliana, berdiri tak jauh di sisi ibunya, membeku. Bibirnya sempat terbuka hendak berkata, tapi tak satu pun suara keluar. Aku bisa melihat bagaimana matanya bergetar, seolah duniannya yang rapuh akan runtuh detik itu juga.Yosef, si anak lelaki yang kini sudah tumbuh remaja, menunduk, mengu
Kirana meraba cincin di jarinya seperti orang yang memeriksa bahwa sebuah janji masih melekat. Logam dingin itu menimbulkan bunyi hampir tak terdengar ketika ia menggoyangkannya, lalu jari-jarinya menutup rapat seolah ingin memendam getaran yang muncul dari dalam.Matanya menatap kosong sejenak ke jendela mobil, melihat siluet kota yang basah oleh gerimis, lalu kembali pada Raka dengan garis kening yang mengeras. Suaranya rendah, tetapi tiap kata berisi pembakaran:“Aku sudah dewasa sekarang, Bu. Aku punya suami dan anak. Jangan khawatir. Aku tak akan lagi jadi orang yang diinjak-injak. Aku akan menuntut pembalasan untuk Ibu. Aku janji.”Di antara kata-kata itu ada sesuatu yang tidak bisa disusun oleh logika: kepercayaan yang dibangun dari rasa sakit. Ketika ia menyebut nama Marsha, bibirnya mengeras lebih pasti.“Ayo kita datangi Marsha sekarang juga. Aku tak percaya dia akan berani tetap membisu dan pura-pura tak bersalah.” Ia me
Raka menarik tabung itu dengan jarinya yang gemetar, suara gesekan tutup kecil berbunyi halus di ruang keluarga yang masih diselimuti kabut pagi Bandung. Cahaya lembut masuk lewat tirai, memecah butiran air yang menempel di jendela menjadi titik-titik perak.Di ruangan itu tercium aroma tanah basah dan minyak kayu dari meja tua, kombinasi yang membuat suasana terasa akrab dan rahasia.“Seharusnya ada secarik kertas di dalamnya. Mungkin semua jawabannya tertulis di sana,” gumam Raka, suaranya nyaris tenggelam oleh denting kecil saat ia mengangkat tabung. Tangannya berhenti beberapa detik, menimbang-nimbang; ekspresinya menegang karena harap yang tak pasti.Saat ia membuka, kilau biru memantul secepat kilat. Ada lubang kecil di dasar tabung, dan sebuah cincin meluncur seperti benda hidup. Panca, yang sejak tadi berdiri di samping meja, sigap, menangkup cincin itu sebelum ia sempat jatuh dan memantul hingga menggelinding ke lantai.Ia menatap ben







