Share

Bab 3: Negeri Asal

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-05-07 21:10:14

Di sisi lain, Aidan, anak laki-laki itu juga tak sesederhana yang terlihat.

Di balik sorot matanya yang tajam, tersembunyi ribuan pengetahuan tentang tanaman herbal, seolah semesta alam menyatu dalam dirinya.

Tangannya cekatan memilah daun-daun kering di atas meja laboratorium mungil itu—jari-jarinya seperti tahu mana yang beracun dan mana yang menyembuhkan.

Bakat alaminya dalam dunia pengobatan bukan hanya mengagumkan, tetapi seperti anugerah turun dari langit, seolah ia dilahirkan dengan kearifan para tabib kuno mengalir dalam darahnya.

Tak hanya itu, anak ini juga lihai membaca peluang, terutama dalam urusan investasi. Ia membaca grafik pasar layaknya membaca komik: cepat, penuh rasa ingin tahu, dan kadang sambil bersenandung kecil.

Berbeda namun seirama, Bayu membawa dunia digital dalam genggamannya. Ia bisa menembus sistem keamanan seperti sedang bermain puzzle, ekspresinya serius namun mulutnya tersenyum geli tiap kali berhasil menjebol satu lapisan kode.

Angka-angka menari dalam benaknya, membuatnya seperti bisa berkomunikasi dalam bahasa mesin. Di matanya, aljabar dan algoritma adalah puisi.

Keduanya, meski luar biasa jenius, bukan tipe anak yang bisa diam di kursi terlalu lama. Mereka seperti petir kecil yang menyimpan badai kenakalan di balik setiap ide cemerlang.

Kadang mereka membuat laboratorium seperti arena eksperimen gila—dan ya, seringkali membuat Prof. Hari mengusap wajah dengan kedua tangan, antara takjub dan frustrasi.

Namun, bagaimana mungkin ia benar-benar marah? Anak-anak itu seperti serpihan cahaya dalam hidupnya yang sepi oleh angka dan jurnal ilmiah. Maka ketika kekacauan terjadi, biasanya yang menjadi sasaran pelampiasan bukan mereka—melainkan Kirana.

“Saya minta maaf, Prof. Jangan salahkan anak-anak. Tapi tolong… jangan marahi saya juga. Saya bukan kambing hitam mereka, kan?” ucap Kirana sambil merapikan anak rambut yang terlepas dari sanggul kecilnya.

Suaranya tenang, tapi ada nada kelelahan yang tak sepenuhnya bisa disembunyikan.

Prof. Hari terkekeh pelan, matanya melembut. “Tenang, saya bukan mau marah. Justru saya punya tugas penting buat kamu.”

Ia berhenti sejenak, mengambil map cokelat dari tumpukan dokumen, lalu memandang Kirana dengan sungguh-sungguh.

“Saya sedang merancang lembaga riset di Indonesia. Fokusnya: pengobatan tradisional. Tapi saya belum bisa pergi ke sana karena masih banyak urusan yang harus saya selesaikan di sini. Setelah berpikir panjang, saya putuskan... kamu yang pergi.”

Kirana terdiam, seperti baru saja ditarik keluar dari pikirannya sendiri. Kata-kata itu menggantung di udara, menggema dalam benaknya seperti suara lonceng dari masa lalu.

Pulang ke Indonesia?

Seketika, aroma tanah basah dan suara hujan deras di atap seng rumah masa kecilnya muncul dalam benaknya—begitu nyata, begitu asing. Enam tahun telah berlalu sejak ia pergi, dan selama itu ia tidak pernah membayangkan akan kembali.

Di sana, tidak ada yang menantinya. Tidak ada keluarga. Tidak ada pelukan yang dirindukan.

Singapura telah menjadi rumah. Tempat di mana ia menemukan dirinya kembali. Tempat yang memberinya napas baru.

“Prof, saya...” Kirana mulai angkat suara, tapi belum sempat menuntaskan penolakannya, suara Prof. Hari menyela dengan lembut namun tegas.

“Tunggu dulu,” katanya sambil mencondongkan tubuh.

“Saya tahu kamu ragu. Tapi kamu sudah jadi murid saya selama bertahun-tahun. Kamu tahu betapa kayanya dunia pengobatan tradisional kita. Di sini, kita terbatas. Tapi di Indonesia—di Jawa—ada banyak pengetahuan kuno yang belum tersentuh. Teknik pengobatan turun-temurun, tanaman langka yang hanya tumbuh di tanah tertentu. Bukankah itu yang selama ini kamu cari?”

Kirana menunduk. Tangannya meremas ujung blusnya yang lembut.

“Satu hal lagi,” suara Prof. Hari merendah, seperti mengendap masuk ke dalam ruang hati Kirana. “Kamu bukan Kirana yang dulu. Kamu kuat sekarang. Apa pun yang kamu hadapi di sana... kamu pasti bisa menghadapinya.”

Kata-katanya jatuh seperti tetes air di tanah kering—menyerap pelan tapi pasti, membangkitkan sesuatu yang telah lama ia kubur. Ia bukan lagi gadis yang melarikan diri dengan hati remuk. Ia telah menjadi perempuan yang berdiri tegak di tengah badai.

Mungkin Raka sudah menikah. Mungkin ia bahagia bersama Zelina. Tapi apa artinya itu sekarang?

Dengan napas panjang dan mata yang kini tak lagi ragu, Kirana mengangguk. “Baik, Prof. Saya akan kembali.”

Senyum Prof. Hari mengembang, seperti langit yang cerah setelah hujan. “Bagus. Linda akan menemanimu. Saya juga sedang bentuk tim di sana untuk membantumu.”

“Terima kasih, Prof.” Kirana membalas senyumnya. Ada sinar baru di matanya—sinar keberanian yang dulu hanya berupa pijar samar.

Sementara itu, Aidan dan Bayu yang sejak tadi mendengarkan dari balik meja, saling bertukar pandang. Mata mereka bersinar seperti anak kecil yang baru saja mendapat kabar akan berlibur ke tempat yang hanya mereka lihat di peta.

Indonesia. Tempat Raka tinggal.....

Mereka  ingin melihat wajah pria yang selama ini hanya hadir dalam bingkai foto dan ... memberinya pelajaran!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 238: Saat Kita Masih Utuh

    Kirana memperlakukan Elina layaknya bagian dari jiwanya yang pernah hilang. Ada sesuatu di mata gadis kecil itu yang mengingatkan Kirana pada masa lalu yang tak pernah benar-benar sembuh.Ia merawat Elina bukan hanya karena belas kasih, tapi juga sebagai semacam penebusan atas kehilangan yang tak pernah ia beri nama.Hari-hari berlalu dalam ritme yang baru, lebih hangat. Aidan dan Bayu, dua anak laki-laki yang biasanya tak mudah akrab dengan orang asing, lambat laun mulai menerima kehadiran Elina seperti adik yang sudah lama mereka tunggu.Di rumah, mereka suka bermain bersama, menggambar di lantai ruang tengah, tertawa sampai lupa waktu.Di taman kanak-kanak, mereka seperti pengawal kecil, berdiri di kiri-kanan Elina, melindungi dari keributan anak-anak lain yang kadang terlalu riuh.Dan Elina? Gadis kecil itu tampak bahagia, dengan senyum yang tak pernah betah bersembunyi terlalu lama.Ada kilau di matanya, seolah tempat baru ini perlahan-

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 237: Bayangan di Balik Jendela

    "Udah malam, Pak Pradana. Mending Bapak pulang dulu. Terima kasih ya, udah repot-repot jemput anak-anak hari ini."Suara Kirana terdengar tenang, tapi ada getaran halus yang tersembunyi di ujung kalimatnya. Raka menatapnya sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun bibirnya hanya bergerak sedikit sebelum ia akhirnya mengangguk pelan.Langkahnya berat saat berbalik, seperti ada beban tak kasat mata yang menggantung di punggungnya.Angin malam menyambutnya ketika ia keluar dari rumah itu. Suara serangga yang bersahutan di halaman hanya menambah kegelisahan yang sejak tadi mengendap di dadanya.Jalanan sudah sepi, lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan ke aspal basah, membuat bayangan pepohonan tampak meliuk pelan, nyaris seperti menari di atas genangan.Dalam perjalanan pulang, pikirannya tidak bisa diam. Ada sesuatu yang mencengkeram, mencubit dari dalam.Bukan rasa bersalah, bukan pula amarah. Lebih seperti… kehilangan.

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 236: Bayangan di Meja Makan

    Keheningan turun pelan-pelan seperti kabut tipis yang menyusup masuk dari celah jendela. Ruang makan itu—berdinding abu lembut dan lampu gantung berpendar kekuningan—mendadak terasa terlalu luas, terlalu sunyi.Suara garpu yang bersentuhan dengan piring menjadi satu-satunya tanda bahwa waktu masih berjalan. Tak satu pun dari mereka berbicara, bahkan napas pun ditahan seolah suara bisa menyakiti.Elina, duduk di ujung meja dengan punggung tegak namun mata kosong, ikut terbawa suasana. Sorot matanya memantul dari wajah Raka yang tegang ke dua adik laki-lakinya yang menunduk dalam diam.Ia belum paham seluruhnya, tapi perasaan berat itu menular—seperti mendung yang menyelimuti hatinya sendiri.Bibirnya yang mungil terkatup rapat, dan sejenak, ia terlihat jauh lebih dewasa dari usianya.Raka, yang duduk di kursi kepala meja, sempat mencoba menyisipkan humor ringan—tentang kucing yang ia temui di parkiran kantor, atau tentang betapa konyolnya bosnya ter

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 235: Pertanyaan Bayu

    Malam itu, ruang makan kecil yang disinari cahaya kuning lampu gantung berubah senyap. Aroma hangat sup ayam masih melayang-layang di udara, namun tak ada satu pun yang tampak benar-benar menikmati hidangan di hadapan mereka.Raka sempat tertegun, napasnya tertahan sejenak sebelum ia menarik senyum seadanya—senyum tipis yang terlalu tergesa untuk bisa terlihat tulus.“Nggak kok… cuma pengin tahu aja. Sedikit rasa penasaran, itu aja,” ujarnya pelan, seperti berjalan di atas kaca tipis.Aidan memandangnya tajam, lama, dengan sorot mata yang tak lagi ramah. Ada sesuatu yang retak di balik tatapan itu—mungkin kemarahan, atau luka lama yang menganga.Ia kemudian membuang muka, rahangnya mengeras.“Sejak kami lahir, kami belum pernah lihat wajah ayah kami,” ucapnya, dingin dan tegas, setiap katanya seperti lemparan batu ke dalam danau yang tenang.“Dia ninggalin Ibu dan kami. Buatku, dia pengecut. Aku nggak suka dia.”Suaranya tak tinggi, t

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 234: Tatapan Aidan

    Setelah memesan makanan sesuai selera dua bocah laki-laki di hadapannya, Raka menyandarkan punggung ke sandaran kursi, berusaha mencari celah dalam keheningan.Restoran itu sebenarnya cukup ramai, dengan suara gelas beradu dan tawa pelan dari meja-meja lain, tapi di meja mereka, hanya bunyi logam sendok menyentuh piring yang mendominasi.Pelayan datang membawa nampan, uap tipis mengepul dari sepiring nasi hangat dan lauk yang menggoda.Raka memberi isyarat ringan dengan tangannya. Makanan diletakkan perlahan di hadapan Aidan dan Bayu.Aroma gurih menguar, mengisi udara di sekitar mereka.“Terima kasih, Pak Pradana,” ujar Aidan. Suaranya datar, terukur, namun tetap sopan.“Ah, jangan sungkan,” sahut Raka sambil tersenyum tipis, meski bibirnya terasa kaku. Ia mengangguk kecil, seperti orang yang terbiasa bersikap formal tapi asing dengan interaksi seperti ini.Jelas terlihat: ia tidak terbiasa duduk berhadapan dengan anak-anak, apalagi

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 233: Cahaya di Jendela Lembang

    Aidan memandangi wajah Raka dengan sorot mata tajam, nyaris menusuk, seakan ingin menyibak lapisan demi lapisan jawaban dari balik ketenangan ayahnya."Ibu ke mana? Kenapa bukan Ibu yang jemput?" tanyanya, suara datarnya menyimpan nada tak percaya.Dari sebelahnya, Elina ikut mengarahkan pandang ke ayah mereka, tidak menyela, tapi menanti. Udara di halaman sekolah sore itu terasa menggantung, seolah ikut menahan napas.“Ia masih kerja di lembaga riset,” jawab Raka, suaranya lembut namun tetap mantap, “mungkin pulangnya agak malam. Aku datang duluan supaya bisa ajak kalian makan malam.”Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan senyum tipis yang nyaris tak kentara, “Lagipula, pasti kalian sudah lapar, kan? Yuk, ikut aku.”Bayu, yang sejak tadi menahan rasa laparnya dengan menggigit bibir, menoleh ke Aidan, berharap saudaranya segera menyetujui.Namun melihat Aidan masih terpaku, ia ikut bungkam, menyembunyikan semangatnya di balik tatapan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status