Di sisi lain, Aidan, anak laki-laki itu juga tak sesederhana yang terlihat.
Di balik sorot matanya yang tajam, tersembunyi ribuan pengetahuan tentang tanaman herbal, seolah semesta alam menyatu dalam dirinya.
Tangannya cekatan memilah daun-daun kering di atas meja laboratorium mungil itu—jari-jarinya seperti tahu mana yang beracun dan mana yang menyembuhkan.
Bakat alaminya dalam dunia pengobatan bukan hanya mengagumkan, tetapi seperti anugerah turun dari langit, seolah ia dilahirkan dengan kearifan para tabib kuno mengalir dalam darahnya.
Tak hanya itu, anak ini juga lihai membaca peluang, terutama dalam urusan investasi. Ia membaca grafik pasar layaknya membaca komik: cepat, penuh rasa ingin tahu, dan kadang sambil bersenandung kecil.
Berbeda namun seirama, Bayu membawa dunia digital dalam genggamannya. Ia bisa menembus sistem keamanan seperti sedang bermain puzzle, ekspresinya serius namun mulutnya tersenyum geli tiap kali berhasil menjebol satu lapisan kode.
Angka-angka menari dalam benaknya, membuatnya seperti bisa berkomunikasi dalam bahasa mesin. Di matanya, aljabar dan algoritma adalah puisi.
Keduanya, meski luar biasa jenius, bukan tipe anak yang bisa diam di kursi terlalu lama. Mereka seperti petir kecil yang menyimpan badai kenakalan di balik setiap ide cemerlang.
Kadang mereka membuat laboratorium seperti arena eksperimen gila—dan ya, seringkali membuat Prof. Hari mengusap wajah dengan kedua tangan, antara takjub dan frustrasi.
Namun, bagaimana mungkin ia benar-benar marah? Anak-anak itu seperti serpihan cahaya dalam hidupnya yang sepi oleh angka dan jurnal ilmiah. Maka ketika kekacauan terjadi, biasanya yang menjadi sasaran pelampiasan bukan mereka—melainkan Kirana.
“Saya minta maaf, Prof. Jangan salahkan anak-anak. Tapi tolong… jangan marahi saya juga. Saya bukan kambing hitam mereka, kan?” ucap Kirana sambil merapikan anak rambut yang terlepas dari sanggul kecilnya.
Suaranya tenang, tapi ada nada kelelahan yang tak sepenuhnya bisa disembunyikan.
Prof. Hari terkekeh pelan, matanya melembut. “Tenang, saya bukan mau marah. Justru saya punya tugas penting buat kamu.”
Ia berhenti sejenak, mengambil map cokelat dari tumpukan dokumen, lalu memandang Kirana dengan sungguh-sungguh.
“Saya sedang merancang lembaga riset di Indonesia. Fokusnya: pengobatan tradisional. Tapi saya belum bisa pergi ke sana karena masih banyak urusan yang harus saya selesaikan di sini. Setelah berpikir panjang, saya putuskan... kamu yang pergi.”
Kirana terdiam, seperti baru saja ditarik keluar dari pikirannya sendiri. Kata-kata itu menggantung di udara, menggema dalam benaknya seperti suara lonceng dari masa lalu.
Pulang ke Indonesia?
Seketika, aroma tanah basah dan suara hujan deras di atap seng rumah masa kecilnya muncul dalam benaknya—begitu nyata, begitu asing. Enam tahun telah berlalu sejak ia pergi, dan selama itu ia tidak pernah membayangkan akan kembali.
Di sana, tidak ada yang menantinya. Tidak ada keluarga. Tidak ada pelukan yang dirindukan.
Singapura telah menjadi rumah. Tempat di mana ia menemukan dirinya kembali. Tempat yang memberinya napas baru.
“Prof, saya...” Kirana mulai angkat suara, tapi belum sempat menuntaskan penolakannya, suara Prof. Hari menyela dengan lembut namun tegas.
“Tunggu dulu,” katanya sambil mencondongkan tubuh.
“Saya tahu kamu ragu. Tapi kamu sudah jadi murid saya selama bertahun-tahun. Kamu tahu betapa kayanya dunia pengobatan tradisional kita. Di sini, kita terbatas. Tapi di Indonesia—di Jawa—ada banyak pengetahuan kuno yang belum tersentuh. Teknik pengobatan turun-temurun, tanaman langka yang hanya tumbuh di tanah tertentu. Bukankah itu yang selama ini kamu cari?”
Kirana menunduk. Tangannya meremas ujung blusnya yang lembut.
“Satu hal lagi,” suara Prof. Hari merendah, seperti mengendap masuk ke dalam ruang hati Kirana. “Kamu bukan Kirana yang dulu. Kamu kuat sekarang. Apa pun yang kamu hadapi di sana... kamu pasti bisa menghadapinya.”
Kata-katanya jatuh seperti tetes air di tanah kering—menyerap pelan tapi pasti, membangkitkan sesuatu yang telah lama ia kubur. Ia bukan lagi gadis yang melarikan diri dengan hati remuk. Ia telah menjadi perempuan yang berdiri tegak di tengah badai.
Mungkin Raka sudah menikah. Mungkin ia bahagia bersama Zelina. Tapi apa artinya itu sekarang?
Dengan napas panjang dan mata yang kini tak lagi ragu, Kirana mengangguk. “Baik, Prof. Saya akan kembali.”
Senyum Prof. Hari mengembang, seperti langit yang cerah setelah hujan. “Bagus. Linda akan menemanimu. Saya juga sedang bentuk tim di sana untuk membantumu.”
“Terima kasih, Prof.” Kirana membalas senyumnya. Ada sinar baru di matanya—sinar keberanian yang dulu hanya berupa pijar samar.
Sementara itu, Aidan dan Bayu yang sejak tadi mendengarkan dari balik meja, saling bertukar pandang. Mata mereka bersinar seperti anak kecil yang baru saja mendapat kabar akan berlibur ke tempat yang hanya mereka lihat di peta.
Indonesia. Tempat Raka tinggal.....
Mereka ingin melihat wajah pria yang selama ini hanya hadir dalam bingkai foto dan ... memberinya pelajaran!
Elina menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu di sorot matanya yang membuat udara di sekitar mereka seakan menegang: campuran resah, bingung, dan marah yang tak terucap. Tatapannya menancap pada sosok ayahnya, seolah hendak memaksa lelaki itu menoleh.Di belakang sorot mata itu, ia juga tak henti melirik kaki Nona Alesha yang berlumur pasir dan sedikit darah, belum juga dibersihkan.“Ayah… kaki Nona Alesha…” suaranya serak, nyaris tercekat oleh cemas.Raka berdiri kaku, sosoknya bagai patung di tengah bentangan pasir yang perlahan mulai dingin ditiup angin sore. Pandangannya terpaku pada luka itu, pada pergelangan kaki Kirana yang berkilat samar terkena sinar jingga matahari.Ia tidak bersuara, tidak bergerak, hanya membiarkan kebisuan menjawab.Ketika Elina akhirnya memanggil namanya lebih keras, Raka tersentak. Tatapannya berpindah, dari luka di kaki itu ke wajah Kirana yang duduk di pasir dengan rambut tergerai, sebagian
Langkah mereka berderap pelan di atas pasir yang mulai dingin diterpa angin senja. Aidan dan Bayu, dua bocah kembar yang tak pernah lepas dari sisi ibunya, menggenggam erat tangan Kirana.Jemari mungil mereka seakan berusaha menyalurkan kekuatan, seolah ingin menjadi penopang bagi perempuan yang tengah digelayuti resah.Hanya suara gesekan kaki di atas pasir yang terdengar, berbaur dengan debur ombak jauh di ujung pulau. Sunyi itu terasa asing—hening yang tidak menenangkan, justru menambah berat dada mereka. Biasanya, ada tawa, ada obrolan, ada suara ibu mereka yang hangat.Kini, semua menguap, meninggalkan kesunyian yang menekan.“Bu…” Bayu akhirnya memberanikan diri, suaranya lirih, ragu, seperti takut menambah luka yang tak terlihat. “Kita nggak ajak Ellie lagi?”Kirana tersentak, seakan baru terbangun dari lamunan panjang. Kata-kata itu menghantam kesadarannya. Dalam kegelisahan, ia memang meninggalkan Elina
Kerang pilihan Elina tampak berkilau di bawah cahaya sore, warnanya memantul lembut—campuran jingga muda dan mutiara yang seolah menyimpan cahaya dari laut tempat ia ditemukan.Jemarinya yang mungil dengan hati-hati mengikat rantai biru sederhana pada cangkang itu, dan seketika kerang tersebut berubah. Pesonanya tak lagi hanya sekadar indah; ada kehangatan yang menyelinap, seperti bisikan rahasia yang hanya terbuka bagi mereka yang benar-benar memperhatikannya.Kirana, duduk tak jauh darinya, mengamati dengan senyum tipis. Ia bisa membayangkan betapa manisnya gantungan kunci itu jika menghiasi tas kecil Elina.Dalam benaknya, tampak jelas sosok gadis kecil itu melompat-lompat riang di jalan berpasir Pulau Tidung, tas mungil di bahunya bergoyang ringan, kerang biru bergemerincing setiap langkahnya, seolah dunia ikut berkilau bersama keceriaannya.Namun senyum di wajah Kirana perlahan pudar ketika Elina mendongak. Sepasang mata bulat bening menatapnya
Elina menempelkan kerang itu lebih dekat ke telinganya. Cahaya sore memantul di matanya yang membesar, berkilau seperti dua permata yang baru saja menemukan sinarnya.Kedua tangannya mendekap cangkang itu dengan hati-hati, seolah sedang memeluk rahasia besar yang hanya menunggu saatnya untuk diungkapkan.Tubuh mungilnya sedikit condong ke depan, bahunya menegang, telinganya menempel rapat pada kerang. Ia tampak larut dalam keheningan, seakan lautan yang terbentang di depannya telah pindah ke dalam ruang sempit cangkang itu.Beberapa detik kemudian, bibirnya merekah, senyum meledak begitu saja, dan wajahnya bersinar seperti matahari sore yang menembus celah awan."Iya! Aku dengar!" serunya lantang, suaranya melengking penuh kemenangan. Ada nada keyakinan di sana, seperti seorang penjelajah kecil yang baru saja menemukan benua baru.Kirana terdiam. Tadinya ia hanya bercanda, ingin bermain-main dengan imajinasi Elina yang sering meletup tak terkendali
Tak jauh dari kapal, wajah laut yang semula tenang bergetar lembut. Riak kecil menjalar seperti bisikan rahasia, lalu tiba-tiba pecah oleh lompatan gesit sekawanan lumba-lumba. Tubuh mereka berkilau ditimpa cahaya matahari sore, seakan ada perhiasan hidup menari di permukaan air.Beberapa saat mereka menghilang, menyelam ke dalam biru yang dalam, hanya untuk muncul kembali, kali ini lebih dekat. Anak-anak yang berdiri di dek sontak bersorak, tangan mungil mereka terangkat tinggi, melambai penuh semangat.“Halo! Kami di sini! Main yuk!” seru mereka, tawa mereka terbawa angin laut yang asin dan segar.Kirana berdiri agak jauh, memperhatikan wajah-wajah kecil itu. Senyum lembut merekah di bibirnya, matanya berbinar melihat keluguan mereka yang begitu murni.Dan seakan mengerti panggilan polos itu, kawanan lumba-lumba semakin mendekat, meluncur dengan gerakan anggun, berputar di air laksana penari yang tak pernah lelah.Anak-anak merapat ke
Elina merapatkan tubuh mungilnya, memeluk lutut seolah dunia bisa runtuh kapan saja. Matanya membelalak, masih memantulkan sisa bayangan gelap dari kedalaman laut. Napasnya tersengal, seperti baru saja berlari menghindari sesuatu yang tak terlihat.“Aku tadi takut banget, Bu Alesha... Kukira Ibu kenapa-kenapa...” Suaranya pecah, tercekat, menyisakan getaran cemas yang menolak padam.Kirana menunduk, berjongkok di sisi Elina. Tangannya—hangat dan penuh kelembutan—mendarat di pipi putrinya, mengusap pelan, seakan bisa menyapu jauh kegelisahan yang menempel di sana. Senyum samar mengembang di bibirnya, meski tubuhnya sendiri masih menyimpan lelah.“Maaf ya, sayang... bikin kamu khawatir,” ucapnya pelan, seperti doa yang disembunyikan di antara desah napas. “Tapi Ibu baik-baik saja, kok. Instruktur selamnya jaga Ibu dengan sangat baik.”Langkah tergesa terdengar di dek kayu yang masih basah oleh percikan laut. R